Kisah Motivasi: Si Kurang Arif Yang Mencabik Buku Pelajarannya

" ... Kenyataan itu menjadi pencerahan terbaik dalam hidup bocah tersebut. Kini dia tahu apa problem yang dia hadapi sepanjang hidupnya ini. Kini dia tahu apa bergotong-royong yang membuatnya secara konsisten mendapatkan nilai di bawah 65. Sesungguhnya, bukan dia yang bodoh, atau otaknya yang kelewat bebal, tapi gaya belajarnya yang tak sesuai. Dia bukan tipe orang yang akan paham dengan mendengarkan ceramah, dia juga tak akan paham jikalau harus terus membaca, dia malah akan tambah galau jikalau disuruh melaksanakan latihan yang panjang dan penuh angka berlekukan. Dia pun akan melupakan apapun yang diminta untuk dihapalkan. Tapi dia akan dengan gampang memahami dan mengingat apa saja yang harus dia pelajari dengan menyalinnya. Semua goresan pena temannya di buku yang ia pinjam, baik itu materi pelajaran atau ulangan atau PR, dia salin ulang biar bisa memahaminya. Semua mata pelajaran dia salin ulang. Dari kelas tujuh hingga kini kelas delapan. Hasilnya, ibarat yang saya yakin sudah kau duga, dia menjadi juara ke 4 ketika naik ke kelas Sembilan..."

"....bahwa untuk membahagiakan orang renta tidak bisa dengan cara membawa mereka pada seluruh kemewahan dunia, tapi hanya dengan menunjukkan apa saja yang mereka minta biar bisa sibuk dan tak kesepian dalam hidupnya sehari-hari. Orang tuanya menentukan untuk beternak, maka itulah yang dia sediakan. Setiap ada liburan dia akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan dengan tekun akan menyimak dongeng mereka bahwa keadaannya ketika ini sudah mereka bayangkan jauh ketika dia masih kanak-kanak. Bagaimanapun, dia percaya pada dongeng kedua orang tuanya itu bahkan sebelum dia mengalaminya..."

Itulah dua penggal kisah yang ada dalam dongeng motivasi dibawah ini, baca hingga selesai biar sobat bersyukur, semangat belajar, menemukan cara terbaik dalam belajar, memahami materi dengan baik, menjadi orang sukses dan membanggakan orang tua.

Kisah Motivasi: Si Bodoh yang Mencabik Buku Pelajarannya


Aku akan menceritakan kisah ini padamu. Tidak untuk membuatmu menyukai tulisanku atau untuk membuatmu terkesan atau memujiku. Tidak. Bukan alasannya semua itu. Tapi alasannya kisah ini begitu mendesak untuk kututurkan. Begitu penting untuk diketahui banyak orang. Kuyakin kau nantinya akan sangat oke denganku bahwa memang kisah ini tidak bisa menunggu lebih usang lagi untuk disampaikan. Diperdengarkan. Dibacakan. Dibuat biar semua orang mengerti dan menyadari ada sesuatu yang besar di luar diri mereka. Yang bergotong-royong juga terdapat dalam diri mereka. Sesuatu itu menunggu untuk dilecut dan dibangkitkan. Aku memikirkan mengenai semua itu. Inilah ceritaku.

Ilustrasi
Dia seorang anak dari keluarga kuli bergairah bergaji rendah. Masa kerja yang sudah melampaui angka dua puluh tahun sama sekali tidak menambah jumlah gajinya. Ayahnya bekerja di salah satu gudang bulog beberapa kilometer di luar desa. Bukan sebagai satpam atau sopir truk. Apalagi sebagai pencatat keluar masuknya barang atau bab keuangan. Melainkan sebagai pengangkut karung-karung beras raksasa dari truk-truk renta ke dalam gudang pengap lagi panas tersebut. Dia sudah bekerja ibarat itu semenjak memasuki usia SMA. Dia tidak sekolah SMP, juga tidak tamat SD. Semenjak memulai kerja sebagai buruh bulog, hidup dan harapannya ditumpahkan pada panen para petani di sawah-sawah nun jauh di sana dan berlanjut hingga kini dia beristri dan beranak. Anak yang mulai sekolah SMP.

Istrinya bekerja di kawasan penyelepan beras. Dan, sama ibarat suaminya, dia mulai bekerja di sana semnejak memauki usia SMA. Tidak pernah memasuki Sekolah Menengah Pertama dan beruntung alasannya berhasil menamatkan SD. Dia pun menggantungkan kehidupannya pada panen para petani yang sawahnya membentang luas tak jauh dari kawasan kerjanya.

