Sejarah Jakarta (42): Benteng Noordwijk Jadi Masjid Istiqlal; Fort Frederik Hendrik, Wilhelmina Park, Taman Wijaya Kusuma


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Satu sejarah penting di Jakarta pada masa lampau yakni keberadaan benteng (fort) Noordwijk. Di area sekitar benteng ini banyak hal yang sanggup diceritakan. Pertama, lokasi benteng Noordwijk berada di hulu sungai Tjiliwong di sisi seblah barat. Dari sinilah sungai Tjiliwong disodet membentuk susukan ke arah barat (sepanjang Jalan Juanda/Veteran yang sekarang) dan kemudian disodet lagi membentuk susukan ke arah timur (Pasar Baru yang sekarang). Akibat penyodetan sungai Tjiliwong tersebut, sungai Tjiliwong ke arah hilir tamat. Eks sungai Tjiliwong ke hilir ini kelak di atasnya dibangun rel kereta api, yaitu ruas rel kereta api antara stasion Juanda dan stasion Mangga Dua yang sekarang.

Fort Noordwijk (Peta 1740)
Kedua, benteng Fort Noordwijk ini kemudian dibongkar dan dibangun gres benteng Frederik Hendrik (dari nama pangeran Belanda). Area sekitar benteng gres ini kemudian dibangun taman yang disebut Wilhelmina Park (dari nama ratu Belanda). Pasca legalisasi kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1949) nama Wilhelmina Park diubah namanya menjadi Taman Widjaja Koesoema. Sehubungan dengan adanya pembangunan masjid besar di Djakarta, Presiden Soekarno mengusulkan lokasi masjid berada di Taman Widjaja Koesoema. Dengan dibangunnya masjid besar yang diberi nama masjid Istiqlal, maka tamat sudah benteng Frederik Hendrik sebagai suksesi benteng (fort) Noordwijk.   

Bagaimana kisah-kisah ini berlangsung tentub masih menarik untuk diperhatikan. Ini diawali dengan pembangunan benteng (fort) Noordwijk dan kemudian diakhiri dengan membangun masjid besar Istiqlal. Bagaimana detail ceritanya? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
  
Benteng (Fort) Noordwijk

Bayangkan sungai Tjiliwong pada masa lampau. Di sisi sebelah barat sungai Tjiliwong dimana kini terdapat masjid Istiqlal dibangun benteng (fort) Noordwijk. Benteng ini dibangun sekitar tahun 1650. Benteng Noordwijk, di selatan stad (koa) Batavia  ini dibangun bersamaan dengan benteng Risjwijk (di barat) dan benteng Jacatra (di timur). Benteng Jacatra ini berada di hilir benteng Noordwijk di sisi barat sungai Tjiliwong. Posisi benteng Jacatra ini kira-kira di Mangga Dua yang sekarang. Beberapa puluh tahun kemudian, untuk mengatasi banjir di stad (kota) Batavia sungai Tjiliwong disodet di hulu benteng Noordwijk dengan membangun susukan mengitari benteng dan menarik garis lusrus ke sebelah barat menuju sungai Kroekoet di sekitar benteng Risjwijk (kanal selatan). Kanal ini yakni kali yang berada diantara jalan Juanda dan jalan Veteran yang sekarang.

Lukisan Jacatra, 1675
Dalam perkembangannya, untuk memudahkan korelasi antara wilayah di Risjwijk dengan stad (kota) Batavia dibangun susukan dengan menyodet susukan di Risjwik (kanal barat). Kanal ini kini dikenal sebagai kali yang berada diantara jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk. Dalam Peta 1682 susukan selatan dan susukan barat ini sudah dipetakan.  

Pembangunan susukan selatan tetap menyisakan kasus banjir di stad (kota) Batavia. Untuk mengatasinya, sungai Tjiliwong disodet kembali di hilir benteng Noordwijk dengan membangun susukan gres ke timur. Kanal ini kini yakni kali di pasar Baru dan kali di sisi jalan gunung Sahari. Aliran ini pribadi diteruskan ke pantai di Antjol (kanal timur). Untuk mengatur debit air susukan timur ini terlebih dahulu dibangun bendungan yang kini dikenal sebagai Pintu Air. Pada Peta 1740 susukan timur belum ada.

Sungai Tjiliwong (Peta 1825)
Pada situasi dan kondisi ini, posisi benteng (fort) Noordwijk seakan berada diantara dua sungai. Benteng seakan diperkuat alasannya terbentuknya barier sungai. Akan tetapi kasus banjir tetap muncul di stad (kota) Batavia meski sudah ada susukan selatan (jalan Juanda/Veteran yang sekarang) dan susukan timur (Pasar Baru dan jalan Gunung Sahari yang sekarang). Untuk mengatasi persoalan, debit air melalui susukan timur diperbesar, Jika terjadi rob, susukan timur di Antjol meluap. Untuk mengurangi erosi (rob) susukan timur disodet di sekitar jalan Gunung Sahari yang kini dengan membangun susukan ke utara (masuk kembali) ke sungai Tjiliwong di Mangga Dua yang sekarang. Situasi dan kondisi telah sesuai yang diharapkan, telah bisa mengatasi kasus banjir di stad (kota) Batavia

