Sejarah Jakarta (52): Sejarah Cikeas Dan Presiden Sby; Jalan Masuk Irigasi Oosterslokkan, Kampong Tjikeas-Nagrak Di Sungai Tjikeas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Cikeas (Tjikeas) pada msa kini menjadi sangat populer, alasannya yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan Presiden RI dan keluarga beberapa tahun kemudian telah membangun sebuah puri (rumah) tidak jauh di sisi timur sungai Cikeas.di bilangan daerah perumahan Cibubur. Kehadiran puri Cikeas, membuat nama Cikeas telah bertransformasi dari nama sungai, nama kampong menjadi nama sebuah daerah pemukiman yang asri dan hijau. Keluarga SBY bermukin di situ.

Tjikeas (Peta 1900)
Pada hari kemarin Ibu Ani, ibu negara, istri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meninggal dunia di Singapura dan disemayamkan di Puri Cikeas. Pada hari ini almarhum Ibu Ani dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta. Nama Ibu Ani meninggalkan banyak kesan baik bagi keluarga dan sahabat. Cikeas dan Nagrak juga kehilangan Ibu Ani.

Lantas bagaimana dengan sejarah Cikeas sendiri?  Nama Cikeas bukanlah baru. Nama (sungai) Tjikeas sudah dikenal semenjak tempo doeloe, sebagai bab dari pembangunan sistem irigasi (kanal) di masa Gubernur Jenderal van Imhoff (1743-1750). Di sisi timur sungai Tjikeas terdapat kampong Tjikeas Nagrak. Lalu ibarat apa sejarah selanjutnya sungai Tjikeas dan kampong Tjikeas Nagrak? Itulah pertanyaan yang ingin dijawab. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang dipakai dalam artikel ini yakni ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya yakni saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya yakni sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai Tjikeas dan Gubernur Jenderal van Imhoff

Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff (1743-1750) mempunyai minat yang berpengaruh untuk membuatkan pertanian di sisi timur sungai Tjiliwong di sepanjang jalur jalan poros dari Batavia di hilir hingga hulu sungai Tjiliwong. Hal ini boleh jadi alasannya yakni sebelumnya, pada tahun 1745 van Imhoff telah membangun sebuah villa di hulu sungai Tjiliwong. Villa ini kelak bertransformasi menjadi Istana Bogor yang sekarang.

Eksplorasi sisi timur sungai Tjiliwong dimulai pada tahun 1687 dengan mengirim sebuah tim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Sersan Scipio. Tim ekspedisi ini kemudian menemukan reruntuhan eks kerajaan di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong dengan sungai Tjisadane. Tim ini kemudian menetapkan dan membangun sebuah benteng (fort) di titik tertentu yang disebut Fort Padjadjaran. Di depan fort inilah kemudian van Imhoff pada tahun 1745 membangun sebuah villa. Untuk melancarkan kemudian lintas kemudian dibangun jembatan gres di atas sungai Tjiliwong di Waroeng Djamboe yang sekarang. Jembatan ini merupakan jembatan kedua yang dibangun sesudah di masa lampau dibangun jembatan di atas sungai Tjiliwong di bersahabat fort Noordwijk yang kemudian dikenal jembatan Sluisburg (jembatan Pintu Air stasion Juanda yang sekarang). Sejak adanya villa itu, area yang indah tersebut kemudian dikenal nama Buitenzorg. Kelak area benteng dan villa di Buitenzorg ini Gubernur Jenderal Daendels membangun villa (istana) Gubernur Jenderal. Istana inilah yang menjadi cikal bakal Istana Bogor yang sekarang.

Setelah selesai pembangunan villa tersebut, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mulai merancang pembangunan pertanian di sepanjang jalan dari stad (kota) Batavia ke Buitenzorg. Untuk mendukung aktivitas tersebut mulai dibangun kanal (irigasi) dengan menyodet sungai Tjiliwong di Katoelampa. Kanal ini dari Katoelampa melalui (kampong) Tjiloear dan dialirkan mengikuti (sis) jalan poros menuju Batavia.

Pembanguuan pertanian ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk meningkatkan produksi (terutama pertanian) tetapi juga untuk membuat suasana lebih ramai dengan masuknya lebih banyak para investor Eropa/Belanda. Dengan demikian koneksi Batavia-Buitenzorg menjadi lebih meningkat. Sehubungan dengan aktivitas tersebut, untuk meningkatkan keamanan di hulu sungai Tjiliwong, benteng (fort) Padjadjaran ditingkatkan menjadi sebuah garnisun militer. Garnisun militer ini kini kira-kira di seberang jalan Istana Bogor sekitar lampu merah (kelak di area garnisun ini muncul nama kampong Kantin).

Namun dalam perjalanan waktu kanal yang dibangun semenjak masa van Imhoff ini tidak berkembang. Lebar kanal yang hanya dua meter tidak sebanding dengan perkembangan wilayah (intensifikasi land-land di hulu) dengan kebutuhan air yang meningkat di hilir. Aliran kanal yang awalnya hingga ke Meester Cornelis lambat laun hanya berfungsi sebagai saluran drainase di ekspresi dominan hujan dan kering di ekspresi dominan kemarau.

Selain kanal di sisi timur sungai Tjiliwong, di sekitar Buitenzorg juga dibangun kanal kecil. Kanal ini dibentuk untuk meneruskan air sungai di kampong Bondongan yang jatuh ke sungai Tjisadane dibelokkan dengan membuat kanal di Paledang untuk menuju Kedong Badak. Dalam pembangunan kanal ini juga dibangun jembatan di atas kanal yang kini disebut Jembatan Merah.

