Makalah Meneladani Tokoh Tasawuf Ibnu Rusyd & Muhammad Iqbal
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh lebih banyak didominasi filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi al-Kindi menyampaikan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan fatwa Islam menyerupai teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibn Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang mempunyai ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam
pengetahuan lain menyerupai fisika, kedokteran dan astronomi.[1]
pengetahuan lain menyerupai fisika, kedokteran dan astronomi.[1]
Dominasi efek filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan kasus dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa bergotong-royong filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani semoga sesuai dengan fatwa Islam. Persoalannya yaitu apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim yaitu ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan lantaran sudah menyangkut duduk kasus sensitif keimanan dan lantaran ternyataikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami fatwa agama hingga pada klaim-klaim kebenaran ihwal status agama seseorang. Karena itu duduk kasus ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibn Rusyd.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan kasus yang menjadi inti pembahasan dari makalah ini yaitu:
1. Bagaimana riwayat hidup karya Ibn Rusyd dan Muhammad Iqbal?
2. Bagaimana sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali ihwal pemikiran para filosof?
3. Bagaimana tanggapan Ibn Rusyd ihwal aturan kausalitas dan mukjizat berdasarkan al-Ghazali?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, disamping tujuan normative yaitu sebagai tanggungjawab penyusun yang harus digugurkan ataupun bertujuan untuk memperlihatkan landasan teoritis bagi penyusun lain yang mempunyai keterkaitan dengan judul makalah ini, secara subtansial, makalah ini memperlihatkan info keilmuan menyangkut:
1. Riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd dan Muhammad Iqbal
2. Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali ihwal pemikiran para filosof.
3. Hukum kausalitas dan mukjizat berdasarkan Ibn Rusyd.
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd
1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd
Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd gelarnya Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd kelahiran Cordova pada tahun 520 H / 1126 M, di kota Cordova ibu kota Andalusia wilayah ujung barat benua Eropa. ia berasal dari kalangan keluarga besar yang populer dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibn Rusyd yaitu seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibn Rusyd semenjak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang kuat di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibn Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[2]
Keluarga Ibn Rusyd yang besar mengutamakan ilmu pengetahuan yang meruapakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya yaitu ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya,oleh lantaran itu tidaklah mengherankan jikalau ia sanggup mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai aneka macam disiplin ilmu, menyerupai hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan lainnya.
Ibn Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibn Tufail membawa Ibn Rusyd (ketika itu umurnya 43 tahun) kehadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya kiprah untuk menyeleksi dan megoreksi aneka macam syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan higienis dari banyak cacat, lantaran keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya.
Ketika Ibn Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam usia 56 tahun) menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.
Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari fatwa –ajaran Islam, Sebagai kesudahannya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat berjulukan Lucena daerah Cordova
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya hingga di situ, bahkan membawa efek yang menimbulkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibn Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada tahun 1198 dalam usia 72 tahun.[3]
2. Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd yaitu seorang ulama besar dan pengulas yang dalam filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingnnya, lantaran berdasarkan riwayat, semenjak kecil hingga tuanya ia tak pernah membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya mencakup berbagai-bagai ilmu, menyerupai fiqih, usul, bahasa, kedokteran, astronom politik, sopan santun dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan atau ringkasan. Karma sangat tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, maka tidak mengherankan jik ia memberi perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku yang lain yang diulasnya yaitu buku Karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Bajjah.[4]
Karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
1. Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah buku yang hingga ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan terperinci pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih populer dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan al-ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
2. Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
3. Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
4. Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
5. Taslul, Tentang Ilmu kalam.
6. Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
7. Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
8. Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
9. Risalah al-kharaj (tentang perpajakan)
10. Al-da’awi, dan lain-lain.[5]
B. Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali ihwal pemikiran para fiolsof
Sebagaimana diketahui bahwa Imam al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah:
a. Kekadiman alam
b. Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juziyat)
c. Pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat.[6]
a. Kaqadiman Alam
Mengenai kasus alam qadim, antara kaum teologi dan kaum filosof, memang terdapat perbedaan ihwal artiالأحداث dan قديم . Bagi kaum teolog “al-ihdas” mengandung arti membuat dari tiada, sedang kaum filosof kata itu berarti membuat dari “ada”. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak bisa dirubah menjadi wujud (ada).Yang terjadi yaitu wujud berobah menjadi wujud dalam bentuk lain.[7]
Demikian juga kaum teolog, qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab. Bagi kaum filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya sesuatu yang berwujud tanpa alasannya tetapi boleh juga berarti “sesuatu yang berwujud dengan sebab” dengan kata lain sungguhpun ia disebabkan ia boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujud Qadim, dengan demikian, yaitu sifat bagi sesuatu yang dalam insiden kekal, insiden terus menerus yaitu insiden yang tidak bermula dan tak berakhir.[8]
Dalam pemikiran al-Ghazali , sewaktu Tuhan membuat alam , yang ada hanya Tuhan. Tidak ada sesuatu yang lain disamping Tuhan dikala Ia membuat alam. Terhadap pemikiran al –Ghazali tersebut Ibn Rusyd mengajukan bantahannya, bahwa sewaktu Tuhan membuat alam sudah ada sesuatu disamping Tuhan. Dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan Tuhan, itulah Tuhan membuat alam. Untuk memperkuat bantahannya Ibn Rusyd mengemukakan beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Artinya: Dan Dialah yang membuat langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahtaNya (pada waktu itu) berada di atas air, semoga Ia uji siapa di antara kau yang lebih baik amalnya (Hud : 7)
Ayat tersebut, berdasarkan Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sewaktu Tuhan membuat langit dan bumi telah ada sesuatu di samping Tuhan, yaitu air.
Artinya : Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, kemudian Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kau keduanya berdasarkan perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa keduanya menjawab: kami tiba dengan suka hati (Fushshilat :11).
b. Tuhan tidak mengetahui perincian (juziyat)
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik sebesar zarrah sekalipun yaitu suatu hal yang telah digariskan dengan terperinci dalam al-Qur’an, sehingga telah merupakan consensus dalam kalangan umat Islam. Hanya bagaimana Tuhan mengetahui hal-hal yang parsial ( juziyat ) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan.[9]
Terhadap tuduhan al-Ghazali, bahwa Tuhan tidak mengetahui princian yang ada dalam alam ini, Ibn Rusyd menyampaikan bahwa al-Ghazali salah faham, lantaran tidak pernah kaum filosof mengatakan yang demikian.[10]
Menurut Ibn Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan zat-Nya pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’I maupun bersifat kulli, sebagaimana manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, lantaran pengetahuan Tuhan merupakan alasannya dari wujud, sedangkan pengetahuan insan yaitu akibat. Selanjutnya pengetahuan insan bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapun kecilnya.[11]
Jadi, bagi Ibn Rusyd bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil/perincian, artinya Tuhan tidak mengetahui perincian itu dengan ilmu baru, dimana syarat ilmu gres itu dengan kebaharuan peristiwa/perincian tersebut, lantaran Tuhan menjadi alasannya (illat) bagi perincian tersebut, bukan menjadi tanggapan (musabbab ) dari padanya seperti halnya dengan ilmu baru, ilmu Tuhan bersifat qadim tidak berubah, lantaran perubahan peristiwa. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian Tuhan Yang Maha Mengetahui segala-galanya.
c. Kebangkitan jasmani tidak ada
Dalam kitab Tahafutul Falasifah, al-Ghazali mengambarkan kepada filosof yang menyampaikan bahwa di alam abadi nanti insan akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, lantaran dalam al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa insan akan mengalami aneka macam kenikmatan jasmani nanti di surga.
