Sejarah Kota Depok (49): Sejarah Ratu Jaya, Nama Kampong Populer Tempo Doeloe; Pemberontakan Melawan Belanda, 1869


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Ratu Jaya pada masa ini ialah nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Kelurahan Ratu Jaya bertetangga dengan Kelurahan Pondok Terong. Kedua kelurahan ini di masa lampau pernah disatukan dalan satu tempat tanah partikelir (landerien): Pondok Terong en Ratoe Djaija di onderdistrict Paroeng, Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia.

Peta 1852
Pada tahun 1861, berdasarkan Statistik Buitenzorg luas Pondok Terong 1.221 geomiljen dan Ratoe Djaija seluas 349 geo miljen. Dua tempat pertanian yang disatukan ini terdapat 11 kampong dengan total penduduk pribumi sebanyak 2.071 jiwa dan 93 jiwa orang Tionghoa. Sebagai pembanding, tetangga tempat pertanian ini ialah Depok yang mempunyai luas 872 geo miljen yang terdiri dari tujuh kampong yang dihuni 1.443 orang pribumi, 32 orang Tionghoa dan sebanyak 803 orang Eropa. Pada tahun 1847 penduduk Pondok Terong dan Ratoe Djaja sebanyak 1.273 jiwa yang terdiri dari dua orang Eropa, 26 orang Tionghoa dan sebanyak 1.245 orang pribumi (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1847, 2e deel). Orang Tionghoa terkonsentrasi di suatu tempat (kini disebut Kampong Lio Kelurahan Pondok Terong) di sebelah utara Setu Tjitajam (di sebelaj selatan setu ialah Bazar/Pasar Tjitajam dan sebelah timur setu ialah stasion Tjitajam sekarang).

Lantas, apa yang menjadi keutamaan Kampong Ratoe Djaja pada masa lampau? Kampong Ratoe Djaja ibarat kampong-kampong lainnya, hidup dalam pertanian, tetapi di Kampong Ratoe Djaja terdapat seorang tokoh penting berjulukan Bapa Rama. Tokoh dari Kampong Ratoe Djaja ini secara terang-terangan melaksanakan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan yang dipimpin Bapa Rama ini terjadi tahun 1869.

Berita perlawanan yang dipimpin Bapa Rama ini ditemukan secara panjang lebar pada dua edisi surat kabar yang terbit di Belanda, Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage. Berita pertama ditulis di Batavia pada tanggal 20 April 1869 yang dimuat pada edisi 1 Juni 1869 dan isu kedua ditulis tanggal 30 April di Batavia dan dimuat pada edisi 15 Juni 1869. Berita perlawanan ini juga dimuat oleh banyak sekali surat kabar baik yang terbit di Hindia maupun yang terbit di Belanda. Perlawanan telah dimulai di Bakassie (Bekasi), ketika planning akan dimulai di Buitenzorg, planning terbongkar alasannya adanya mata-mata.

Ratoe Djaja dan Pondok Terong

Nama Pondok Terong teridentifikasi lebih awal dari Ratoe Djaja. Nama Kampong Pondok Terong sudah teridentifikasi ketika dilakukan ekspedisi ke Pakwan-Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong tahun 1703 yang dipimpin oleh Abraham Jan van Riebeeck. Selain nama Pondok Terong juga teridentifikasi nama Depok.

Rute yang dilalui: Casteel Batavia (Benteng) - Tjililitan - Tandjong (Oost) - Sringsing (Serengseng) – Pondok Tjina - Depok – Pondok Terong - Bojong Manggis (dekat Bojonggede) - Kedonghalang – Paroeng Angsana (Tanah Baru). Nama-nama ini memperlihatkan nama kampong di sisi barat dekat dengan sungai Tjiliwong. Nama-nama ini juga mengindikasikan nama-nama pelabuhan sungai,

Kampong Ratoe Djaja berada diantara (pelabuhan) Depok dan Pondok Terong. Nama Pondok Terong sendiri sudah teridentifikasi sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan pertanian di Sringsing dan Depok. Lahan Pondok Terong termasuk yang paling subur di hulu sungai Tjiliwong, lebih subur dari lahan di Depok. Pemilik pertama yang mengusahakan lahan di Pondok Terong ialah Sersan St. Martin.

Sersan St. Martin ialah pahlawan VOC/Belanda dalam meredakan pemberontakan di Banten. Awalnya ekspedisi yang dipimpin ke Banten ialah Kapitein Jonker. Seorang Maluku yang sukses membantu VOC dalam perang di banyak sekali tempat yang kemudian mendapat hadiah tanah di Tjilintjing. Namun dalam ekspedisi di Banten, Kapitein Jonker membuat ulah yang menimbulkan terjadinya pembantaian. Pimpinan VOC/Belanda mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Sr. Martin untuk mengamankan Kapitein Jonker. Sukses di Banten, Sersan St. Martin diberi hadiah lahan di Tjinirie (Cinere) dan Pondok Terong. Dua lahan ini merupakan yang tersubur di sisi barat sungai Tjiliwong. Namun, Sersan St. Martin alasannya sakit meninggal muda tahun 1694. Lahan subur lainnya berada di Sringsing dan Depok. Lahan inilah yang kemudian dibeli oleh Cornelis Chastelein pada tahun 1696. Lahan-lahan di Tandjong West (Tandjong Barat), Pondok Tjina dan Sawangan bukan termasuk lahan subur sehingga tidak ada yang tertarik mengusahakannya. Tiga lahan ini gres satu masa kemudian (tahun 1800an) mulai diolah menjadi lahan pertanian.

Pada era Pemerintah Hindia Belanda (pasca era VOC), yang dimulai pada era pemerintahan Daendels lahan-lahan di hulu sungai Tjiliwong diaktifkan kembali dengan cara menjual atau mengutip sewa/pajak tinggi bagi swasta yang dikenal sebagai lahan-lahan hak pertuanan (menjadi tanah-tanah partikelir). Lahan-lahan hak pertuanan termasuk lahan subur (landgoed) di Pondok Terong, Depok, Sringsing dan Tjinere.

Pemerintahan Hindia Belanda (Daendels) tidak usang kemudian digantikan oleh pendudukan Inggris (sejak 1811). Pemerintahan Inggris juga meneruskan kebijakan lahan-lahan partikelir. Lalu pada tahun 1816 berakhir kekuasaan Inggris dan digantikan kembali oleh Pemerintahan Hindia Belanda.

Bataviasche courant, 13-10-1821
Pada tahun 1821 janda van der Wenie menjual lahan di Pondok Terong melalui pemerintah (Bataviasche courant, 13-10-1821). Lahan Pondok Terong meliputi lahan-lahan yang berada di Kampong Tjipajoeng. Disebutkan lahan Pondok Terong yang dijual tahun 1821 termasuk bazaar (pasar). Kampong Pondok Terong ini berada di sekitar perumahan Permata Depok yang sekarang.

