Sejarah Yogyakarta (26): Societeit, Klub Sosial Di Jogjakarta; Pandangan Gres Pembentukan Organisasi Modern Kebangsaan Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Di kota Jogjakarta tempo doeloe didirikan sebuah societeit yang diberi nama De Vereeniging, suatu klub sosial kemayarakatan bagi orang Eropa/Belanda. Klub sosial ini membangun gedung pertemuan sendiri di erat Kantor Residen. Societeit Vereeniging di Jogjakarta terkenal alasannya yakni mempunyai cabang aktivitas dalam penggalian sosial budaya di seputar Residentie Djocjocarta. Gedung bekas Societeit Vereeniging sampai ini hari masih eksis yang dijadikan sebagai Taman Budaya yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah spesial Yogyakarta.

Societeit 'De Vreeniging' di Jogjakarta, 1910
Societeit didirikan di semua kota-kota penting di Hindia Belanda, kota-kota dimana ditemukan cukup banyak (komunitas) orang Eropa/Belanda. Societeit terkenal di Batavia yakni Societeit Harmonie; Societeit Concordia di Bandoeng dan Soerabaja  Societeit dan gedung societeit ini berfungsi untuk pertemuan sosial, tempat pertemuan umum, tempat pagelaran musik, seni dan sebagainya dan juga untuk program perkawinan. Societeit juga menampung para peminat-peminat tertentu yang mengakibatkan societeit mempunyai cabang-cabang aktivitas menyerupai musik, aktivitas olahraga menyerupai pacuan kuda dan sebagainya.

Adanya societeit di sejumlah kota-kota besar di Hindia Belanda telah menginspirasi kalangan pribumi untuk membentuk societeit sendiri. Salah satu societeit pribumi tertua di Hindia Belanda (baca: Indonesia) yakni Medan Perdamaian di Kota Padang. Societeit Medan Perdamaian ini yakni organisasi kebangsaan Indonesia yang pertama didirikan tahun 1900. Societeit Boedi Oetomo sendiri didirikan tahun 1908. Lantas bagaimana riwayat Societeit Vereeniging di Jogjakarta yang juga menginspirasi munculnya klub sosial di kalangan pribumi di Jogjakarta? Mari kita telusuri.

Societeit ‘De Vereeniging’

Keberadaan societeit ‘De Vereeniging’ di Djocjocarta paling tidak sudah ada tahun 1844 (lihat Javasche courant,11-01-1845). Disebutkan seorang berjulukan J Carli telah mendapat beslit dari Residen Djocjocarta untuk membangun sebuah logement yang lokasinya berada di belakang Sociëteit de Vereeniging. Losmen (logement) itu sendiri diduga yakni losmen pertama di Djocjocarta, suatu losmen yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah hotel: Hotel Centrum. Pada tahun 1844. di beberapa kota sudah diketahui telah didirikan societeit menyerupai di Batavia, Soerabaja dan Padang.

Peta Jogjakarta, 1893
Societeit pertama yang didirikan yakni sosieteit di Batavia yang diberi nama Harmonie (yang menjadi asal-usul Harmoni di Jakarta kini ini). Societeit Harmonie muncul pada pasca pendudukan Inggris (1811-1815). Societeit ini mengambil nama Societeit Harmonie di Rotterdam. Pada mulanya societeit ini digagas oleh para pensiunan militer yang mulai bermasyarakat. Dalam perkembangannya, Societeit Harmoni menjadi berciri sipil. Lalu kemudian dibuat societeit gres yang dikhususkan untuk orang-orang militer di erat lapangan Banteng yang kini yang diberi nama Societeit Concordia. Lalu di Soerabaja didirikan societeit untuk kalangan militer yang mengambil nama Concordia. Pada tahun 1834 di Padang didirikan societeit yang digagas oleh seorang pensiunan militer.

Di Jogjakarta juga muncul klub sosial bagi pribumi, tetapi hanya terbatas untuk petinggi-petinggi pribumi dari kalangan pangeran, bupati dan lainnya. Namun klub sosial ini, menyerupai halnya klub sosial Belanda, tidak pernah berstranspormasi menjadi organisasi kebangsaan. Klub sosial (societeit) di Jogjakarta tetap sebagai societeit (klub sosial). Organisasi kebangsaan yang hadir di Jogjakarta hanya satu, dan satu-satunya, Boedi Oetomo yang ditetapkan Jogjakarta sebagai sentra (kantor pusat) pada Kongres Boedi Oetomo yang pertama pada tanggal 3-5 Oktober 1908.