Tentang kasus pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tidak menyebut – nyebut hal itu. Semua agama berdasarkan Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di alam abadi sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Namun, perlu disadari maksud pokok dari Syari’at yaitu menghimbau insan untuk selalu melaksanakan perbuatan terpuji dan meninggalkan perbuatan jahat sehingga fatwa yang dibawa oleh agama harus sesuai dengan tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di alam abadi harus disampaikan dalam wujud jasmani. Untuk itu, Ibn Rusyd dalam kitabnya “Tahafut al-Tahafut” mengemukakan firman Allah yang maksudnya perumpamaan surga bagi orang-orang muttaqin disisi Allah, sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Dan juga sabda Rasulullah saw. Artinya : Di dalammya ( surga ) terdapat apa yang tidak pernah mata melihat dan indera pendengaran mendengar serta tidak pernah tergores dalam kalbu manusia. Ini berarti kata Ibn Rusyd – bahwa dalam surga, insan tidak dalam wujud jasad, dan apa yang diajarkan al-Qur’an ihwal surga dan isinya harus difahami secara metafora. Demikian pula Ibn Abbas menyampaikan bahwa tidak akan dijumpai di alam abadi hal-hal yang higienis keduniaan kecuali nama saja, hidup di alam abadi lebih tinggi dari hidup di dunia.[12]
Dalam pada itu, Ibn Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, lantaran dalam beberapa tulisannya terjadi kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut al Falasifah bertentangan dengan apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. Dalam buku Tahafut al Falasifah, al-Ghazali menyampaikan tidak ada orang Islam yang beropini adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku ihwal tasawuf ia menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak sanggup dikafirkan. Apalagi al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya pada ijma’ ulama.[13]
C. Tanggapan Ibn Rusyd ihwal aturan kausalitas dan mukjizat berdasarkan al-Ghazali
a. Sikap al-Ghazali terhadap Hukum Kausalitas
Kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan yang pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian, khususnya mukjizat. Kausalitas, secara harfiah berarti “segala sesuatu yang bertanggungjawab atas terjadinya perubahan gerak dan aksi. Tujuan utama al-Ghazali mengkritik kausalitas yaitu untuk menegakkan mukjizat dan kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Mukjizat yaitu “kekuatan supranatural yang diberikan kepada manusiasebagai (sesuatu yang di luar kebiasaan).
Jadi, al-Ghazali mengambil sikap yang berbeda dengan para filosof-filosof Muslim sebelumnya. Bagi al-Ghazali, fondasi utama untuk mengislamkan kausalitas, yang masa sebelumnya sangat naturalistik. Langkah pertama al-Ghazali yaitu mengkritik pendapat para filosof yang menyampaikan bahwa hubungan antara alasannya dengan tanggapan bersifat niscaya.
Ini berarti bahwa jikalau ada alasannya pasti ada tanggapan dan sebaliknya. Hubungan di sini, kata al-Ghazali, tidak pasti maupun tidak mungkin tetapi mungkin bisa terjadi dan tidak bisa terjadi.Sehingga mungkin saja ada api tapi tidak membakar.
Di sisi lain, al-Ghazali memperkenalkan “kausalitas spiritual”. Artinya, Allah secara eksklusif bisa melampaui kausalitas dengan cara merubah sifat yang ada pada suatu benda, atau secara tidak eksklusif dengan cara mengirimkan malaikat. Di sinilah al-Ghazali meminjam teori teologi, khususnya teori ihwal Asy’ariyah, dalam menyampaikan bahwa kekerabatan kausalitas itu bersifat mungkin dan mengenyampingkan Allah yang bisa bertindak di luar kekerabatan kausalitas. Al-Faruqi mengatakan, “Apa yang mengikat alasannya dengan akibatnya, al-Ghazali menegaskan, yaitu agresi Tuhan, yang pola-polanya pasti sanggup terulang kembali karenaTuhan tidak bermaksud untuk menipu kita dan menyesatkan kita.
Langkah kedua al-ghazali yaitu menantang pernyataan para filosof bahwa “hubungan antara satu alasannya dengan satu akibat; alasannya yang sama melahirkan tanggapan yang sama pula dan sebaliknya. Suatu akibat, berdasarkan al-Ghazali, tidak harus terjadidikarekan satu sebab. Ia terjadi mungkin saja dikarekan oleh sejumlah sebab. Al Ghazali sungguh menolak aturan kausalitas. Ia menyampaikan sangat tidak mungkin sesuatu terjadi murni disebabkan oleh sesuatu yang lain selain Tuhan juga berperan. Artinya, Tuhan juga berperan sangat penting atas terjadinya segala sesuatu. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua insiden di sebabkan benda lain, banyak insiden yang ada di luar aturan kausalitas. Tidak ada kemutlakan dalam aturan alasannya akibat. Karena di samping insiden disebabkan penyebab Tuhan juga yang menjadikan insiden itu terjadi.[14]
Hubungan antara apa yang diyakini sebagai apa yang diyakini sebagai alasannya alami dan tanggapan yaitu tidak niscaya (dharuri). Tetapi masing-masing berdirinya sendiri, Ini bukan itu,danitu bukan ini. Penegasan pada salah satunya tidak mesti merupakan penegasan pada yang lain dan penafian terhadap yang satu tidak mesti merupakan penafian pada yang lain.
Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan ketiadaan yang lain.[15]
b. Tanggapan Ibn Rusyd
Ibn Rusyd, yang fondasi epistemologinya yaitu logika Aristotelian, melihat dampak negatif dalam serangan al-Ghazali terhadap kausalitas, sehingga harus mengemukakan kritik. Hubungan antara alasannya dan tanggapan berdasarkan Ibn Rusyd, merupakan kekerabatan yang niscaya, bukan kekerabatan mungkin. Ini berarti bahwa jikalau ada alasannya pasti ada akibat. Misalnya, api mengkremasi jikalau menyentuh sepotong kapas.
Setiap benda memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dengan benda lain. Jika karakter ini dihilangkan, maka benda ini akan berubah nama, sehingga jikalau diuji dengan pendekatan kausalitas, walaupun masih dengan alasannya yang sama, maka benda ini akan menimbulkan tanggapan yang berbeda. Mukjizat, yang bagi Ghazali merupakan pengecualian bahkan bisa melampaui kausalitas, Ibn Rusyd mengemukakan pendapat lain.
Fungsi mukjizat dalam Islam, berdasarkan Ibn Rusyd, bukanlah penggalan yang tidak sanggup dipisahkan dari keimanan kepada Nabi sebagaimana dipegangi Ghazali, Walau masih merupakan bukti keberadaanya sebagai seorang nabi. Ibn rusyd membagi mukjizat menjadi dua.Yang pertama, yaitu al-barrani, yang berarti “mukjizat yang tidak sesuai dengan karakter seorang Nabi sebagai Nabi”, contohnya Nabi musa merubah tongkatnya menjadi ular. Mukjizat jenis ini diperuntukkan bagi orang awam. Yang kedua yaitu mukjizat yang sesuai dengan seorang Nabi sebagai Nabi, Kasus Nabi Ibrahim a.s. yang dibakar pada masa raja Namrud. Risalah yang ia bawa, yang untuk Nabi Muhammad yaitu Al-Qur’an. Jenis mukjizat ini lebih diperuntukkan bagi orang-orang khusus, walaupun tidak melupakan orang-orang awam.[16]
Ibn rusyd sangat yakin bahwa insiden merupakan sudah memperlihatkan adanya aturan kausalitas, sehingga insan bisa memprediksi insiden berikutnya sesuai aturan kausalitas yang berlaku. Misalkan buku akan terbakar jikalau disimpan di atas api. Selamanya akan terus demikian dan insan bisa meramal bahwa dikala buku diletakkan di atas api ia akan terbakar. Dengan demikian insan bisa menghindar dari keadaan tersebut jikalau tidak ingin bukunya terbakat. Terbakarnya buku ini tidak ada campur tangan Tuhan tetap ini sudah merupakan aturan alam yang tidak bisa digangu gugat. Kalau kita analisis hakikat aturan kausalitas itu sendiri bahwa ia yaitu suatu kesimpulan dari dua kejadian. Misalkan, gelas jatuh maka ia pecah. Dalam keadaan ini bergotong-royong terdapat dua kejadian. Pertama gelas jatuh dan gelas pecah. Kedua insiden tersebut tidak bisa dicampur aduk, lantaran itu yaitu dua insiden yang berlainan. Sedangkan aturan kausalitas yaitu hasil kesimpulan dari dua insiden tersebut, sehingga kalau dua insiden kita simpulkan akan menjadi gelas dijatuhkan, maka ia pasti akan pecah. Perbedaan hasil dari suatu penyeban insiden itu dikarenakan adanya penyeban diluar insiden itu. Sehingga perbedaan hasil juga disebabkan adanya suatu alasannya yang pasti berbeda pula. Keadaan ini tidak lain yaitu kesimpulan dari dua kejadia tersebut.