Lahan-lahan di bawah pertuanan di Pondok Terong ini kemudian dikenal sebagai Land Tjitajam. Pasar yang dimaksud dalam hal ini ialah Pasar Tjitajam (yang masih eksis hingga sekarang). Lahan-lahan hingga Pondok Terong sudah mempunyai jalan masuk yang baik ke Batavia dan kelas jalanya masuk kategori kedua. Berdasarkan Register der Resolutien van der Gorvernoeur Generaal No 21 tahun 1836 pembagian kelas jalan ialah sebagai berikut (lihat Javasche courant, 30-01-1836): (1) jalan kelas satu ialah (a) Batavia, over Tangerang naar Bantam, (b) Meester Cornelis, over Buitenzorg en Megamendoeng naar Preanger Regentscpappen dan (c) Batavia naar Meester Cornelis, over Poelo Gadong en Bekassie naar Krawangsche; (2) jalan kelas dua ialah (a) middenweg van Parapattan tot westerweg Land Pondok Terong/Ratoe Djaja, (b) Tanahabang naar middenweg via Land Karret, (c) westerweg Tanahabang naar Buitenzorg (via Parong), (d) weg Tangerang naar Toasia, (e) weg Buitenzorg over Tjieampea en Djasinga naar Bantam en over Siemplak, Koeripan en Parong naar Tangerang (f) Batavia over Tjintia naar Soedimara; (3) jalan kelas tiga ialah selain yang disebut di atas. Jalan kelas satu sendiri ialah jalan utama jalan pos, jalan kelas dua ialah jalan yang sanggup dilalui gerobak, penunggang kuda dan pejalan kaki (arteri).

Nama Ratoe Djaja gres teridentifikasi pada tahun 1831 (lihat Javasche courant, 19-02-1831). Disebut Department Vendu (Departemen Lelang) melelang dua persil lahan Bapak Abdoel Hamiet yang berada di dusun Bodjong dan dusun Ratoe Djaija di sebelah barat sungai besar Tjiliwong. Persil lahan-lahan tersebut termasuk sawah dan kebun yang mana di persil lahan di dusun Bodjong terdapat rumah kerikil dengan lantau ubin, sementara di persil lahan di Ratoe Djaja termasuk rumah terbuat dari kayu dan bambu.  Dusun Bodjong ialah dusun yang terletak antara Kampong Pondok Terong dengan dusun Ratoe Djaja (kira-kira sekitar POM Bensin dan perumahan Permata Regency yang sekarang).

Pada tahun 1834 terjadi gempa bumi besar yang meruntuhkan bangunan Istana Buitenzorg. Goncangan gempa ini hingga ke Lampoeng dan Tegal. Sebagian bangunan yang terbuat dari bata di Pondok Tjina dan Pondok Terong rusak (Javasche courant, 22-11-1834). Kejadin gempa yang terjadi tanggal 10 Oktober 1834 yang diberitakan surat kabar Javasche courant yang terbit di Batavia gres diberitakan di Belanda pada bulan Maret 1835 (seperti Nederlandsche staatscourant, 09-03-1835; Utrechtsche courant, 09-03-1835; Leydse courant, 09-03-1835). Mengapa begitu usang isu ini beredar di Belanda. Hal ini alasannya belum ada alat komunikasi, telegraaf belum ada dan hanya mengandalkan surat dan surat kabar. Saat itu pelayaran masih mengikuti rute dari Afrika Selatan sehingga usang perjalanan sekitar tiga bulan lebih. Terusan Suez gres dioperasikan pada tahun 1869.

Besar dugaan pembeli lahan di Bodjong dan lahan di Ratoe Djaja ialah pemilik lahan Land Pondok Terong. Hal ini berdasarkan seseorang akan menjual lahan Pondok Terong dan lahan Ratoe Djaja di bawah judul Landen Pondok Terong en Ratoe Djaja. Iklan penjualan ini dimuat pada surat kabar Bataviaasch handelsblad, 01-06-1859.

Beberapa tahun sebelumnya pasar yang dulu yang berada di lahan (land) Pondok Terong telah teridentifikasi sebagai Bazar Tjitajam (Nederlandsche staatscourant, 30-03-1854). Disebutkan 1sten luitenant der genie D. Maarschalk telah melaksanakan pengukuran tanah dari Batavia ke Buitenzorg untuk kegunaan planning pembangunan rel kereta api. D. Maarschalk  telah mengajukan dokumen kepada pemerintah termasuk gambar-gambar yang diperlukan, perhitungan dan asumsi biaya pembuatan jalur yang diproyeksikan dengan panjang 54,678 Km. Jalur akan melewati sebagian besar pada tanah yang tidak digarap dengan pengecualian untuk di sekitar Batavia dan Weltevreden dan di Buitenzorg antara pal 38sten dan 39sten. Jalur ini akan melewati lapangan di belakang laboratorium pertanian, melewati Kedong-Badak dan Bazaar Tjitajam, sekitar Land Depok, Pondonk-Tjina dan sepanjang Bazar-Mingo (Pasar Minggo) ke Parapattan. Dari Parapattan sepanjang garis belakang alun-alun (jalan Kebon Sirih yang sekarang) menuju Tanah Abang.

Pembeli lahan ini diduga ialah pemilik lahan (land) Tjitajam. Sejak munclnya nama Tjitajam keseluruhan lahan ini kemudian disebut Land Tjitajam. Landhuis Tjitajam ini berada di perumahan Departemen Pertanian yang sekarang. Dari Stasion Tjitajam ke arah barat melalui Hek. Pada masa ini keseluruhan lahan-lahan di bawah nama Land Tjitajam ialah wilayah administratif Kecamatan Cipayung, Kota Depok.

Raden Saleh dan Willem Iskander

Hanya ada dua orang Indonesia (baca: pribumi) di Hindia Belanda yang disebut pionir, yakni: Raden Saleh dan Willem Iskander. Raden Saleh tahun 1836 berangkat ke Eropa untuk berguru seni lukis modern. Raden Saleh kelahiran Semarang, Afdeeling Semarang berangkat studi pada tahun 1836 pada usia 12 tahun.

Raden Saleh sehabis selesai pelajarannya ihwal seni lukis di Belanda, tahun 1839 Raden Saleh dilaporkan ikut festival lukisan di Jerman, Austria, Paris dan Italia (Overijsselsche courant, 29-10-1839),

Setelah beberapa tahun di Eropa/Belanda, Raden Saleh kembali ke tanah air pada tahun 1851. Pada tahun inilah sekolah guru yang pertama di Hindia dibuka di Soeracarta. Sementara itu, Willem Iskander berumur 17 tahun pada tahun 1857 berangkat ke Eropa untuk berguru ilmu keguruan. Willem Iskander kelahiran Pidoli, Afdeeling Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean). Willem Iskander sehabis selesai studi dan mendapat sertifikat guru kembali ke tanah air tahun 1861. Sati Nasution alias Willem Iskander pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato, Mandailing.

Pada tahun 1862 di Afdeeling Mandailing dan Angkola terdapat satu orang bersekolah dari 1.000 penduduk, sementara di Jawa dari setiap 6500 penduduk hanya satu yang bersekolah.