Bekerja sebagai buruh di gudang yang sama sekali tidak menuntutnya untuk membaca apapun, ternyata tak mencegah sang bapak untuk mempelajari sesuatu. Pastinya itu bukan matematika, bukan pula kimia atau fisika, apalagi Bahasa Inggris. Bahkan Bahasa Indonesia pun tidak. Dia tidak mempelajari semua itu—lebih tepatnya dia tidak berinteraksi dengan semua itu, dia hanya berurusan dengan tulang, otot dan beban. Yang ketika ketiganya disatukan maka terciptalah keringat dan kelelahan. Nah, satu hal yang telah dipelajari dengan baik oleh bapak tersebut ialah bahwa orang-orang yang kerjanya ringan tapi bergaji besar di lingkungan gudang itu ialah orang-orang yang sekolahnya hingga tamat Sekolah Menengan Atas kemudian melanjutkan kuliah. Itulah yang dia sangat pahami dan yakini. Oleh alasannya itu, bersama istrnya, bapak tersebut menciptakan janji untuk mencurahkan seluruh tenaga dan uang mereka guna membiayai sekolah anaknya. Mereka tidak menabung untuk membeli televisi atau furnitur. Lemari pun cuma satu dan tidak pernah bertambah. Cat rumah tidak diperbarui. Perabotan dapur berbahan seng dan plastik. Mereka melaksanakan semua itu dengan sebuah perhitungan yang cermat dan matang.

Untuk mempunyai sebuah pesawat telivisi sungguh bukanlah sesuatu yang teramat sulit. Menabung selama lima bulan atau lebih sedikit pastilah cukup untuk membeli televisi ukuran 120, tapi sang bapak punya perhitungan yang jauh melebihi itu. Untuk sekedar membeli tv mereka hanya perlu mengeluarkan banyak uang sekali saja. Tapi nanti, sesudah tv itu dipasang di rumah dan disetel pada tiap kesempatan senggang, ia akan terus-terusan mengeruk uang mereka alasannya beban listrik yang bertambah. Maka televisi akan selalu menghabiskan uang yang susah payah mereka kumpulkan dengan sia-sia. Televisi ialah peti kotak yang berbahaya dan mengancam bagi harapan sebuah keluarga.

Membeli lemari gres pun bukanlah sesuatu yang terlalu berat. Menabung selama setahun atau lebih sedikit pastinya cukup untuk membeli sebuah lemari gres dengan materi kayu tak terlalu jelek. Tapi bapak punya pertimbangan cerdas untuk memutuskan tidak membeli lemari baru. Jika kita beli lemari baru, Bu, katanya, kita tidak hanya akan mengeluarkan banyak uang sekali. Tapi sesudah itu, kita akan selalu dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Lemari gres yang kosong akan menuntut untuk diisi. Lemari itu akan menciptakan kita membuang-buang uang untuk beli pakaian, beli kain, beli barang-barang yang tak pernah dipakai. Itu semua belanja yang tidak ada gunanya. Begitu pula dengan cat rumah yang baru. Nabi tidak memerintah kita untuk ngecat rumah, kan? Tapi dia memerintah kita untuk menjaga kebersihannya. Kalau kita bisa menjaga rumah kita tetap higienis maka itu sudah cukup, Bu. Dengan demikian, istrinya pun tak pernah lagi memikirkan baju baru.

Tentang mengapa tak ada satupun perabotan dapur yang terbuat dari beling atau porselen, alasannya alasannya baik porselen maupun beling bisa pecah, piring beling kemungkinan besar tak akan bertahan melebihi lima tahun. Dan setiap kali ada yang pecah maka mereka harus membeli yang baru. Itu perbuatan yang sangat boros. Tanpa perlu dijelaskan, kedua pasangan suami isteri itu bersepakat untuk menggunakan perabot dari logam dan plastik. Piring plastik tidak akan pecah walau jatuh sepuluh kali dalam sehari. Gelas besi hanya akan penyok jikalau jatuh terlontar dari tangan. Maka jadilah rumah pasangan suami isteri itu begitu sederhana dan bersahaja. Lantas untuk apa semua uang yang mereka dapatkan dari membanting tulang di gudang bulog dan kawasan penyelepan padi?

