Sejarah Yogyakarta (20): Sejarah Kadipaten Pakualaman, Pemekaran Tempat Ala Tempo Dulu Masa Inggris; Colonel Gillespie, 1812
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Kadipaten Pakualaman, sekarang lebih dikenal sebagai Kecamatan Pakualaman di Kota Jogjakarta. Namun di masa lampau, kecamatan ini yakni sebuah kerajaan yang persis benar-benar berada di tengah-tengah wilayah Kesultanan Jogjakarta. Di Hindia (baca: Indonesia) ‘kerajaan di dalam kerajaan’ itu tidak lazim. Tetapi, faktanya di wilayah Jogjakarta benar adanya.
Kadipaten Pakualaman, sekarang lebih dikenal sebagai Kecamatan Pakualaman di Kota Jogjakarta. Namun di masa lampau, kecamatan ini yakni sebuah kerajaan yang persis benar-benar berada di tengah-tengah wilayah Kesultanan Jogjakarta. Di Hindia (baca: Indonesia) ‘kerajaan di dalam kerajaan’ itu tidak lazim. Tetapi, faktanya di wilayah Jogjakarta benar adanya.
![]() |
Pakoe Alaman (Peta 1903) |
Wilayah Pakualaman tidak hanya Kadipaten Pakualaman di Kota Jogjakarta tetapi juga wilayah Adikarto yang berada di wilayah pantai selatan Jawa. Namun yang tetap menarik untuk diketahui yakni bagaimana Kadipaten Pakualaman melepaskan diri dari Jogjakarta dan bagaimana tugas Colonel Gillespie, Komandan Inggris dalam hal ini. Mari kita telusuri.
Colonel Gillespie vs Daendels: Proklamasi, 31 Januari 1812
Setelah terjadi penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintah Inggris (India Timur), Letnan Gubernur Raffles mulai menjalankan pemerintahan yang ditandai suatu proklamasi yang dilakukan di Molenviel, Batavia pada tangga 21 Januari 1812 (lihat Java government gazette, 29-02-1812). Dalam proklamasi ini Dewan Kehakiman dan Polisi disahkan. Proklamasi ini memakai dua bahasa, Inggris dan Belanda. Tiga tokoh utama yang hadir dalam proklamasi ini yakni Lieutenant Governor, Mr. Muntinghe (ketua dewan) dan Colonel Gillespie. Proklamasi ini dihadiri oleh banyak penduduk pribumi.
![]() |
Java government gazette, 29-02-1812 |
Java government gazette yakni surat kabar berbahasa Inggris yang telah menggantikan surat kabar berbahasa Belanda sebelumnya. Edisi pertama surat kabar Java government gazette yakni tanggal 29-02-1812 yang di dalamnya diberitakan proklamasi pemerintahan Inggris di Hindia dimulai. Surat kabar ini yakni satu-satunya dan terbit dua kali sepekan. Surat kabar inilah yang memberitakan hari demi hari perihal persitiwa yang terjadi yang sekarang menjadi sumber sejarah Indonesia selama pendudukan Inggris.
Sebelum semuanya datang, Colonel Gillespie yakni pemimpin tertinggi di Batavia. Colonel Robert Rollo Gillespie yakni pemimpin perang ketika penaklukan Belanda di Batavia yang berpusat di Meester Cornelis (Java government gazette, 28-03-1812). Saat itu Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda yakni Daendels. Di kalangan orang-orang Eropa/Inggris, Colonel Gillespie disebut sebagai Pahlawan Meester Cornelis. Pada ketika ini boleh dikatakan Colonel Gillespie yakni panglima tertinggi di Jawa.
Robert Rollo Gillespie sejatinya sudah dinaikkan pangkatnya dari Colonel menjadi Majoor Generaal semenjak tanggal 1 Januari 1812. Ini sesuai keputusan dari kantor War Office tanggal 31 Desember 1911. Dalam keputusan sebanyak 23 Lieutenant Generaal menjadi Generaal; 16 Majoor Generaal menjadi Lieutenant Generaal; 30 Colonel menjadi Majoor Generaal, termasuk Robert Rollo Gillespie; 36 Lieutenant Colonel menjadi Colonel; 82 Majoor menjadi Lieutenant Colonel; dan 30 Captain menjadi Majoor (lihat Java government gazette, 22-08-1812).