Dengan berdirimya sekolah guru di Afd. Mandailing dan Angkola rasio penduduk sekolah akan meningkat. Pada tahun 1864 sekolah guru Tanobato telah dianggap sebagai sekolah guru terbaik di Hindia, jauh di atas kualitas dua sekolah guru yang sudah ada di Soerakarta dan Fort de Kock. Laporan ini diumumkan oleh Inspektur Pendidikan Pribumi CA van Chjis (sebagai berikut).

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting ihwal Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun kemudian ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa tiba dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.

Sejak tersiarnya isu kemajuan pendidikan di Mandailing dan Angkola, pendidikan di Jawa terguncang. Adanya kemajuan pendidikan tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta (1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866). Meski demikian, para humanis terus mendesak pemerintah.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup ialah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk orisinil dari kebodohan’. Orang Jawa, harus berguru untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diharapkan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terlaksana dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chjis’

Inisiatif pendirian sekolah guru di Bandoeng tiba dari seorang pengusaha yang menyukai sastra dan kebudayaan Soenda, KF Holle. Sudah semenjak usang KF Holle di Priangan mengetahui ada keresahan penduduk terutama akhir koffiestelsel semenjak 1830. Solusi pendidikan yang ditawarkan KF Holle dan kelompok humanis yang lainnya diharapkan sanggup meredakan ketegangan. Dalam jangka pendek sanggup menambah sekolah untuk membangun image di mata penduduk. Hasilnya sudah terasa. Pada tahun 1869 rasio penduduk sekolah di Jawa telah meningkat dari 1:6500 menjadi 1:2100. Namun angka itu masih jauh dari yang seharusnya. Para humanis terus melaksanakan protes terhadap pemerintah.

Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java ialah rasa aib untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga masa mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.

Dua sekolah guru di Jawa (Soeracarta dan Bandoeng) memang telah membantu meningkatkan rasio partisipasi sekolah di Jawa, tetapi belum menyeluruh. Seperti dikatakan oleh KF Holle memperlihatkan pendidikan kepada pendududuk ialah cara bermartabat untuk menghargai penduduk. Yang boleh jadi maksudnya dengan adanya pendidikan para pemimpin dihargai dan memberi imbas untuk meredakan ketegangan.

Sebagai perbandingan sesuai Almanak 1869 jumlah sekolah pribumi di Residentie Batavia hanya tiga buah, yaitu di Toegoe dan dua buah di Depok (eerste onderwijzer dan tweede onderwijzer). Bahkan di Residentie Banten hanya satu buah di Serang. Di Residentie Preanger Regentschappen terdapat lima buah, masing-masing satu buah di Afdeling Bandoeng, Afd, Tjiandjoer, Afd. Garoet, Afd. Soemedang dan Afd. Manondjaja). Sangat kontras di Afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli), sekolah sudah terdapat di 10 kampong utama, yakni di Padang Sidempoean, Simapil-apil, Pargaroetan, Sipirok, Boengabondar, Panjaboengan, Tanobato, Moearasama, Kotanopan dan Moearasipongi. Jumlah ini telah meningkat bila dibandingkan kondisi pada tahun 1862 yang gres enam buah (saat Willem Iskander membuka sekolah guru). Pada tahun 1846 jumlah penduduk Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 44.000 jiwa; jumlah penduduk di Afdeeling Buitenzorg tahun 1837 sebanyak 242.000 jiwa.

Yang paling kontras di Jawa ialah praktek kolonial yang menghisap penduduk semakin menjadi-jadi. Kemiskinan dimana-mana. Penduduk sebagai pewaris lahan telah tergusur dari tanahnya sendiri atau harus membayar pajak tinggi bila ingin mengusahakannya. Hanya para darah biru dan pemimpin lokal (bupati dan bawahannya) yang mencicipi kesejahteraan. Para darah biru dininabobokkan dengan honor yang besar dan akomodasi yang memadai, tetapi penduduk secara umum hidup dalam penderitaan. Termasuk di Residentie Batavia.

Berdasarkan Almanak 1869, Residentie Batavia berbatasan dengan Residentie Bantam, Residentie Krawang dan Residentie Preanger Regenschappen. Residentie Batavia terdiri dari: Stad en Voorsteden; Afdeeling Tangerang; Afd. Meester Cornelis; Afd. Bekassi; dan Afd. Buitenzorg. Resident berkedudukan di Stad en Voorsteden. Masing-masing ajun residen di Tangerang, Meester Cornelis dan Buitenzorg. Untuk Afdeeling Bekassi, asisiten residen dirangkap oleh Asisten Resident Meester Cornelis. Secara keseluruhan Afdeeling Meester Cornelis en Bekassi terdiri dari empat distrik yang meliputi 693 kampong. Resident Batavia berjulukan HJC Hoogeveen (sejak  Mei 1866); Asisten Resident Policie der Stad en Voorsteden  Mr. JP Metman (sejak Desember 1866). Asisten Residen Meester Cornelis Mr. ERJC de Kuijper (sejak November 1967). Schout te Bekassi FJB Maijer (sejak Mei 1867); Djaksa te Bekassi Raboedien (sejak 1861); Luitenant der Chinezen te Bekasssi Lauw Tek Lok (sejak 1854). Asisten Resident Butenzorg Mr. SCJW van Musschenbroek (sejak 1867); Demang Buitenzorg Radhen  Aria Mangkoe Widjaja; Demang Parong Mas Djiebdja Redjs; Demang Tjibaroessa Radhen Mangoen Koesoema    

Pada masa ini perusahaan besar yang mengusahakan lahan pertanian terdapat di sejumlah tempat (lihat Almanak, 1867). Di landrein Pondok Terong of Ratoe Djaija dimiliki oleh Jo Tjoeta dengan komoditi utama padi. Di landrein Bekassi West. Rawa Posong, Kali Abang dan Kali Poetih dimiliki oleh Khouw Tjeng Tjoan (yang juga pemilik lahan di Tanah Seratoes Lima Poeloeh, Tjikoennir, dan Pondik Gedeh. Semua tanah milik Khouw Tjeng Tjoan disewa oleh Tio Tian Sioe yang mengusahan padi, kelapa, gula dan kacang. Sementara lahan di landrein Bekassi Oost dimiliki oleh Kang Keng Tiang c.s. Lahan ini diusahakan oleh Kam Boen Pin dengan komoditi padi, kacang dan kelapa.

Perlawanan Ratoe Djaja terhadap Belanda 1869

Perang besar di Jawa sudah usang berlalu. Pemimpin pribumi dalam perang di Jawa, Pengeran Diponegoro telah ditangkap dan diasingkan tahun 1830. Perang di Jawa secara perlahan mereda. Pemerintah segera menerapkan koffistelsel di sejumlah tempat di Jawa termasuk di Buitenzorg dan Preanger.

