Sejarah Yogyakarta (2): Sejarah Asal Permintaan Nama Jalan Malioboro Di Yogyakarta; Nama Gedung, Penamaan Jalan Braga Bandung


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap terkenal semenjak era kolonial Belanda hingga masa kini.

Nama jalan yakni penanda navigasi di dalam kota. Nama jalan terkenal selalu menjadi starting point. Nama jalan terkenal yang sudah eksis semenjak tempo doeloe kerap dijadikan sebagai heritage. Sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Maliboro di Yogyakarta juga suatu heritage. Memang ada nama jalan di sejumlah tempat yang menjadi heritage, menyerupai Jembatan Merah di Surabaya, jalan Multatuli di Medan dan jalan  Kramat dan jalan Salemba di Jakarta. Namun nama jalan Braga dan nama jalan Malioboro mempunyai daya tarik sendiri. Karena itu, sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Malioboro selalu lebih terkenal dibanding nama-nama jalan lainnya.

Lantas bagaimana asal permintaan nama Malioboro di Yogyakarta? Pertanyaan ini memang penting, tetapi yang lebih penting yakni mangapa nama jalan tersebut, terusan jalan utara Kraton Yogyakarta, disebut nama Malioboro? Lalu mengapa kita tetap mengusutnya. Hal itu lantaran masih banyak yang bertanya-tanya. Artikel ini mendeskripsikan asal permintaan mengapa nama jalan di Yogyakarta disebut Malioboro.

Profesor Dr. Peter Carey, seorang profesor sejarah dari Oxford diduga pernah menyatakan di dalam bukunya ‘Asal-usul Nama Yogyakarta dan Malioboro’ yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu, bahwa nama Malioboro bukan berasal dari nama jenderal (dan benteng) Malborough di Bengkulu; juga bukan dari nama merek rokok Amerika Marlboro; tetapi Malioboro berasal dari bahasa Sanskerta yakni malyhabara yang artinya untaian bunga. Oleh lantaran itu, jalan Malioboro di Yogyakarta sanggup diartikan sebagai jalan yang bertaburkan untaian bunga. Begitu kesimpulannya, Menarik memang, namun bagaimana malyhabara bergeser menjadi malioboro tidak dijelaskan. Juga tidak dijelaskan bagaimana malioboro menjadi nama jalan. Untuk memperjelas, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah Awal Kota Yogyakarta

Nama Malioboro sebagai nama jalan di Yogyakarta sejatinya gres diadopsi sekitar tahun 1918. Terminologi Malioboro itu sendiri diduga besar lengan berkuasa bergeser dari sebutan Marbongh. Tidak diketahui apakah pelapalan pengecap Eropa/Belanda menyebut Marbongh dari malyhabara yang diusulkan Dr. Peter Carey. Makara terkesan ada pergeseran dari Malyhabara ke Marbongh kemudian menjadi Malioboro. Hal serupa ini juga ditemukan dalam hal nama tempat di Hindia, termasuk dalam catatan yang dibuat pada era VOC untuk Semarang yang ditulis Samarangh

Nama Marbongh, area Kraton Mataram (Peta 1700)
Ekspedisi VOC/Belanda pertama ke pedalaman Jawa hingga ke Mataram dilakukan pada tahun 1695 dari benteng (fort) Missier di Tagal (Tegal) di bawah pimpinan Jacob Couper. Suatu ekspedisi biasanya disertakan antara lain mahir bahasa, mahir geografi sosial, mahir botani dan mahir geologi. Pada ketika itu gres satu-satunya benteng VOC/Belanda di Jawa. Ekspedisi ke Jawa yakni perluasan sehabis sukses Perang Gowa dibawah pimpinan Admiral Cornelis Speelman (1667). Ekspedisi Jacob Couper ini di Jawa dimulai dari Tagal hingga ke selatan kemudian berbelok ke timur ke Mataram, kemudian menyusuri wilayah selatan dan naik lagi ke utara ke Soerabaja. Dari benteng Missier juga dilakukan ekspedisi sisi wilayah dalam pantai utara hingga ke Semarang dan terus ke Soerabaja.  

Penulisan Marbongh kali pertama ditemukan dalam peta yang dibuat antara tahun 1700 dan 1703 (lihat gambar). Peta ini diduga hasil ekspedisi ke Mataram yang dipimpin oleh Jacob Couper.  Peta ini menggambarkan lokasi-lokasi strategis di lingkungan kerajaan Mataram. Wujud peta ini dibuat dari sisi pantai di selatan Jawa. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de Pagger en Campement op Marbongh. Peta ini dibuat sehabis suksesnya ekspedisi yang pertama tahun 1690-an.

Peta Ekspedisi dari Fort Missier di Tegal ke Mataram, 1690
Ekspedisi kedua ke pedalaman Jawa hingga Mataram /Cartosoera dilakukan pada tahun 1706 yang dipimpin oleh Mayor Govert Knol. Ekspedisi ini dimulai dari Soerabaja. Ekspedisi ini menandai awal koloni di Soerabaja. Setelah ekspedisi ini pada tahun 1808 dua benteng untuk mendukung fort Tagal dibangun yakni di Semarang dan Soerabaja. Dua benteng ini dibangun untuk fungsi pertahanan lantaran wilayah Semarang dan wilayah Soerabaja berada di bawah kekuasaan Mataram dengan menempatkan masing-masing Bupati. Ekspedisi-ekspedisi ini dilakukan sehabis sebelum pedalaman Jawa berhasil ditaklukkan pada tanggal 16 Desember 1681 (semacam tindakan tanggapan terhadap Sultan Agoeng yang pernah menyerang Batavia, sekaligus untuk menguasai seluruh Jawa). Ekspedisi ke Mataram ini juga idem dito yang dilakukan sebelumnya ke hulu sungai Tjiliwong untuk menemukan situs eks Pakuan-Padjadjaran. Pada tahun 1687 Sersan Scipio melaksanakan ekspedisi dari selatan Jawa dari muara sungai di Pelabuhan Ratoe yang sekarang. Ekspedisi berikutnya dari Chirebon ke Preanger dan kemudian ekspedisi yang dilakuka pada tahun 1703 yang dipimpin Abraham van Riebeech ke Padjadjaran,

Sejak pemetaan Mataram/Cartosoera pada era VOC nama Marbongh tidak pernah ditemukan lagi. Lantas kapan nama Malioboro muncul dalam teks VOC atau Pemerintah Hindia Belanda belum diketahui. Namun yang terperinci lingkungan kerajaan Mataram/Cartosoera yang digambarkan (peta) semenjak era VOC/Belanda terus berkembang.

Lukisan Kota Mataram (1676)
Perkembangan kota-kota sangat tergantung dengan banyak aspek. Aspek yang penting dalam hal ini yakni aspek perkembangan politik/pemerintahan dan aspek perkembangan transportasi (laut dan darat) yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kota-kota (kota besar) di Jawa dimulai di Semarang (midden) dan Soerabaja (oost).

Pemisahan Mataram dan Java (Peta 1706)
Di Jawa kepingan barat (west) dimulai di Batavia (kini Jakarta) dan Buitenzorg (kini Bogor). Sementara di Sumatra dimulai di Padangsch Benelanden (Padang) dan Tapanoeli (Padang Sidempoean). Di wilayah Indonesia Timur kini hanya dimulai di Makassar. Perkembangan kota-kota ini semakin dinamis semenjak era Daendels (Pemerintahan Hindia Belanda). Seperti halnya, Chirebon dan Buitenzorg terhadap awal pertumbuhan dan perkembangan kota Bandoeng (Bandung) juga berlaku sama dengan awal pertumbuhan kota Semarang dan Soerabaja sebelum kota Mataram atau Jogjakarta (Yogyakarta).
.
Peta Mataran 1724
Dalam hal ini, sebelum kota Yogyakarta terbentuk, pada era VOC/Belanda sudah dipisahkan Mataram dengan Jawa (lihat Peta 1706). Pemisahan ini kelak menjadi batas-batas (kerajaan) Mataram dengan di luar Mataram. Wilayah Mataram yang telah direduksi menjadi hanya sebatas Provinsi DI Yogyakarta yang kini menjadi terisolir. Selebihnya menjadi wilayah Jawa yang dikuasai oleh VOC/Belanda (termasuk Soeracarta) menyerupai Semarang dan Soerabaja cepat bermetamorfosis kota modern. Kerajaan/Kesultanan Mataram yang sebelumnya superpower dan semenjak VOC/Belanda mengubah policy-nya menyebabkan penduduk pribumi di Hindia Timur sebagai subjek, Kerajaan/Kesultanan Mataram dalam posisi terisolir (sebab acara ekonomi dan pembangunan berpusat di wilayah-wilayah pantai utara), Kerajaan/Kesultanan Mataram lambat laun semakin melemah, alhasil pertumbuhan Kota Mataram bersifat statis untuk jangka waktu yang lama.