Dalam perkembangannya, sungai Tjiliwong ke arah kota (stad) Batavia ditutup (mulai dari sekitar bendungan air (Pintu Air) hingga sekitar Mangga Dua. Kanal utara seakan menjadi pengganti sungai yang ditutup. Dengan kata lain sungai Tjiliwong antara benteng (fort) Noordwijk dan Mangga Dua yang kini dihilangkan (ditutup sama sekali). Oleh karenanya sungai Tjiliwong yang orisinil hanya hingga di benteng (fort) Noordwijk atau masjid Istiqlal yang sekarang. Pada Peta 1825 eks sungai Tjiliwong hanya disebut Oud Tjiliwong. Besar dugaan penutupan sungai Tjiliwong ini terjadi antara tahun 1740 dan tahun 1825. Pada tahun 1870 di atas eks sungai Tjiliwong ini dibangun rel kereta api (kini rel kereta api ruas stasion Juanda dan stasion Mangga Dua).

Fort Noordwijk Dipugar dengan Nama Baru Fort (Citadel) Frederik Hendrik

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda mulai diadakan pembangunan kota-kota secara terintegrasi dan pembangunan jalan-jalan gres sesuai rencana pembangunan Gubernur Jenderal Daendels. Beberapa persil lahan swasta mulai dibeli pemerintah. Sejumlah tempat (area) ditingkatkan. Salah satu area yang ditata yakni tempat benteng (fort) Noordwijk.

Program ini sempat terhenti alasannya pendudukan Inggris (1811-1816). Pemerintah Inggris dibawah Letnan Gubernur Raffless lebih menentukan ibukota di Semarang dan Buitenzorg. Mudah pembangunan di Batavia sedikit melambat. Setelah kembalinya Belanda berkuasa, banyak kasus pemerintah Hindia Belanda, selain perdagangan yang melambat juga terjadinya aneka macam perang di aneka macam wilayah, termasuk Perang Jawa (1825-1830).

Pasca Perang Jawa, pada masa Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) pembangunan ekonomi pertanian dipaksakan dengan menerapkan sistem stelsel (kultuur/koffie). Untuk memperkuat militer dalam mendukung sisten stelsel, tata pertahanan mulai dirapihkan. Pembangunan kampement militer di Batavia dilakukan. Rumah sakit militer dibangun. Kawasan Weltevreden menjadi sentra militer. Pada ketika inilah tempat (area) Fort Noordwijk dikembangkan menjadi taman yang disebut Wilhelmina Park.

Cidatel Frederik Hendrik (Peta 1897)
Untuk menyesuaikan tempat dengan taman yang baru, benteng (fort) Noorwijk dilakukan pemugaran. Fungsi pemugaran benteng ini lebih pada aspek aestika dan pelestarian warisan. Fungsi benteng telah digantikan oleh kampemen (markas militer atau garnizn). Hasil pemugaran benteng ini tidak lagi memakai nama Noordwijk tetapi dengan memberi nama gres Frederik Hendrik. Peta 1897

Wilhelmina Park atau Taman Widjaja Koesoema Menjadi Masjid Istiqlal

Pasca legalisasi kedaulatan Indonesia oleh Belanda, pada tahun 1950 sejumlah nama tempat yang berasosiasi Belanda diganti. Yang pertama ibukota RIS dari nama Batavia diganti dan ditetapkan dengan Djakarta dan nama Buitenzorg menjadi Bogor. Selain itu nama-nama jalan juga diubah dengan nama-nama Indonesia.

Monumen Atjeh di Wilhelmina Park (1914)
Nama lapangan (plein) dan nama taman (park) juga diubah. Wilhelmina Park diganti dengan nama gres Taman Widjaja Koesoema. Tentu saja nama istana juga diubah menjadi Istana Merdeka. Lapangan Koningsplein juga diubah menjadi Lapangan Merdeka. Beberapa monumen juga dibongkar, termasuk Monumen Atjeh yang berada di tempat Wilhelmina Park. Peta 1914

Pada tahun 1951 muncul gagasan untuk membangun masjid yang besar di Djakarta. Sejumlah nama disurvei yang mana salah satunya yakni kebun hewan di Tjikini. Namun dalam perkembangannya lokasi Tjikini tidak sesuai. Dalam diskusi yang dilakukan panitia pembangunan masjid dengan Presiden Soekarno diputuskan lokasi masjid dibangun di Taman Widjaja Koesoema.

Foto udara Cidatel Frederik Hendrik di Wilhelmina Park (1943)
Untuk memutuskan anggaran dan desain masjid kemudian diputuskan bahwa untuk desain akan disayembarakan. Sejumlah arsitek dan perusahaan arsitek mengirimkan desain masing-masing. Yang terpilih yakni desain dari Frederik Silaban dari Bogor. Foto udara Wilhelmina Park, 1943

Tentu saja Frederik Silaban yang menciptakan desain Masjid Istiqlal yakin akan menang dalam sayembara desain masjid, tetapi tidak mengetahui bahwa lokasi masjid itu akan dibangun di Wilhelmina Park tempat dimana terdapat Cidatel (benteng) Frederik Hendrik. Kebetulan namanya sama. Taman Wilhelmina dan Cidatel Frederik Hendrik (eks Fort Noordwijjk) tamat.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Jakarta (42): Benteng Noordwijk Jadi Masjid Istiqlal; Fort Frederik Hendrik, Wilhelmina Park, Taman Wijaya Kusuma"

Posting Komentar