Konsentrasi militer Belanda dialihkan ke Pantai Barat Sumatra untuk mempercepat proses invasi di Sumatra. Perlawanan di Minangkabau yang dipimpin Tuanku Imam Bondjol berakhir tahun 1937. Perlawanan di Tapanoeli khususnya di Mandailing dan Angkola yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai berakhir tahun 1838. Setelah itu juga koffiestelsel diterapkan di Minangkabau dan di Afdeeling Mandailing dan Angkola, Tapanoeli.

Penerapan koffistelsel di Minangkabau dan Tapanoeli telah menjadikan sejumlah pemberontakan. Sebagian penduduk melawan dan sebagian yang lain melaksanakan eksodus, terutama ke semenanjung. Di Mandailing dan Angkola pemberontakan mendapat respon positif dari Controleur di Natal Edward Douwes Dekker yang justru melindungi para pemberontak. Akibatnya Edward Douwes Dekker dipecat sebagai pejabat pemerintah pada tahun 1843 dilakukan tahanan rumah selama setahun di Padang.

Setelah mulai mereda di Pantai Barat Sumatra, konsentrasi militer Belanda kemudian dialihkan ke Bali dan Sulawesi (1849-1870). Dalam situasi dan kondisi damai di Mandailing dan Angkola inilah Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857.

Dalam situasi dianggap aman di Jawa, dan konsentrasi militer Belanda berada jauh di luar Jawa, kemudian muncul pemberontakan di Residentie Batavia. Pemberontakan di Batavia ini dipimpin oleh Bapak Rama asal Kampong Ratoe Djaja.

Pemberontakan yang dipimpin oleh Bapak Rama ini boleh dikatakan terbilang berani. Pemberontakan ini berada di sekitar ibukota Hindia Belanda di Batavia (tempat dimana Gubernur Jenderal berkedudukan). Pemberontakan di Batavia ini juga terbilang unik. Setelah berakhirnya Perang Jawa (1830), tidak ditemukan pemberontakan di Jawa. Pemberontakan di Batavia boleh dikatakan sebagai satu-satunya pemberontakan sehabis sekitar 40 tahun berakhirnya Perang Jawa.

Apa yang menimbulkan timbulnya pemberontakan di Batavia ini sulit dipahami. Namun pemberontakan di Batavia ini benar-benar terjadi pada tahun 1869. Untuk itu mari kita telusuri lebih jauh. Pemberontakan di Batavia dimulai di Tamboen, Bekasi pada tanggal 3 April 1869 (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-04-1869).

Bataviaasch handelsblad, 10-04-1869
Bataviaasch handelsblad, 07-04-1869: ‘Batavia. Pada malam hari, dari tanggal 2 dan 3, kerusuhan terjadi di Tamboen di Bekassi (Zuider en Oosterkwartier der Ommelanden). Asisten Residen Meester Cornelis Mr. EECC de Kuijper, tanpa menunda segera ke tempat gangguan (TKP), ditemani oleh beberapa personil polisi, tetapi semuanya tewas terbunuh. Sheriff (schout) Bekassi FJB. Maijer. yang bergabung dengan ajun residen, mengalami nasib yang sama. Dari insiden itu, Residen Batavia, ditemani oleh ajun residen polisi, bergegas ke Bekassi. Kompagni (kesatuan) membawa 16 infantri di bawah Kapten infanterie Stoecker. Diperoleh isu bahwa para pemberontak telah berkumpul di Kali-Abang (milik Land Telok Poetjong), Kompagnie membagi diri (sebagian) ke Oedjoeng Menteng. Pasukan sebanyak enam puluh bayonet di bawah komando Kapten Stoecker yang didampingi Asisten Residen Polisi maju ke kampung Kali-Abang, sementara pasukan lainnya dengan Residen Batavia dengan empat puluh orang pergi ke Bekassi untuk menjaga bila para pemberontak melarikan diri ke Bekasi. Pasukan bertemu dengan pemberontak di Kali-Abaog. Mereka dipersenjatai dengan tombak, klewang dan beberapa senjata dan dikepung, sementara ajun residen polisi mendesak mereka untuk menyerah. Ini dipenuhi tanpa perlawanan. Sebanyak 162 orang ditangkap sebagai tawanan dan dipindahkan ke Bekassi. Gerobak dengan senjata diamankan. Di Bekassi, di mana sebuah kantor telegraf sementara dijadikan tempat Residen. Pagi hari pagi itu, Residen pergi ke Tamboeu, dimana ajun residen Mr. de Kujper dan sepuluh petugas polisi dibunuh; seorang djaksa telah diselamatkan dengan segera. Ada kehancuran besar pada rumah kongsi besar tuan tanah Tionghoa Bapa Beirah dan tempat tinggal putranya dan penulisnya dibakar mati. Secara keseluruhan ada 172 orang yang dijemput oleh satu detasement kavailerie. Pemimpin lokal utama, seorang laki-laki Jawa, Raden Koesoema, sepertinya telah pergi ke Tjibaroesa; mereka dikejar oleh ajun residen Buitenzorg yang didampingi seorang militer yang terdiri dari enam puluh orang telah ditambahkan untuk tujuan ini. Perbatasan Krawang dijaga ketat. Alasan yang sempurna untuk menghindari gangguan. Instruksi perkara itu segera dimulai oleh Residen. Jasad asisten-residen dan sheriff dikuburkan dengan kehormatan militer pada malam tanggal empat di pemakaman di Tanah-Abang. Dalam suasana dukacita dihadiri oleh kerumunan besar orang yang tertarik, termasuk Jaksa Agung Pengadilan Tinggi Hindia Belanda, Mr. TH der Kinderen dan oleh pendeta dari komunitas yang sama, H van Ameylen untuk memberi penghormatan pada almarhum’.

Pasukan yang dikerahkan untuk meredakan kerusuhan di Bekasi ini tidak dianggap kecil tetapi tergolong besar alasannya mengerahkan satu kesatuan Kompagnie (di bawah satu Batalion dan di atas satu detasement). Kompagnie ini ialah pecahan Batalion ke-11 yang bermarkas di Meester Cornelis. Segera sehabis insiden di Bekasi, rumor muncul di Batavia bahwa hal yang ibarat (akan) terjadi di Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-04-1869).

Ini bermula dari informasi yang disampaikan seorang pendeta di Depok kepada Residen Batavia bahwa pada hari Senin (05-04-1869) penduduk Depok telah dipersenjatai dan berkumpul di gereja dan sekolah alasannya diduga akan terjadi serangan dari Ratoe Djaja. Informasi ini segera direspon Residen dengan membawa pasukan dari Batalion ke-11 sebanyak 70 orang ke Depok di bawah pimpinan Kapten Godin dan Sheriff Sprew. Setelah mendengar dan melihat situasi dan kondisi di Depok, malam hari itu juga Residen tetapkan kembali ke Batavia. Untuk tindakan penjagaan, satu detasemen militer sebanyak 25 orang ditinggalkan di Depok.