Kota Djocjocarta, 1771
Dalam hal ini, Kota Yogyakarta, sejatinya bukan kota gres menyerupai Kota Bandung (yang memang baru, mulai dari titik nol). Kota Yogyakarta yakni sebuah kota yang bertransformasi dari kota kuno (Mataram). Kota kuno Mataram hanya sanggup dihubungkan (head to head) dengan kota kuno Pakuan/Padjadjaran. Namun, perbedaannya, kota kuno Pakuan/Padjadjaran sudah usang ditinggalkan dan hancur sehabis serangan Banten (1523), sementara kota kuno Mataram masih eksis hingga kedatangan VOC/Belanda. Oleh lantaran itu sangat sulit membandingkan kota (kuno) Mataram dan kota (kuno) Pakuan/Padjadjaran. Hanya analisis arkeologi yang bisa melaksanakan itu. Kita hanya bisa menganalisis pertumbuhan dan perkembangan Kota Mataram/Kota Jogjakarta usang secara sendiri menurut waktu (kronologis).

Setelah ekspedisi VOC/Belanda ke Pakuan pertama tahun 1687, di lokasi eks kota Pakuan dibangun  benteng (fort)  Padjadjaran yang lokasinya persis di tempat Istana Bogor yang sekarang. Dari benteng inilah kota Buitenzorg (Bogor) dimulai pada era Daendels (1809). Penanda navigasi (Titik Nol) sebagai tirik awal pertumbuhan kota Buitenzorg yakni pembangunan Witte Paal, pal putih yang sering diartikan warga sebagai Tugu Putih yang terletak di Persimpangan Air Mancur Kota Bogor yang sekarang. Hal yang sama kemudian dilakukan di Kerajaan/Kesultanan Mataram dengan pembangunan Witte Paal yang kini dikenal warga Yogyakarta sebagai Tugu.

Masjid Kaoeman di aloon-aloon Jogjakarta (Foto 1870)
Lantas kapan kota kuno Mataram mulai bertransformasi menjadi kota Yogyakarta yang sekarang. Itu harus diidentifikasi dimana Pemerintah Hindia Belanda mulai menempatkan pemerintahannya, apakah setingkat Controleur atau setingkat Residen. Area antara dimana pusat Belanda dan pusat (pemimpin) pribumi akan terbentuk kota gres (hoofdplaat), yakni dalam hal ini antara pusat pemerintahan Belanda (di kantor Residen) dengan pusat (kraton) Mataram. Tipologi ini juga terjadi di Batavia, Semarang, Soerabaja, Bandoeng dan Buitenzorg.

Pada era VOC/Belanda, apakah lantaran faktor politik atau lainnya, kekerabatan pusat VOC/Belanda di Semarang dengan Jogjakarta sangat longgar (juga disebabkan faktor geografis yang jauh). Seetelah 1755 pada jalan tradisional didirikan benteng VOC/Belanda di erat Kraton yakni fort Vredeburg yang didukung beberapa benteng kecil. Salah satu benteng kecil itu pada belokan jalan dari Magelamg ke timur ke Soeracarta (sebelum perpotongan jalan ke kraton Jogjakarta), Di Vredeburg seorang residen ditempatkan semenjak 1786 (lihat Naam Boekje, 1796). Perkebunan-perkebunan di sekitar kraton Jogjakarta dibuka terutama komoditi indigo.

Pada awal Pemerintah Hindia Belanda, intensitas antara pantai utara dan Jogjakarta mulai ditingkatkan. Hal yang pertama dilakukan yakni pemetaan wilayah yang dimaksudkan untuk pembangunan jaringan jalan (Groote weg). Pemetaan jalan ini yakni mengikuti jalan tradisional dari Semarang ke Djogjakarta via Magelang (sejak era VOC/Belanda). Di titik-titik tertentu pada belokan jalan dari Magelamg ke timur ke Soeracarta, yang mana pada titik tertentu persimpangan jalan ke Kraton Jogjakarta dibuat patokan navigasi, Witte Paal (Toegoe). Sehubungan dengan itu, pasca pemetaan dilakukan penempatan pejabat. Residen tidak ditempatkan (lagi) di Vredeburg tetapi di benteng erat Witte Paal ke arah Magelang. Namun tidak usang kemudian terjadi pendudukan Inggris tahun 1811. Di Jogjakarta terjadi perlawanan terhadap Inggris (lihat Java government gazette, 04-07-1812).

Kraton Jogjakarta dan Fort Vredeburg (Peta 1833)
Setelah pendudukan Inggris berakhir (1811-1815), Pemerintah Hindia Belanda kembali menempatkan pejabat (Residen) di Djogjakarta. Kantor/rumah Residen dibangun gres berada di seberang fort Vredeburg. Sementara di sekitar fort Vredeburg sudah berkembang kampement (perkampung Tionghoa) dan pasar di erat benteng. Namun pada awal tahun 1920an mulai timbul ketegangan gres dan memuncak menjadi Perang Jawa (Pangeran Diponegoro: 1825-1830). Pada fase ini penempatan militer sangat banyak di bawah pimpinan Kolonel Cochius (dimana garnisun dibangunn di belakang kantor Residen). Pasca Perang Jawa, semenjak tahun 1830 mulai diterapkan koffiestelsel. Sementara koffiestelsen berlangsung, juga perkebunan swasta berkembang di sekitar wilayah kraton Jogjakarta, yang mana lahan-lahan disewakan kraton kepada swasta sebagai konsesi.

Pasca Perang Jawa (1825-1830), antara pusat Belanda (Kantor Residen) dengan pusat pemimpin lokal (Kraton) yang dihubungkan dengan garis lurus sebagai jalan penghubung yang dijadikan sebagai jalan utama (hoofdweg). Kantor Residen menjadi pusat kota. Sejak itu, perkembangan kota selalu merujuk pada posisi Kantor Residen.

Peta Jogjakarta, 1890
Area di sekitar jalan utama (hoofdweg) inilah muncul pertumbuhan dan perkembangan kota. Kota Mataram/Jogjakarta mulai tumbuh semenjak stuasi dan kondisi aman pada pasaca perang. Berdasarkan pada peta-peta sebelumnya, batas-batas persil lahan perkebunan lambat laun menjadi jalan. Lahan-lahan perkebunan mulai bersaing dengan kebutuhan lahan untuk pemukiman-pemukiman gres yang menyertai pertumbuhan dan perkembangan kota. Peta tertua (Peta 1890) kota Yogyakarta yang berhasil ditemukan diperlihatkan pada gambar di samping. Peta ini meski tidak terlalu rinci tetapi masih sanggup diidentifikasi sebagai hal yang masih bersesuaian dengan lanskap kota Yogyakarta sekarang. Peta kota ini sudah mengidikasikan adanya jaringan rel kereta api, dimana stasion kereta api dibangun di (wilayah) Toegoe.

De locomotief, 17-06-1872
Setelah kereta api Semarang-Ambarawa beroperasi tahun 1869, pada tahun 1870 muncul desakan semoga kereta api dari Tanggoeng dilanjutkan ke Solo dan Djogjakarta (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-03-1870). Hal ini terutama untuk mendukung arus garam yang tidak efisien lagi dari Soerabaja ke Solo melalui transportasi sungai (angkutan balik dengan komodi kopi). 

Jalur kereta api Semarang hingga Djogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1872 dengan jadwal yang sudah ditentukan untuk berhenti pada sejumlah stasion/halte (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-06-1872). Setelah beberapa tahun kemudian jalur kereta api dari Semarang/Ambarawa dengan Djogjakarta dibangun via Magelang.

De locomotief, 08-01-1877
Usulan jalur kereta api Djogjakarta ke Tjilatjap mulai bergulir (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-12-1884). Gagasan ini tidak hanya menjadi lebih murah dari Djogjakarta untuk tiga pelabuhan di pantai utara, tetapi juga arus komodisi dari Ambarawa dan Megelang ke Djogjakarta. Oleh lantaran arus barang dan penumpang yang semakin banyak stasion kereta api di Djogjakarta (Toegoe) ditingkatkan dan selesai tahun 1887. Dalam perkembangannya tahun 1889 ruas antara Djogjakarta dan Magelang dibangun. Dengan demiian, kota Djogjakarta semakin menjadi pusat perdagangan yang penting. Perkembangan kota, yang sebelumnya berpusat di sekitar kantor Residen mulai terlihat di sekitar stasion kereta api Toegoe.

Kota gres Yogyakarta bermula antara area Kraton Mataram/Yogyakarta dengan pusat pemerintahan Belanda. Pada peta 1890 area ini diidentifikasi sebagai area antara kota kuno Mataram yang berada di selatan dan  pusat (pemerintah) Belanda di sebelah utara dimana terdapat stasion kereta api. Jalan lurus sejajar dengan lintasan rel kereta api, diduga besar lengan berkuasa yakni Jalan Raya Jogja (Jalan Raya Ahmad Yani dan Jalan Raya Panembahan Senopati/Jalan Sultan Agoeng). Di selatan jalan raya ini lokasi dimana Kota Mataram kuno atau Kraton Yogyakarta pada masa ini. Jalan lurus dari Kraton ke stasion diduga jalan penghubung antara pusat pemerintah lokal (Yogyakarta) dengan pusat pemerintahan Belanda yang kelak menjadi jalan utama kota dimana kini terdapat ruas jalan Malioboro. Sedangkan jalan sejajarnya ke arah rel kereta api diduga menjadi jalan Mataram/Jalan Katamso yang sekarang.

