Sosiologi Travelling

Rasanya tak sabar untuk membuka laptop dan menuliskan apa yang gres saja kutemui siang tad Sosiologi Travelling


Rasanya tak sabar untuk membuka laptop dan menuliskan apa yang gres saja kutemui siang tadi saat mengunjungi Plaza Pekalongan. Plaza Pekalongan atau warga lokal lebih sering menyebutnya Matahari, tak berbeda menyerupai mall-mall kebanyakan. Namun ada satu hal gres di situ, yaitu berdirinya dua kios toko buku yang saling berdempetan. Dua kios di akrab pintu utara mall tersebut menyediakan aneka macam buku yang tidak mengecewakan lengkap kalau dibandingkan tempat lain dimanapun di Pekalongan. Niat aku awalnya hanya berjalan-jalan, namun sesudah masuk dan melihat-lihat, jadi lupa waktu. Diantara buku-buku yang tersusun rapi di rak, aku menemukan fenomena menarik yang bikin penasaran, yakni semakin banyaknya peredaran buku-buku bertema travelling. Konten buku yang bercerita kisah atau catatan perjalanan sepertinya semakin menjamur. Mengapa demikian? mengapa travelling?


Dalam suatu kesempatan, sahabat aku pernah bercerita ihwal hobinya sebagai seorang backpacker. Ketika ditanya apa yang dicari dari hobinya itu, ia menjawab ada banyak hal. “Travelling untuk mengunjungi tempat-tempat gres yaitu suatu pengalaman yang tak tergantikan”, katanya. “Kita sanggup menyicipi makanan khas di suatu daerah, mengenal segala perbedaan, menerima wangsit dan kalau mau, menuliskan suatu kisah perjalanan. Melalui travelling, segala kemungkinan sanggup kita peroleh. Satu hal lagi, sebuah perjalanan menciptakan diri kita tidak akan pernah sama”, tambahnya. Belakangan ini, aku menemukan fenomena travelling semacam backpacker yang semakin digandrungi. Tim Ferris, penulis ‘The 4-Hour Work Week’ bahkan mendeklarasikan “travelling telah menjadi salah satu pilihan bagaimana insan masa 21 menjalani hidup”.


Istilah ‘travelling’ awalnya dipakai untuk mendeskripsikan mobilitas orang maupun barang dari suatu tempat ke tempat lain. Sebuah perjalanan, apapun bentuk dan motifnya, sanggup disebut sebagai travelling. Dengan demikian, kita melaksanakan travelling saat pergi ke kampus untuk kuliah, atau ke kantor untuk bekerja, atau ke rumah mitra untuk melepas kangen dan sebagainya. John Urry (2000) dalam ‘Sociology beyond Society: Mobilities for the Twenty-First Century’ talah menyadari bahwa beberapa praktik sosio-spasial melibatkan travelling. Travelling juga seringkali mempunyai motif yang ‘selalu dibutuhkan’, seperti: keluarga, waktu luang, pertemanan, bekerja atau pun keamanan. Namun travelling sekarang seolah mengalami penyempitan makna. Ketika seseorang bercerita ihwal travelling, alih-alih sebuah perjalanan, seringkali apa yang dimaksud yaitu ‘jalan-jalan’. Maka masuk akal kalau sekarang istilah travelling sangat akrab maknanya dengan ‘jalan-jalan’.


Sosiologi travelling walau bagaimanapun memerlukan dimensi khusus untuk mengkaji fenomena ini. Tiga sub disiplin telah mengkaji fenomena travelling, antara lain: sosiologi perkotaan, sosiologi konsumsi, dan sosiologi industri. Namun bagi John Urry, ketiganya telah gagal mengantarkan analisis seputar travelling. Dalam sosiologi industri, hanya terdapat sedikit klarifikasi bagaimana produksi massal alat transportasi misalnya, menyebabkan transformasi sosial. Sosiologi konsumsi tidak punya banyak klarifikasi seputar nilai guna travelling. Travelling justru dianggap sebagai acara nirpolitik yang ‘dikutuk’. Sosiologi perkotaan malah karam dalam persoalan-persoalan sosio-spasial perkotaan, seperti: kebisingan, ruang publik, sampah visual, degradasi lingkungan dan gaya hidup konsumtif. Oleh alasannya yaitu itu, sosiologi perlu pendekatan gres untuk memberi analisis seputar travelling. Sebuah fenomena kontemporer yang sekarang banyak orang mengklaim sebagai pilihan bagaimana cara menjalani hidup!



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sosiologi Travelling"

Posting Komentar