Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. Hg Nahuijs, Residen Di Soeracarta


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) yakni Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro yakni pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs yakni mantan Residen Soeracarta. Keduanya yakni sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi jagoan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi jagoan (lokal) Belanda.

Dalam penulisan sejarah di aneka macam tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang) Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu muncul sendiri sebagai jagoan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat tertentu karam sendiri sebagai jagoan dalam menghadapi pemimpin lokal. Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar di aneka macam tempat sebagai pejabat. Oleh lantaran itu dalam sejarah Indonesia hanya muncul nama-nama sebelum dan setelah Pangeran Diponegoro menyerupai Sultan Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para jagoan nasional dicatat dengan rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak mempunyai kesalahan apa-apa.  

Bagaimana Pangeran Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang sama. Residen Nahuijs yakni satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro yakni satu-satunya pemimpin lokal populer yang terang-terangan melaksanakan perlawanan terhadap kehadiran orang asing. Dalam penulisan sejarah, detail insiden kurang tergambarkan dengan terang jadinya kita kurang mendapat landasan (domain) sejarah. Untuk itu mari kita telusuri ke TKP menurut sumber-sumber yang ada pada masa lampau.

Salah satu rujukan kurangnya landasan (domain) sejarah yakni dalam penggambaran sang tokoh jagoan Pangeran Diponegoro dihubungkan dengan hal yang tak bertalian. Penulis Belanda menyebutkan awal insiden Perang Jawa terkait dengan pembangunan kereta api, padahal pembangunan kereta api di wilayah Djocjocarta gres dimulai tahun 1880an padahal insiden yang dilukiskan terjadi pada tahun 1820an. Semua itu muncul lantaran dalam penulisan sejarah, detail insiden cenderung dilupakan, padahal inti insiden ada disitu. Inti yang mengakibatkan eskalasi politik menjadi eksplosif. Mengapa kesalahan paralaksis muncul disebabkan dua hal, pertama kurangnya penggalian data. Suatu insiden yang jauh di masa lampau data menjadi terpencar-pencar dan banyak yang hilang atau belum ditemukan. Upaya menemukan itu tidak dilakukan secara maksimal. Celakanya minimalis data diperkaya dengan data rekaan. Kedua, dalam analisis kurang memperhatikan konteks insiden (luasnya efek yang timbul). Penulisan sejarah menjadi hanya fokus pada satu titik dan abai menguji korelasi dengan insiden di tempat lain pada waktu yang sama. Mengabaikan konteks ini menciptakan sejarah itu menjadi sempit dan bersifat lokal dan adakalanya hanya disimpulkan dalam satu kalimat (yang memungkinkan upaya penggelembungan dan pengkerdilan). Padahal suatu insiden lokal kalau dianalisis secara kontekstual maka akan diketahui apakah skala insiden sebagai ukuran lokal atau ukuran nasional. Dalam hal ini, seorang jagoan apakah dikategorikan sebagai jagoan lokal atau jagoan nasional. Suatu kesalahan atau kebohongan penulisan sejarah di masa laly pada waktunya akan memunculkan kontroversi. Sebab data gres yang lebih otentik bermunculan, cara menganalisis juga semakin komprehensif. Dalam sejarah bersama-sama masa sekarang yang juga memperhitungkan kuota, setiap wilayah atau tempat harus terwakili dalam sejarah nasional. Pemahaman semacam ini akan membawa konsekuensi. Boleh jadi seorang tokoh yang seharusnya bergelar jagoan lokal ditempatkan sebagai jagoan nasional, sebaliknya seorang tokoh yang seharusnya bergelar jagoan nasional ditempatkan sebagai jagoan lokal. Tentu saja yang paling runyam kalau dan hanya kalau seorang tokoh penghianat bangsa Indonesia dimasukkan sebagai jagoan nasional Indonesia.     

Residen HG Nahuijs di Soeracarta dan Djocjocarta

Pada tahun 1822 HG Nahuijs harus meninggalkan posisinya sebagai Residen Soeracarta dan ditempatkan di Djocjocarta sebagai Residen yang baru. Residen di Soeracarta ditempati oleh seorang sipil. HG Nahuijs yang berpangkat Luitenant Colonel sangat dibutuhkan untuk memimpin wilayah baru, suatu wilayah gres yang kaya sumberdaya alam, jumlah penduduk yang besar dan terdapatnya kraton besar, Kraton Djocjocarta. HG Nahuijs eksklusif mendapat masalah, gunung Merapi meletus pada final tahun 1822. HG Nahuijs harus bekerja keras memulihkan situasi dan kondisi penduduk.