Jataviasche koloniale courant, 05-01-1810
Perkembangan kota-kota di Jawa terkait erat dengan jaringan transportasi, Satu acara terpenting Pemerintah Hindia Belanda (yang dimulai semenjak 1800) yakni pembangunan jalan utama di seluruh Jawa antara Anjer (di barat) dan Panaroekan (di timur). Proigram ini dimulai pada era Gubernur Jenderal Daendels, 1809. Jaringan jalan utama (Groote weg) yang menjadi jalan Trans-Java dimulai dengan menarik garis dari Batavia ke Anjer (ke arah barat) dan dari Batavia ke Buitenzorg (ke arah selatan). Oleh lantaran Buitenzorg telah menjadi ibukota kedua (setelah Batavia), maka jaringan Trans-Java ke arah timur, tidak dimulai dari Batavia ke Chirebon via Carawang (Karawang), tetapi dari Buitenzorg ke Chirebon melalui pembangunan jalan gres via Tjiseroa, Tjiandjoer, Baybang (melalui Lembang) terus ke Sumadang kemudian Chirebon (Titik Kota Bandung yang sekarang, belum ada, masih rawa-rawa), Rute jalan Trans-Java (Grooteweg) ini dibuat ditetapkan dalam peraturan perundang-undang (reglement atau staadsblad) dan diumumkan ke publik (lihat Jataviasche koloniale courant, 05-01-1810).
     
Rencana kereta api Semarang-Jogjakarta, 1869
Setelah era jalan raya Trans-Java (Grooteweg) di era Daendels, jaringan transportasi mulai berkembang pesat. Jaringan transportasi tersebut selalu merujuk ke posisi jalan Trans-Java (Grooteweg). Dalam perkembangannya jalan Trans-Java dikembangkan dari Semarang ke selatan (Mataram/Jogjakarta) melalui Salatiga, Soeracarta dan ke Mataram/Jogjakarta. Pasca Perang Jawa (Pengeran Diponegoro, 1825-1830) jaringan jalan diperluas melalui Magelang, Demikian juga dari Soerabaja ke Soeracarta. Dalam perkembangannya, semakin meningkatnya volume barang dan tonase kapal/perahu maka muncul kesulitan gres dari wilayah Vortslanden (Soeracarta/Jogjacarta) ke pelabuhan (Semarang/Tandjong Emas) dan Soerabaja/Tandjong Perak). Kesulitan tersebut baik melalui darat maupun melalui sungai Bengawan Solo (karena dangkal di isu terkini kemarau), maka mulai dirintis pembangunan transportasi (massal) kereta api. Lalu muncul planning jaringan rel kereta api pertama (1864) di Hindia yang dimulai dari Semarang ke Cartosorea/Soeracarta via Toengtang.
.
Namun dalam realisasinya yang awalnya untuk fungsi pertumbuhan ekonomi, namun dalam perkembangannya planning yang sebelumnya Semarang-Soeracarta dibelokkan menjadi Semarang-Tanggoeng-Ambarawa (untuk prioritas fungsi pertahanan). Kereta api Semarang-Ambarawa ini mulai beroperasi tahun 1869.

Jalan utama dari Toegoe ke Kraton via Kantor Residen (1888)
Pada berikutnya ruas antara Batavia-Buitenzorg untuk fungsi ekonomi mulai beroperasi tahun 1973, Sejak inilah jaringan transportasi kereta api di seluruh Jawa berkembang dan terhubung antar satu kota utama dengan kota lainnya termasuk menuju Jogjakarta (Mataram). Setelah ruas Semarang-Ambarawa via Tanggoeng, gres kemudian dilanjutkan ruas Tanggoeng-Soercarta dan pada tahap berikutnya dari Soeracarta ke Jogjakarta. Perubahan planning inilah yang menciptakan pertumbuhan kota Soeracarta/Jogjakarta sedikit lebih lambat dibanding kota-kota utama lainnya. Untuk pembangunan ruas Ambarawa-Jogjakarta via Magelang gres dilakukan pada fase berikutnya yang bersamaan dengan pengembangan jalur kereta api jalur selatan (Bandoeng-Jogjakarta vis Tjilatjap).

Sebelumnya jalur kereta api Buitenzorg ke Bandoeng via Soekaboemi dan Tjiandjier mulai beroperasi tahun 1883 dan kemudian dilanjutkan ruas jalur Bandoeng-Chirebon yang bersamaan dengan pembangunan jalur Bandoeng-Jogjakarta. Peta Rencana Perluasan Kereta Api ke Jogjakarta (1869)

Kantor Residen Jogjakarta (1900)
Seperti tampak pada Peta Kota Jogjakarta (1890), jaringan transportasi dari Semarang ke Jogjakarta sudah terhubung, demikian juga jaringan transportasi kereta api jalur selatan (Bandoeng-Jogjakarta). Dari sinilah kemudian menandai awal perkembangan kota Jogjakarta dengan semakin bersinerginya moda transportasi darat (pedati kerbau dan kereta kuda) dengan moda transportasi kereta api. Sejak ini pula Kota Jogjakarta berkembang terus hingga munculnya nama Jalan Malioboro di Kota Yogyakarta.

Asal-Usul Nama Jalan Malioboro

Kota Jogjakarta berkembang, berkembang terus. Suatu kota, termasuk Jogjakarta, berkembang lantaran aneka macam faktor. Faktor terpenting yakni faktor ekonomi yang mana sebagai faktor akselerasi (pendukung utama) yakni keberadaan transportasi kereta api, spesifiknya dimana stasion kereta api ditempatkan. Sebagaimana yang sudah ada di tempat lain, lebih dulu ada transportasi 3 multi moda (pelayaran laut, darat dan kereta api) di Batavia, Semarang, Soerabaja dan Padang dan transportasi 2 multi moda di Buitenzorg dan Bandoeng di Kota Jogjakarta dengan 2 multi moda gres terwujud belakangan. Kota multi moda Jogjakarta relatif bersamaan dengan Kota Medan.

Faktor lainnya yang terpenting dalam memacu perkembangan kota yakni kota sebagai pusat pemerintahan kolonial. Berdirinya bangunan-bangunan pemerintah baik untuk uusan administratif maupun untuk urusan ekonomi (perusahaan pemerintah). Kota sebagai pusat perdagangan, pust pendidikan dan pusat wisata memperbanyak bangunan-bangunan perjuangan menyerupai toko dan gudang, bangunan-bangunan sekolah Eropah dan sekolah untuk pribumi, serta bangunan-bangunan fasilitas (losmen dan hotel). Juga dibangunnya pusat-pusat kemasyarakatan menyerupai organisasi (societeit), taman, lapangan (termasuk lapangan balapan kuda dan sepak bola). Tentu saja munculnya pasar-pasar gres baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.   

De locomotief, 26-06-1865
Salah satu bangunan yang terdapat di jalan utama sebelum adanya moda transportasi kereta api yakni sebuah losmen (logement). Losmen ini berjulukan Malioboro. Losmen ini dibuka pada tahun 1865 oleh Vincent (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-06-1865). Dalam perkembangannya pada tahun 1869 muncul nama losmen gres di Djogjakarta yang dibuka pada tanggal 18 (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-06-1869. Losmen ini diberi nama Mataram. Losmen Mataram ini berada di sebelah utaranya Losmen Malioboro. Baru sehabis adanya stasion kereta api di Djogjakarta muncul bisnis fasilitas gres yang disebut hotel.

Selain Losmen Malioboro dan Losmen Mataram di Jogjakarta pada tahun-tahun sehabis adanya moda kereta api terdeteksi sebuah hotel yang berjulukan Hotel Centrum. Hotel ini paling tidak sudah beroperasi pada tahun 1898 (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-11-1898). Hotel Centrum ini berlokasi di dekat/seberang jalan societeit (dekat Kantor Residen). Jika mengacu pada kota-kota pedalaman, ada perbedaan sedikit antara losmen (logement) dengan hotel. Di Buitenzorg, suatu kota pedalaman yang terbilang pertama mempunyai akomodasi, losmen yang ada menyediakan tempat untuk kuda (istal), sedangkan hotel tidak menyediakannya. Para tamu hotel cenderung orang-orang yang menyewa kereta kuda (seperti pejabat, investor atau pelancong). Keberadaan losmen selalu mendahului keberadaan hotel. Pengelola losmen yakni pemilik dan sekaligus tinggal di losmen tersebut, sedangkan pemilik hotel yakni investor yang belum tentu tinggal di hotel tersebut. Losmen Malioboro berada di pangkal kota (sebelum area kampement Tionghoa, tempat dimana kereta-kereta kuda jarak jauh (semacam bis AKAP) tiba dari Soeracarta atau Semarang. Hotel Centrum berada di erat ibukota (Kantor Residen). Dari losemen ke hotel memakai kereta kuda lokal (semacam angkot). Losmen dalam hal ini sering disebut pesanggrahan.