Untuk biaya sekolah anaknya yang kini memasuki kelas 7 SMP. Pasangan suami isteri itu sangat perduli pada pendidikian anak semata wayang mereka. Karena sesudah puluhan tahun dihabiskan bekerja di gudang bulog, sang ayah berhasil mengambil satu pelajaran penting yang mengubah seluruh pandangannya wacana kehidupan: bahwa orang-orang yang kerjanya ringan dan bergaji besar di gudang bulog ialah orang-orang yang sekolahnya lulus Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas kemudian melanjutkan kuliah dan jadi jadi sarjana. Itulah ilmu terbaik yang berhasil dia dapatkan dari gudang kesakitan dan kelelahan itu. Dan ketika dia memberikan penemuannya tadi pada isterinya yang lugu, wanita taat itu pun mengiyakan dan mendukung semua keputusan suaminya berkenaan pendidikan anaknya. Pasangan suami isteri itu pun bersepakat memfokuskan semua uang yang mereka dapatkan untuk kepentingan pendidikan anaknya. Agar dia bisa masuk SMP, biar dia bisa lulus SMA, biar nanti bisa kuliah, biar nanti ketika pandai balig cukup akal dia tidak lagi menjadi kuli ibarat mereka, biar dia hanya duduk saja di samping kipas angin berputar mencatati karung-karung beras yang masuk dan pulang dengan honor besar. Itulah harapan kedua orang renta yang bersahaja itu.

Anaknya yang penurut itu paham sekali mengenai harapan dan harapan orang tuanya. Dia sudah menyaksikan bagaimana penderitaan dan kesusahan mereka. Bagaimana pekerjaan berat menuakan mereka lebih cepat dari yang bisa dilakukan waktu. Walau belum baligh, dia benar-benar memahami apa artinya hidup kekurangan dan penuh keterbatasan. Dia selalu mendengarkan petuah orang tuanya dengan tekun wacana pentingnya sekolah dan dia pun meyakini bahwa dirinya haram menjadi kuli, meneruskan penderitaan tujuh turunan yang diwarisi bapak ibunya. Anak itu demikian mengerti semua harapan ibu bapaknya dan demikian bekerja keras untuk menjadi buah hati yang mewujudkan harapan senang mereka. Dia anak yang bekerja keras di sekolah ibarat kedua orang tuanya bekerja keras di gudang dan penggilingan. Dia tak kenal lelah dalam mencar ilmu di kelas maupun di rumah sebagaimana kedua orang tuanya tak kenal lelah bekerja di waktu kemarau atau hujan. Semenjak kelas empat SD hingga masuk SMP, nilai anak itu selalu di bawah 65. Seperti kedua orang tuanya yang gajinya tak pernah di atas tiga ratus ribu.

Sayang sekali, anak itu bukanlah dari jenis yang bisa menciptakan orang renta bermimpi indah dengan meletakkan harapan di tangan anaknya. Dia bukanlah anak dari jenis yang menciptakan para orang renta gembira melekat hasil ulangannya yang 100 plus di ruang tamu biar dibaca semua tamu yang berkunjung. Dia bukan jenis anak untuk diceritakan kepada teman-teman kerja alasannya menerima hadiah dari guru atas prestasi gemilangnya.
Mengapa? Apakah dia kurang bekerja keras? Masih lebih banyak bermain dari pada belajar? Tidak. Bukan ibarat itu. Dia sudah bekerja keras. Sangat keras bahkan. Dia selalu belajar, dia tidak pernah melewatkan malam dengan bermain-main dan meninggalkan buku pelajarannya sendirian. Dia tidak melemparkan bukunya alasannya film kartun jepang sudah mulai tayang—Anda tentu masih ingat di rumahnya tidak ada televisi. Dia telah memulai hidup sebagai siswa yang tekun mencar ilmu semenjak kelas empat SD hingga kini memasuki kursi kelas 7 SMP. Dan nilai-nilai ulangannya masih saja di bawah 65.

Sewaktu duduk di kursi kelas empat SD, dia di luar bundar sepuluh besar. Kelas lima, dia menduduki urutan ke lima belas. Memasuki kelas enam, dia hampir saja tidak lulus. Dan, bagaimana dia bisa masuk ke Sekolah Menengah Pertama ialah alasannya sekolah tersebut sedang sangat membutuhkan murid. Siapapun akan diterima oleh kepala sekolahnya asal dia masih bernyawa dan bisa duduk di kursi kelas. Anak itu memenuhi kedua syarat utama tersebut.

Setiap kali usai ulangan, bahkan setiap hari sepulang sekolah, pada malam hari ke dua orang tuanya akan mengecek hasil ulangan dan buku-buku pelajarannya serta menyampaikan beberapa hal. Momen paling angker bagi anak itu ialah ketika mereka mengecek hasil ulangannya. Di situ, pada lembar kertas pengukur kepintaran tersebut, hampir selalu akan tertera angka 50, atau 45, atau 40, lebih sering 30, dengan tinta merah. Dan dia hanya bisa tertunduk membisu setiap kali ibu bapaknya mengamati angka-angka merah tersebut. Kemudian dia akan menjadi sangat murka pada dirinya sendiri alasannya kedua orang tuanya tidak pernah murka gara-gara nilai ulangannya.

