“The Dragon Village And The Geulis City”: Sebuah Catatan Perjalanan
Inilah sebuah kisah yang menceritakan perjalanan singkat sekelompok anak insan yang berusaha melepaskan diri dari kenyamanan menuju kehidupan yang lebih nyaman. Saya tidak ingin menyebut momentum ini sebagai liburan sebab memang waktunya kurang panjang. Sepertinya akan lebih sempurna disebut sebagai kunjungan saja. Apalagi program ini bukan dilakukan di sela-sela kesibukan yang sepertinya memang diantara kami tidak ada yang begitu sibuk. Namun ini bukan sembarang kunjungan. Kami berusaha mengunjungi sebuah peradaban yang konon dalam sejarahnya tidak pernah ditaklukkan oleh Majapahit. Kami mengunjungi kota-kota warisan kerajaan Pasundan.
Baca juga Sosiologi Traveling
Bersama tiga orang sahabat saya yaitu Itok, Ferdi, dan Arso, yang sengaja saya sebutkan nama aslinya di sini biar pembaca tidak terlalu banyak berimajinasi mana fakta mana fiksi, saya melaksanakan perjalanan ke dua kota yang sudah sangat populer di Jawa Barat; Tasik dan Bandung. Kami berkenalan semenjak empat tahun kemudian di sebuah organisasi pers mahasiswa di salah satu kampus negeri. Tahun ini, perjalanan bersama ke sebuah tempat yang sudah direncanakan namun jarang dibicarakan balasannya terlaksana.
Kampung Naga yang terletak di Tasikmalaya yaitu tujuan pertama kami, konon katanya penduduk di kampung itu masih menganut tradisi Sunda yang asli, ketika tradisi Sunda di beberapa kawasan sekitar sudah mulai memudar.
Kebetulan pada tamat pekan kemudian bertepatan juga dengan event empat tahunan Pasar Seni ITB yang promosinya begitu menarik perhatian. Event itu menjadi tujuan kunjungan kami juga. Berikutnya, planning kami ke Kawah Putih tetapi gagal, diganti oleh jalan-jalan keliling kota Bandung. Hanya muter-muter Kota Kembang dalam rangka mempraktikkan apa yang diistilahkan orang jawa tanpa peyorasi urip iku mung sawang-sinawang. Memang benar, hiburan paling murah dan meriah ketika berada di kota orang yaitu mengamati orang-orang.
Stasiun Lempunyangan Yogyakarta, gres saja dirundung gerimis ketika kami tiba. Ongkos Jogja-Tasik masih 50 ribu rupiah, tidak mengecewakan murah buat para pelancong berkelas ekonomi AC ibarat kami. Menjelang pukul 7 malam, gerbong yang mengangkut kami siap diberangkatkan. Kami duduk di dingklik sesuai yang tertera di tiket. Selama perjalanan, duduk di sebelah kami rombongan mahasiswi dari Solo yang ternyata juga menuju Bandung untuk menyaksikan Pasar Seni ITB. Salah satunya berjulukan Juli, namanya saya tulis di sini sebagai apresiasi telah menjadi sahabat ngobrol kami selama di kereta. Katanya, di gerbong sebelah ada banyak temannya juga menuju ITB. Pengunjung event itu juga diprediksi olehnya tanpa rasa bersalah, akan mencapai 500 juta orang. Kami berpisah lebih awal sebab kami harus turun di Tasik.
Event yang diklaim oleh panitianya sendiri sebagai event pasar seni terbesar se-Asia Tenggara itu agaknya akan benar-benar dibanjiri pengunjung. Saya eksklusif berpikir wacana dahsyatnya media umum sebagai instrument promosi. Namun event-nya sendiri ibarat apa, akan saya ceritakan di potongan pertengahan goresan pena ini. Saya akan ceritakan kunjungan singkat kami sesuai kronologi biar tidak tumpang tindih satu sama lain. Cerita ini tidak untuk menarik rasa ingin tau pembaca ke tempat-tempat atau event yang kami kunjungi, begitu juga sebaliknya. Kaprikornus silahkan menilai sendiri sesuai kepercayaan dan selera. Tulisan ini tidak lain yaitu dongeng dari sebuah perjalanan.
Baca juga: Mitos Menulis
Sudah ditulis sebelumnya, perjalanan pertama kami yaitu menuju Kampung Naga. Namun saya akan ceritakan dulu ketika kereta kami tiba di stasiun Tasik. Suasana ketika itu masih gelap gulita, sempurna jam 2 malam. Temperatur kota Tasik tidak begitu hambar meski sudah mulai turun hujan. Tasik yaitu titik kedatangan kami hingga menuju Kampung Naga. Sengaja saya ceritakan ini di awal sebab terdapat episode penting dari perjalanan kami di Tasik.