Namun bagaimana losmen pertama di Jogjakarta ini disebut Losmen Malioboro juga tidak begitu jelas. Kedua losmen yang berada di Djogjakarta dimiliki orang Eropa/Belanda. Yang terperinci Losmen Malioboro yakni salah satu tempat fasilitas utama di Kota Jogjakarta. Losmen ini masih dimiliki oleh Vincent (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-04-1872). Losmen Malioboro disebut losmen yang menyenangkan. Losmen ini juga terletak tidak jauh dari pasar besar (samping Vredeburg), sehabis kampemen Tionghoa. Pasar ini kelak dikenal sebagai Pasar Beringharjo.

Grand Hotel di Jogjakarta, 1910
Tempat fasilitas di Jogjakarta jumlahnya bertambah dari waktu ke waktu. Losmen pertama dibuka pada tahun 1865 (Losmen Malioboro). Lalu muncul losmen kedua pada tahun 1869 (Losmen Mataram). Sedangkan hotel pertama terdeteksi kali pertama pada tahun 1898 (Hotel Centrum). Pada tahun-tahun berikutnya didirikan Hotel Grand dan Hotel Mataram. Namun sebelum dua hotel ini berdiri diduga sudah berdiri hotel di erat stasion kereta api (Hotel Toegoe). Hotel Mataram dan Losmen Mataram berdampingan yang diduga dimiliki oleh pemilik yang sama.

Selain berfungsi sebagai tempat akomodasi, Losmen Malioboro juga kerap dipakai untuk pertemuan umum, baik oleh swasta maupun pemerintah. Organisasi Boedi Oetomo yang didirikan tahun 1908  kali pertama memakai losmen Malioboro sebagai tempat rapat pada tanggal 4 Oktober 1909 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1909).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1909
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1909: Dalam surat edaran lebih lanjut Komite Sentral Asosiasi Boedi Oetomo diumumkan bahwa hingga diadakannya Sidang Umum (kongres) kedua di Djokja, izin dari Residen Djokjakarta diperoleh dan bahwa pertemuan ini akan diadakan pada tanggal 10 Oktober dan hari-hari berikutnya (tanggal 9 Oktober ditetapkan sebagai hari awal), dan diadakan di Loge Malioboro (taman kota). Rapat akan dibuka pada malam hari pukul 9 dan semua orang bebas untuk hadir. Pada hari pertama Dewan Eksekutif akan membahas keadaan serikat, menjelaskan tujuan Boedi Oetomo, dan hal terkait dengan organ yang akan dibentuk, dll). Catatan: Kongres pertama Boedi Oetomo bulan Oktober 1908 juga diadakan di Jogjakarta (setelah pendiriannya pada bulan Mei 1908).

Pada tahun 1912 nama losmen Malioboro sudah diidentifikasi oleh publik sebagai pananda navigasi dalam kota (pada Peta 1909 ruas jalan tersebut sudah ditandai sebagai Malioboro). Area sekitar losmen juga kerap disebut sebagai tempat Malioboro (lihat contohnya Bataviaasch nieuwsblad, 09-12-1912). Pada tahun 1918 sudah ada yang secara eksplisit menyebut jalan di depan Losmen Malioboro sebagai jalan (weg) Malioboro. Disebutkan perusahaan NV Djokjasche Machinehandel mangadakan rapat umum di Toko Van Biene yang terletak di Jalan Malioboro (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1918).

Jalan utama (hoofd weg) Jogjakarta (Foto 1920)
Losmen Malioboro sepertinya sudah berganti pemilik (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1918, no 46, 08-01-1918). Disebutkan direktur gedung Logeergebouw Malioboro yakni Vermeeren. Sebagaimana di tempat lain, aministrator losmen biasanya merangkap sebagai pemilik, tetapi kalau fungsi direktur bukan pemilik, itu berarti profesional yang dipekerjakan sebagai manajer. Sebagaimana losmen Malioboro, losmen Mataram juga masih eksis. Hal ini terdeteksi pada tahun 1920 Boedi Oetomo mengadakan rapat umum (lihat De Preanger-bode, 15-04-1920). Untuk sekadar menambahkanm sebelumnya, pada Peta 1903 sudah diidentifikasi keberadaan Hotel Mataram. Ada dugaan pemilik losmen Mataram yakni juga investor Hotel Mataram. Sebab losmen dan hotel Mataram, kedua tempat fasilitas tersebut para berdampingan. Jalan utama (hoofd weg).
.
Jalan Malioboro dari waktu ke waktu semakin dikenal dan terkenal. Dalam berita-berita maupun dalam iklan-iklan Jalan Malioboro disebutkan. Jalan Malioboro yang semenjak usang disebut jalan utama (hoofdweeg) juga jalan lain kemudian disebut jalan utama. De Indische courant, 09-08-1923 menyebutkan jalan utama (di) Jogjakarta yakni ruas jalan Toegoe, Malioboro, Patjinan dan Résidentielaan.

De Indische courant, 09-08-1923
Pada tahun 1924 dibuka jalan gres di Jogjakarta (De Indische courant, 11-02-1924). Disebutkan bahwa pada hari Sabtu pagi diadakan di gedung Nillmij pembukaan jalan gres sebagai jalan penghubung dengan lingkungan gres (nieuwe wijk) Malioboro. Pembukaan jalan gres ini dilakukan oleh Sultan dan Residen. Jalan gres ini terletak erat dengan Grand Hotel. Masyarakat akan diizinkan untuk berjalan di jalan/jembatan tersebut pada pukul 12 siang. Dari informasi-informasi tersebut bahwa nama Malioboro tidak hanya sebagai jalan utama (hoofdweg) tetapi juga area di sekitar menjadi kelurahan gres (nieuwe wijk) yang baru. Grand Hotel sendiri paling tidak sudah terdeteksi pada tahun 1910. Namun nama Hotel Centrum tidak pernah muncul lagi. Terakhir terdeteksi Hotel Centrum tahun 1905. Pada tahun 1914 muncul nama Hotel Centrum di Soerabaja. Oleh lantaran lokasi yang berbeda dengan Hotel Centrum, besar dugaan Grand Hotel dimiliki oleh investor gres di tempat yang baru. Nama Grand Hotel juga muncul di Soekaboemi. Beberapa tahun kemudian keberadaan nama Hotel Grand muncul Lembang. Grand Hotel sanggup dikatakan suksesi Hotel Centrum yang kemudian bersaing dengan Hotel Mataram.

Lantas bagaimana dengan Losmen Malioboro?.Meski sudah ada hotel besar (Hotel Grand dan Hotel Mataram) di Jalan Malioboro, keberadaan Losmen Malioboro masih tetap eksis, paling tidak hingga tahun 1924 ini (lihat  De Indische courant, 15-08-1924). Disebutkab bahwa di Loge Malioboro diadakan pertemuan umum. Jalan Malioboro lambat laun menjadi sangat ramai. Akan tetapi dalam perkembangannya Loge Malioboro tidak pernah muncul lagi.

Jalan Malioboro (Foro 1931)
Di Bandoeng, menyerupai halnya Jalan Malioboro yang terkenal juga terdapat jalan yang terkenal yakni Jalan Braga. Awalnya nama Btaga yakni sebuah organisasi pecinta seni (musik, opera dan lainnya). Gedung gres Braga ini terletak di erat Societeit Concordia yang berlokasi di hook jalan Trans-Java, Grooteweg dan Jalan Aisten Residen. Tidak jauh dari gedung Societeit Concordia di Jalan Asisten Residen berada gedung (asosiasi seni) Braga. Lambat laun gedung seni Braga ini menjadi terkenal lantaran kerap dilakukan konser musik dan pertujukan lain. Dalam perkembangannya Jalan Asisten Residen lebih dikenal sebagai Jalan Braga.
 
Pada Peta 1925 di sekitar Jalan Malioboro tidak ditemukan lagi nama Losmen Malioboro. Nama-nama bangunan di seputar Jalan Malioboro yang terkenal yakni Hotel Grand, Hotel Mataran dan Loge Mataram. Nama loge Malioboro tidak terdeteksi lagi. Lantas bagaimana selesai sejarah Loge Malioboro?