Kesimpulan tersebut yaitu sebuah perjuangan insan memahami aturan alam, memantai, mengendalikan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Adapun tetap terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan yaitu lantaran ada alasannya yang tidak menyerupai biasa, dengan kata lain ada alasannya lain yang merasuk dalam alasannya awal.[17]
A. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut. Mengenai waktu kelahiran secara tepat, terdapat perselisihan, menyerupai dikemukakan oleh A. Schinmel dalam The Date of M. Iqball`s Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi dalam tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2 Dzul al-qaidah 1294 H / 1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan januari 1877 M. bersesuaian dengan 2 Dzul al-qaidah 1294 M, maka tanggal 9 November 1872 bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan Universitas dibandingkan tahun 1973.[3] mengenai kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan tahun 1294 dengan 1876 sanggup terjadi lantaran kemungkinan reformasi yang ia terima dari bapaknya memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu sepertinya lantaran itu lebih memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan dengan tanggal Masehi, sehingga penulisan tanggal hijriah lengkap sedangkan untuk masehinya hanya tahun saja yang tertulis.
Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir. Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia yaitu seorang muslim yang sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk secara teratur menghafal al-quran, demikian kuat terhadap prilaku Iqbal dalam hidupnya secara menyeluruh.[4] Megenai nama ibunya Schimmul tidak menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal yaitu seorang perempuan taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demukian pula Iqbal juga mencintainya.[5] Jika pewarisan itu sanggup terjadi secara fisik berdasarkan gen, sepertinya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama – sama taat beragama. Iqbal berguru yang pertama kali di the Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Diantara guru-gurunya, selalu memperlihatkan dorogan bagi kemajuan pelajar muda itu yang tampak tertarik pada sastra dan agama begitu cepat. Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada tahun 1895 untuk melanjutkan study tingkat atasnya : ke kota yang merupakan salah satu pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu semenjak Ghaznawi berkuasa pada masa XI dan XII, dan khususnya pada priode simpulan Mongol di sekolah inilah Iqbal berjaya sanggup bertemu dengan Orientalis Inggris populer Sir Thomas Arnold yang segera menyadari kemampuan Iqbal.[6] Menurut Harun Nasution terdapat keterangan bahwa Sir Thomas yaitu yang mendorng perjaka iqbal untuk melanjutkan study di Inggris.[7] Ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 berguru falsafah dan hukum, guru terkemukanya di Cambridge yaitu nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia meninggalkan Inggris menuju jerman, mempelajari bahasanya di haidelbarg dan mengajukan tesisnya ihwal perkembangan metafisika di Persia (The development of Metaphisich in Persia) bulan November 1997 di Universitas Munich.[8]
Sesudah memperoleh gelar Dr. Phil dari Munich, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di ekspresi dominan semi 1908 ihwal topic – topic keislaman, kemudian kembali ke India pada ekspresi dominan panas.[9] Sejak itu ia memperlihatkan kuliah – kuliah ihwal filsafat dan sastra inggris. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.[10] Pada simpulan tahun 1928 dan ahad – ahad pertama tahun 1929 ia memperlihatkan kuliah di universitas tersebut yang kemudian dipublikasikan dengan judul Six Lectures on the Recontruction thought in islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi falsafah karya iqbal.[11] Dalam bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya dikala di pilih menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930 dikala itulah ia mengemukakan gagasannya yang amat monumental ihwal perlunya mewujudkan negara tersendiri bagi kaum muslimin yang terpisah dengan India yang Hindu.[12]
Pada bulan – bulan terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti konfrensi meja bulat II di London. Sekembalinya dari sana ia menghadiri Kongres Muslim Dunia di Jerussalem. Pada tahun 1932 Iqbal kembali lagi ke London untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar III.[13] Di pagi hari tanggal 21 april 1938 ia meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Dan memang ia meninggal dengan senyum ketenangan, seraya bibirnya menyebut Allah.[14]
B. KEADAAN MUSLIM INDIA
Komunitas muslim India sebagaimana juga komunitas muslim di daerah yang lain di hadapkan pada duduk kasus keterbelakangan yang amat jauh bila dibanding dengan dunia barat yang modern. Disamping itu komunitas muslim India juga diharapkan pada duduk kasus yang spesifik jikalau dibanding dengan saudara – saudaranya dikawasan lain.
1. Mereka hidup ditengah – tengah komunitas hindu yang mayoritas, yang secara etnis cultural dan agama amat berbeda. Hal menyerupai ini menjadi hambatan bagi upaya – upaya mengejar keterbelakangan dan ketertinggalan dengan dunia barat. Sementara itu alasannya – alasannya utama ketertinggalan tersebut sebagaimana terjadi dikawasan yang lain, terjadi pula dikawasan yang didiami oleh komunitas muslim India ini.