Peristiwa di Bekasi dan insiden di Depok menjadi satu kesatuan ekskalasi politik di Residentie Batavia. Residen Batavia dalam tekanan. Salah satu ajun residennya (Asisten Residen Meester Cornelis) telah tewas. Asisten Residen di Buitenzorg, sehabis pulang dari Bekasi melaksanakan konsolidasi peningkatan keamanan di wilayah Buitenzorg. Sementara Asisten Residen di Tangerang juga melaksanakan tindakan yang sama. Fungsi Asisten Residen Meester Cornelis (yang juga meliputi Bekasi) telah diambilalih oleh Residen.

Wilayah Residentie Batavia sejatinya belum tahap zona perang, Batavia sanggup dikatakan masih dalam tahap problem keamanan wilayah. Namun yang menjadi pertanyaan ialah mengapa terjasdi eskalasi politik; apa yang menimbulkan terjadi insiden terbunuhnya ajun residen Meester Cornelis di Tamboen? Apakah ada kaitan Tamboen dengan Ratoe Djaja. Siapa tokoh Raden Koesoema dari Tjibaroesa pemimpin insiden di Tamboen? Apa kiprah yang dilakukan oleh Bapa Rama di Ratoe Djaja? Siapa Bapa Toenda? Lantas apa kekerabatan insiden dengan Bapa Beirah seorang Tionghoa tuan tanah di Tamboen dan dengan Biekhof, pendeta di Depok? Dan sebagainya.

Untuk memudahkan pembaca disarikan dalam bentuk tabel kronologis yang dibagi dalam empat pecahan (tahap). Bagian pertama ihwal pesta dan pertemuan di Ratoe Djaja; Bagian kedua ihwal penyerangan terhadap pemerintah di Bekasi dan pengamanan di Depok; Bagian ketiga ihwal pengusutan pemberontak di Ratoe Djaja dan Bekasi; dan Bagian keempat ihwal pengadilan dan  hukum terhadap para pemberontak. Tabel kronologis disusun berdasarkan waktu dan tempat insiden berdasarkan pemberitaan pada sejumlah surat kabar yang terbit di Hindia dan surat kabar yang terbit di Belanda pada periode April 1869 hingga Desember 1870. Tabel kronologis sanggup di lihat pada lampiran artikel ini.

Sebagaimana kita lihat nanti, para tokoh utama pemberontakan ini ialah Bapak Rama alias Pangeran Alibasa di Ratoe Djaja sebagai penggagas; Bapak Kollot alias Raden Malang alias Raden Saleh di Tjilingsi; Bapak Toenda di Tibaroesa; Bapak Selang pemimpin lokal di Tamboen; Djaidin Bapak Djiba di Kali Djambe yang menewaskan Asisten Residen dengan tombak; Arsain alias Raden Sipat dan Raden Moestapa serta Djamas alias Rjoengkat Bapa Nata. Dari pihak musuh pemberontak antara lain Residen Batavia, Asisten Residen Meester Cornelis (yang terbunuh), Asisten Residen Buitenzorg, Asisten Residen Polisi Meester Cornelis, Major Bloem; Kapten Stoecer dan para letnanya; sherif Meijer (yang terbunuh) dan sherif Sprew, Bapa Beirah, pendeta Biekhof dan dokter Djawa Amenoelah (yang dibunuh).

Penyerangan di Tamboen dalam hal ini intinya tidak berdiri sendiri, tetapi suatu rangkaian eskalasi politik di Bekasi, Buitenzorg dan Meester Cornelis di Residentie Batavia. Keseluruhan rangkaian ini sanggup dikatakan dengan satu insiden Pemberontakan Batavia. Pemberontakan di Batavia sanggup dikatakan suatu pemberontakan yang bersiklus (memenuhi semua unsur ibarat alasan memberontak cinta tanah air dan mengusir penjajah, konsolidasi, perencanaan strategi, penyerangan dan perlawanan).  Pemberontakan Batavia ini juga boleh dikatakan unik. Setelah Perang Jawa (yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang berakhir 1830), pemberontakan di Batavia ini satu-satunya insiden di Jawa. Keutamaan pemberontakan di Batavia (dibanding di tempat lain) ialah pemberontakan terjadi berada tidak jauh dan yang menjadi sasaran tamat ialah Batavia, ibukota pemerintahan Hindia Belanda. Dalam perspektif sejarah, Pemberontakan Batavia sangat lengkap (valid): terdapat liputan (pemberitaan) day to day baik terhadap jalannya peristiwa, proses penyelidikan dan penangkapan maupun proses pengadilan dan keputusan hukum. Untuk sumberi pembanding juga majalah/jurnal ibarat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1873 (2e deel) yang di dalamnya memuat suatu artikel yang berisi ratifikasi Raden Saleh terhadap insiden pemberontakan yang diberi judul ‘Radhen Saleh en de Bekassische onlusten pada jurnal’.

Sejarah pemberontakan di Batavia (Pemberontakan Batavia) ialah sejarah yang lengkap (valid, akurasi data dan kelengkapan data). Namun sangat disayangkan insiden Pemberontakan Batavai tidak ditulis secara proporsional.  Dalam sejarah Indonesia, Pemberontakan Batavia cenderung disembunyikan atau dikerdilkan? Apakah alasannya kekurangan atau minimnya data yang digunakan? Pada masa era teknologi informasi ini, semua informasi yang bersumber dari surat kabar pada tempo doeloe khususnya pada periode 1869 dan 1870 telah sanggup diakses. Surat kabar-surat kabar ini bagaikan black-box yang dianggap hilang, tetapi kini telah ditemukan. Data ‘black-box; inilah yang dipakai dalam penulisan artikel ini. Namun satu hal yang perlu dipertanyakan. Surat kabar The Straits Time melaporkan bahwa jumlah orang Eropa yang tewas ialah sebanyak 160 orang. Juga diberitakan bahwa para pemberontak yang sempat ditahan di Bekasi telah memperabukan penjara dan melarikan diri (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-04-1869). Apakah pemerintah dan militer telah menyembunyikan fakta yang tidak diketahui jurnalis Hindia, tetapi ada seseorang mengirim isu dari Batavia ke Singapoera?

Raden Saleh, Raden Salah: Pangeran Alibasa dan Willem Iskander

Dua tokoh penting yang merupakan perencana Pemberontakan Batavia ialah Bapak Rama dan Bapa Kolot. Untuk membangun karakter dan memposisikan diri mereka di tengah oenduduk mulai dari Ratoe Djaja hingga Tamboen, Bapa Rama menyebut dirinya sebagai Pangeran Alibasa (mengambil nama dari Sentot Alibasa?) dan Bapa Kollot menyebut dirinya sebagai Raden Saleh.

Para pemimpin lapangan (para panglima) antara lain Bapa Selang di Tamboen, Bapa Toenda di Tjibaroesa, Bapa Djiba di Kaliabang (Pondok Poetjoeng, Bekasi), Moestapa di Ratoe Djaja dan Basiroen di Pondok Terong.

