Nietzsche Dan Sosial Media: Teks Tanpa Makna
Nietzsche barangkali akan menganggap sosial media sebagai teks tanpa makna. Jika membicarakan sosial media, kesalahan pertama yang biasa kita lakukan yaitu memandang sosial media sebagai suatu hal yang serius, begitu kata Brian Solis, seorang analis dampak sosial dari teknologi. Telah banyak riset yang menyatakan bahwa facebook menciptakan kita duka dan twitter menciptakan kita merasa terus terawasi.
Teman saya, seorang sarjana psikologi mempunyai alasan yang logis terkait hal ini. Menurutnya, sosial media bahwasanya lebih dari sekadar fasilitator yang menciptakan kita terhubung, melainkan juga candu yang penetrasi kontennya merasuk bahkan menggerogoti psikis kita. Alih-alih memanfaatkan, kita justru dikuasai oleh sosial media. Orang mengira kita terbebaskan secara sosial, padahal dibelenggu secara psikologis. Teman saya itu, kini telah menghapus akun facebooknya dan tak pernah mau sekalipun log in di twitter. Saya sendiri belum merasa mampu melakukan.
Saya seringkali mencicipi dampak psikologis luar biasa dari sosial media. Yang menyedihkan, saya pernah linglung dan galau saat harus merespon suatu hal yang sehabis direnungi dalam-dalam, ternyata tidak penting sama sekali. Periksa saja status dan komentar di facebook Anda, berapa banyak yang kini menciptakan Anda malu? Hidup kita dimonitori, diawasi dan -bahasa Gramsciannya- dihegemoni yaitu dampak tersembunyi dari sosial media. Suatu diskusi yang serius di twitter, misalnya, mengalami proses distraksi makna yang sesungguhnya. Sebab, di sosial media orang melihat tidak hanya pada konten, tetapi pada lantaran mengapa suatu konten ditampilkan.
Demikianlah dampak samping dari terlalu banyaknya konten berupa teks yang mengalir deras tanpa batas. Sosial media yaitu sebuah teks, tetapi sayangnya, makna sesungguhnya tidak terletak pada teks. Mungkin ada benarnya kalau teks (otentik) di sosial media tak punya makna, tak punya tujuan, dan tak punya nilai, istilahnya Nietzsche, “tenggelam dalam nihilisme”. Karena, saat kita menampilkan teks di sosial media, saya yakin, yang mayoritas dilihat orang bukan sekadar teks, melainkan maksud di balik teks.
Jika benar demikian, masihkan kita mau berdebat serius via sosial media? kalau konten yang kita anggap esensial ternyata sama sekali tak punya makna? Selalu ada langgar argumentasi dibalik setiap fenomena. Mungkin akar utamanya yaitu perbedaan bagaimana orang memaknainya –termasuk memaknai tanpa makna-. Memang demikian adanya, banyak perspektif yang menyampaikan sosial media sebagai medium alternatif yang membebaskan insan dari hegemoni info yang sarat nilai kepentingan pihak berkuasa. Sehingga kita bebas memberi makna versi kita sendiri.
Namun di lain sisi, banyak pula -seperti pernyataan di awal- yang menyampaikan banhwa sosial media yaitu belenggu fisik yang mengacaukan perjuangan pencarian kita terhadap makna. Jangan-jangan kita perlu oke dengan Jean Baudrillard yang mengatakan, “kita hidup di jaman yang makin berlimpah info namun makin melenyapkan makna”. Satu hal yang penting bagi saya, sudah waktunya kita merefleksikan sosial media. Mungkin kita memang perlu serius menanggapi hal ini, atau justru tidak perlu sama sekali?
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Nietzsche Dan Sosial Media: Teks Tanpa Makna"
Posting Komentar