Batik Tulis: Kain ‘Bernyawa’ Yang Dapat ‘Bercerita’
Apa yang Anda rasakan ketika menggunakan gaun atau kemeja batik tulis? Setiap orang tentu mencicipi kesan yang berbeda-beda. Dari yang merasa bangga, hingga yang merasa istimewa. Ada yang merasa terkesan dengan keindahan warna dan motifnya yang berpadu dengan sempurna, ada yang terkesan dengan kelembutan kain dan keunikan desainnya, namun ada pula yang mencicipi besar hati lantaran bisa mengenakan produk yang dihasilkan oleh tangan-tangan kreatif anak negeri. Apapun yang dirasakan, batik tulis bukan sekedar produk tetapi juga merupakan bab dari kebudayaan Indonesia.
Keberadaan batik di Indonesia sempat mengalami pasang-surut melintasi perubahan jaman. Sejak kain printing bermotif batik masuk ke Indonesia, banyak kalangan memperkirakan eksistensi batik tulis akan berakhir. Alasannya jelas, batik tulis akan kalah bersaing dengan kain bermotif batik berteknologi printing. Collapse-nya ekonomi dikalangan pembatik tulis di Indonesia pada 1970-an mengawali asumsi tersebut. Namun pada perkembangannya, prediksi tersebut gugur di tengah jalan. Justru sebaliknya, batik tulis terus hidup dan makin berkembang. Bahkan harga jualnya kian melesat jauh melebihi batik jenis lainnya. Mengapa demikian?
Menurut saya, tanggapan yang paling tepat terletak pada salah satu keistimewaan batik tulis itu sendiri, yaitu lantaran bisa bercerita. Tanpa lukisan motif batik diatasnya, sehelai kain hanyalah warna putih polos tanpa makna. Goresan malam mengalir pelan melalui canting yang ditiup, menyulap kain tanpa makna menjadi bernilai. Tidak hanya nilai estetika saja yang menempel dalam coraknya, namun juga nilai filosofis yang mengakar pada dongeng masa lalu. Pada akhirnya, kombinasi kedua nilai inilah yang memberi nilai ekonomi pada ragam hias batik tulis.
Batik ialah mulut jiwa-jiwa. Tidak ditulis oleh perasaan hampa. Corak dan ragam batik selalu mempunyai dongeng sehingga terkesan hidup. Maka tidak heran bila ada yang menyebut kain batik ialah kain yang bernyawa alasannya ia bisa bercerita. Kenakanlah batik, ia akan bercerita ihwal burung merak yang menari-nari diatas kain. Menyimbolkan sekelompok insan yang tidak ingin ditindas oleh penguasa. Itulah dongeng motif batik ‘Merak Ngigel’. Ia juga bisa bercerita ihwal Raja-Raja yang konon menjadi mediator Dewa-Dewa. Itulah dongeng dari motif batik Jelamprang. Ia juga bisa bercerita ihwal seikat bunga khas China yang bercampur dengan budaya Eropa. Itulah motif batik Buketan.
Ada ribuan corak batik dengan ribuan dongeng lainnya. Semua mengandung makna filosofis dan nilai historisnya masing-masing. Selain dongeng ihwal motifnya, batik juga menunjukkan dongeng ihwal proses pembuatannya. Sehelai kain batik tulis bukanlah karya yang dihasilkan oleh satu orang, melainkan melibatkan ribuan tangan dalam satu rangkaian tidak terputus. Gaun atau kemeja batik yang menempel pada badan seseorang merupakan hasil dari kombinasi kreatif dari pengintal kain, pembuat canting, penggambar motif, pengolah warna, peniup malam, pembuat pola, penjahit gaun atau kemeja, pedagang batik, dan seterusnya tanpa terputus. Itulah mata rantai yang selalu menghidupi batik tulis.
Di Indonesia, mata rantai tersebut menghidupi batik tulis melalui do’a dan pengharapan yang sama. Si pembuat canting berharap batik tulis sebagai kebudayaan orisinil Indonesia selalu hidup. Begitu pula impian si penggambar motif, si peniup malam, si pengolah warna, dan seterusnya hingga kepada orang yang mengenakannya. Meksipun masing-masing terdiri dari orang yang berbeda-beda, mereka memanjatkan do’a dan pengharapan yang sama. Cerita ihwal proses pembuatan batik tulis merupakan nilai lebih yang menempel pada sehelai kain batik. Nilai filosofis, historis, sosial, dan budaya ialah nilai yang tersimpan dibalik setiap corak batik tulis.
Pada dasarnya, nilai-nilai tersebut ialah fondasi sekaligus pilar bagi eksistensi batik di Indonesia. Batik pernah mencapai masa keemasan, kehancuran, kemudian bangun kembali. Sejarah mencatat bahwa perkembangan teknologi printing tidak bisa menelan eksistensi batik tulis, alasannya batik tulis mempunyai ‘nyawa’ yang menempel pada motifnya dan pada proses pembuatannya. Batik bukan sekadar komoditas, melainkan juga budaya. Oleh lantaran itu, membeli batik bukan sekadar belanja, melainkan juga melestarikan budaya. Mengenakan batik bukan sekadar berbusana, tetapi juga menebarkan cerita.
Keberadaan batik senantiasa mengingatkan kita akan kebudayaan Indonesia. Kini, jaman telah berkembang sedemikian rupa. Batik tulis tengah mencapai masa keemasannya kembali. Harga jualnya melesat jauh diatas rata-rata. Batik sebagai komoditas sekaligus budaya dipasarkan tidak hanya di toko, butik , atau pun kios batik melainkan juga secara online di laman-laman internet. Oleh lantaran itu, batik online sekarang menjadi bab dari mata rantai gres yang turut menghidupi batik tulis. Sebagai orang Indonesia, sudah saatnya kita berbatik, mengenakan busana yang berbudaya. Busana hasil kreasi anak negeri. Sehelai kain ‘bernyawa’ yang bisa bercerita.
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Batik Tulis: Kain ‘Bernyawa’ Yang Dapat ‘Bercerita’"
Posting Komentar