Nama Pangeran Alibasa dan Raden Saleh menjadi jaminan mutu di tengah penduduk yang membangkitkan semangat patriotik dan heroik. Pada jajaran panglima juga terdapat penggunaan nama alias ibarat Djaidin alias Bapa Djiba, orang yang menewaskan Assten Residen Meester Cornelis dengan tombak, Bapa Sipat sebagai Dries. Nama samaran atau nama alias dikala itu memang sangat lazim yang mempunyai kegunaan untuk mempersonifikasikan diri sesuai karakter yang ingin dibangun dan figur yang akan ditunjukkan di tengah penduduk.

Di Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli seorang guru berjulukan Si Sati Nasution menyebut dirinya Willem Iskander. Nama Willem diambil dari nama Raja Belanda Willem III dan nama Iskander diambil dari nama seorang sastrawan dunia asal Rusia di pengasingan di Inggris. Radja Willem ialah seorang radja prakmatis yang mendorong kemajuan bagi penduduk pribumi tetapi sangat tegas terhadap gangguan. Iskander Herzien ialah seorang penulis yang hebat yang anti perbudakan dan sangat mengedepankan reformasi (demokrasi). Sati Nasution mengubah namanya menjadi Willem Iskander ketika studi di Belanda (1857-1860). Karakter Willem Iskander ini ternyata dijalankannya secara konsisten. Setelah selesai studi, Willem Iskander mudik di Mandailing dan mendirikan sekolah guru tahun 1862. Untuk mempercepat kemajuan, Willem Iskander juga menulis buku pelajaran sendiri dalam bahasa Batak biar gampang dipahami murid. Willem Iskander juga menerjemahkan sejumlah buku dan menulis sejumlah prosa dan sajak dalam bahasa Batak dialek Mandailing. Salah satu bukunya yang telah selesai ditulis tahun 1870 (dan gres diterbitkan di Batavia tahun 1873) berjudul Siboeloes-boeloes; Siroemboek-roembok. Dalam buku ini terdapat satu bait sajak yang anti penjajah. Sajak itu dibahasa Indonesiakan ibarat berikut: ‘Ada orang luas, yang berdiam di daerah kami; Perutnya sudah kenyang, semoga mereka cepat keluar’.   

Bapa Rama alias Pangeran Alibasa dan Bapa Kolot alias Raden Saleh pada tahun 1869 telah berhasil membuat jiwa patriotik penduduk di banyak sekali kampong di Residentie Batavia. Jiwa patriotik yang bergelora di tengah penduduk (yang didera kemiskinan, buta aksara dan ditekan para tuan tanah) menjadi faktor penyebab munculnya pemberontakan di Batavia yang dimulai dari penyerangan di Tamboen. Willem Iskander di Mandailing dan Angkola dengan caranya sendiri telah berhasil mencerdaskan penduduk lewat sekolah juga membangun jiwa cinta tanah air dan semangat patriotik melawan imperialis.

Para pejabat pemerintah yang rasialis di Mandailing dan Angkola telah menganggap Wilem Iskander ialah kerikil sandungan. Para pekabat pemerintah yang rasialis telah menuduh pejabat pemerintah sebelumnya yang humanis telah gagal di Mandailing dan Angkola. Tuduhan ini untuk merujuk pada keberhasilan para humanis membantu memberi jalan bagi Si Sati Nasution studi ke Belanda dan kini menjadi sumber ide bagi penduduk untuk menentang otoritas pemerintah. Terbukti dari waktu ke waktu semakin sering muncul kerusuhan di Mandailing dan Angkola. Pemberontakan yang dipimpin Soetan Habiaran pada tahun 1870 menimbulkan ketengangan di Mandailing dan Angkola. Soetan Habiaran berhasil ditangkap dan diasingkan. Satu cara yang dipakai untuk mengekang Willem Iskander ialah mengasingkannya. Pada tahun 1870 muncul gagasan untuk mengirim Willem Iskander ke Belanda dengan membawa tiga guru muda untuk studi lebih lanjut. Realisasi ini gres terlaksana pada tahun 1874 yang mana Willem Iskander membawa tiga guru muda ke Belanda yakni Raden Soeroeno dari Soeracarta, Raden Ardi Sasmita dari Majalengka dan Banas Lubis dari Mandailing. Seperti di duga, keempat guru itu satu per satu meninggal di Belanda. Setelah tiga anak asunya meninggal, Willem Iskander juga dikabarkan telah meninggal di Belanda pada tanggal 5 Mei 1876. Pejabat yang mendampingi keempat guru ini ke Belanda ialah Residen Tapanoeli HD Canne yang diduga atas perintah Gubernur Pantai Barat Sumatra Elisa Netscher. Terbukti pada tahun 1878 HD Canne, orang yang menggantikan posisi Elisa Netseher ialah HD Canne sebagai gubernur.

Bagaimana Bapa Rama mengasosiasikan diri sebagai Pangeran Alibasa sulit diketahui. Akan tetapi bagaimana Bapa Kolot mengasosiasikan diri sebagai Raden Saleh gampang diketahui alasannya dokumennya tersedia dalam bentuk surat kabar dan jurnal/majalah. Raden Saleh dikala itu ialah tokoh pribumi penting di tengah orang-orang Eropa. Raden Saleh ialah orang pertama pribumi studi (melukis) ke Belanda, sementara Willem Iskander ialah orang kedua pribumi studi (keguruan) ke Belanda.

Raden Saleh lahir di Semarang, ayah seorang Arab dan ibu seorang Jawa. Raden Saleh kecil sangat berbakat melukis, alasannya itu Gubernur Jenderal membawa Raden Saleh pada usia 12 tahun untuk mendapat studi melukis di Belanda. Setelah beberapa tahun di Belanda, Raden Saleh kembali ke tanah air. Kemampun Raden Saleh dalam melukis telah berhasil membuat banyak lukisan berharga. Raden Saleh telah menjadi kaya raya, mempunyai istana di Menteng dan mempunyai rumah besar di Buitenzorg. Raden Saleh juga telah menjadi anggota tubuh ilmu pengetahuan Hindia Belanda di Batavia. Namun karakter Raden Saleh bukan orang yang dekat dengan penduduk. Karakter yang berbeda dengan Willem Iskander yang sangat dekat dengan penduduk. Raden Saleh boleh dikatakan hanya bergaul di kalangan atas orang-orang Eropa/Belanda. Raden Saleh bahkan sudah sangat dekat dengan Residen Batavia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bapa Rama van Ratoe Djaja: Seorang Pahlawan

Sejarah pemberontakan di Batavia ialah sejarah Bapa Rama van Ratoe Djaja. Sejarah Bapa Rama di Ratoe Djaja telah mengubah persepsi pemerintah bahwa Bapa Rama alias Pangeran Alibasa bukan orang biasa. Meski Bapa Rama van Ratoe Djaja telah usang meninggal di penjara (1869) namun pemerintah tetap was-was sepak terjang Bapa Rama diikuti oleh para pemikutnya. Karena itu, pemerintah akan membangun garnisun militer di Tjimanggis, suatu garnisun penghubung antara garnisun Meester Cornelis dengan garnisun Buitenzorg. Pembangunan  garnisun Tjimanggis ini dibangun pada tahun 1876.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876: ‘Pemerintah sedang bernegosiasi dengan pemilik Land Tjimangies, Lauw Tek Lok, untuk mendirikan garnisun untuk artileri di tanah itu. Demi kepentingan pemerintah, kami berharap bahwa perundingan akan segera terjadi. Land Tjimangies terletak di pusat antara Batavia dan Buitenzorg, dekat dengan Ratoe Djaija (Depok), yang penduduknya telah terbukti memberontak beberapa tahun yang lalu. Pembentukan garnisun di Land Tjimangies sangat dihargai alasannya akan menginspirasi penduduk atau menjadi iklim yang sehat (kondusif)’..