Mereka hanya diam. Sama ibarat dirinya. Mereka tidak bertanya dengan gaya akal-akalan ndeso tapi menyindir sebagaimana dilakukan banyak ornag renta lainnya, Nak, apa ini? Angka apa ini? Melainkan mereka hanya menatapnya di wajah tak lebih dari lima detik, kemudian, ibarat yang selalu mereka lakukan, sang ibu akan mengelus rambutnya, sang bapak akan mulai bicara. Sekali lagi bercerita bahwa menjadi kuli itu susah. Menceritakan bahwa mereka tidak membeli banyak barang alasannya ingin selalu bisa membayar uang sekolahnya. Mencurahkan impian bahwa dia suatu hari nanti akan menjadi laki-laki sukses yang bekerja gampang tapi honor melimpah. Setelah itu, sama sekali tanpa menyinggung hasil ulangan hari itu, kedua orang tuanya akan pergi ke kamar dan tidur. Membanting diri dalam kelelahan sepanjang hari. Dan bocah itu akan mengutuki dirinya dan kebodohannya. Dia benci semua wacana dirinya. Dia sangat benci. Dan betapa orang tuanya memaafkan semua kegagalannya benar-benar membuatnya semakin terdorong atau mungkin tertekan untuk memperbaiki nilai-nilai ulangannya.

Ketika dia diterima masuk SMP, orang tuanya tentu sangat bahagia, dia pun demikian, salah satu pintu gerbang menuju kesuksesan masa depan telah berhasil dimasuki. Tapi justeru di situlah peristiwa itu lebih banyak menimpanya. Pelajaran di Sekolah Menengah Pertama benar-benar berbeda dengan semua yang biasa dia temukan di SD. Dia menemukan Bahasa Inggris yang benar-benar berdiri di luar pemahamannya. Dia juga bolak-balik menemukan kata interpretasi, apresiasi, efisiensi dalam buku Bahasa Indonesia yang sama sekali tak dia mengerti artinya. Dia pun tak bisa apa-apa setiap kali gurunya memberi kiprah mencari referensi konflik internaisonal, rekonsiliasi antar masyarakat, atau petaka di luar negeri alasannya dia tak pernah menonton apapun di rumahnya. Dia benar-benar merasa ibarat ikan yang diseret ke daratan dan dipaksa untuk berenang mengelilingi pulau gersang. Kenyataan itu mendesaknya untuk mencar ilmu tiga kali lebih rajin dan ulet dari pada sewaktu di SD hanya untuk mendapatkan nilai 30 setiap ulangan Bahasa Inggris, 45 pada ulangan Bahasa Indonesia, dan berkali-kali 0 besar untuk matematika.

Sekali waktu, dia pernah menyalahkan kedua orang tuanya atas kebebalan otaknya. Sejak kecil dia tak pernah diajari dengan baik dan benar oleh mereka. Kedua orang tuanya tak punya apa-apa untuk disampaikan selain dongeng capeknya bekerja dan capeknya bekerja dan lagi-lagi capeknya bekerja. Orang tuanya tidak bisa mengajarinya berhitung, atau menghapal kata-kata asing, tidak juga mereka menyediakan televisi biar dia bisa melihat apa yang terjadi jauh di luar negeri. Maka malam itu, di depan halaman buku-bukunya yang terbuka lebar, dia menjadi demikian murka kepada kedua orang renta yang selalu mengharapakan dan mempercayainya selama ini. Akan tetapi, pada ketika kemasygulannya memuncak, urat lehernya mengeras, cengkeraman tangannya menikam, begitu dia mendengar bunyi dengkur bapak ibunya yang bergetar, kemudian bunyi kibasan kipas anyaman bambu, disusul kemudian pukulan keras di kaki untuk mengusir nyamuk, dia pun teringat lagi betapa sudah susah payah ibu bapak yang tak sekolah itu untuk mengasuh, merawat dan mensekolahkannya. Mereka tak sempat untuk mendidiknya dengan layak alasannya keterbatasan tenaga dan ilmu, oleh alasannya itu mereka mati-matian berusaha biar dia tetap sekolah sebagai pengganti pendidikan yang harusnya dia dapatkan di rumah. Dia masih kelas tujuh waktu itu, tapi dia sudah memahami situasi berat di rumahnya. Maka malam itu pun dia menangis. Menangisi orang tuanya yang gulung tikar dari kecil hingga tua, menangisi kebebalan otaknya sehinga harus selalu mengecewakan setiap harapan. Dia menangisi semua itu.

