Sejarah Kota Depok (52): Zulkarnain Alfisyahrin, Dan-Iv Karate, Caleg Dprd Jabar 2019; Partai Nasdem, Dapil Kota Bekasi Dan Depok
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 ialah pemilu yang sangat unik. Untuk kali pertama Pemilu di Indonesia melangsungkan lima acara pemilihan sekaligus, yakni: Presiden/Wakil Presiden; Anggota dewan perwakilan rakyat Tingkat Pusat, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) ini akan serentak digelar tanggal 17 April 2019. Salah satu Calon Legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat di tempat pemilihan (Dapil) Kota Bekasi dan Kota Depok ialah Zulkarnain Alfisyahrin.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 ialah pemilu yang sangat unik. Untuk kali pertama Pemilu di Indonesia melangsungkan lima acara pemilihan sekaligus, yakni: Presiden/Wakil Presiden; Anggota dewan perwakilan rakyat Tingkat Pusat, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) ini akan serentak digelar tanggal 17 April 2019. Salah satu Calon Legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat di tempat pemilihan (Dapil) Kota Bekasi dan Kota Depok ialah Zulkarnain Alfisyahrin.
Zulkarnain Alfisyahrin, DAN IV Karate |
Saya sempat tertegun pencalonan Zulkarnain Alfisyahrin.Dia ialah mitra lama. Ingatan saya kembali ke masa lampau semenjak di kampung. Dia ialah mitra saya semenjak masih Sekolah Menengan Atas di sebuah kota kecil di pedalaman Sumatra: Kota Padang Sidempuan. Saya gres ingat kembali, dialah yang mengajari saya berguru hingga bisa mengendarai sepeda motor HONDA CB 100. Artikel ini didedikasikan kepadanya ihwal riwayat masa lampau hingga beliau menjadi warga Kota Bekasi dan saya menjadi warga Kota Depok. Berikut inilah kisahnya.
Akhir, Zulfan, Suprianto, Alfis (1982) |
Pertemuan Bandung: ‘Geger Kalong?...’Osh!’
Setelah lulus SMA, kami bertiga putus kontak (belum ada handphone). Cukup usang tidak ada komunikasi hingga akhirnya, suatu ketika satu sahabat usang ketemu di Bogor memberitahu pernah bertemu dengan Alfis (Zulkarnain Alfisyahrin) dan Zulfan (Zulfan Effendi). Dari mitra usang inilah saya mendapatkan alamat mereka berdua di Bandung. Saya coba menyurati mereka berdua. Suatu waktu saya berpikir untuk mengungjungi mereka ke Bandung. Tentu saja saya beritahu melalui surat.
Saya naik bis dari Bogor via Puncak. Dari alamat Alfis saya lihat di peta, saya harus turun di perempatan Kopo. Di persimpangan dimana saya turun saya coba mencari ojek. Ketika saya masih mencoba kembali melihat catatan alamat Alfis, tiba-tiba seorang pengendara berada di depan saya. ‘Ojek, Kang!’. Saya jawab ‘iya, mau cari ojek’. ‘Mau diantar kemana’, tanya tukang ojek. Saya berikan saja catatan alamat itu kepadanya. ‘Siap, Bang!, naik saja, ‘saya antar, saya kenal Kang Alfis’ sambil memperlihatkan kembali catatan alamat tersebut. Yang menciptakan saya heran mengapa mereka sangat mengenal namanya Alfis. Ini, terdengar beberapa kali, ketika kami sepanjang perjalanan ke tempat yujuan disapa ‘bade kamana’. Teman gres saya tukang ojek selalu menjawab: ‘mengantar sahabat Kang Alfis’. Saya menganggap sahabat gres alasannya meski penampilannya terkesan ‘anak funk’ tetapi nada dan tatabahasanya santun menyejukkan hati saya. Saya melihat semacam ada anomali sepanjang jalan.
Setelah tiba di depan rumah Alfis, saya tambah kaget lagi: Alfis sudah berdiri di depan sebuah rumah yang saya duga tempat kosnya. Setelah tukang ojek menyerahkan penumpangnya kepada Alfis. Saya tidak terlalu paham apa yang dibicarakan alasannya mereka berbahasa Sunda yang halus pisan (saya agak kurang negerti). Sang tukang ojek, yang ada tato di lengan kiri pamit tanpa menghiraukannya ketika saya menyodorkan uang untuk ongkos. Lalu saya bersalaman erat dengan Alfis. Teman usang bertemu kembali, sehabis tiga tahun berpisah di kampung di Padang Sidempuaan.
