Limbah Elektronik (E-Waste)


E-Waste atau limbah elektronik ketika ini merupakan problem lingkungan global yang muncul di hampir semua negara dibelahan dunia manapun juga. Percepatan penemuan teknologi di bidang elektronik ternyata tidak sebanding dengan penemuan teknologi daur ulang elektronik, sehingga membuang ke TPA bersama limbah-limbah yang lain ialah menjadi pilihan pertama. Percepatan pertumbuhan industri elektronik ketika ini dikombinasikan dengan produk yang cepat lama lantaran produk generasi yang lebih gres sudah muncul lagi. Karena penemuan teknologi yang dikembangkan ketika ini ternyata bukan teknologi yang tahan lama, sehingga mendorong konsumen untuk mengganti barang elektroniknya dengan yang baru dalam kurun waktu yang lebih cepat.  Revolusi industri jumlah alat-alat elektrik dan elektronik yang dijual di pasar dunia mencapai puncaknya sekitar tahun 1980 hingga dengan 1990, dimana peralatan tersebut mempunyai masa pakai antara 10 hingga dengan 20 tahun (Nnoromon, 2009). Di beberapa negara eropa dan Amerika pembuangan limbah elektronik ialah dengan cara mengirim limbah tersebut ke beberapa Negara berkembang di Asia dan Afrika ibarat China, Indonesia, Vietnam dan lain-lain. Riset yang dilakukan oleh Zoeteman et al 2009 menyatakan bahwa  sekitar 80% dari total limbah elektronik yang dihasilkan dibuang atau dikirim ke negara-negara di Asia dan Afrika.


Gambar Peralatan Elektronik rusak


Parlemen Uni Eropa dalam instruksinya No. 2002/96/EC menggolongkan jenis-jenis limbah elektrlkal dan elektronik yang termasuk dalam e-waste, antara lain:

  1.  Peralatan rumah tangga berukuran besar (Large household appliances, berlabel LargeHH). Masuk kategori ini diantaranya mesin pendingin ruangan (AC), mesin cuci, lemari es, kulkas, oven.
  2.  Peralatan rumah tangga berukuran kecil (Small household appliances, berlabel small TH-1), ibarat kipas angin, kompor, blender, toaster, vacuum cleaner.
  3. Peralatan komunikasi dan teknologi informasi (IT & telecommunications equipment, berlabel ICT). Komputer, laptop, printer, telepon, modem, handphone, mesin fax, mesin scan, baterai, kalkulator masuk dalam kategori ini.
  4. Peralatan hiburan elektronik (Consumer equipment, dengan label CE); yaitu TV, radio, pemutar DVD/VCD.
  5. Perlengkapan pencahayaan (Lighting equipment, dengan label Lighting).
  6. Alat-alat listrik dan elektronik (Electrical and electronic tools, with the exception of large scale stationary Industrial tools, dengan label E&E tools). Masuk kategori ini salah satunya ialah mesin bor.
  7. Mainan elektronik dan peralatan olahraga (Toys, leisure and sports equipment, dengan label Toys).
  8. Perangkat medis (Medical devices-with the exception of all implanted and infected products, dengan label Medical Equipment).
  9. Alat monitoring dan alat kontrol (Monitoring and control instrument, dengan label M&C).