Sejak awal pembangunan kanal (era van Imhoff) simpel tidak ada intervensi yang dilakukan pemerintah VOC untuk perbaikan atau peningkatan fugsi kanal. Sistem pengairan hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh para pemilik tanah partikelir di sepanjang jalan poros antara Batavia (Bidara Tjina) dan Buitenzorg (Tjiloear). Peningkatan fungsi kanal gres terjadi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di masa Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811).

Keberadaan kanal makin ke hilir makin tidak berfungsi (mati suri). Boleh jadi ini seiring dengan melemahnya pemerintahan VOC. Pada kesudahannya VOC dibubarkan pada tahun 1799. Sebagai penggantinya Kerajaan Belanda membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Gubernur Jenderal  mulai menata vills/istana dan membangun kota Buitenzorg, mulai diperhatikan keberadaan irigasi (kanal) dalam hubungannya dengan pembangunan  pertanian. Ini sesuai dengan aktivitas Daendels dalam inegrasi ekonomi perdagangan dengan membangun jalan porods trans-Java antara Anjer dan Panaroekan. Pembangunan pertanian yang dalam hal ini pembangunan kanal akan menunjang laju perekonomian dan perdagangan.
.
Gubernur Jenderal Daendels menginstruksikan untuk peningkatan kanal dan pembangunan kanal-kanal baru. Dalam arahan ini tidak hanya upaya untuk meningkatkan fungsi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong (peninggalan Gubernur Jenderal van Imhoff) juga membangun kanal-kanal gres di sisi barat sungai Tjiliwong.

Pembangunan kanal di sisi barat sungai Tjiliwong tidak sempat terealisasi alasannya yakni terjadinya pendudukan Inggris pada tahun 1816. Realisasinya gres dimulai pada tahun 1821. Pembangunan kanal yang dimaksud dalam hal ini yakni mempebesar kanal Paledang dengan cara mengangkat air dari sungai Tjisadane dan mengalirkannnya ke kanal. Untuk melakukan ini dilakukan pembendungan sungai Tjisadane di wilayah Empang. Bendungan ini kemudian disebut bendungan Empang. Dengan masuknya air dari (bendungan) sungai Tjisadane ke kanal maka kanal diperlebar. Aliran kanal semakin jauh tidak lagi hanya terbatas di Kedong Badak tetapi sudah sanggup menjangkau Tjilieboet dan Bodjong Gede. Kanal inilah yang kemudian disebut Westerslokkan (Kanal Barat), sedangkan kanal di sisi timur sungai Tjiliwong yang dirintis semenjak masa van Imhoff disebut sebagai Oosterslokkan (Kanal Timur).

Dalam rehabilitasi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong, kanal diperlebar menjadi empat meter sehubungan dengan pembangunan gres bendungan Katoelampa. Debit air dari Katoelampo akan menjadi besar maka kanal yang menjadi lebih lebar menjadi empat meter akan mempunyai jangkauan yang lebih jauh ke hilir hingga Batavia. Namun dalam perkembangannya kebutuhan air di hilir lambat laun tidak mncukupi sehubungan dengan semakin meluasnya intensifikasi pertanian dan pencetakan sawah gres yang dihubugkan dengan aktivitas radikal yang dijalankan Gubernur Jenderal van den Bosch yang disebut cultuurstelsel..

Jalan poros dan kanal (slokkan) berada di antara sungai-singai. Di sebelah barat sungai besar Tjiliwong dan di sebelah timur tiga sungai kecil yakni sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang. Secara teknis tidan dimungkinkan untuk menyodet sungai Tjiliwong di hilir (karena air berada di bawah), tetapi tiga sungai kecil di wilayah hulunya ketinggi air masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan pedoman kanal di arah hilir.

Pada masa Gubernur Jenderal JC Baud (1833-1836), upaya peningkatan kanal ini dilakukan lagi. Namun pelebaran kanal mustahil dilakukan lagi alasannya yakni sulit mengandalkan debit air yang lebihb banyak dari bendungan Katoelampa. Untuk menambah debit air di hilir, kanal (slokkan; selokan) yang bermula di Katoelampa ini didukung tiga sungai kecil yakni sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang. Di masing-masing hulu sungai ini dibendung (terbentuk bendungan) dan kemudian lauapan air bendungan dialirkan ke kanal yang berada di jalan pos.

Kampong Tjikeas-Nagrak: Puri Cikeas di Desa Nagrak

Nama kampong yang mengambil nama sungai Tjikeas yakni kampong Tjikeas. Pada penataan manajemen menjelang Sensus Penduduk 1930 Kampong Tjikeas digabungkan dengan Kampong Nagrak sehingga nama kampong yang gres yakni Kampong Tjikeas-Nagrak.

Kampong Tjikeas-Nagrak yakni salah satu kampong di Onderdistrict Tjiteureup, District Tjibinong, Regentschap Buitenzorg (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1937). Namun dalam persepsi umum nama kampong Tjikeas-Nagrak hanya diketahui sebagai kampong Tjikeas. Hal ini alasannya yakni kampong Tjikeas lebih besar dari kampong Nagrak. Akses menuju kampong Tjikeas Nagrok, meski jarak garis lurus lebih bersahabat dari Tapos, tetapi adanya infrastruktur jalan justru berawal dari Goenoeng Poetri di bersahabat jalan pos Batavia-Buitenzorg. Namun pada masa kini lebih gampang diakses dari jalan alternatif Cibubur.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini yakni seorang warga Kota Depok semenjak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya mempunyai hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan ketika menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Jakarta (52): Sejarah Cikeas Dan Presiden Sby; Jalan Masuk Irigasi Oosterslokkan, Kampong Tjikeas-Nagrak Di Sungai Tjikeas"

Posting Komentar