Hal pertama yang saya tanyakan, bukan ihwal kuliahnya dan juga bukan kampung halaman kami. Tetapi saya bertanya ihwal pengalaman yang gres saja berlangsung. Situasi telah menggiring saya bertanya sempurna dimana kita berada. ‘Alfis, mengapa mereka begitu kenal dengan Anda?’ (dalam bahasa Sidempuan). Maksud saya mereka dalam hal ini ialah para perjaka di lingkungan ini yang gres saja lihat dan dengar. Alfis tidak eksklusif memjawab pertanyaan. Alfis malah menjelaskan bahwa beliau telah mengetahui saya sedang menuju rumahnya di atas ojek, alasannya itu beliau keluar dan berdiri di depan rumah. Sambil masuk ke dalam, Alfis memperlihatkan peralatan komunikasi yang disebut ‘intercom’. Melalui alat komunikasi itulah teman-teman tukang ojek memberitahu kedatangan saya. Saya juga cepat mulai paham, mengapa tukang ojek tidak mendapatkan uang ongkos ojek saya dan malah balik beliau berterimakasih kepada saya: ‘Osh!’. Suatu kearifan lokal Bandung yang sulit saya lupakan. Intercom menjadi prasarana yang mereka bangkit bersama di lingkungan untuk berkomunikasi dan tentu saja untuk kebutuhan sistem keamanan lingkungan (siskamling). Untuk pertahanannya, Alfis telah melatihnya dengan baik dan penuh dedikasi.
Pertanyaan ihwal kuliah dan kampung halaman menjadi terlupakan alasannya saya masih bertanya. ‘Mereka itu siapa Alfis?’. Alfis menjelaskannya begini: Mereka itu dulunya sebagian ‘anak-anak sedikit nakal’. Beberapa tahun ini saya kumpulkan mereka dan melatih mereka bela diri karate. Dengan begitu, mereka saya ubah dari aksara bernafsu menjadi berkarakter lembut tetapi mempunyai pertahanan yang kuat. Saya cepat paham jalan pikiran Alfis. Karate memang bertujuan membentuk aksara yang berkepribadian.
Pada waktu Sekolah Menengah Pertama saya ialah seorang karateka, tetapi gres mempunyai kyu 7 naik ke sabuk hijau sudah berhenti. Akan tetapi, tidak demikian dengan Alfis, yang terus melanjutkan hingga di Sekolah Menengan Atas dan Perguruan Tingi. Bahkan Alfis, hingga kini di usia kepala lima masih konsisten berlatih, bahkan baru-baru ini Alfis menerima akta DAN III Internasional. Oleh karenanya, ketika kami bertemu di Bandung, 1986, Alfis saya tahu tetap konsisten berlatih. Yang menciptakan saya tercengang, ketika itu, Alfis tidak hanya melatih dirinya, tetapi telah melatih banyak orang tanpa memungut biaya iuran di sekitar Kopo. Alfis, yang masih duduk di kursi kuliah telah menjadi contoh di sebuah pemukiman di Kota Bandung, contoh bagi siapa saja, anak-anak, remaja dan orang dewasa, termasuk dalam hal ini ‘anak-anak sedikit nakal’ yang dalam bahasa kini kerap diplesetkan sebagai ‘preman’. Alfis telah melaksanakan terobosan, suatu acara sosial yang jarang dipikirkan seorang mahasiswa. Alfis telah menjadi ‘Urang Bandung’. Alfis telah menunjukkannya secara tidak eksklusif kepada saya di Bandung. Apa yang ditunjukkan Alfis di Bandung, saya juga cepat paham. Saya tahu persis, Alfis ialah seorang multi talenta. Ketika kami Raimuna di Cibubur tahun 1982, Alfis ialah andalan kami. Dia bisa bermain gitar, beliau jago menari (tortor) ketika kami lomba, dan juga fasih berbahasa Inggris. Satu hal lagi, ketika kami lelah mengikuti acara di Cibubur, Alfis di tenda sering memutar kaset lagu Doel Soembang yang gres muncul tahun itu. Sangat menghibur bagi kami musik Doel Soembang ketika itu. Alfislah yang memperkenalkan musik Doel Soembang kepada saya. Mudah-mudahan, supaya Alfis bisa membaca goresan pena ini: ‘Alfis, masih suka lagu dan musik Doel Soembang?.