Hilangnya nama Loge Malioboro sepintas yakni teka-teki. Tetapi bergotong-royong gampang ditebak. Penjelasannya yakni sebagai berikut: Pada tahun 1909 Loge Malioboro berada di taman kota (stadtuin), Losmen Maliboro dan Losmen Mataram berdampingan. Lalu pemilik Losmen Mataran membangunn Hotel Mataram. Dalam perkembangannya, pemilik Losmen Mataran tidak hanya membangun hotel, tetapi juga mengakuisisi Losmen Malioboro. Lalu Hotel Mataram tetap di tempatnya, sedangkan losmen yang sebelumnya berjulukan Malioboro diganti dengan nama Loge Mataram. Lantas bagaimana dengan losmen Mataram? Area losmen ini telah diubah menjadi perluasan Hotel Mataram.  Dengan demikian di area sisi timur Jalan Malioboro ini hanya eksis Hotel Mataram dan Loge Mataram. Memang Losmen Maliboro telah tamat, tetapi namanya masih eksis sebagai nama jalan.

Loge Malioboro dalam hal ini sanggup dikatakan sebagai tempat penginapan (pesanggrahan) paling awal di Jogjakarta. Nama Losmen Malioboro telah bertransformasi menjadi nama jalan utama di Jogjakarta, Jalan Malioboro. Hal yang menyerupai dengan ini di Bandoeng, gedung seni Braga telah bertransformasi menjadi nama Jalan Braga. Pasca kemerdekaan RI (setelah legalisasi kedaulatan RI oleh Belanda) Loge Mataram (eks Loge Maliboro) dijadikan sebagai gedung dewan (kini di lokasi tersebut berada Gedung DPRD). Pada tahun 1950 nama-nama jalan di seluruh Indonesia direvisi: nama-nama Belanda dan nama-nama Tionghoa diganti. Salah satu nama Belanda, Jalan Braga tetap dipertahankan. Hal ini lantaran Jalan Braga yakni heritage. Sehubungan dengan perubahan nama-nama jalan ketika itu, nama Jalan Malioboro tidak perlu diubah dan bahkan tidak perlu dipertimbangkan, lantaran Jalan Malioboro yakni nama jalan, orisinil Indonesia.

Asal Usul Mataram Menjadi Kota Modern

Ada perbedaan Kota Mataram kuno dengan Kota Yogyakarta modern. Semua kota-kota bau tanah di Indonesia pada masa kini, cikal bakalnya, seharusnya dilihat dan dimulai semenjak kehadiran Belanda di kota tersebut. Sebab, mereka dengan sadar merancang kota sebagai pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sosial. Pengalaman mereka dari Eropa yang cenderung hidup sebagai warga kota (urban) memahami betul bagaimana mereka memulai lingkungan gres sebagai kota baru.

Secara teoritis VOC/Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mengakuisisi kota (kampung) usang menjadi kota baru. Faktanya VOC/Pemerintah Hindia Belanda, lantaran aneka macam faktor, mereka memulai kota gres di tempat/ruang yang kosong tetapi tidak jauh dari kampung (kota) lama. Sebab, penduduk pribumi yakni kawan strategis mereka.

Pada era VOC permulaan kota gres dimulai dari benteng (fort). Sementara pada era Pemerintahan Hindia Belanda, meski terkesan berbeda tetapi mempunyai pola sama, permulaan kota gres dimulai dari kantor pemerintah (controleur/asisten residen, Residen/Gubernur). Dari dua titik inilah kota tumbuh dan berkembang. Dalam fase perkembangan awal, kota Eropa/Belanda mulai terintegrasi kota modern Eropa/Belanda dengan kota tradisional pribumi.

Lalu dalam perkembangan lebih lanjut, kepingan kota tradisional ditingkatkan melalui perbaikan maupun penggantian atau tata ulang baik lantaran inisiatif sendiri maupun kepingan dari acara pemerintah (hasil keputusan dewan kota). Oleh karenanya permulaan kota modern dimulai dari area (kota) Eropa/Belanda kemudian diintegrasikan dengan pemukiman Tionghoa/Arab dan orang pribumi (tempatan).

Kota Mataram/Yogyakarta usang bermula ketika di erat Kota Mataram mulai didirikan benteng (fort) Vredeburg. Sebagaimana Kota Mataram (di dalam pagar), benteng VOC/Pemerintah Hindia Belanda ketika memulai koloni, sejatinya benteng (fort) dan di dalamnya menggambarkan semacam miniatur kota. Bangunan utama di dalam benteng yakni rumah/kantor pejabat tertinggi (sebagai komisaris), Bangunan lainnya yakni rumah para pedagang lainnya dan petinggi militer, barak militer, barak tenaga kerja (kuli), bangunan gudang komoditi (ekspor), bangunanbahan kebutuhan sehari-hari, bangunan tempat persenjataan dan bangunan untuk tahanan.

Benteng sebagai fungsi pertahanan, benteng juga dilengkapi dengan beberapa bastion. Sementara pintu gerbang benteng dibuat dua. Pintu gerbang utama yang dijaga ketat dan pintu kedua (di belakang atau di samping sebagai pintu escape). Pintu utama menghadap ke jalur utama (perdagangan) dan pintu escape ke jalur kanal sekunder (yang biasa sulit/jarang dilewati yang merupakan barier menyerupai laut, sungai, tebing dan sebagainya).      

Benteng Vredeburg didirikan di era VOC/Belanda sekitar tahun 1760. Oleh lantaran rezim VOC/Belanda telah bergeser menyebabkan penduduk sebagai subjek semenjak 1667 (setelah VOC/Belanda menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa), pemerintahan VOC/Belanda tidak hanya sekadar berdagang di pantai, tetapi mulai  merintis pengembangan komoditri ekspor melalui koloni (hidup di tengah penduduk) sambil membangun kekuasaan. Pembangunan benteng Vredeburg di Mataram yakni wujud misi kolonisasi itu. Pembangunan benteng sejatinya yakni awal mulai fungsi pemerintahan dimana tempat tinggal dan kantor para pejabat VOC/Belanda berada di dalam benteng. Benteng sendiri sekaligus menjadi fungsi pertahanan.   

Di Macassar, selain benteng Rotterdan juga teedapat benteng Vredeburg. Mengapa dibuat dengan sama sama, boleh jadi lantaran pembangunannya di masa yang sama, investornya besar kemungkinan berasal dari Vredeburg. Benteng VOC/Belanda di Cartosera, 1705 (1=lingkungan kraton; 2-benteng VOC)

Posisi benteng Vredeburg mengambil posisi di utara kraton Mataram. Posisi benteng yang berada di luar area kraton menempati lahan kosong yang tidak produktif. Posisi ini menarik garis terdekat dengan posisi benteng-benteng lain yang berpusat di benteng Missier di Tegal (dibangun 1705). Benteng besar VOC/Belanda lainnya di Rembang, 1708, di Demak, 1708 dan Japara, 1708 dan benteng Semarang, 1708 di muara sungai Semarang. Benteng terdekat dari Mataram yakni benteng kecil VOC/Belanda di Cartosoerra yang keberadaannya sudah ada pada tahun 1705. Benteng-benteng kecil antara Semarang dan Cartosoera ada sebanyak tujuh buah. Benteng di Tegal, 1706 dan Benteng di Rembang, 1708

Belum pernah ditemukan benteng ditempatkan di lahan pertanian (sawah dan kebun) dan bahkan tidak jarang benteng didirikan di lahan marjinal menyerupai lahan yang lebih rendah atau rawa-rawa. Pembangunan benteng di Mataram, lantaran tidak ada maritim dan sungai agak jauh, posisi yang diambil yakni mengadap ke jalan utama. Jalan utama ini yakni jalan utama menuju pintu gerbang (gate) Kraton Mataram. Perencanaan pembangunan benteng bukan oleh petinggi militer tetapi para mahir pertahanan, mahir teknik sipil dan bahkan menyertakan mahir geografi sosial (landschappen). Benteng Vredeburg meski berada di darat, benteng diperkuat dengan membuar barier dengan menggali selokan besar yang mengelilingi benteng. Antara benteng dengan jalan dibangun jembatan penghubung yang menjadi jalan menuju pintu gerbang benteng. Benteng menjadi benar-benar terlindung di tengah-tengah wilayah penduduk Mataram. Besar kecilnya benteng yang dibuat VOC/Belanda sangat tergantung pada perhitungan prospektif wilayah di sekitarnya secara ekonomi. Dalam hal ini, benteng yang nilainya ribuan gulden menjadi investasi awal, yang tentunya harus kembali dalam bentuk manfaat (ekspor, pajak dan kekuasaan yang semakin besar lengan berkuasa di wilayah).

Posisi benteng Vredeburg dan Kraton Mataram ini masih terlihat terperinci hingga kini di ruas jalan Margo Mulyo. Antara letak Kraton dan letak benteng kelak dikembangkan atau bermetamorfosis aloon-aloon kota gres di era Pemerintahan Hindia Belanda.

Selama VOC/Belanda benteng terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Namun perkembangan area di antara kraton Mataram dan benteng Vredeburg tidak mengalami banyak perubahan spasial. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, terutama era Daendels, perubahan spasial mulai terjadi. Langkah pertama yang dilakukan yakni mengakuisi lahan-lahan tertentu untuk dipakai bangunan pemerintah dengan cara membeli baik dari swasta maupun dengan cara konsesi dengan pemimpin lokal (raja atau sultan).