2. Stagnasi intelektual dalam wujud berkembang dan suburnya faham jabariyah dan tertutupnya pintu ijtihad.
3. Stagnasi sosial lantaran potensi umat terserap kedalam perilaku hidup zuhud dan thariqat, serta lenyapnya faham rasional yang menjadi dasar utama ilmu pengetahuan dan teknologi.
Iqbal tampil / memberi respon tidak saja terhadap problem spesifik komunitas muslim India, tetapi juga terhadap problema umum yang di hadapi oleh komunitas muslim di dunia islam secara keseluruhan. Respon yang ia berikan terhadap problem spesifik komunitas muslim India ia kemukakan pada tahun 1930 dalam rapat tahunan liga muslim, membentuk negara tersendiri bagi komunitas muslim yang terpisah dari India yang hindu. Ketika ia menyatakan : I Would Like To See the Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan Amalgamated Into a single state ( saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan barat laut, sindi dan balukistan menyatu menjadi satu negara ).[15] Kelanjutannya pada tanggal 14 agustus 1947 lahir sebuah negara yang berjulukan Pakistan. Iqbal yang telah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi komunitas muslim tersebut kemudian di pandang sebagai bapak Pakistan.[16]
C. PEMIKIRAN – PEMIKIRAN IQBAL
Sebenarnya semula sebelum pergi ke eropa – Iqbal yaitu seorang nasionalis India (an India nasionalist) yang menginginkan persatuan komunitas muslim dan komunitas hindu dalam satu tanah air, India. Namun sesudah kembali dari eropa ia menjadi penggagas pan islam (a champion of muslim nationhood).[17]
1). Obsesi Iqbal mengenai terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham pan islam. Ia menyatakan bahwa islam bukan nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan sebuah forum bangsa – bangsa yang mengakui adanya perbatasan – perbatasan artificial semua perbedaan rasial untuk mempermudah perkenalan belaka, dan bukan untuk membatasi cakrawala sosial para anggotanya.[18] Berdasarkan uraian ini tampak bahwa sekalipun Iqbal secara eksplisit menolak nasionalisme, namun secara implicit ia mengakui pentingnya nasionalisme yang tersubordinasi pada pan islam. Ia memang menolak faham nasionalis hanya lantaran di eropa faham tersebut mengandung bibit meterialisme dan atheisme. Disamping itu ia curiga adanya “konsep hinduisme dalam bentuk baru”.[19] Pada faham nasionalis India.
2). Respon Iqbal terhadap stagnasi intelektual umat islam termasuk juga komunitas muslim India ia sampaikan melalui kajian antara lain ihwal ego manusia: kebebasan dan keabadiannya.[20] Iqbal mengemukakan adanya kebebasan manusia, sebagai dasar adanya pertanggung jawaban. Ia memandang ego sebagai “a free personal causality”[21] yang dengan demikian ia menolak faham jabariyah, selanjutnya Iqbal mengemukakan bahwa faham tertutupnya pintu ijtihad sebagai “purofiction”[22]. Sebagai semata-mata fiksi, lantaran ijtihad itu bergotong-royong merupakan elan vital bagi dinamika islam, tentu penutupan pintu ijtihad itu sama sekali tidak sanggup dicarikan dasar legitimatifnya. Iqbal melihat adanya kominasi kaum konsertatif terhadap faham rasionalis dengan cara memakai otoritas syariat untuk membuat umat tunduk dan diam, sebagai salah satu alasannya terjadinya kebekuan aturan islam yang pada gilirannya menjadikan ijtihad sebagai suatu yang terlarang. Hal itu dilakukan semata-mata demi stabilitas sosial untuk mendukung kesatuan politik. Dalam kaitan dengan ini, upaya yang ditempuh oleh ibn taimiyah menolak pendirian bahwa keempat mazhab telah membahas semua duduk kasus yang dengan demikian ijtihad tidak diharapkan lagi, menarik minat Iqbal.[23]
3). Selanjutnya Iqbal melihat kezuhudan juga turun bertanggung jawab terhadap kemunduran umat, lantaran umat akan terbawa pada penolakan hidup materi untuk semata mencurahkan seluruh potensi pada ritus-ritus keagamaan semata.[24] Dalam kaitannya dengan ini sepertinya kezuhudan yang kuat di India juga di persubur oleh faham – faham keagamaan di luar islam menyerupai faham agama budha, yang penganjur utamanya yaitu ghautama jelas-jelas telah melepas kehidupan materialnya dalam upaya untuk menemukan hakikat hidup nirwana.