Menjelang hingga Tasik, sahabat saya, Itok, mengontak sahabat kuliahnya, Irma, yang tinggal di Tasik untuk bertanya rute perjalanan ke Kampung Naga. Rute dari Stasiun Tasik ke Kampung Naga bekerjsama cukup mudah, hanya naik angkot ke Singaparna, turun, ganti angkot menuju Garut, kemudian minta supirnya berhenti di Kampung Naga. Tarif angkot gres saja dinaikkan dari 4 ribu ke 6 ribu rupiah. Tetapi bagi yang belum pernah ke Tasik, mau tidak mau harus tanya orang soal rute-nya atau akan kebingungan nantinya. Untung bagi kami, perjalanan jadi lebih gampang dan menyenangkan sebab sahabat kami Irma justru berbaik hati mengantarkan kami dari stasiun ke Singaparna. Sekitar pukul 7 pagi, kami menumpang mobilnya menuju Singaparna tanpa melewatkan sarapan pagi di Jalan Ikik Widikarta. Sengaja saya beri tahu bahwa di sana ada masakan khas Tasik, namanya bubur ayam kalektoran H. Zaenal, rasanya enak, gurih, dan agak asin.
Setelah menikmati bubur, kami diantar mampir ke kantornya sejenak untuk membilas kucel diwajah jawaban kurang tidur selama di kereta. Barangkali dongeng singkat ini cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya kami punya sahabat yang tinggal di Tasik. Akhirnya tiba pukul 10 pagi, kami berempat menuju Kampung Naga.
Baca juga Flashpacker: Pelancong di Era Digital
The Dragon Village
Konon kata penduduk lokal, turis pertama yang mendatangi Kampung Naga yaitu bule Belanda yang tiba pada 1970-an. Dalam bahasa Londo, Kampung Naga disebut The Dragon Village. Letak Kampung Naga berada di lembah, dikelilingi bukit-bukit di desa Salawu, Singaparna. Secara geografis lebih akrab ke kota Garut ketimbang kota Tasik. Letaknya yang dikelilingi bukit menciptakan kami harus menuruni 437 anak tangga jalan setapak untuk hingga ke Kampung Naga. Dilihat dari atas, Kampung Naga terlihat unik sebab atap rumah-rumah dikampung itu terbuat dari gedig hitam. Ketika hingga di Kampung Naga, kami eksklusif masuk areal kampung, dan duduk di pelataran bale.
Tidak beberapa lama, tiba sesosok orang berpakaian khas Kampung Naga bertanya pada kami yang sedang duduk-duduk: “dari mana ini?” “kami dari Jogja”, jawab kami. Beliau mengenalkan diri dengan nama Darmawan. Pak Darmawan bilang sedang giliran piket, betugas hari itu menjaga wilayah kampung dan menyambut orang absurd yang datang. Kampung Naga sudah populer di internet, biasa dikunjungi oleh para wisatawan. Namun menariknya, berdasarkan curhatan pak Darmawan, warga Kampung Naga sendiri tidak pernah menganggap kampungnya sebagai desa wisata. Mereka tidak mau menyebut orang absurd sebagai turis melainkan tamu. Kampung Naga bagi mereka bukan komunitas untuk tontonan turis, namun tempat berkunjung bagi siapapun yang ingin mengenal kampung unik ini.
Sambutan hangat pak Darmawan menciptakan kami antusias untuk bertanya lebih lanjut wacana Kampung Naga. Kami diajak berkeliling Kampung Naga sambil diceritakan sejarah, mitos, asal-usul, dan tradisi yang berkaitan dengan Kampung Naga. Cerita yang disampaikan pak Darmawan cukup lengkap bagi kunjungan kami yang singkat. Sebenarnya sudah banyak penelitian yang mengkaji wacana kempung naga. Secara umum dongeng wacana Kampung Naga sanggup disimak melalui laporan-laporan hasil penelitian. Namun ada satu catatan penting yang disampaikan oleh pak Darmawan, yaitu insiden hangusnya arsip sejarah Kampung Naga yang masih tertulis di daun lontar mengakibatkan sumber sejarah yang paling otentik berdasarkan warga lokal sudah tidak ada. Hangusnya sumber sejarah itu, menurutnya, terjadi ketika insiden pembakaran Kampung Naga oleh serangan DI/TII Jawa Barat tahun 1965. Sedangkan sumber sejarah yang masih bertahan yaitu sejarah oral, yang diceritakan bebuyutan yang sebagian tertulis dalam hasil-hasil penelitian.