Pasca perang Jawa (1825-1830) Pemerintah Hindia Belanda kembali menempatkan orangnya di Jogjakarta setingkat Asisten Residen yang berkedudukan di Mataram/Jogjakarta. Seperti di tempat lain, rumah pemerintah (Asisten Residen) tidak lagi di dalam benteng (fort) tetapi dibangun oleh detasement zeni militer yang lokasinya tidak jauh dari benteng. Dengan kata lain, para pemimpin pemerintahan (Hindia Belanda) sudah mulai berada di luar benteng lantaran tidak memadai lagi.

Berdasarkan Almanak 1810 belum ada pejabat di Jogjakarta. Pejabat Belanda hanya terdapat di district Tagal, Paccaloengan, Japara dan Rembang. Pada era pendudukan Inggris (1811-1815) konsentrasi orang Eropa/Inggris hanya terdapat di Batavia, Buitenzorg, Semarang dan Soerabaja dan kota-kota pantai lainnya. Satu-satunya kota di pedalaman yang cuku banyak orang Eropa/Inggris yakni Soeracarta. Sebaliknya di Jogjakarta tidak seorang pun ditemukan orang Eropa (lihat Almanak 1815). Pemerintah Hindia Belanda yang kembali berkuasa mulai memasuki wilayah-wilayah pedalaman (ekspansi) sekitar tahun 1820. Di Jogjakarta pada tahun 1827 terdapat pejabat setingkat residen, Asisten Residen (Jhr JB de Salis), post-kommies, guru, pengawas koffi kultuur, Namun pemerintahan ini tidak terlalu efektif lantaran situasi dan kondisi keamanan (Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro). Setelah Perang Jawa terlihat peningkatan garnisun di Djogjakarta, yang setingkat dengan di Semarang. Disamping itu fungsi/pejabat sipil juga bertambah. Jumlah orang Eropa/Belanda di Djogjakarta sudah lebih dari 100 orang (lihat Almanak 1831), kira-kira setengah dari jumlah yang terdapat di Soeracarta. Berdasarkan Almanak 1831 di Soeracarta sudah ada sekolah negeri, sementara di Djogjakarta belum ada sekolah namun sudah ada seorang dokter. Aktivitas gereja/zending mulai terlihat di Soeracarta dan Djogjakarta. Residen Djogjakarta yakni Mr ]EW van Nes yang dibantu oleh pejabat lokal Raden Adipattie Danoe Redjo dan dibantu dua orang Eropa/Belanda masing-masing sebagai sekretaris dan penerjemah (bahasa Jawa-Belanda). Koffiestelsen juga mukai diterapkan di Djogjakarta. Struktur pemerintahan tampak lebih gemuk di Soeracarta,

Dengan semakin banyaknya urusan dan semakin banyak pegawai-pegawai yang membantu, pemerintahan juga semakin tinggi dan meluas. Meski bangunan-bangunan pemerintah sudah berada di luar benteng, namun untuk urusan pertahanan benteng tetap diperhitungkan plus membangun garnisun-garnisun militer baru. Fungsi benteng di Jogjakarta hanya dipakai untuk (tempat) pertahanan terakhir.

Rumah/kantor Asisten Residen Jogjacarta ini dibangun persis di depan benteng Vredeburg. Luas lahan peruntukkan rumah/kantor Asisten Residen ini hampir seluas lahan benteng Vredeburg. Jalan yang berada di antara bangunan benteng dan bangunan benteng yang merupakan jalan utama dari Kraton kemudian dalam perkembangannya dibangun jalan di sisi dua bangunan ini ke arah kraton. Jalan gres ini dari barat ke timur sehingga hook dua bangunan milik pemerintah Hindia Belanda ini menjadi perempatan. Jalan ini kini dikenal sebagai Jalan Jogja/Panembahan Senopati. Dua bangunan pertama VOC/Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda ini kelak menjadi Gedung Museum Benteng Vredeburg dan Gedung Agung Yogyakarta. Rumah Residen di Jogjakarta, 1900

Pembangunan jalan gres ini (kini Jalan Jogja) akhirnya menjadi semacam garis pembatas antara lingkungan Eropa/Belanda (di sebelah utara) dan lingkungan kraton (di selatan). Dalam perkembanganya, ruang kosong antara jalan gres dengan pagar/tembok kraton semacam ruang demarkasi antara Eropa/Belanda (pemerintah) dengan pribumi (kraton).

Salah satu bangunan pertama yang dibangun sehabis kantor Asisten Residen yakni bangunan untuk mahkamah. Lembaga peradilan ini dalam perkembangannya menjadi Landraad. Gedung mahkamah/landrasd dibangun di sisi selatan benteng Vredeburg atau sisi kanan jalan utama antara kraton dan benteng Vredeburg. Dalam perkembangannya di sekitar gedung mahkamah ini dibangun kantor pos. Kelak kantor pos ini diintegrasikan dengan kantor telegraaf (menjadi Kantor Pos dan Telegraf).

Sehubungan dengan meningkatnya acara perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang berasa; dari pantai utara, maka kampement (perkampungan Tionghoa) ditempatkan di utara benteng Vredeburg. Seperti di kota-kota lain, penempatan yang berbeda ini selalu dilakukan. Di Mataram/Djokjakarta sudah terbentuk tiga lingkungan pemukiman: pribumi (sekitar kraton), Eropa/Belanda di sekitar benteng dan kantor Asisten Residen; serta lingkungan Tionghoa (di utara benteng).

Untuk para pendatang lainnya, terutama dari golongan Moor dan Arab menempati lingkungan yang erat dengan kraton dan penduduk pribumi lainnya. Lingkungan pendatang Atab/Moor ini berada di sisi selatan Kantor Residen erat dengan kraton. Persisnya di sisi barat aloon-aloon. Lingkungan ini kemudian dikenal sebagai Kaoeman dimana terdapat masjid besar. Dengan demikian warga kota Jogjakarta semakin beragam: pribumi, Eropa/Belanda, Tionghoa dan Arab/Moor. Di area empat lingkungan inilah bermula kota modern Djogjakarta. Di area lingkungan orang Tionghoa cepat berkembang sebagai pusat pedagangan eceran. Lingkungan ini kemudian dikenal sebagai Petjinan.

Oleh lantaran ujung kota Djogjakarta berada di lingkungan kraton, maka acara ekonomi lebih berkembang ke arah utara, di sekitar Petjinan dan sebelah utaranya lagi. Untuk mengantisipasi para pendatang yang tiba dari arah utara (Soeracarta dan Semarang) menyerupai petugas pemerintah, wisatawan dan investor maka muncul penyedia fasilitas yang dalam hal ini didiga yang pertama yakni pendirian losmen Malioboro. Losmen ini berada di pangkal jalan utama di utara Petjinan.

Demikianlah selanjutnya, kota Djogjakarta terus berkembang. Di lingkungan Eropa/Belanda semakin banyak bangunan pemerintah dan juga semakin banyak orang Belanda sebagai pegawai-pegawai yang memerlukan perumahan; di lingkungan Tionghoa semakin banyak orang-orang Tionghoa dan di lingungan Kaoeman semakin banyak pendatang yang beragama Islam. Satu kelompok lagi yakni para militer yang mengambil tempat di dalam benteng atau belakang benteng. Societeit Vereeniging, 1939  

Wilayah (Residentie) Mataram/Djogjakarta kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Residen. Rumah/kantor Residen dibangun di erat kantor/rumah Asisten Residen. Dengan semakin intensnya pemerintahan (yang terlihat dari peningkatan kepala pemerintahan dari Asisten Residen menjadi Residen) juga terjadi bertambah banyaknya orang Eropa/Belanda di Djogjakarta dan juga semakin banyaknya tentara dan pensiunan militer maka muncul organisasi-organisasi sosial (societeit).

Setelah tiga puluh tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda semakin berkembang bahkan hingga ke wilayah-wilayah pedalaman. Jika dibandingkan kondisi tahun 1831, situasi dan kondisi di Djogjakarta sudah banyak berubah. Sejak tahun 1865 Residentie Djogjakarta dibagi ke dalam delapan regentsachappen: Banteol, Kalasan, Sleman, Nanggoelan. Kalibawang, Sentala, Pegasik dan Goenoeng Kidoel. Total sebanyak 115 distrikten dan 4.381 desa dengan jumlah penduduk  Eropa/Belanda sebanyak 1.143 jiwa, pribumi 366.553 jiwa dan Tionghoa 1.752 dan lainnya 149 jiwa. Sejak 1865 Residen yakni AJPHD Bosch. Perangkat pemerintahan semakin lengkap. Residen dibantu ajun residen dan urusan pertanian, djaksa, penghoelo dan para pemimping Tionghoa. Di masing-masing regentschappen dipimpin oleh seorang bupati yang pribadi berada di bawah Sultan.