Medan Perdamaian, Boedi Oetomo, Indisch Vereeniging dan PPPKI

Pada tahun 1900 di Kota Padang didirikan klub sosial yang diberi nama Medan Perdamaian yang didaftarkan kepada pemerintah sebagai tubuh hukum. Seperti halnya societeit orang-orang Belanda di banyak sekali kota di Hindia yang harus mempunyai statuta dan didaftarkan kepada pemerintah sebagai tubuh hukum, hal serupa ini juga yang dilakukan oleh pengurus Medan Perdamaian sebagai organisasi kebangsaan Indonesia yang pertama. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian mempunyai misi (ruang lingkup) nasional (lintas komunitas atau etnik dan lintas wilayah).

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900
Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian digagas oleh Dja Endar Moeda, seorang pemilik sekolah swasta di Padang dan pemilik surat kabar Pertja Barat dan sekaligus percetakannya (NV Snelpedrukkerij). Dja Endar Moeda mengakuisi surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat dan percetakannya pada tahun 1900 yang kemudian kemudian menebitkan dua media gres tahun 1900 yakni surat kabar berbahasa Melayu Tapian Na Oeli dan majalan dwiminggua Insulinde. Presiden pertama Medan Perdamaian yakni Dja Endar Moeda sendiri. Sebagai organisasi kebangsaan di Padang yang berorientasi nasional, pada tahun 1902 Medan Perdamaian memperlihatkan sumbangan sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan pribumi di Semarang. Dja Endar Moeda yakni mantan guru, alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1886. Haji Moehamad Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda yakni kelahiran Padang Sidempoean.

De locomotief, 21-08-1902
Pada tahun 1905 Dja Endar Moeda terkena delik pers. Dja Endar Moeda dieksekusi dengan sanksi cambuk dan diusir dari kota Padang. Kepemilikan Dja Endar Moeda di Padang dialihkan kepada adiknya Dja Endar Boengsoe yang juga mantan guru alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda hijrah ke Medan dan kemudian bersma Sjech Ibrahim, kepala kampong pertama (Kesawan) di Medan mendirikan sarikat kebangsaan yang diberi nama Sjarikat Tapanoeli yang mana sebagai administrator yakni Dja Endar Moedan dan wakilnya Mohamad Jacob dengan nama lain Sjech Ibrahim. Sjarikat Tapanoeli yang mempunyai nasional yakni organisasi kebangsaan Indonesia yang kedua sesudah Medan Perdamaian di Padang. Organ Medan Perdamaian di Padang yakni surat kabar Pertrja Barat dan organ Sjarikat Tapanoeli di Medan yakni surat kabar Pewarta Deli yang didirikan atas nama NV Sjarikat Tapanoeli. Editor pertama Pewarta Deli yakni Dja Endar Moeda. Motto surat kabar Pertja Barat yakni ‘Oentoek Sagala Bangsa’ dan motto surat kabar Pewarta Deli juga yakni ‘Oentoek Sagala Bangsa’. Sama persis alasannya yakni dimiliki oleh orang yang sama: Dja Endar Moeda.

