Sarjana Kacang Ijo

 terdapat warung makan yang menyediakan kacang ijo lezat Sarjana Kacang Ijo


Di pojokan pasar Batang, dekat angkutan umum biasanya nge-tem, terdapat warung makan yang menyediakan kacang ijo enak. Meskipun lokasinya gelap dan dihimpit oleh kios sembako yang nyaris selalu tutup, warung itu hampir selalu ramai oleh pengunjung, terutama dikala jam pagi menjelang siang. Kajang ijo di pasar itu dahulu satu-satunya masakan favoritku, kini bukan lagi satu-satunya.


Beruntung saya sempat mampir sesudah sekian usang tak pulang-pulang. Liburan Idul Adha yang sempurna di selesai pekan ini memberi kesempatan untuk pulang. Ketika mampir di warung kacang ijo itu, menyerupai biasanya tidak mengecewakan rame, ada satu pelanggan yang sedang asyik ngobrol dengan penjualnya. Pedagang itu tampaknya generasi kedua alasannya ialah masih muda. Sambil menunggu pesananku yang banyak, tanpa bisa menghindar, saya mendengar dialog mereka yang berujung agak aneh.


Selesai menghabiskan satu mangkuk kecil, pelanggan yang tadi ngobrol itu berdiri, merogoh saku tanda berniat membayar. Namun pedagangnya merespon sedikit kaget, tampaknya bukan hal yang lumrah alasannya ialah pelanggan itu pergi lebih cepat. “Loh kok cepetan, mau kemana?” tanya pedagang, “kuliah” jawabnya. Penampilan pelanggan itu tampak sudah paruh baya, saya awalnya tak menerka bila masih kuliah. Pedagang itu menanggapi lagi, “kuliah lagi tho?”. Sepertinya mereka sudah usang akrab. Lalu, jawab pelanggan itu dengan membuatku yang duduk disampingnya terheran, “jane saya yo wegah kuliah meneh, lha konco-koncoku podo kuliah meneh, saya manut (harusnya saya tidak mau –melanjutkan- kuliah lagi, tetapi teman-temanku kuliah lagi, saya ikut-ikutan)”.


Sambil tersenyum, pedagang itu membalas dengan mengatakan, “ilmu iku rausah dhuwur-dhuwur (-menuntut- ilmu itu tidak usah tinggi-tinggi), gelar sarjana itu penting, tapi yang lebih penting lagi gelar barang dagangan”, kemudian dibalas tawa oleh pelanggan yang anehnya masih mau kuliah itu. Aku pribadi teringat buku yang ditulis Ippho Santosa. Buku bestseller terbitan tahun 2010 yang begitu memprovokasi orang untuk berdagang. Sebagai sarjana yang kini sedang terobsesi mengejar studi lagi, mendengar iman ‘ipphoisme’ itu lagi saya jadi gregetan. Rasanya ingin ikut nimbrung, membantah apa yang dibilang pedagang itu. Tapi saya tiba kesitu bukan untuk berdebat, saya ingin menikmati kacang ijo. Maka saya membisu saja sambil berkata dalam batin, betapa dahsyatnya Ippho hingga bisa memprovokasi pedagang kacang ijo di pojokan pasar untuk mempromosikan orang jadi pedagang. Realitas yang membuatku mengakui kehebatannya.


Aku pernah menjadi pembaca setia buku-buku Ippho. Semua buku-bukunya sudah habis saya lahap ketika saya masih mahasiswa. Saat itu semangat untuk berdagang begitu menggebu, maklum saja, ingin mencar ilmu berdagang dan butuh penghasilan tambahan. Kini, semangat itu mengendap dalam batinku. Aku mencoba berpikir lebih dalam, merintis perjuangan secara serius perlu pengorbanan. Nyatanya lebih baik memutuskan untuk fokus pada satu hal saja. Oleh alasannya ialah perhatianku banyak saya fokuskan pada penelitian akademik yang tengah saya gandrungi, maka saya menentukan untuk mendalami dunia akademik, alasannya ialah itulah saya berambisi melanjutkan studi.


Celetukan dialog pedagang kacang ijo dan pelanggannya itu begitu mengusik telinga, tapi saya tak mau ambil pusing. Keputusan rasional seseorang terhadap profesi yang dipilihnya jauh lebih layak untuk dihargai daripada bekerja hanya alasannya ialah mengikuti fashion. Pedagang ialah profesi yang telah ada semenjak berabad-abad lalu, namun berpandangan sinis terhadap orang yang mau menuntut ilmu tinggi ialah keliru. Ada alasan yang sangat rasional mengapa Sukarno dan Hatta lebih menentukan menuntut ilmu ketimbang jadi pedagang. Begitu pula dalam konteks masa kini, setiap orang bisa mengabdi sesuai bidang kemampuannya masing-masing. Tentu saja saya meratapi perkataan pelanggan kacang ijo yang ternyata pernah sarjana itu. Melanjutkan studi alasannya ialah ikut-ikutan sahabat terang ‘nggak lucu’. Sadarlah wahai sarjana kacang ijo.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sarjana Kacang Ijo"

Posting Komentar