Kemudian sampailah ketika ujian kenaikan kelas. Bocah itu lebih-lebih lagi bekerja keras, membaca ulang buku pelajaran dan berusaha mengerjakan PR-PR yang dia dapatkan. Orang tuanya sangat terkesan mendapati kegigihannya itu. Bapaknya pun berbisik pada isterinya, bagaimana kalau kita belikan susu biar anak kita tambah cerdas, biar dia naik kelas dan nilainya bagus? Maka setiap malam, sebelum sang ibu tidur, ketika bocah itu sudah mulai membaca buku pelajarannya untuk ujian esok hari, segelas susu hangat akan sudah tersedia di mejanya. Dia tersenyum senang, segera meneguknya, mendengarkan ibunya melangkah masuk ke dalam kamar, kemudian dia pun melanjutkan belajar. Membaca dengan semangat dan percaya diri. Maka dia pun naik kelas, dengan nilai paling rendah di antara semua siswa. Harusnya dia tak naik kelas, tapi alasannya pertimbangan syarat jumlah murid dalam satu kelas untuk mendapatkan proteksi pemerintah, dia pun dinaikkan. Menghadapi hasil ujian yang terpuruk ibarat itu, ibarat biasa, orang tuanya tidak memarahinya, tapi bercerita wacana lulus Sekolah Menengan Atas dan jadi sarjana. Malam harinya, bocah itu menangis di bawah bantal kumal.

Duduk di kelas delapan, keadaan tidak mengubah segala sesuatunya menjadi lebih baik. Suatu malam, ketika dia sedang mengerjakan PR yang harus dikumpulkan besok, ketika kedua orang tuanya sudah tidur istirahat, otaknya mampat semampat-mampatnya. Dia putus asa untuk mengerjakan matematika, dia pun pindah menekuni PR IPA, tapi tidak ada yang membaik. Dia pun menutup buku IPA dan beralih berusaha menerjemahkan bacaan Bahasa Inggris yang ditugaskan. Dia berhasil menerjemahkan perkata dengan proteksi kamus renta tapi hasilnya hanyalah susunan kata acak-kadut yang tak bisa dimengerti maksudnya bahkan oleh dirinya.

Dia menghela nafas dalam. Menutup mata dan bersiap menaruh pulpen ke kotaknya. Dengkur orang tuanya yang kelelahan tersampai ke telinganya. Dia pun mengambil lagi buku matematika, menggenggam pulpen dengan erat. Dia amati di sana bertengger angka-angka luar biasa menyakitkan kepala. Dia tutup lagi buku tersebut. Lalu segera mengambil IPA tapi tak ada yang bisa dia lakukan untuk menemukan kombinasi unsur-unsur pembentuk materi yang ditugaskan. Dia pun berpindah ke Bahasa Inggris dan hanya mendapatkan kejengkelan yang semakin memuncak. Malam itu, untuk pertama kalinya, kesabarannya habis.

Dia mengumpat. Memaki. Meludah ke tanah. Menyumpahi buku-buku pelajarannya. Diambilnya buku matematika dan dicabik-cabiknya tanpa ampun. Pelajaran sialan! Teriaknya dengan bunyi tertahan. Lalu diambilnya buku IPA dan Bahasa Inggris. Dirobeknya kedua buku tersebut hingga menjadi cabikan kecil. Kemudian dilemparkannya semua buku itu ke sudut rumah dengan kebencian menggelora. Tak terasa, air matanya meleler menggenangi pipi. Dia membenci semua hasil ulangannya. Terlebih lagi, dia membenci dirinya, membenci mengapa hanya untuk sedikit lebih baik dalam memahami pelajaran saja tidak bisa. Dia berharap biar orang tuanya memarahinya. Dia berharap biar bapaknya memukulinya, atau biar ibunya mencercanya. Membuat punggungnya bilur-bilur. Menjadikannya materi ajukan tetangga. Dengan demikian dia akan merasa telah membayar semua kesalahan. Tapi orang tuanya terus menyayanginya, terus memberikan harapannya, terus menceritakan cita-citanya. Orang tuanya tidak pernah berhenti percaya dan berharap padanya. Itulah yang semakin membuatnya membenci dirinya.