Semua jenis yang dikelompokan oleh Uni Eropa, merupakan hal yang jamak diketemukan di rumah tangga Indonesia. Artinya, secara eksklusif Indonesia juga bertanggung jawab dengan keberadaan e-waste.
Limbah elektronik dan limbah peralatan listrik menggambarkan perangkat listrik atau elektronik yang sudah terpakai lagi dan dibuang sebagaimana sampah padat rumah tangga. Belum ada kesepakatan secara bersama di hampir semua Negara-negara di dunia mengenai pengertian dari limbah elektronik ini. Di Indonesia, selain mengacu pada perjanjian internasional ibarat konvensi Basel, penanganan limbah B3 diatur dalam beberapa peraturan antara lain; Kerpres 61/1993 wacana Ratifikasi Konvensi Basel, Perpres 47/2005 wacana Ratifikasi Ban Ammendement, UU Nomor 32 Tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 18/1999 jo PP Nomor 85/1999 wacana Pengelolaan Limbah B3, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa limbah elektronik atau E-Waste ialah menjadi gosip global yang keberadaannya sanggup berpotensi mengakibatkan problem negatif, ibarat problem lingkungan, kesehatan dan lain-lain.  Disamping problem negatif, di beberapa Negara berkembang justru terjadi bahwa limbah elektronik mempunyai potensi  peluang bisnis yang cukup siginifikan, hal ini disebabkan dalam limbah elektronik masih mengandung beberapa elemen dan komponen yang masih sanggup di daur ulang ibarat besi, tembaga, aluminium, emas dan logam lainnya serta plastik (Widmer et al., 2005). Di Indonesia pemanfaatan (daur ulang) limbah elektronik merupakan fenomena yang cukup menarik, hal ini disebabkan lantaran tingginya harga komponen-komponen limbah elektronik tersebut. Disamping itu masyarakat di Indonesia masih mempunyai kebiasaan untuk tetap mempertahankan barang-barang elektro mereka walaupun kondisinya sudah tidak berfungsi lagi lantaran life time-nya (usia pakai). Tetapi dengan cara mengirimkan peralatan elektronik tersebut ke tukang-tukang servis elektronik menjadikan usia pakai barang elektronik tersebut menjadi lebih panjang lagi. Daur ulang yang ada di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh para pelaku sector informal atau  biasa disebut dengan backyard recycling (dilakukan di belakang rumah). Proses daur ulang yang terjadi sangat berpotensi terhadap pencemaran lingkungan dan membahayakan kesehatan manusianya. Sementara itu sikap dan sikap konsumen berdasarkan Lim (2010) dalam membeli barang-barang elektronik menjadi lebih tinggi danmengabaikan untuk mengembalikan barang-barang elektronik yang sudah menjadisampah kembali ke produsennya.

Pembuangan atau pemanfaatan kembali limbah elektronik (electronic waste/e-waste) perlu diwaspadai lantaran mengandung banyak material berbahaya dan beracun, dimana sebagian besar dikategorikan sebagai materi beracun dan berbahaya, ibarat logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya). Penelitian yang dilakukan oleh Fishbein (2002);Scharnhorst et al (2005), menyatakan di dalam komponen penyusun barang-barang elektronik ditemukan materi beracun ibarat arsenik, berilium, kadmium dan timah yang diketahui sangat presisten dan sebagai substansi bioakumulasi. Apabila selama proses perbaikan dan daur ulang dari E Waste tidak terkendali maka beberapa materi kimia tersebut sanggup terlepas ke lingkungan.


Peraturan untuk mengelola sampah eletronik di negara-negara maju,  telah diterapkan oleh pemerintahnya. Misalnya melalui hukum yang mengharuskan produsen melaksanakan penarikan barang-barang elektronik yang diproduksi dan program-program pengumpulan sampah elektronik. sebagai teladan di Jerman telah memiliki organisasi dukungan lingkungan dimana semenjak delapan tahun kemudian bersama perusahaan yang bergerak dibidang telekomunikasi Jerman, sudah memulai agresi pengumpulan telepon seluller bekas. Aksi ini ternyata sangat menguntungkan lantaran sanggup menghemat materi baku yang semakin langka (Hanafi et al 2011), sementara di negara Amerika sudah mempunyai peraturan yang tidak memperbolehkan penduduknya untuk membuang komputer bekas (E Waste) di kawasan pembuangan sampah.

E Waste mempunyai tipikal yang tidak sama dengan sampah padat yang dihasilkan dari rumah tangga. Sehingga mengakibatkan definisi terhadap E Waste sangat bergantung pada perspektif tiap orang. Di negara berkembang ibarat di Indonesia belum ditemukan kesepakatan mengenai definisi yang standar atau yang berlaku umum. Dalam penelitian yang dilakukan Damanhuri dan Sukandar, 2006, menyatakan .E Waste juga tidak ditemukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Hal ini disebabkan lantaran adanya aliran E Waste di masyarakat pada sektor informal yang dilakukan oleh jasa perbaikan dan perdagangan secondhand (Triwiswara, 2009). Di Indonesia barang-barang secondhand (bekas) elektronik, peralatan elektronik atau elektronik diperbaharui atau rekondisi dibentuk dari komponen E Waste dapat bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu untuk membeli yang baru. Mereka juga mempertimbangkan laba dari memakai jenis elektronik untuk menghasilkan pendapatan pada keterampilan dengan modal yang rendah.  Kebiasaan masyarakat di Indonesia yang jelek terhadap E Waste mengakibatkan E Waste tidak ditemukan di kawasan sampah. Perpanjangan pedoman E Waste dilakukan masyarakat dengan melakukan praktek-praktek informal ini sanggup mengakibatkan efek negatif terhadap kesehatan dan lingkungan. Menurut Damanhuri dan Sukandar (2006), permasalahan E Waste di Indonesia tidak hanya melibatkan sektor formal saja, tetapi terungkap bahwa tugas sektor informal sangat besar. Hal ini disebabkan istilah E Waste masih belum bersahabat bagi kebanyakan orang di Indonesia.