Setelah proklamasi (pemerintahan pendudukan Inggris) militer Inggris yang (masih) terfokus di Jawa, langkah pertama yang dilakukan oleh Colonel Gillespie yakni membereskan watu sandungan (kraton) Djocjocarta. Sebab, wilayah-wilayah lain di Jawa di luar Docjpcarta relatif tidak ada penentangan, bahkan terkesan dari seluruh wilayah mendukung Inggris (yang dianggap relatif lebih adil bila dibandingkan VOC/Pemerintah Hindia Belanda), kecuali (kraton) Djocjocarta yang tidak bahagia dengan kehadiran Inggris. Sejarah Soeltan Agong seakan kembali di era pendudukan Inggris. Sultan Hamengkoeboewono II terinspirasi dari kakek buyutnya Soeltan Agoeng yang dulu berani melawan VOC/Belanda.
Colonel Gillespie eksklusif memimpin ekspedisi ke Palembang (lihat Java government gazette, 18-04-1812). Disebutkan pasukan di bawah Colonel Gillespie sangat bersemangat dalam perjalanan menuju ke Palembang ini. ‘Selama minggu terakhir kinerja yang sangat memuaskan telah diterima perihal kemajuan expediton yang belakangan berlayar dari Batavia, di bawah Colonel Gillespie. Pasukan dengan semangat tinggi dan dibutuhkan untuk mencapai tujuan mereka’.
Salah satu wujud kemeriahan terbentuknya pemerintahan di Jawa, pada tanggal 4 Juni diadakan pesta peringatan ulang tahun Raja ke-74 di Batavia (Java government gazette, 06-06-1812). Perayaan ini diadakan di lapangan Goenoeng Sahari. Pasukan Weltevreden di bawah komando Colonel Eales melaksanakan parade militer. Perayaan ini dipimpin oleh Muntinghe dan Gillespie yang dihadiri sekitar 300 orang. Muntinghe membacakan semacam kebanggaan untuk raja dan kerajaan dan kemudian kemudian diikuti Robert Rollo Gillespie memberi ucapan selamat satu per satu kepada: 1. Radja,..5. Lord Wellington, 6. Lord Minto. 7. Sir George Nugent, 8. Colonel Gillespie, 9. Sir Samuel Auchmuty, 10. Mr. Raffles, 11. Mr. Muntinghe. Dari daftar urutan ini mengindikasikan bahwa Colonel Gillespie mempunyai kedudukan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Mr. Raffles dan Mr. Muntinghe.
Lieutenant Governor pada tranggal 6 Juni 1812 mengirim surat dari Gouvernment House di Semarang kepada Colonel Gillespie untuk ucapan terimakasih berkat sukses yang telah diraih di Palembang (Java government gazette, 13-06-1812). Surat ini ucapan terimakasih ini dikirimkan sesudah Lieutenant Governor Raffles membaca laporan Colonel Gillespie. Lieutenant Governor Raffles berkedudukan di Semarang diduga terkait dengan perundingan pemerintah (Inggris) dengan (kraton) Sultan Djocjocarta.
Colonel Gillespie dan pasukan berangkat ke Palembang sesudah menerima laporan bahwa Residen Palembang (orang Belanda) dan beberapa orang Eropa telah dibunuh oleh Pangeran Ratoe di Palembang. Sultan Palembang tidak kuasa menahan anaknya Pangeran Ratoe melaksanakan pembantaian terhadap otoritas Belanda di Palembang. Colonel Gillespie berhasil mengendalikan situasi. Catatan: Pangeran Ratoe kelak dikenal sebagai Soeltan Mahmoed Badaroeddin II (lihat serial artikel sejarah Kota Palembang dalam blog ini).
