Ojo Dipleroki: Lantun Estetika Sosiologis

mas mas mas ojo dipleroki (mas mas mas jangan ditertawai)*

mas mas mas ojo dipoyoki (mas mas mas jangan disindir)*

karepku njaluk diesemi (keinginanku menerima senyum)*


tingkah lakumu kudu ngerti coro (perilakumu seharusnya menyesuaikan adab)**

ojo ditinggal kapribaden ketimuran (jangan meninggalkan kepribadian timur)**


mengko gek keri ing jaman (nanti malah ketinggalan jaman)*

mbok yo sing eling dek (seharusnya ingat dek)**

eling belahan opo mas (ingat apa mas)*

iku budoyo (itu kebudayaan)**

pancene bener kandhamu (benar apa yg mas katakan)*


ket:

*  = pelantun perempuan

** = pelantun laki-laki







Lantun karya budayawan Jawa Ki Narto Sabdo sangat dekat ditelinga, terutama bagi penggemar musik campursari. Selain alunannya yang ‘nentremke ati’, liriknya juga gampang untuk diingat. “Ojo Dipleroki”, sebuah tembang Jawa sederhana namun mempunyai kedalaman makna. Pertamakali saya mendengarkan lagu ini yaitu kelas 6 SD, kira-kira tahun 2002. Saat itu, saya masih ingat sempat memutarnya lebih dari 5 kali sehari. Bukan alasannya yaitu paham maknanya, tetapi lantunan liriknya yang nyaman ditelinga.


“Ojo Dipleroki”, dalam rekamannya, dinyanyikan oleh dua orang pelantun, wanita dan laki-laki. Pelantun tembang tersebut sekaligus merepresentasikan esensi tembang yang merupakan obrolan antara dua orang, yakni wanita dan laki-laki. Lebih dari itu, obrolan tersebut juga berisi perihal kebudayaan timur yang sebaiknya terus dilestarikan.


Si wanita dalam liriknya menyampaikan untuk tidak ditertawai, disindir atau dihina. Sebaliknya ia minta untuk diberi senyum, artinya orang lain yang melihat dirinya, seharusnya bangga. Apa yang dimaksud dalam lirik tersebut yaitu tingkah laris si perempuan.







Pada bait selanjutnya, si lelaki menanggapi dengan kalimat “tingkah lakumu kudu ngerti coro”, yang berarti secara tersirat, sikap si wanita tidak sesuai dengan ‘tata cara’, dalam hal ini yaitu adab. Sebab itulah, si lelaki menyindir atau menertawai atau dalam bahasa sekarang sanggup dikatakan mem-bully secara halus. Ini kembali pada pemantik lirik pertama tadi.


Adapun budbahasa yang dimaksud yaitu “kepribaden ketimuran”, yaitu kepribadian orang-orang timur, sanggup pula dimaknai sebagai kebudayaan timur. Kebudayaan Jawa termasuk dalam kebudayaan timur. Si lelaki menyarankan untuk tidak meninggalkan kebudayaan timur, dalam hal ini budbahasa dan sopan santun sesuai budaya Jawa.


Namun, lantunan bait berikutnya menjelaskan kecemasan si perempuan. Lirik “Mengko gek keri ing jaman”, maknanya ialah apabila masih bertahan dengan budbahasa lama, akan ketinggalan jaman. Fenomena ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, dalam setiap jaman kekinian yang sering kita sebut dengan istilah modern.


Problem sosiologis muncul dikala istilah modern dimaknai sebagai representasi satu kepentingan tertentu. Problem ini bekerjsama klasik, telah usang orang mendikotomikan antara ‘yang tradisi’ dengan ‘yang modern’. ‘Tradisi’, yang disini diwakili oleh kebudayaan timur, dihadapkan dengan ‘modern’, yang selain kebudayaan timur.







Bagaimanapun, aggapan tersebut melahirkan perbedaan pendapat antara korelasi ‘yang tradisi’ dan ‘yang modern’, apakah beririsan, berkelanjutan, atau saling bertentangan. Lantun ‘Ojo Dipleroki’ menampilkan nilai estetika yang menempel erat dalam tradisi dan kebudayaan, khususnya timur. Oleh alasannya yaitu itu, sikap hidup ‘lepas landas’ dari ‘tradisi’ untuk  disebut ‘modern’ tidaklah dikehendaki.


Pada bait berikutnya, si lelaki menegaskan untuk mengingat kembali kebudayaan timur. Diakhir lirik, si wanita meng-iya-kan, menyetujui bahwa warisan kebudayaan sebaiknya dilestarikan. Inti dari tembang ‘Ojo Dipleroki’ dengan demikian merupakan upaya mengingat kembali kebudayaan timur, termasuk adab, tingkah laku, dan kepribadian khususnya Jawa.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Ojo Dipleroki: Lantun Estetika Sosiologis"

Posting Komentar