Lambat laun, sesudah tangis sesenggukannya reda, pikirannya kembali tenang, dia pun mendengar lagi bunyi pukulan-pukulan ringan tangan orang tuanya mengusir nyamuk. Di rumah itu hanya ada satu obat nyamuk bakar menyala, yaitu di bersahabat mejanya biar dia tidak terganggu ketika belajar. Orang tuanya membiarkan diri mereka dimakan nyamuk setiap malam, tapi mereka tak pernah rela anaknya diganggu nyamuk ketika belajar. Bocah itu pun kini gundah, dia gres saja merobek-robek bukunya. Dia tak bisa lagi belajar.

Ilustrasi
Pikiran-pikiran angker kini menghantuinya. Orang tuanya menyekolahkan dirinya, menyebarkan susu hangat ketika ujian, menyediakan obat nyamuk ketika mencar ilmu malam, bukanlah biar ia dengan tolol merobek-robek buku pelajaran. Dia pun panik. Segera dia turun dari kursinya, meliputi semua robekan kertas buku pelajarannya dan membawanya kebelakang rumah. Di sana, dia bakar tiga buku pelajaran itu. Kilatan api yang kuning menyala menari-nari di wajahnya. Dia menunggu hingga sobekan-sobekan itu hancur menjadi abu. Tak cukup hanya itu, dia menaburkan debu tersebut ke sekitar. Dia tak ingin orang tuanya tahu bahwa dia gres saja menghancurkan impian mereka. Walaupun itu hanya terjadi tak lebh dari lima belas menit, dia tak ingin orang tuanya tahu betapa anak kebanggaannya sangat gampang menyerah. Karena dia tahu sungguh menyaktikan hal itu bagi mereka berdua.

Setelah semua bersih, dia segera kembali ke kamarnya dan tidak meneruskan belajar. Dia ambil celengannya dan mengorek sejumlah uang cukup untuk membeli tiga buah buku. Esok harinya, dia berangkat ke sekolah lebih awal dan berusaha sesedikit mungkin menatap wajah orang tuanya, khususnya mata mereka. Walau mereka tak tahu apa yang telah terjadi semalam, walau tak ada satu orang pun yang memberi tahu mereka, tapi menatap mata kedua orang tuanya seakan bisa membongkar semua kejahatan yang dia sembunyikan. Hari itu dia tiga kali dieksekusi alasannya tidak mengumpulkan tiga PR. Dia bisa mendapatkan semuanya. Dan sebelum pulang sesudah jam pelajaran usai, dia meminjam buku matematika, IPA dan Bahasa Inggris pada temannya. Bocah itu telah memutuskan untuk membayar semua kesalahan yang telah dia buat. Dia akan menyalin semua pelajaran mulai dari semester pertama hingga semester ke dua.

Sesampainya di rumah, tidak dia tunjukkan buku-buku tersebut pada orang tuanya. Tentu saja. Dia bilang kalau ke tiga buku itu dikumpukan kepada guru maisng-masing. Walau pun hari itu terasa canggung dan tak nyaman tapi dia bisa melaluinya dengan baik. Sampai kesannya malam tiba dan jam belajarnya datang. Malam itu dia tidak membca buku ibarat biasanya, tapi menyalin buku temannya mulai dari halaman pertama hingga akhir. Dan, keajaiban itu pun terjadi. Inilah momen yang biasa kita sebut sebagai detik ketka doa terjawab dan dikabulkan. Malam yang penuh mukjizat.

Sementara dia menyalin, dia terkejut dengan kenyataan bahwa dia kini mulai memahami satu persatu apa-apa yang telah diajarkan gurunya yang sebelumnya tidak dia pahami, yang tadinya dia lupakan, yang tadinya tak dia mengerti sama sekali. Tiba-tiba semua itu menjadi demikian terperinci dan terang. Dia pun semakin semangat menyalin. Terkadang dia menebak apa kira-kira yang akan dia temukan pada kalimat berikutya dan ternyata dia benar. Gairahnya meningkat demikian pesat sampai-sampai dia tidak sadar sudah hampir empat jam dia habiskan menyalin buku IPA. Untuk pertama kalinya dia mencicipi kepuasan dalam belajar. Dia sama sekali tak mencicipi lelah. Juga tak ada jenuh. Pun tak ada frustasi. Semua yang dia lakukan malam itu terasa demikian gampang dan demikian mencerahkan. Malam itu dia rampung menyalin IPA dan tidur dengan tekad akan menyalin buku Bahasa Inggris besok malam hanya dalam semalam. Dan, itulah yang terjadi, esok malamnya ketika dia menyalin pelajaran Bahasa Inggris, ibarat sebuah keajaiban yang ditaburkan dari langit, tiba-tiba dia menyadari semua hal yang membuatnya tak paham selama ini, dia juga menemukan apa saja yang seharusnya dia pikirkan biar dia gampang memahami bahasa internasional tersebut, rumus dan kosa kata memb0mardir otaknya demikian cepat dan dia bisa menyerap semuanya. Bocah itu kini bisa berdiri tegak di kelasnya.

