Teori Retorika Aristoteles

Kajian retorika secara umum didefinisikan sebagai simbol yang dipakai manusia. Pada awalnya merupakan ilmu ini berafiliasi dengan persuasi, sehingga retorika yaitu senin penyusunan argumen dan pembuatan naskah.Dalam buku pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi yang ditulis oleh Richard West dan Lynn H. Turner Public speaking mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang melampaui khalayak yang mendengarkan, dan ini merupakan keahlian yang penting di dalam masyarakat yang demokratis. Begitu pentingnya public speaking dalam kehidupan kita, sampai-sampai hal ini menjadi acara yang ditakuti. Aristoteles merupakan orang pertama yang memperlihatkan langkah-langkah dalam public speaking, retorika aristoteles yang tulisan-tulisannya yang diterbitkan dua puluh lima masa yang kemudian menjadi paling kuat di dunia barat oleh para sejarawan, filsuf, dan pakar komunikasi.

Teori retorika berpusat pada fatwa mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayaknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos), dan (ethos) kredibilitas.


Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang mendorong khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, dipakai dalam persuasi.

Ada dua perkiraan teori yang dikemukakan Aristoteles yang dikaitkan dengan teori retorika.
1. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khalayak
2. Pembicara yang efektif menggunkan beberapa bukti dalam presentasi mereka.

Dalam konteks public speaking Aristoteles menyatakan bahwa relasi antara pembicara dan khalayak harus dipertimbangkan. Para pembicara dilarang menyusun atau memberikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayak mereka. Hal ini disebut sebagai analisis khalayak, yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya (seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sebagainya) dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memperlihatkan respon sebagaimana yang dibutuhkan pembicara. Aristoteles merasa bahwa khalayak sangat penting bagi efektivitas seorang pembicara. Ia menyatakan, “Dari tiga elemen dalam penyusunan pidato pembicara, subjek, dan orang yang dituju yang terakhirlah, para pendengar, yang memilih final dan tujuan dari suatu pidato” .

Asumsi yang kedua yang mendasari teori Aristoteles berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksud oleh Aristoteles ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos, dan logos. Ethos merujuk pada karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara dikala hal-hal ini ditunjukkan melalui pidatonya. Aristoteles merasa bahwa suatu pidato yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya akan lebih persuasif dibandingkan pidato yang kejujurannya dipertanyakan. Logos yaitu bukti-bukti logis yang dipakai pembicara untuk argumen mereka, rasionalisasi dan wacana. Bagi Aristoteles logos meliputi beberapa praktik termasuk memakai klaim logis dan bahasa yang jelas. Menggunakan frase-frase puitis berakibat pada kurangnya kejelasan dan kealamian. Pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari para pendengar. Aristoteles berargumen bahwa pendengar menjadi alat pembuktian dikala emosi mereka digugah , para pendengar menilai dengan cara berbeda ketka mereka dipengaruhi oleh rasa bahagia, sakit, benci, atau takut.


Sumber http://makalahahli.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Teori Retorika Aristoteles"

Posting Komentar