Colonel Gillespie kembali ke medan perang sehubungan dengan semakin meningkatnya eskalasi politik anatar Inggris dan (kraton) Sultan Djocjocarta. Colonel Gillespie berhasil menaklukkan kraton Djocjocarta pada tanggal 20 Juni 1812. Kembali Lieutenant Governor Raffles dari Semarang mengirim surat ucapan terimakasih kepada Colonel Gillespie dan pasukannya (lihat Java government gazette, 04-07-1812). Dalam surat bertanggal 28 Juni 1812 tersebut kebanggaan kepada Colonel Gillespie. Surat ini merupakan respon terhadap laporan yang dibentuk oleh Colonel Gillespie.
![]() |
Java government gazette, 04-07-1812 |
Pasca proklamasi pemerintahan Inggris di Batavia tanggal 21 Januari 1812, Lieutenan Governor Raffles mengangkat residen untuk 16 residentie yang ditetapkan. Residen untuk Residentie Djocjocarta yakni Crawford. Langkah pertama yang dilakukan oleh Residen atau Controleur (sebagaimana halnya pada era Belanda) yakni melaksanakan kontak kerjasama (diplomasi) dengan pemimpin lokal yang dalam hal ini Sultan Djocjocarta (Sultan Hamengkoeboewona II). Namun dalam diplomasi ini terjadi buntu. Residen dan stafnya mulai menyusun taktik yang dituangkan dalam proklamasi yang disampaikan kepada Sultan (pada tanggal 18 Juni 1812). Sultan menolak. Tentu saja Sultan menolak. Pemerintahan pendudukan Inggris merasa mempunyai legitimasi sesudah penyerahan kekuasaan dari Belanda. Sebab selama ini Belanda menganggap Kesultanan Djocjocarta berada di bawah kekuasaannya. Klaim inilah yang dimajukan Inggris ke Sultan. Sebaliknya Sultan merasa mempunyai otoritas dan kekuasaan terhadap kerajaannya. Setelah penolakan proklamasi yang disodorkang Inggris, Sultan mulai memperkuat pertahanan kraton dan memperlihatkan perlawanan. Sikap dan tantangan dari Sultan ini diduga yang menjadi pangkal kasus perang.
Pangeran Natakoesoema vs Sultan Hamengkoeboewono II: Babad Pakoe Alam
Setelah Sultan Hamengkoeboewono II ditangkap dan Pengeran Adipati naik tahta menjadi sultan untuk menggantkan ayahnya. Pangeran Adipati diberi gelar sultan sebagai Hamengkoeboewono III. Dalam situasi dan kondisi ini kemudian Pangeran Natakoesoema mengambil laba dengan mengajukan pembebasan dari Kraton Djocjocarta sebagai negeri yang merdeka dengan bersedia memperlihatkan pertolongan terhadap Inggris. Sultan gres yakni Sultan Hamengkoeboewono III tak berdaya. Kesepakatan dengan Pangeran Natakoesoema dilihat Inggris sebagai hal yang menguntungkan. Inilah pangkal kasus munculnya perjanjian (plakat) suatu bentuk perjanjian yang didalamnya termasuk legalitas formil dengan mengangkat Pangeran Natakoesoema sebagai raja (adipati) dengan penetapan wilayah tertentu dengan gelar Pakoe Alam. Wilayah kerajaan gres ini kemudian disebut Kadipaten Pakoealaman pada tanggal 29 Juni 1813 (setahun sesudah kejatuhan Sultan Hamengkoeboewono III).
![]() |
Peta 1833 |
![]() |
Babad Pakoe Alam (1812) |
![]() |
Pakoe Alam II (Foto 1870) |
Satu peninggalan (warisan) yang penting dari Pakoe Alam I (Pangeran Natakoesoema) yakni Babad Pakoe Alam yang dibentuk pada tahun 1812. Babad ini berkisah perihal banyak hal. Babad ini dibuar pasca jatuhnya Sultan Hamengkoeboewono II dan sebelum pengangkatan dan peresmian Pangeran Natakoesoema sebagai Pakoe Alam I.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (20): Sejarah Kadipaten Pakualaman, Pemekaran Tempat Ala Tempo Dulu Masa Inggris; Colonel Gillespie, 1812"
Posting Komentar