Tak ayal, guru dan teman-temannya dibikin kaget setengah mati ketika dia mengacungkan tangan untuk menuntaskan soal menciptakan kalimat Bahasa Inggris di papan. Dia maju dan mengambil kapur yang dengan tak yakin diulurkan sang guru. Di belakang, teman-temannya terkikik dan saling berbisik. Bocah itu dengan damai berdiri di depan soal. “make a sentence using one subject and two verbs”. Teman-temannya mulai tak mampu menahan tawa. Gurunya geleng-geleng kepala menerka bahwa untuk memahami pertanyaannya saja niscaya dia tak bisa. Tapi bocah itu maju satu langkah, kemudian, mulai menggoreskan kapur di tangannya. Sejenak semua hening dan tak lepas menatap gerakan tangannya. Kemudian, di papan hitam itu, tertulislah kalimat ini:
“I wrote a sentence and read it loudly”
Guru itu terdiam. Teman-temannya membaca dalam hati berulang-ulang. Mereka tak percaya dengan yang mereka saksikan. Tapi kemudian, tepuk tangan membahana ketika guru itu berteriak tak percaya: BENARRR!!! Kejutan pun dia pamerkan dalam pelajaran IPA dan Matematika. Dia yang paling semangat mengacungkan tangan ketika gurunya menanyakan apa saja referensi penyakit yang menular melalui sentuhan. Dia juga sekali lagi maju ketika guru matematikanya menunjukkan soal di papan. Ketika guru-guru tersebut berkumpul di kantor, mereka membicarakan bocah tersebut dengan antusiasme yang luar biasa. Terjerat antara heran dan terkesima sementara guru lainnya ingin tau dan tak percaya. Seorang guru IPS pun ingin membuktikannya sendiri. Tapi dia kecewa, alasannya bocah itu tetap saja ibarat hari-hari sebelumnya. Dia tidak tahu apa-apa. Dengan agak menggerutu, guru IPS itu menerka dia sedang dikerjai guru IPA, MTK, dan Bahasa Inggris bersama-sama.

Kenyataan itu menjadi pencerahan terbaik dalam hidup bocah tersebut. Kini dia tahu apa problem yang dia hadapi sepanjang hidupnya ini. Kini dia tahu apa bergotong-royong yang membuatnya secara konsisten mendapatkan nilai di bawah 65. Sesungguhnya, bukan dia yang bodoh, atau otaknya yang kelewat bebal, tapi gaya belajarnya yang tak sesuai. Dia bukan tipe orang yang akan paham dengan mendengarkan ceramah, dia juga tak akan paham jikalau harus terus membaca, dia malah akan tambah galau jikalau disuruh melaksanakan latihan yang panjang dan penuh angka berlekukan. Dia pun akan melupakan apapun yang diminta untuk dihapalkan. Tapi dia akan dengan gampang memahami dan mengingat apa saja yang harus dia pelajari dengan menyalinnya. Semua goresan pena temannya di buku yang ia pinjam, baik itu materi pelajaran atau ulangan atau PR, dia salin ulang biar bisa memahaminya. Semua mata pelajaran dia salin ulang. Dari kelas tujuh hingga kini kelas delapan. Hasilnya, ibarat yang saya yakin sudah kau duga, dia menjadi juara ke 4 ketika naik ke kelas Sembilan.