Karakter berpengaruh berkepribadian lembut sudah tentu telah terbentuk semenjak sekolah menengah (SMP dan SMA). Elemen pembentukan aksara dan kepribadian ketika kami masih bersekolah di Padang Sidempoean sangat terbatas. Tiga elemen penting dalam pembentukan aksara dan kepribadian tersebut ketika itu ialah ikut kepramukaan dan masuk perguruan bela diri (karate atau silat). Tentu saja elemen terpenting ialah tetap rajin berguru dimana saja (di sekolah, di rumah, di kemah atau di perjalanan), Tiga elemen ini menjadi password untuk lanjut ke prhuruan tinggi dengan landasan disiplin yang berpengaruh (kepramukaan) dan jiwa yang kompetitif (latihan bela diri). Tiga elemen inilah yang telah membentuk aksara dan kepribadian awal Alfis, termasuk saya.
Seperti halnya, belum dewasa pramuka ketika itu, jikalau lulus Sekolah Menengan Atas ingin menjadi taruna Akabri. Itulah yang sering kami perbincangkan ketika itu. Alfis ingin masuk perguruan tinggi Angkatan Darat. Saya sendiri ingin masuk perguruan tinggi kepolisian. Saat memasuki kelas 3 Sekolah Menengan Atas kami hanya sesekali bertemu. Sebab ketika itu, semua siswa kelas tiga di seluruh kota dibebaskan dari acara ekstrakurikuler dan hanya fokus dan orientasinya berguru untuk EBTA dan masuk PTN. Seperti tampak dalam foto di atas, kami berbeda sekolah: saya Sekolah Menengan Atas 1, Alfis Sekolah Menengan Atas 2, Zulfan Sekolah Menengan Atas 3 dan Suprianto Sekolah Menengan Atas 4.
Pertemuan di Jakarta: Sama-Sama Melamar Menjadi Jurnalis
Saat-saat gres lulus kuliah dan menjadi sarjana, tahun 1989 Alfis tiba ke Bogor untuk menjumpai saya. Semacam kunjungan tanggapan sehabis saya ke Bandung beberapa tahun sebelumnya. Kami lebih banyak membicarakan prospek. Setelah menjadi sarjana lantas menjadi apa? Sebab perguruan tinggi umum berbeda dengan perguruan tinggi kedinasan. Lulusan perguruan tinggi umum harus menentukan profesi yang diinginkan.
Di tempat kos, Alfis sempat bertanya. Sebuah guntingan lowongan kerja menjadi jurnalis di Harian Kompas yang saya tempel di dinding meja belajar. ‘Mau melamar menjadi jurnalis, Khir?. Saya jawab, iya. Alfis malah terkejut: ‘Koq, jauh amat bergeser dari insinyur pertanian menjadi wartawan’. Saya jawab: ‘ dengan landasan yang berpengaruh di bidang keilmuan insinyur pertanian pada ilmu-ilmu sosial ekonomi, bakat saya kayaknya di bidang tulis menulis, kalau saya tidak menjadi dosen, atau peneli ya, ingin menjadi wartawan. Ketiga bidang ini sangat terkait dengan dunia tulis menulis’. Alfis menyela: “oh, begitu’. Saya kemudian menunjuk kembali iklan lowongan yang di dinding: ‘karena itu iklan itu saya simpan, saya lagi mempertimbangkan apakah ikut tes menjadi jurnalis’.
Pada ketika surat lamaran saya lulus seleksi administasi saya menerima usul untuk tes tulis yang akan diadakan di gedung Gramedia di Palmerah. Yang ikut tes kata panitia sebanyak 1.400 orang, Yang akan diterima menjadi wartwan hanya tujuh orang. Jelas itu tidak mudah. Saya ikut tes bersama Zulkarnain Alfisyahrin. Lho, koq, bisa?
Setelah Alfis ke Bogor, kami tidak pernah kontak. Saat saya tiba di Palmerah, saya sempatkan sarapan di sebuah warung, Saat saya makan, tiba-tiba muncul Alfis: ‘Eh, ngapan di sini Alfis?’. ‘Saya ingin ikut tes. Saya berpikir, sehabis pulang dari tempatmu di Bogor, saya juga merasa bakat saya menjadi jurnalis. Untuk melamar ke Deplu disimpan dulu’. ‘Oalah. Mari kita makan’ sambil saya menggeser posisi tempat duduk. Tes diadakan pukul 9, masih cukup banyak waktu. Karena kami jarang bertemu, dialog di warung itu menjadi bersemangat.