Ini satu bukti bahwa Bapak Rama ialah orang penting, orang yang bisa menggerakkan massa penduduk untuk memberontak dan melaksanakan perlawanan kasatmata terhadap pemerintah Belanda. Bapak Rama telah diperhitungkan oleh Belanda. Bapa Rama dalam hal ini haruslah diposisikan sebagai Pahlawan Depok, seorang pahlawan yang jauh lebih awal daripada kiprah Margonda, Tole Iskandar dan Muchtar.

Namun demikian, pada masa ini perlu disadari bahwa sejarah Rama van Ratoe Djaja seyogianya jangan dikerdilkan dan jangan didramatis. Pada masa ini Rama alias Pangeran Alibasa dipersepsikan dibunuh dengan cara digantung dan ditembak. Sejatinya, tanpa harus mendramatisir, kepahlawanan Rama dalam melawan otoritas Belanda sudah mencerminkan sifat heroik.

Jasmerah.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.




Bagian-2: Penyerangan terhadap Pemerintah Belanda di Bekasi, 1869

Tanggal
Hari
Deskripsi
02-04-1869

Jumat
Pergerakan pemberontak. Para pemberontak dari Bekasi tiba ke Meester Cornelis untuk meminta dibebaskan Sie Nata dari penjara.


Asisten Residen Kuijper diperingatkan bahwa penduduk Bekassie pada dikala gerhana matahari perang akan pecah dan Nata (yang berada di tahanan Meester Cornelis) akan dibebaskan.


Sherif Meester Cornelis menemui pemberontak sekitar 500 orang di Land Tjakoeng.


Sherif kemudian melaporkan ke Major Bloom, komandan Batalion ke-11 Meester Cornelis untuk mengambil tindakan.


Pasukan bergerak yang lamanya 3 jam ke Bekasi. Di dalam perjalanan ditemukan satu pembakaran. Pemberontak tidak berhenti di Tjacoeng kemudian membuat onar di Bekasi dan kemudian bergerak ke Telok Poetjoeng yang jumlahnya 200 orang.


Pasukan kembali ke Batalion ke-11 dan akan menyusun pasukan dua kompagnie. Ekspedisi ini akan dipimpin Kapten Stoecker.
03-04-1869

Sabtu
Kongsiehuis di Tamboen dibakar. Kongsiehuis juga menjadi tempat tinggal anak Bapak Beirah. Sedangkan Bapa Beirah berhasil melarikan diri (kemudian diketahui melarikan diri ke Buitenzorg).


Asisten Residen Kuijper dan Sherif tiba ke TKP untuk menenangkan situasi. Namun menjadi sumber petaka. Dalam peninjauan ke TKP itu Asisten Residen yang tidak didampingi militer diserang.


Dr. Amenoellah, dokter djawa yang bertugas di Bekasi membanttu yang luka.


Di Meester Cornelis pada pukul setengah 12 tiba isu Asisten Residen Kuijper dan Sheriff Meijer terbunuh,


Pasukan Kapten Stoecker, Letnan vis Eijbergen, Letnan Altensteijn, Letnan von Ende dan Letnan de Jongh bersiap jam 12. Petugas kesehatan Hamilton diperbantukan ke pasukan. Di area antara pal 11 dan pal 15 kemudian bergabung Residen Batavia dan ajun residen polisi yang tiba naik kereta (kuda). Di Oedjoeng Menteng (Pal 17) kira-kira 5 pal sebelum Bekasi, pasukan dipecah. Pasukan utama di bawah Komando Stoecker menuju Telok Poetjoeng. Satu detasemen di bawah komando Letnan von Ende bersama Residen menuju Bekasi untuk berjaga-jaga.


Pada pal 16 tiba gerobak yang mengangkut jasad Asisten Residen dan sherif. Tubuh Asisten Residen luka bekas tombak yang telah dijahit antara rusuk 5 dan 6 dada kiri. Jenasah Asisten Residen dan sheriff diteruskan ke Meester Cornelis. Di Oedjoeng Menteng pasukan dipecah.


Di kali Mang, 2 pal dari Telok Poetjoeng, pasukan pemberontak sekitar selusin orang sudah terlihat di sisi jalan. Asisten Residen polisi meminta meletakkan senjata. Lalu senjata pisau, golok, klewang dan tombak dimuat ke dua gerobak.


Pasukan merangsek ke Kali Abang (Telok Poetjoeng). Pasukan Stoecker bertemu pemberontak. Mereka beresenjata klewang, tombak dan beberapa senapang. Setelah dikepung diminta menyerah.


Para pemberontak yang dalam posisi dikepung sempat terdengar satu teriakan untuk melawan. Namun para pemberontak mengikuti perintah musuh (pasukan militer) dengan membaringkan tubuh (tiarap) di tanah. Diantara pemberontak yang berbaring di tanah masih tampak seorang yang berdiri dengan senjata. Untuk menghindari para pemberontak berdiri mengikuti yang berdiri, para pasukan militer mengikat  para pemberontak yang berbasing dengan tali biar menghambat gerakan mereka selanjutnya.


Para pemberontak hasilnya mengalah tanpa perlawanan. Gerobak yang bersisi senjata juga dibawa ke Bekasi. Sebanyak 162 yang ditangkap (dalam posisi terikat) akan dibawa oleh satu detasemen kavelari ke Bekasi untuk ditahan. Diantara tahanan ini terdapat orang yang melaksanakan pembunuhan terhadap Asisten Residen.


Pasukan infantri melaksanakan penyusuran hingga pal 20. Namun alasannya pasukan yang sudah tampak lelah diputuskan kembali ke Bekasi. Tahanan dibawa ke Bekasi dimana penjara sebagai markas. Ekspedisi akan dilanjutkan esok harinya.
04-04-1869

Minggu
Pasukan dan Residen mulai bergerak ke Tamboen tempat dimana Asisten Residen dan sherif dibunuh (Djaksa berhasil meloloskan diri). Pada dikala perjalanan dilakukan 5 pal terlihat Kongsihuis dari penyewa lahan Bapak Beirah yang menjadi tempat tinggal anaknya yang dibakar masih berasap dan kayu-kayu yang membara. Yang terbakar dari kayu yang terbuat dari kerikil masih utuh. Tubuh Dr. Amenoellah ditemukan di depan halaman dalam kondisi dimutilasi.