Jatuhnya kota Baghdad berdasarkan Iqbal merupakan puncak penyebab kebekuan intelektual kaum muslimin. Seperti diketahui Baghdad merupakan pusat kemajuan pemikiran islam hingga pertengahan masa ketiga hijriyah. Ditambah lagi adanya perilaku kaum konserpatif menolak negara untuk pembaharuan dalam bidang aturan islam untuk kemudian berpegang teguh pada produk ijtihad ulama pada masa dahulu, benar – benar mempunyai peranan besar terhadap terjadinya stagnasi intelektual tersebut. Terapi yang diberikan oleh Iqbal ialah menghidupkan kembali upaya ijtihad secara bebas. Lebih jauh iqbal mengemukakan pentingnya pemindahan otoritas ijtihad dari wakil – wakil mazhab kepada dewan islam, dan ia menyatakan inilah kemungkinan ijma` cukup umur ini sanggup terjadi.[25] Ijtihad berarti upaya mencurahkan segenap kemampuan intelektual, dan ini berarti menempatkan budi pada kedudukan yang tinggi. Bahkan berdasarkan Iqbal ijtihad merupakan “the principle of movement in the structure of islam”.[26] Dengan demikian dalam konsep ijtihad terdapat pula aspek perubahan , lantaran dengan adanya perubahan itulah ijtihad perlu dilakukan. Dengan adanya perubahan, sekaligus perkandungan dinamika kehidupan umat manusia, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat cerdik sekali menemukan fatwa dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hamper pada semua segi, termasuk jatuh bangunnya suatu umat juga tidak terlepas dari prinsip dinamika ini. Harun nasution menyimpulkan bahwa faham dinamisme yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India.[27] Memang terapi Iqbal dengan faham dinamikanya ini amat sempurna dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim ditengah – tengah komunitas hindu yang mayoritas, lantaran dengan menyuntikkan kapsul dinamika itu kedalam komunitas muslim menimbulkan mereka sanggup tampil dengan eksistensi secara penuh.
Dalam syair-syairnya sebagaimana dinyatakan oleh harun nasution Iqbal mendorong umat islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam, intisari hidup yaitu gerak, sedang aturan hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat islam supaya bangun dan membuat dunia baru.[28] Untuk keperluan ini umat islam harus menguasai ilmu dan teknologi, dengan catatan semoga mereka berguru dan mengadopsi ilmu dari barat tanpa harus mengulangi kesalahan barat memuja kekuatan materi yang menyababkan lenyapnya aspek etika dan spiritual.[29]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Rusyd yaitu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad yang bergelar Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd kelahiran Cordova pada tahun 520 H / 1126 M. Ibn Rusyd yaitu seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Sebagai seorang ulama besar Ibn Rusyd melahirkan banyak karya. Diantara karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
1. ahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
2. Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
3. Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
4. Taslul, Tentang Ilmu kalam.
5. Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
6. Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
7. Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
8. Risalah al-kharaj (tentang perpajakan)
9. Al-da’awi, dan lain-lain.
Sementara itu, Ibn Rusyd juga memperlihatkan sanggahan kepada al-Ghazali yang mengkafirkan para filosof. Tidak terlepas dari itu, Ibn Rusyd juga memperlihatkan tanggapan terhadap pandangan al-Ghazali menyangkut aturan kausalitas dan mukjizat.
Tidak terlepas dari teori emanasi (pancaran), Ibn Rusyd juga mengkritik para filosof muslim yang menyampaikan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu. Bagi Ibn Rusyd, yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.
Sebagai ilmuan besar, efek Ibn Rusyd menjalar hingga ke Eropa. Ibn Rusyd lebih dikenal dan kuat besar di Eropa sebagai intelek yang telah menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara asli sesudah usang terkubur di masa pertengahan. Sehingga muncullah aufklarung (Renaissan) sesudah usang terjadi kemandekan dan pergulatan. Di sini Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar karya Aristoteles banyak berperan.
Sumber http://gad0-gado.blogspot.com/
0 Response to "Makalah Meneladani Tokoh Tasawuf Ibnu Rusyd & Muhammad Iqbal"
Posting Komentar