Pada tahun 1908 di Batavia dibuat organisasi kebangsaan yang disebut Boedi Oetomo. Ini berarti organisasi kebangsaan Indonesia di Hindia Belanda sudah ada tiga: Medan Perdamaian (pusat di Padang, semenjak 1900), Sjarikat Tapanoeli (pusat di Medan, semenjak 1907) dan Boedi Oetomo (pusat di Batavia). Organisasi kebangsaan Boedi Oetomo digagas oleh (maha)siswa STOVIA yang dimotori oleh Soetomo dan kawan-kawan
.
Organisasi Boedi Oetomo sejatinya tidak murni dilakukan oleh mahasiswa STOVIA Soetomo dkk, tetapi dipicu oleh gagasan Dr. Wahidin Soedirihusodo yang telah lama berkecimpung di Jogjakarta dan sekitarnya dalam rangka meningkatkan status kesehatan penduduk. Dr. Wahidin juga melihat rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Tentu saja Dr. Wahidin melihat kemajuan yang terjadi di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli baik di bidang pendidikan maupun di bidang kesehatan penduduk. Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah mempunyai banyak sekolah, surplus guru dan surplus dokter. Salah satu teman sekelas Dr. Wahidin ketika kuliah di Docter Djawa School Dr. Madjilis sudah pula mempunyai lisensi untuk membuka praktek (klinik), suatu lisensi yang jarang diberikan kepada dokter alumni Docter Djawa School. Tentu saja Dr. Wahidin telah mengetahui guru terkenal dari Afdeeling Mandailing dan Angkola Dja Endar Moeda telah membuka sekolah swasta di Padang dan mempunyai surat kabar dan percetakan yang telah menggagas pendirian organisasi kebangsaan Medan Perdamaian. Lebih-lebih Dja Endar Moeda melalui Medan Perdamaian telah mengirim pertolongan sebesar f14.000 ke Semarang untuk peningkatan pendidikan. Fakta inilah yang dilihat Dr. Wahidin sehingga muncul gagasannya untuk membuatkan konsep pembangunan dan pengembangan penduduk melalui pembentukan organisasi kebangsaan. Pemikiran Dr. Wahidin ini disambut positif oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA asal Jawa. Lahirlah Boedi Oetomo.

Di Afdeeling Mandailing dan Angkola di Residentie Tapanoeli mulai diperkenalkan pendidikan modern (aksara Latin) semenjak tahun 1849. Pada tahun 1854 dua siswa dari Mandailing dan Angkola diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia (dibuka tahun 1851). Dua siswa tersebut (Si Asta dan Si Angan) merupakan yang pertama dari luar Jawa. Dua tahun berikutnya dua siswa diterima lagi di Docter Djawa School. Demikian seterusnya secara reguler diterima siswa dari Mandailing en Ankola. Sementara itu pada tahun 1857 seorang siswa asal Mandailing en Angkola Si Sati dengan nama terkenal Willem Iskander berangkat studi ke Belanda untuk mendapat sertifikat guru. Setelah selesai studi tahun 1861 kembali ke kampung halaman dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, onderafdeeling Mandailing. Setelah belasan tahun Kweekschool Tanobato ditutup alasannya yakni kweekschool yang lebih besar dibuka tahun 1879 di Padang Sidempoean, onderafdeeling Angkola dengan gurunya yang terkenal Charles Adrian van Ophuijsen. Beberapa lulusan Kweekschool Padang Sidempoean yang terkenal yakni Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (lulus 1884); Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (lulus 1887) dan Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, lulusan pertama Docter Djawa School dari luar Jawa)..  

Organisasi Boedi Oetomo secara defacta didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Namun dalam perkembangannya organisasi kebangsaan Boedi Oetomo dikooptasi oleh golongan senior yang kemudian misinya bergesar dari nasional menjadi kedaerahan (sesuai statutanya hanya terbatas di Jawa dan Madoera). Dengan berdirinya Boedi Oetomo, misi Dr. Wahidin terpenuhi, tetapi mahasiswa STOVIA agak kecewa. Hal ini alasannya yakni itu tadi, Boedi Oetomo telah dikooptasi oleh golongan senior termasuk Dr. Wahidin dan juga kecewa alasannya yakni misinya telah bergesar dari nasional menjadi kedaerahan. Golongan muda di dalam Boedi Oetomo secara perlahan tersingkir jelang kongres Boedi Oetomo (yang akan diadakan di Jogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908) termasuk Dr. Soetomo. Persoalan di Boedi Oetomo mendapat reaksi dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di Belanda.

Dalam kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta turut hadir beberapa pejabat Belanda. Dalam pidatonya seorang pejabat menyampaikan bahwa organisasi sejenis Boedi Oetomo sudah lama ada di Padang. Ini mengindikasikan bahwa para penerima kongres dan para pejabat Belanda yang hadir sudah mengetahui organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang yang digagas oleh Dja Endar Moeda. Dengan demikian, Boedi Oetomo bukanlah organisasi kebangsaan yang baru, tetapi yang gres diketahui yakni misi Boedi Oetomo telah bergeser dari misi nasional menjadi misi kedaerahan. Jelas dalam hal ini Pemerrintah Hindia Belanda diuntungkan alasannya yakni pemerintah sangat khawatir misi nasional semakin menguat. Satu pertanyaan yang belum terjawab sejauh ini yakni apakah pejabat Belanda telah turut mengubah misi Boedi Oetomo? Dan berusaha menghalangi semangat golongan muda dalam pembentukan organisasi (bermisi) nasional? Apakah Soetomo dkk di STOVIA telah dikorbankan jelang kongres Boedi Oetomo tersebut?