Meningkatnya jumlah limbah elektronik di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain (1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste kepada publlk; (2) Belum adanya kesadaran public dalam mengelola e- waste untuk penggunaan skala rumah tangga (home appliances); (3) Pemahaman yang berbeda antar institusi termasuk Pemda wacana e-waste dan tata cara pengelolaannya; (4) Belum tersedianya data yang akurat jumlah penggunaan barang-barang elektronik di Indonesia; serta (5) Belum tersedianya ketentuan teknis lainnya, semisal umur barang yang sanggup diolah kembali.  Lonjakan e-waste yang paling sensasional terjadi pada produk telepon seluler (ponsel). Saat ini hampir setiap orang memilki sebuah ponsel atau bahkan leblh, ini tentu akan mensugesti jumlah e-waste yang dibasilkan. E-waste tertinggi berlkutnya ialah televisi yang kemudian dikuti oleh kulkas. Artinya bahwa meningkatnya jumlah e-waste terkait erat dengan peningkatan penggunaan alat elektronik yang ketika ini sudah menjadi gaya hidup masyarakat dunia.


Referensi :
  • Agustina, H. 2007. Identification of E-Waste and second hand e-products in Indonesia. Regional Workshop on Prevention of Illegal Transboundary Movement for Hazardous Waste in Asia. Beijing, China.’ 
  • Damanhuri, E. Dan Sukandar,. Preliminary Identification of E-Waste Flowin Indonesian And its Hazard Characteristic, Proceedings of Third NIES Workshop on E Waste, Japan:2006 
  • Artiningsih A.Komang,. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga(2008) 
  • Atmosutarno Sarwoto., Ketua Umum ATSI Asosiasi Telepon Seluler Indonesian (ATSI) di sela pembukaan FKI & ICS 2010 di Jakarta Convention Center, 14 Juli 2010. 
  • Hanafi Jessica et al., The Prospects of Managing WEEE in Indonesian. 18th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering, Braunschweig, 2011
  • Nnorom I.C., Survey of willingness of residents to participate in electronic waste recycling in Nigeria – A case stud of mobile phone recycling. Journal of cleaner production 2009; 17:1629-1637. 
  • Huang P, Zhang X, Deng X. Survey and analysis of public environmental awareness and performance in Ningbo, China: a case study on household electrical and electronic equipment. Journal of Cleaner Production 2006; 14: 1635–43 
  • Nnorom IC.,Ohakwe J.,Osibanjo O.,Survey of willngness of residents to participate in electronic waste recycling in Nigeria:Acase study of kendaraan beroda empat phones.,Clear Production,2009; 17,1629-1637 
  • Nnorom IC, Osibanjo O., Toxicity characterization of waste mobile phone plastics 2009; Journal of Hazardous Materials,161,183-188 
  • UNEP., Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal, United Nations Environment Programme. http://www. basel.int/, 2009. 
  • Wahyu,IM., Winardy,D., Damanhuri,E., Padmi, T., Identifikasi Material E-Waste Komputer dan Komponen Daur Ulangnya di Lokasi Pengepulan E-Waste. Bandung, 2010. 
  • www.ylki.or.id/kandungan-berbahaya-dalam-e-waste.html (diakses tanggal 23 Juli 2013)
  • Widi Astuti, Purwanto, Enri Damanhuri, Studi Persepsi Dan Perilaku Jasa Servis Dalam Memperpanjang Aliran Limbah Elektronik (E Waste) Di Kota Semarang, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang, 11 September 2012 
  • Zoeteman, B., H. R. Krikke, and J. Venseelaar. 2009. Handling electronic waste flows: on the effectiveness of producer responsibility in a globalizing world. Center Discussion Paper Series: 2009-74.




Sumber http://rimantho.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Limbah Elektronik (E-Waste)"

Posting Komentar