(Sementara itu) Detasemen Buitenzorg dengan kekuatan 60 orang Eropa yang dipimpin Letnan Opscholten yang didampingi Asisten Residen Buitenzorg Muschenbroek tiba pagi di Bekasi.


Setelah bertemu Asisten Residen dengan Residen, pada hari yang sama Asisten Residen bersama Residen kembali ke Batavia. Asisten Residen selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg.


Pada sore hari mayat Asisten Residen dan Sherif Meester Cornelis dimakamkan di Tanah Abang di Batavia dengan upacara militer.


Ekspedisi Kapten Stoecker tidak boleh dan sore hari kembali ke Bekasi. Tujuan utama untuk meyakinkan penduduk dan menangkap pemimpin utamanya mandor dari Tjibaroesa. Namun sang mandor yang berjulukan Raden Koesoema tidak ditemukan dan diduga telah pergi ke Tjibaroesa. Dua kompagnie (pasukan) dari Batalion ke-11 akan kembali ke garnisun di Meester Cornelis besok hari.


Raden Kosoema akan dikejar oleh ajun penduduk Buitenzorg dengan pasukannya yang terdiri dari enam puluh orang. Perbatasan Krawang dijaga ketat.
05-04-1869

Senin
Untuk kiprah pengamanan di Bekasi ditransfer kepada satu detasemen infantri dari Tjilingsie.


Sore jam 6 tiba detasemen kavelary di bawah komando Letnan Ritmeester Jhr dan Letnan Dussenten Bosch. Pasukan berkuda ini akan membantu infantri untuk patroli di Kaliabang, Tjikarang, Tjitaroem dll.
06-04-1869

Selasa
Ada lporang dari pendeta Biekhof di Depok. Residen Batavia dan didampingi sheriff berangkat ke Depok dengan membawa pasukan 70 orang.


Di Depok , Residen tidak menemukan indikasi. Residen pada malam harinya tetapkan kembali ke Batavia dengan meninggal sebanyak 25 orang militer untuk keamanan dan melaksanakan penyelidikan di Ratoe Djaja.


Bapa Toenda, salah satu pemimpin utama perlawanan di Bekasi, pada tanggal 6 ini di Residentie Krawang tertangkap dan ditawan ke Meester Cornelis. Juga Tugat dari Tjibaroesa ditangkap di Krawang.


Dari introgasi yang dilakukan terhadap Toenda dan Tugat diperoleh keterangan bahwa Gerakan Buitenzorgsche dan kampung Ratoe-Djaya, telah dimulai.
08-04-1869

Kamis
Di Tjimanggis ditangkap sebanyak 10 orang. Jumlah yang ditangkap dan ditahan pada hari pertama (tanggal 4) sebanyak 162, kini jumlahnya keseluruhan menjadi 172 orang.


Yang ditangkap di Tjimanggis termasuk Bapa Kollot alias Raden Malang, salah satu pemimpin pemberontakan bersama istrinya, ayah mertua dan saudara ipar. Selain itu, Nisa kepala Ratoe Djaja, Sipitang dan Boeang pembantu dari Rama alias Pangeran Alibasa, kepala penghasut pemberontak yang beberapa waktu kemudian (12-17 Maret) mengadakan pesta dan mengadakan pertemuan serta di Tjilingsi Aijang Toebagoes Glentjer dan istrinya, dua diantara pencetus utama pertemuan tersebut.


Mereka yang ditangkap ini dibawa dan ditahan di Depok di bawah pengawasan detasemen infantri Tjimanggis.


Dalam penyelidikan ini termasuk pelukis populer Raden Saleh. Yang ditangkap di Buitenzorg. Penangkapan ini berdasarkan informasi yang muncul di Depok bahwa Raden Saleh tiba ke Ratoe Djaja pada dikala pesta/pertemuan dilakukan pada tanggal 14 Maret.


Informasi ini berasal dari orang Depok mengeluh ketika Residen Batavia tiba ke Depok. Disebutkan bahwa Raden Saleh, pelukis populer yang pernah berguru di Belanda tidak hanya telah menghadiri pesta tetapi telah berperan aktif di Ratoe Djaja.
12-04-1869

Senin
Residen Batavia berangkat ke Buitenzorg pagi ini dan akan melanjutkan ke Bekassie melalui Depok. untuk melanjutkan peninjauan dari perkara ini.


Alasan Residen Batavia ke Buitenzorg yang turut didamping jaksa penuntut umum dalam rangka tuduhan terhadap Raden Saleh. Sebagaimana diketahui Raden Saleh tidak hanya mempunyai rumah di Menteng tetapi juga di Buitenzorg (di Empang).


Dalam perkara Raden Saleh, diketahui dari penyelidikan yang mengaku sebagai Raden Saleh ialah Bapak Kollot alias Raden Malang. Dalam pesta/pertemuan di Ratoe Djaja, Bapak Kollot di depan publik mengaku sebagai Raden Saleh. Pada situasi inilah ‘mata-mata’ dari Depok yang hadir menginformasikan kepada pendeta Biekhof. Informasi inilah yang kemudian disampaikan oleh pendeta Biekhof ketika Residen Batavia berada di Depok pada tanggal 6 April.


Sementara di sisi penduduk, ratifikasi Raden Saleh alias Bapak Kollot menjadi daya tarik sendiri untuk membangkitkan semangat ajakan yang hadir, Kehadiran Raden Saleh di pesta/pertemuan Ratoe Djaja telah mengalami difusi secara cepat di seluruh Afdeeling Buitenzorg dan Afdeeling Bekasi.


Dari Buitenzorg, atas kemauan sendiri, Raden Saleh bersama Residen dan dan jaksa penuntut berangkat ke Depok untuk mempertemukan Raden Saleh dengan Bapak Kollot. Dari hasil konfrontir ini bahwa Bapak Kollot telah menyalahgunakan nama Raden Saleh.


Selanjutnya media menyindir Residen sebelum ke Buitenzorg seharusnya memastikan kebenaran tuduhan terhadap Raden Saleh.


Bapak Kollot telah berhasil membentuk opini dan membangun semangat penduduk. Sementara Residen Batavia telah gagal mengklarifikasi informasi yang berasal dari pendeta Biekhof. Dalam hal ini Bapak Kollot kalah taktis dibandingkan Residen.
19-04-1869

Minggu
Di Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia telah dilakukan oleh satu detasemen untuk memastikan situasi dan kondisi keamanan. Datasemen ini juga untuk mendukung polisi dalam penyelidikan terhadap pemberontak, Detasemen kavelery ini telah menyisir wilayah rata-rata 23 pos per hari selama 14 hari.
Sumber: (periode April 1869-April 1870)
Bataviaasch handelsblad
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad
Didukung sejumlah surat kabar yang terbit di Belanda















Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Kota Depok (49): Sejarah Ratu Jaya, Nama Kampong Populer Tempo Doeloe; Pemberontakan Melawan Belanda, 1869"

Posting Komentar