Sementara itu, mahasiswa senior di Belanda Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan merasa gerah bergesernya misi Boedi Oetomo ke tangan golongan senior (para pangeran dan bupati). Soetan Casajangan, alumni Kweekschool Padang Sidempoean yang tiba di Belanda tahun 1905 untuk melanjutkan studi mengundang semua mahasiswa Indonesia di rumahnya. Hasil keputusan yakni mendirikan organisasi mahasiswa di Belanda yang disebut Indisch Vereeniging dengan misi nasional yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 1908 yang mana Soetan Casajangan secara aklamasi diangkat sebagai Presiden. Sebagai sekretaris diangkat Raden Soemitro. Soetan Casajangan yakni adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda yakni pendiri organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang pada tahun 1900.

Dalam perjalanan waktu organisasi mahasiswa Indisch Vereeniging di Belanda dan Boedi Oetomo di Jawa yang berkedudukan di Jogjakarta terus dengan pendirian masing-masing. Indisch Vereeniging tetap dengan haluan nasional dan Boedi Oetomo tetap dengan sifat kedaerahannya yang hanya terbatas di Jawa dan Madoera. Selama itu pula Boedi Oetomo didukung habis Pemerintah Hindia Belanda dan selama itu pula Indisch Vereeniging terus diwaspadai pemerintah. Namun di Belanda, perhimpunan intelektual Belanda yang disebut Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) sedikit lebih mentolerir Indisch Vereeniging dan adakalanya mengundang Soetan Casajangan untuk berpidato di hadapan para anggota perhimpunan intelektual tersebut. Dalam suatu pertemuan tanggal 28 Maret 1911 di Leiden. Soetan Casajangan berdiri dengan sangat percaya diri dihadapan lembaga orang-orang Belanda tersebut dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). ..saya selalu berpikir wacana pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi seruan ini saya sangat bahagia untuk pribadi mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam lembaga ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).  

Dalam perjalanan waktu Indisch Vereeniging tetap eksis, tumbuh dan berkembang, tidak ada matinya. Pada tahun 1917 tiga serangkai dari Indisch Vereeniging Sorip Tagor Harahap, Dahlan Abdoellah dan Goenawan mengusulkan nama Indonesia dalam kongres mahasiswa asal Hindia di Belanda. Kongres tersebut dihadiri oleh mahasiswa Indo (orang Belanda kelahiran Hindia) termasuk HJ van Mook, mahsiswa Tionghoa dan mahasiswa pribumi (dari Indisch Vereeniging). Pada bulan Oktober 1920 kembali Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam lembaga yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memperlihatkan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan lembaga ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato alasannya yakni saya dianggap sebagai penggagas pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan karenanya tiba ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat dibutuhkan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang menciptakan ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang menyerupai (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya kini sebagai penafsir dari impian bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan gres ini...karena sanggup merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak sanggup tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap sanggup menjembatani perlunya kebijakan gres pendidikan...saya sangat bahagia hati Vereeniging Moederland en Kolonien sanggup mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya kalau dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Isi pidato ini sepertinya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Sebab berita dikala itu soal ketidakadilan terjadi dalam banyak sekali aspek menyerupai pendidikan dan keehatan dan terdapat dimana-mana termasuk di kantong-kantong perkebunan. Soetan Casajangan sendiri dikala ini yakni Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Yang tidak terduga, dalam lembaga ini turut dihadiri oleh Soeltan Djogjakarta. Sementara itu di tubuh Indisch Vereeniging pada tahun 1921 para pengurus yang dipimpin Dr. Soetomo mengubah nama organisasi menjadi Indonesiasche Vereeniging. Lalu yang terakhir pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah nama Indonesiasche Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).