HG Nahuijs yakni orang pertama Eropa yang berhasil mencapai puncak dan kawah gunung Merapi. HG Nahuijs dan kawan-kawan yang ditemani sebanyak 70 orang Solo pada tahun 1820 mendaki gunung Merapi.

HG Nahuijs dalam posisinya sebagai Residen Djocjocarta awalnya berjalan normal. Namun secara perlahan-lahan mulai terasa ada gejolak politik terutama di lingkungan kraton Djogjocarta. Salah satu pangeran yakni Pangeran Diponegoro mulai melaksanakan perlawanan sehubungan dengan semakin intensnya kehadiran orang-orang Eropa/Belanda di wilayah Djocjocarta.

Perlawanan Pangeran Diponegoro segera disambut sejumlah pangeran dan para bupati di aneka macam tempat. Untuk mengatasi situasi dan meredam gejolak yang muncul, HG Nahuijs melaksanakan sejumlah ekspedisi ke aneka macam tempat. Para pengikut Pangeran Diponegoro juga muncul di aneka macam tempat melaksanakan pemberotantakn. HG Nahuijs mulai kewalahan (Bataviasche courant, 22-12-1827). Luitenan Generaal de Kock mengirim Majoot General Holsman untuk mengatasi pemberontakan di Rembang.  

Peta 1829a
Djogjocarta sebagai sentra perlawanan, Gubernur Jenderal mulai menyusun pengadaan prajurit di wilayah Djocjocarta. Kolonel Cochuis diputuskan untuk memimpin pasukan adonan di selatan dan barat Djocjocarta (Bataviasche courant, 22-12-1827). Kolonel Cochuis dibantu oleh Letkol Vexela di barat Djocjocarta dan Letkol Sollewijn di selatan Djogjacarta. Pasukan Belanda di selatan dan barat Djocjocarta diperkuat dengan prajurit-prajurit Ambon dan Makassar. Salah satu perwira dari Sollewijn yang cukup populer yakni Letnan satu Boelhouwer. Letkol Sollewijn di selatan Djogjacarta juga dibanti oleh Majoor Spengler (lihat Javasche courant, 06-05-1828).

Boelhouwer diangkat sebagai Letnan Dua di Regiment Infantrie No.18 (Leydse courant, 14-05-1921). Pada tahun 1924 Letnan Dua Boelhouwer dinaikkan pangkatnya menjadi Lettu (Bataviasche courant, 03-12-1824). Ketika pemberontakan di Djocjocarta semakin memanas, Lettu Boelhouwer tetampatkan di bawah komando Letnan Kolonel.

Djogjocarta: Daerah Operasi Militer (DOM)

Pada fase puncak perlawanan Pengeran Diponegoro dengan otoritas Belanda di Djocjocarta dan sekitarnya diberlakukan di Djocjocarta sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Komando teritorial di bawah pimpinan Kolonel Cochius yang mana sebagai atasanya yakni Luitenan Generaal de Kock. Markas Kolonel Cochius berada di garnisun militer yang dibangun di belakang kantor Residen (sebelah barat benteng Vredeburg).

Peta 1829b
Satuan komando di wilayah Djocjakarta, Kolonel Cochius dibantu oleh sejumlah perwira yang menempati benteng-benteng dan garnisun-garnisun yang mengapit lingkungan kraton. Luitenan Colonel Sollewijn menempati garnisun di barat daya kraton di Kaliwatang; Luitenan Colonel Ledel di Sentolo; Luit. Colonel Le Bron de Vexela di barat kraton di Tegalwaroe; Majoor Spengler di selatan kraton di Tankielan; Majoor Errembault de Dudzeeley di Gamplong/Kemoeso; Captaine Prager di Mangieran/Jedak.

Dalam pertempuran terakhir, pasukan Luitenan Colonel Sollewijn yang mematahkan kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro. Panglima Pangeran Diponegoro, Sentot berhasil dilumpuhkan, setelah luka-luka yang dialaminya lalu meninggal dunia. Pangeran Diponegoro dengan kekuatan yang tersisa sebanyak 1.000 orang terus bergerak menjauh dari kejaran militer Belanda.

Anak tertua Pangeran Diponegoro, Adipati Anom dan Raden Hassan Mahmeid, yang juga disebut Soekoor, mantan Bupati Semarang telah mengalah dan dikirim ke Luitenan Colonel Sollewijn. Untuk membawa mereka ini ke Djogjocarta diperintahkan untuk dikawal oleh Lettu Boelhouwer. Di Djogjocarta mereka ini akan dimasukkan dalam penjara,

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. Hg Nahuijs, Residen Di Soeracarta"

Posting Komentar