Berikutnya, dia lulus Sekolah Menengah Pertama sebagai salah satu lulusan terbaik di kabupatennya. Fotonya yang bersalaman dengan bupati dijadikan spanduk dan dipampang di gerbang sekolahnya. Orang tuanya menangis terharu ketika menyaksikan anak semata wayangnya itu naik ke pentas guna mendapatkan penghargaan dari kepala skeolah. Dia masuk Sekolah Menengan Atas tanpa membayar, beasiswa penuh sudah menunggunya bahkan beberapa Sekolah Menengan Atas memintanya untuk bersekolah di sana. Sejak semester dua kelas sepuluh hingga kelas dua belas, dia selalu ranking satu. Dan dia termasuk lima terbaik lulusan Sekolah Menengan Atas se-provinsinya. Kini, melanjutkan kuliah sama sekali bukan impian kosong baginya juga ke dua orang tuanya. Semua orang mengaguminya dan tiba-tiba merasa begitu bersahabat dengannya. Mereka menyebut namanya seakan mengenalnya. Karena dialah sang jagoan, anak miskin ndeso yang dengan mengagumkan telah membalik dunia hingga berjumpalitan. Tapi mereka salah. Mereka tak tahu semua hal wacana anak itu, mereka, kenyataannya, tak begitu mengenalnya, alasannya tak ada satu pun yang tahu bahwa di buku tulisnya, selalu ada dua catatan mata pelajaran yang sama. Satu dia tulis ketika duduk di kelas, satunya lagi dia salin dari buku temannya di kamarnya pada malam hari.
***
Sebenarnya, dia tidak selalu meminjam buku temannya untuk menyalin. Memasuki SMa dia mengmbangkan tekniknya sendiri untuk menguatkan pemahaman dan ingatannya. Malam hari, dia akan duduk dan mencoba mengingat semua kata-kata gurunya dan menyalin semua yang dia ingat, kemudian mencocokkannya dengan catatan yang dia buat di kelas dan menambahi bagian-bagian yang kurang.

Kini, 15 tahun telah berlalu semenjak insiden menyalin buku untuk pertama kalinya itu, sang bocah telah menjadi laki-laki pandai balig cukup akal dan menjabat sebagai CEO di sebuah hotel internasional yang berada Indonesia. Bahasa Inggris yang dulunya sangat asing baginya, kini dia fasih menggunakannya juga sedikit Bahasa Prancis yang sangat membantunya dalam melayani para customer elite yang kebanyakan dari Eropa dan Amerika. Sementara dia sibuk berkeliling dari ibu kota negara ke ibu kota propinsi, kedua orang tuanya tinggal di desa asal mereka dan sibuk beternak kambing. Bukannya dia menyingkirkan kedua orang yang berjasa itu, tidak, tapi begitulah caranya berbakti: dengan memenuhi apapun keinginan mereka tanpa memprotesnya sebagaimana mereka tak pernah memprotes nilainya yang buruk dulu sewaktu masih SD dan SMP. Dia tak memaksa orang tuanya biar tinggal di kota hanya biar mengukuhkan dirinya sebagai keluarga elit. Karena orang tuanya sama sekali tak mengerti bagaimana harus hdup di kota serumit dan sesibuk Jakarta. Dia tak memaksa keduanya untuk sekedar duduk di rumah glamor dan menonton televisi alasannya mereka lebih menentukan untuk tinggal di rumah sederhana sambil beternak kambing di kampung.

Sebagai seorang pimpinan yang telah bertemu banyak orang penting dari seluruh benua, dia telah berhasil mempelajari satu ilmu penting yang sangat-sangat berguna: bahwa untuk membahagiakan orang renta tidak bisa dengan cara membawa mereka pada seluruh kemewahan dunia, tapi hanya dengan menunjukkan apa saja yang mereka minta biar bisa sibuk dan tak kesepian dalam hidupnya sehari-hari. Orang tuanya menentukan untuk beternak, maka itulah yang dia sediakan. Setiap ada liburan dia akan berkunjung ke rumah orang tuanya dan dengan tekun akan menyimak dongeng mereka bahwa keadaannya ketika ini sudah mereka bayangkan jauh ketika dia masih kanak-kanak. Bagaimanapun, dia percaya pada dongeng kedua orang tuanya itu bahkan sebelum dia mengalaminya.

Satu hal yang dipelajarinya dari kisah hidunya sendiri ialah bahwa terkadang kita tampak ndeso bukannya alasannya kita memang bodoh, bukan pula alasannya otak kita yang lemah, atau alasannya kita tak mempunyai orang renta yang cukup pandai untuk mengajari semenjak kecil, bukan, tapi alasannya dua hal: kita kurang bekerja keras atau kita salah cara belajarnya. Ya, hanya dua itulah obat untuk kebodohan, bekerja keras (dalam belajar) serta mencar ilmu dengan cara yang benar. Kita kesulitan memahami suatu materi mungkin alasannya kita terlalu malas untuk mengulangnya lagi, atau, alasannya cara yang kita gunakan untuk menyerap materi tersebut tidak sesuai dengan cara yang digunakan otak kita. Maka, ketika kita sudah menemukan gaya mencar ilmu yang pas, dan kita tekun mencar ilmu dengan cara tersebut, sebuah lompatan prestasi quantum akan kita peragakan dengan memukau dan membanggakan.

Sumber :



Sumber http://realmaun.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Kisah Motivasi: Si Kurang Arif Yang Mencabik Buku Pelajarannya"

Posting Komentar