Soetomo, ketua pendiri Boedi Oetomo lulus di STOVIA pada tahun 1912. Pada tahun 1913 Dr. Soetomo ditempatkan sebagai dokter pemerintah di Tandjong Morawa, Deli. Dr. Soetomo sangat kaget melihat penderitaan kuli asal Jawa di perkebunan. Dr. Soetomo di luar dinasnya melaksanakan advokasi kepada para kuli-kuli di perkebunan yang diperbudak para planter (pengusaha perkebunan). Pada tahun 1915 Dr. Soetomo dipindahkan dan kembali ke Jawa. Dr. Soetomo meminta diadakan rapat umum di Boedi Oetomo Afdeeling (cabang) Batavia cabang yang berbeda dengan cabang lain Boedi Oetomo. Cabang Boedi Oetomo di Batavia dipimpin oleh golongan muda terpelajar. Ketuanya yakni Dr. Sardjito. Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin: ‘Kita tidak sanggup hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita tidak sanggup lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.

Pada bulan April 1918 muncul serial artikel di surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan yang menurunkan laporan wacana kekejaman di perkubunan terhadap para kuli. Laporan itu dikirimkan oleh Parada Harahap seorang krani di perkebunan. Pada bulan Juni surat kabar Soeara Djawa melansir artikel-artikel tersebut. Muncul kehebohan terutama di Jawa. Saat itu Dr. Soetomo ditempatkan di Palembang. Boleh jadi Dr. Soetomo mulai tersenyum, ternyata ada yang peduli wacana penderitaan kuli asal Jawa di Deli. Akibat heboh itu, pemerintah melaksanakan penyelidikan. Yang mengirim laporan itu yakni Parada Harahap (di dalam artikel tersebut namanya disebut ananim). Parada Harahp dipecat sebagai krani dan kemudian menganggur dan melamar menjadi wartawan di Benih Merdeka. Pada tahun 1919 Parada Harahap mudik ke Padang Sidempoea dan mendirikan surat kabar gres dengan nama Sinar Merdeka.

Pada tahun 1919 Dr. Soetomo berangkat studi ke Belanda atas nama beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda. Satu bulan kemudian menyusul Dr. Sardjito disekolahkan ke Belanda. Pengiriman Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito diduga keras ‘diasingkan’ ke Belanda dengan memberi ‘sogokan’ dalam bentuk beasiswa. Ternyata di Belanda Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito sambil kuliah aktif berorganisasi di Indisch Vereeniging. Pada tahun 1921 Dr. Soetomo terpilih menjadi ketua Indisch Vereeniging. Perilaku dua dokter muda ini boleh jadi Pemerintah tidak terlalu khawatir alasannya yakni Boedi Oetomo sendiri di Jawa semakin menguat sebagai organisasi kedaerahan. Tetapi tentu sanggup terjadi titik balik. Dr. Soetomo, Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D (yang juga alumni Belanda) mulai memainkan tugas untuk mengubah haluan Baoedi Oetomo.          

Sementara itu orang-orang muda yang terpelajar di Boedi Oetomo lambat laun menemukan titik balik dan secara sadar dan perlahan-lahan Boedi Oetomo kembali ke kittah yakni mengusung misi nasional pada tahun 1935. Ini dimulai ketika Dr, Soetomo pulang ke tanah air, pada tahun 1924 mendirikan klub studi di Soerabaja. Klub studi juga didirikan oleh Ir. Soekarno yang gres lulus dari THS Bandoeng tahun 1926. Pada tahun 1917 klub studi di Bandoeng menjadi organisasi kebangsaan yang disebut Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1928 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution (sama-sama satu kelas dulu di STOVIA) mendirikan organisasi kebangsaan yang disebut Persatoean Bangsa Indonesia (PBI).