Bagaimana citra situasi dan kondisi umum di Jogjakarta dilaporkan seorang pelancong yang dimuat pada surat kabar Delftsche courant, 17-09-1867 yang sanggup digarisbawahi sebagai berikut: Jalan dan jembatan menuju Jogjakarta dari Magelang/Ambarawa sangat jelek bahkan hingga mendekati kota Jogjakarta, jauh lebih jelek daripada Soerakarta, sangat berbahaya untuk kendaraan kereta (kuda). Kehidupan sosial di Jogjakarta tampak sangat jelek dibandingkan Soeracarta. Di sepanjang jalan menuju pasar besar dan di sepanjang pasar besar yang kaya yakni para haji. Di sebelah timur pasar itu juga ada makam Panembahan Sénapati. Saya tiba ke Kantor Residen untuk menunjukkan paspor saya ditandatangani. Sawah dan padi tidak bagus di Jogjakarta: selama kehadiran saya harga beras per pikol yakni tiga belas gulden, suatu dampak bahwa tanah-tanah hampir seluruhnya disewakan kepada orang Eropa. Bentuk dessa dalam kondisi yang buruk. Laki-laki sepertinya sangat kurus lantaran kelangkaan makanan dan banyak ditemukan aneka macam jenis penjahat. Saya tinggal di Jogja tidak terlalu usang dan tidak sanggup menyampaikan semuanya sepenuhnya.

Adanya societeit menandai awal munculnya kehidupan kosmopolitan (urban). Melalui societeit berkembang kegiatan-kegiatan sosial menyerupai pacuan kuda, pentas seni dan pertunjukan serta minat-minat khusus lainnya baik di kalangan cendekia balig cukup akal maupun belum dewasa orang Eropa/Belanda. Untuk orang-orang militer termasuk pensiunan membangun ruang pertemuan societeit di berdiri di belakang benteng. Sedangkan orang Eropa/Belanda (pemerintah/swasta) membangun gedung societeit di dalam lahan pemerintah (di erat Kantor Residen). Societeit ini disebut Societeit Vereeniging. Societeit ini juga menjadi simpul bagi para pangeran-pangeran berinteraksi secara intensi dengan orang-orang Eropa/Belanda

Pada tahap berikutnya mulai bermunculan para investor-investor besar baru. Para investor besar ini menyerupai sebelumnya, umumnya orang-orang Eropa/Belanda. Para investor menyewa lahan-lahan yang lebih luas dari orang kraton (konsesi). Makin usang makin jauh lahan-lahan konsesi ini. Disamping itu juga mulai masuk perusahaan-perusahan besar di bidang jasa untuk melayani para investor di bidang keuangan, perdagangan dan layanan lainnya. Perusahaan jasa ini apakah milik swasta atau milik pemerintah. Perusahaan-perusahaan itu antara lain Nillmij, Java Bank dan Escompto.

Semakin banyak para investor masuk ini sehubungan dengan beroperasinya jalur kereta api Semarang-Djogjakarta via Soeracarta. Stasion kereta api ditempat di utara jalan utama yang kemudian dikenal Toegoe. Adanya stasion kereta api di Toegoe menciptakan positioning losmen Malioboro semakin baik.

Sudah semenjak usang Djogjakarta terisolasi, apakah terkait dengan politik atau faktor geografis yang memang dari sudut pandang kemajuan di pantai-pantai utara Dogjakarta seakan wilayah terpencil. Namun dengan adanya jalur kereta api menciptakan Djogjakarta semakin terbuka dan lebih cepat berkembang. Seperti dilaporkan seorang pelancong tahun 1867 kehidupan sangat sulit di Djogjakarta (relatif terhadap kota-kota lain di pantai utara termasuk Soeracarta). Keadaan yang mulai membaik semenjak adanya kereta api, tetapi Djogjakarta sangat tertinggal dalam hal bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan Soeracarta termasuk terawal dalam kemajuan pendidikan, lebih-lebih sehabis dibukanya sekolah guru (kweekschool) negeri yang pertama pada tahun 1851 di Soeracarta. Sekolah guru kedua dibuka di Fort de Kock tahun 1856. Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah dasar di Mandailing en Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) Residentie Tapanoeli berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akte guru. Orang pribumi pertama studi ke Belanda. Setelah lulus tahun 1861 kembali ke Mandailing dan membuka sekolah guru di Tanobato pada tahun 1862. Sekolah guru ini yakni sekolah guru ketiga. Pada tahun 1866 dibuka sekolah guru di Bandoeng. Pada tahun 1879 sekolah guru Tanobato ditingkatkan dengan membuka sekolah guru gres di Padang Sidempoean.

Pada tahun 1896 seorang lulusan HBS (sekolah setingkat Sekolah Menengan Atas Eropa) di Semarang berjulukan Raden Kartono berangkat studi ke Belanda untuk meraih gelar sarjana. Raden Kartono yakni kakak dari Raden A. Kartini, pribumi pertama studi di perguruan tinggi tinggi (di Belanda). Sementara di Djogjakarta kebutuhan guru sangat akut. Baru tahun 1897 sekolah guru dibuka di Djogjakarta. Sangat terlambat, alasannya sekolah guru sebelumnya sudah dibuka di Probolinggo, Tondano, Ambon, Bandjarmasin dan Makassar. Pada ketika pembukaan sekolah guru (kweekschool) Djogjakarta ini sangat banyak peminat. Suatu bukti bahwa selama ini para siswa di Djogjakarta banyak yang ingin melanjutkan pendidikan dan menjadi guru. Dari lowongan yang tersedia hanya untuk sembilan orang yang mendaftar terdapat 220 kandidat. Sekolah guru ini dibuka secara resmi pada tanggal 7 April (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1897). Di Belanda jumlah mahasiswa semakin banyak. Pada tahun 1905 dari Padang Sidempoean, seorang guru, alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean, Radjioen Harahap tiba di Belanda untuk studi di perguruan tinggi tinggi untuk mendapat gelar sarjana pendidikan. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yakni mahasiswa kelima yang studi di Belanda. Pada tahun 1908 pada ketika jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sebanyak 20 orang, Soetan Casajangan menggagas didirikan organisasi mahasiswa yang disebut Indische Vereeniging yang sekaligus menjadi presidennya. Indische Vereeniging kelak diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia.
.
Para tamu lambat laun makin banyak dan pemilik losmen terus meningkatkan kapasitas. Losmen Maliboro ini sebagai tempat transit dan fasilitas yang penting menjadi terkenal sendiri, tidak hanya tamu yang menginap tetapi juga rekanan bisnis mereka yang sudah berada di Djogjakarta. Losmen Malioboro muncul sendiri ke permukaan sebagai tempat yang paling dikenal umum.

Dengan semakin banyaknya investor besar masuk dan para pejabat pemerintah baik dari pusat (di Batavia) atau pejabat di Residentie lainnya (seperti Semarang dan Soerabaja), maka muncul peluang mendirikan fasilitas yang lebih baik dan lebih mahal. Penyedia fasilitas yang melihat ini yakni investor gres yang mendirikan Grand Hotel. Hotel besar ini menjadi aksesori bagi Losmen Malioboro untuk menampung tamu yang lebih bisa membayar. Hotel Grand ini cepat berkembang, sedangkan Losmen Maliboro sepertinya tidak terlalu ekspansif. Losmen Maliboro menjadi fasilitas untuk kelas menengah ke bawah. Dalam perkembangannya muncul pesaing Losmen Malioboro yakni pemilik Losmen Mataran. Persaingan head to head antara Losmen Malioboro dan Losmen Mataram menjadi tantangan sendiri bagi Losmen Malioboro. Dalam perkembangannya, Losmen Mataram juga perluasan dengan membangunan Hotel Mataram yang berada di samping Losmen Mataram yang mana di dekatnya sudah beberapa waktu berdiri Hotel Grand. Dalam hal ini, menyerupai sebelumnya Losmen Malioboro tidak sendiri lagi, demikian juga Hotel Grand sudah ada pesaing baru. Toegoe (Witte Paal), 1939

Losmen Malioboro boleh jadi mulai tertatih-tatih dengan semakin banyaknya pesaing dan semakin berkembangnya kota Djogjakarta. Namun nama Malioboro sudah dipatenkan menjadi nama jalan. Losmen Malioboro yang semakin menua, tetapi namanya tetap lestari. Losmen Malioboro kemudian hilang selamanya tetapi nama Jalan Malioboro lestari selamanya. Itulah dongeng Losmen Malioboro yang namanya menjadi nama jalan dari bagian/ruas jalan utama di Jogjakarta.