Selepas tes kami tidak ketemua lagi. Saya tidak lulus di tes masuk harian Kompas. Saya kemudian melamar sebagai peneliti di kampus dalam sebuah projek penelitian. Projek ini kerjasama dengan forum riset di Inggris berdurasi satu tahun. Selama proyek ini aya tetap tinggal di Bogor tempat kos dimana pernah Alfis datang, Suatu ketika saya mendapatkan surat dari Alfis, beliau sudah bekerja sebagai wartawan olah raga di Media Indonesia. Saya tidak tahu apakah beliau lulus di Kompas dulu. Yang terang saya tidak lulus alasannya ada surat pemberitahuannya. Yang terang nama Alfis sudah ada di jajaran wartawan belahan olahraga harian Media Indonesia dengan pemimpin redakasi Surya Paloh beralamat di Jalan Gondangdia.
Saya teringat beberapa tahun sebelumnya saya suka goresan pena kolom Surya Paloh di harian Prioritas (sebelum merger dengan Media Indonesia) dengan kolom berjudul Selamat Pagi Indonesia. Saya hanya kadang kala membeli Prioritas dan tidak bisa berlangganan (jarang mahasiswa bisa berlangganan), tetapi saya selalu berlangganan untuk membaca kolom Selamat Pagi Indonesia. Tukang loper di pintu gerbang kampus selalu baik kepada saya. Karena selalu saya baca koran Prioritas sebentar tetapi memberinya 25 rupiah (sekali makan di warung ketika itu kira-kira 300 rupiah). Yang saya baca hanya headline (kiri atas) dan kolom Selamat Pagi Indonesia. Kolom ini letaknya bukan di kanan bawah menyerupai lazimnya, akan tetapi berada di kanan atas. Kalau pembaca jeli, posisi kolom itu harus diartikan sebagai kolom yang setara dengan headline. Kolom ini cukup kritis, alasannya itulah saya selalu baca. Tapi tidak lama, surat kabar berwarna ini dibreidel. Saya kehilangan. Pemberitahuan Alfis telah menjadi wartawan di bawah koordinasi Surya Paloh menciptakan memorinya saya kembali muncul: Media Indoneia ialah Sura Paloh dan Surya Paloh ialah Media Indonesia; idem dito dulu Prioritas plus kolom Selamat Pagi Indonesia sama dengan Surya Paloh.
Setelah kontrak saya berdurasi setahun di Bogor hampir selesai saya menemukan iklan lowongan di kampus sebagai peneliti di sebuah forum riset di Jalan Salemba Raya No.4. Saya mengirim lamaran dan kemudian menerima usul untuk test tertulis. Ada sebanyak 65 orang yang ikut test dan saya masuk 12 besar untuk disaring melalui wawancara hingga mengerucut lima orang. Alhamdulilah. Saya lulus dan diterima bekerja sebagai peneliti. Ternyata kantor saya dengan kantor Alfis cukup berdekatan. Saya di Jalan Salemba, Alfis di Jalan Gondangdia. Begitu dekatnya, bahkan saya bisa jalan kaki lewat belakang melalui Pasar/Stasion Cikini.Saya kos di Kelurahan Paseban, Alfis di Kelurahan Kali Pasir yang hanya dipisahkan oleh sungai Ciliwung (kira-kira sejauh antara kelurahan saya dengan kelurahan Alfis di Padang Sidempuan yang hanya dipisahkan oleh sungai Batang Ayumi). Kami kemudian menjadi warga DKI Jakarta dengan KTP Monas. Teman kami yang dulu sama-sama pramuka, Zulfan Efendi sehabis lulus bekerja di perusahan perminyakan dan telah berdomisili di Kualalumpur. Babak gres dalam dunia profesi kami masing-masing dimulai.
Tunggu deskripsi lengkapnya
0 Response to "Sejarah Kota Depok (52): Zulkarnain Alfisyahrin, Dan-Iv Karate, Caleg Dprd Jabar 2019; Partai Nasdem, Dapil Kota Bekasi Dan Depok"
Posting Komentar