Sepulang studi dari Belanda dengan meraih doktor (Ph.D) tahun 1927 Mr. Soepomo, Ph.D ditempatkan sebagai ketua pengadilan (Landraad) di Jogjakarta. Di Batavia pada tahun 1927 Parada Harahap sekretaris Sumatranen Bond menggagaskan pembentukan organisasi supra nasional yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (disingkat PPPKI). Ketuanya MH Thamrin dan sekretaris dijabat Parada Harahap. Di Jogjakarta, Mr. Soepomo, Ph.D menikah dengan putri dari Kraton Jogjakarta. Sejak inilah Mr. Soepomo, Ph.D menjadi duduk sebagai pengurus sentra Boedi Oetomo yang berkedudukan di Jogjakarta. Pada tahun 1929 statuta Boedi Oetomo diubah oleh Mr. Soepomo, Ph.D yang menyatakan Boedi Oetomo ikut mendukung usaha nasional. Dr. Soetomo dan Dr. Sardjito, Ph.D boleh jadi tersenyum melihat keberanian Mr. Soepomo, Ph,D yang dengan sadar membawa Boedi Oetomo bantu-membantu ke jalan visi nasional (setelah semenjak Oktober 1908 terus mengusung misi kedaerahan). Pada tahun 1928 diadakan kongres PPPKI (senior) yang juga diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior). Ketua kongres PPPKI ditunjuk Dr. Soetomo dari Soerabaja. Untuk panitia Kongres Pemuda oleh Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI ditunjuk Soegondo dari PPPI, golongan muda PPPKI (sebagai ketua), Mohamad Jamin dari Jong Sumatranen Bond (sebagai sekretaris) dan Amir Sjarifoeddin Harahap dari Jong Batak sebagai bendahara. Ketiganya kebetulan sama-sama mahasiswa Rechtjooges School (RHS) yang mana pembimbing/dosen mereka Prof. Husein Djajadiningrat. Catatan: Pembentukan PPPKI sendiri diadakan di rumah Prof. Husein Djajadiningrat pada bulan September 1927. Husein Djajadiningrat termasuk pendiri Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908. Sponsor Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) yakni pengusaha pribumi di Batavia (semacam KADIN pada masa ini). Ketua KADIN Batavia sendiri yakni Parada Harahap (pemilik tujuh media).

Pada tahun 1928 organisasi kebangsaan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) yang berpusat di Bandoeng yang dipimpin Ir. Soekarno mengubahnya menjadi partai politik dengan nama Partai Nasional Indonesia (juga disingkat PNI). Saat inilah Ir. Soekarno kali pertama menghimbau biar Boedi Oetomo ikut berpartisipasi dalam usaha nasional. Namun itu tidak cukup, meski Mr. Soepomo. Ph.D telah mengubah statuta Boedi Oetomo, namun alasannya yakni Boedi Oetomo masih didominasi golongan senior, maka Boedi Oetomo berjalan setengah hati: golongan senior masih bersifat kedaerhan sementara golongan ingusan sudah berhaluan nasional.

Pada tahun 1930 di Soerabaja organisasi kebangsaan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) diubah menjadi partai politik. Namun ada perbedaan antara partai Politik PNI dengan partai PBI. Partai PNI hanya berjuang di luar, sedangkan parati PBI berjuang di parlemen. Salah satu anggota partai PBI yang berhasil menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja yakni Dr, Radjamin Nasution pada tahun 1931.menjadi partai politik dan PBI juga menjadi partai politik.

Sehubungan dengan berubahnya PBI menjadi partai politik untuk berparlemen, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mulai mendekati pengurus Boedi Oetomo yang semakin hari semakin banyak proporsi golongan muda yang terpelajar. Hasilnya gayung bersambut. Lalu pada tahun 1935 PBI dan Boedi Oetomo merger (fusi) dan membentuk partai gres yang disebut Partai Indonesia Raya yang disingkat Parindra. Tokoh-tokoh politik dan revoluisoner yang tergabung dalam Parindra, selain Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution yakni MH Thamrin dan Parada Harahap.

Itulah sejarah societeit yang awalnya sebuah klub sosial bermetamorposis menjadi organisasi kebangsaan dan partai politik Indonesia. Untuk menyebut sedikit dari perjalanan anak bangsa Indonesia ini menjadi Indonesia merdeka yakni sebagai berikut: Dja Endar Moeda, Soetomo, Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat, Sardjito, Parada Harahap, Mohamad Hatta, MH Thamrin, Soekarno, Soepomo, Radjamin Nasution, Soegondo, Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin.

Demikianlah sejarah kebangkitan bangsa Indonesia. Sejarah nasional Indonesia yang sejatinya sangat terperinci benderang menurut data-data yang otentik yang bersumber dari surat-surat kabar yang berbahasa Belanda yang terbit pada periode 1897 sampai 1942. Surat kabar tersebut pada masa ini sanggup diakses dalam bentuk electronic data. Merdeka!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya yakni saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya yakni sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (26): Societeit, Klub Sosial Di Jogjakarta; Pandangan Gres Pembentukan Organisasi Modern Kebangsaan Indonesia"

Posting Komentar