Jalan kuno Mataram yang sudah ada sebelum datangnya VOC/Belanda telah bertransformasi menjadi jalan raya besar, jalan utama di jantung kota modern Jogjakarta. Jalan utama ini kemudian terbagi ke dalam beberapa ruas, yakni: 1. Jalan Kraton (Kraton weg) yakni jalan yang membelah aloon-aloon dari pintu gerbang Kraton; 2. Jalan Kadaster (Kadasterweg), jalan antara benteng/Kantor Residen dengan aloon-aloon di depan gedung Mahkamah/Landraad (yang fungsinya dicatat sebagai nama jalan (jalan Kadaster); 3. Jalan Resident yang mengambil nama Kantor Residen; 4. Jalan Petjinan, ruas jalan di sekitar kampement Tionghoa; 5. Jalan Malioboro, jalan yang dipenuhi aneka macam fasilitas menyerupai losmen, tempat pertemuan dan hotel. Di jalan Malioboro ini juga muncul tempat-tempat hiburan, pertokoan menjual barang-barang elit dan sejumlah restoran dan cafe; dan 6. Jalan Toegoe, sebagai terusan Jalan Malioboro di sekitar stasion kereta api. Di sekitar stasion ini juga kemudian didirikan Toegoe Hotel. Kelanjutan Jalan Togoe ini yakni jalan yang melalui lingkungan/area Djetis.

Sejak era Daendels sudah mulai disusun jalan utama (hoofdweg). Yang pertama kali ditetapkan (sesuai stadsblad) yakni Groote weg (jalan Trans-Java dari Anjer ke Panaroekan vis Buitenzorg, Tjisaroea, Sumadang, Tjirebon, Semarang, Joana, Sedajoe dan Soerabaja). Sesuai dengan perkembangan wilayah, ditetapkan kembali perluasan Groote weg. Salah satu diantaranya dari Semarang ke Djogjakarta via  Oengaran, Ambarawa dan Magelang. Sehubungan dengan adanya panamaan jalan di dalam kota, sesuai stadsblad tahun 1933, Groote weg di Jogjakarta yakni sebagai berikut: (a). Groote we van Magelang (dari utara), Toegoe Koeloen, Toegoe Wetan, Gondokoesoema/Gondolajoe, Balapan terus ke Solo (timur); (b) Toegoe Kidoel, Malioboro, Petjinan, Residentielaan, Ngabean,  Ngadiwinatan, Soerjobrantan, Gendingen, Soerjowidjaja terus ke Poerworedjo (ke barat). Pada masa ini Groote weg yakni jalan negara atau jalan nasional).

Sehubungan dengan keberadaan Groote weg, untuk pertigaan atau perempatan dalam pengembangan Groote weg dibuat penanda navigasi utama yang disebut Witte Paal yang dalam bahasa setempat sering disebut Toegoe Poetih. Beberapa tugu putih yang terkenal diantaranya di Batavia (di Bidara Cina, kini di Tugu Cawang), di Buitenzorg (kini di Air Mancur), di Soerabaja (di Simpang) dan di Jogjakarta (di Tugu). Di Jogjakarta Witte Paal atau Tugu Putih menjadi nama wilayah.

Malioboro Suatu Heritage: Ibukota Mataram?

Jalan Malioboro yakni heritage Jogjakarta. Secara teoritis nama Malioboro diduga berasal dari malyhabara sebagaimana (pernah) diusulkan oleh Dr. Peter Carey. Namun bagaimana malyhabara menjadi malioboro tidak dijelaskan. Hasil penelusuran ini menunjukkan bahwa sebutan malyhabara masih eksis hingga kedatangan VOC/Belanda dengan melapalkan dalam teks sebagai Marbongh untuk menggambarkan lingkungan (area) kraton.

Marbongh: Catatan Ekspedisi Jacob Coeper ke Mataram (1695)
Jelas dalam hal ini malyhabara yang didengar si penulis teks sebagai Marbongh, tetapi tepatnya yakni Malioboro. Sebab pelapalan malyhabara bagi orang Eropa/Belanda dengan malioboro tidak terlalu sulit. Dengan kata lain, Marbongh dan Malioboro yakni dua pelapalan bagi orang Eropa/Belanda untuk malyhabara yang sanggup saling manggantikan. Malioboro juga sesuai dengan pelapalan orang Jawa. Dengan demikian, Malioboro yakni suatu sebutan usang untuk lingkungan kraton. Dalam bahasa kini lingkungan Kraton Mataram (Malioboro atau Marbongh) pada masa itu yakni ibukota.

Dalam hal ini, nama Mataram yakni terperinci nama Kerajaan/Kesultanan. Sementara yang menjadi ibukotanya (pusat kerajaan) yakni Malioboro itu sendiri. Idem dito, dugaan bahwa Pakuan yakni ibukota Kerajaan Padjadjaran. Yang terperinci bahwa di Kota Jogjakarta, nama Malioboro dan nama Mataram telah diadopsi oleh orang Eropa/Belanda sebagai nama bagus untuk losmen dan hotel mereka. Nama Mataram dan nama Malioboro kemudian dipopulerkan oleh orang-orang Eropa/Belanda. Oleh lantaran losmen Malioboro lebih bau tanah dari losmen/hotel Mataram yang lahir kemudian, nama Malioboro yang sudah familiar maka nama Losmen Malioboro yang diidentifikasi warga sebagai nama jalan: Jalan Malioboro.

Laporan ekspedisi yang dipimpin Majoor Jacob Coeper ke Mataram tahun 1695 yang mengindetifikasi Marbongh (malyhabara) sebagai area pusat Kerajaan/Kesultanan Mataram. Hal yang menyerupai juga telah dilakukan oleh Sersan Scipio yan memimpin ekspedisi tahun 1687 ke muara sungai Tjiliwong yang menemukan eks (reruntuhan) Kerajaan Padjadjaran. Dalam laporan Scipio mereka menandai lokasi dengan mendirikan benteng yang ditulis sebagai Fort Padjadjaran. Titik dimana tempat garnisun dibangun yang disebut Fort Padjadjaran pada tahun 1754 dibangun villa Gubernur Jenderal yang kelak menjadi Istana Gubernur Jenderal (kini Istana Bogor). Jelas dalam hal ini ada kemiripan dalam pencatatan di era yang relatif sama (sebelum berakhir kala ke-17). Jacob Coper mencatat nama ibukota Kerajaan/Kesultanan yang masih eksis yakni Malbongh atau Malioboro, sedangkan Scipio sebaliknya mencatat nama Kerajaan yang telah hilang, yakni Padjadjaran (seperti diketahui ibukota Padjadjaran sendiri yakni Pakwan/Pakuan).

Lantas bagaimana nama Malioboro menjadi nama jalan. Di era VOC/Belanda sudah barang tentu belum ada penamaan jalan di kota-kota. Demikian juga, penamaan nama jalan di lingkungan pribumi terperinci tidak lazim. Perlunya penamaan jalan muncul lantaran semata-mata untuk kebutuhan navigasi ketika kompleksitas kota semakin meningkat. Semakin banyak ruas jalan di kota (urbanisasi), diharapkan identifikasi untuk membedakan ruas jalan yang satu dengan ruas jalan lainnya. Tidak hanya mempunyai kegunaan bagi petugas pos tetapi juga bagi warga kota. Jaringan jalan di kota Jogjakarta gres berkembang pesat di era Pemerintahan Hindia Belanda, tepatnmya sehabis terhubungnya jalur kereta api dari Semarang ke Jogjakarta. Bagaimana nama Malioboro menjadi nama jalan untuk ruas antara Toegoe (stasion) dan kampemen Tionghoa, sudah barang tentu didasarkan pada situs terkenal di ruas jalan tersebut.

Situs terkenal di ruas jalan antara Toegoe dan kampemen (perkampungan) orang Tionghoa yakni Losmen Malioboro, Nama losmen inilah yang kemudian dijadikan sebagai nama jalan ruas tersebut (Malioboro straat). Ini juga berlaku untuk ruas di kampemen Tionghoa disebut Petjinan straat; ruas jalan di depan Kantor Residen disebut Residentielaan; ruas jalan di depan Kantor Landraad disebut Kadaster straat; dan ruas jalan di tengah alun-alun di depan kraton disebut Kraton weg. Semua ruas jalan tersebut berada di dalam satu garis lurus.  

Itulah riwayat pertumbuhan dan perkembangan awal kota modern Jogjakarta. Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan ini nama Malioboro muncul sebagai nama losmen. Lalu kemudian nama Losmen Malioboro diadopsi sebagai nama jalan. Dalam hal ini nama  Malioboro sanggup dikatakan sebagai wujud modernisasi dan jantung Kota Djogjakarta, suatu nama kuno yang sanggup dirujuk sebagai ibukota Kerajaan/Kesultanan Mataram. Oleh lantaran itu tidak salah pada masa kii Malioboro di jantung Kota Jogjakarta yakni bentuk lain dari ibukota Mataram tempo doeloe. Anda mau berkunjung ke Djogja? Jangan lupa Jalan Malioboro, Bro.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (2): Sejarah Asal Permintaan Nama Jalan Malioboro Di Yogyakarta; Nama Gedung, Penamaan Jalan Braga Bandung"

Posting Komentar