Pada siang hari, masih di kampung unik itu, kami bertemu seorang seniman sekaligus musisi lokal yang sedang menciptakan alat musik dari bambu, yang mungkin kebanyakan pembaca tidak tahu nama alat musiknya. Disebut dengan nama karinding dan kariling, kariling bentuknya lebih kecil, ditiup supaya berbunyi. Dahulu kariling dipakai untuk mengusir burung-burung pemakan padi. Konon kini sanggup dipakai untuk memikat seorang gadis dengan cara dibunyikan didepan rumah si gadis pada malam hari, kemudian segera bersembunyi ketika si gadis mencari sumber bunyi itu. Sebelum dibentuk sebagai karinding, bambu yang telah ditebang dijemur dahulu, kemudian dipanaskan di tungku pembakar arang supaya kandungan air dalam bambu tidak tersisa sedikitpun. Proses ini memakan waktu selama tiga tahun. Barangkali lamanya proses ini yang mebuat satu kariling kecil dibanderol harga 60 ribu rupiah. Karinding bentuknya lebih besar, memakan potongan satu ruas bambu. Dimainkan dengan cara dipukul memakai bambu kecil dibalut kain ban. Persis gendang namun berbentuk ibarat kentongan.
Sampai menjelang siang hari kami berada di Kampung Naga sebelum balasannya harus menaiki ratusan anak tangga lagi untuk hingga di parkiran. Tepat di depan gapura parkiran berdiri masjid yang serambinya cukup luas untuk merebahkan badan. Sejenak kami tiduran di serambi sebelum dilanjutkan makan siang. Cuaca ketika itu tidak mengecewakan terik, kami berinisiatif untuk segera cari bus ke Bandung, mumpung belum tampak gejala akan turun hujan. Namun, jumlah armada bus yang lewat sangat terbatas, kalaupun ada, penumpangnya membludak. Akhirnya kami naik angkot ELF meski penuh penumpang, dan harus dibayar dengan penuh sesak dan ketidaknyamanan. Meskipun menderita, kami balasannya tiba juga di Bandung, kota yang Pasundan yang paling modern.
Lagi-lagi sahabat saya Itok sudah berinisiatif mengontak temannya di Bandung sekadar untuk memastikan ada tempat untuk kami singgah. Teman Itok, Tiok namanya, penggemar aquarium plant, mau berbaik hati mendapatkan kami bermalam di rumah kontrakannya di kawasan Antapani. Malam pertama begitu melelahkan sebab kami gres saja menyusuri jalan menuju terminal Antapani yang ternyata tidak sampai-sampai. Tiok menjemput kami di depan Superindo Antapani. Jalan kaki yang melelahkan itu berakhir sudah. Sampai di kamar, kami merebahkan tubuh, ngobrol-ngobrol sejenak dengan tuan rumah kemudian tidur. Esoknya kami mau mengunjungi pasar seni yang katanya terbesar se-Asia Tenggara. Sebelumnya saya ingatkan, dongeng di pasar seni tidak akan menggali banyak isu wacana seni. Pengunjungnya benar-benar membludak, terlalu sesak untuk menikmati seni yang semestinya diperlukan ruang ketenangan dan kenyamanan. Saya akan menceritakan sesuai persepsi saya sebagai pengunjung yang terkejut sebab terlalu ramai. Ini yaitu pasar seni pertama yang saya kunjungi semenjak terakhir kali mengunjungi pasar malam dan pasar tiban beberapa ahad lalu.
Baca juga Eksotisme Papua: Sebuah Catatan Perjalanan
Pasar Seni ITB
Sekilas, pamor pasar seni ITB diangkat dengan menonjolkan unsur kelangkaan. Acaranya diadakan 4 tahun sekali, dan hanya satu hari, maka silahkan menentukan tiba hari ini atau menunggu 4 tahun lagi. Begitulah kira-kira cara panitia merayu masyarakat awam via media umum untuk tiba ke pasar seni. Saya gres benar-benar mengerti bahwa pasar seni yaitu kombinasi antara pasar dan seni. Begitu banyak karya seni unik yang dipamerkan ketika itu, sayang semuanya karam jawaban banjir pengunjung. Event itu terlalu ramai ibarat pasar, selera seni saya menurun.
Pasar seni ITB pertama kali diselenggarakan pada tanggal 10 bulan 10 tahun 2010. Empat tahun kemudian diadakan lagi dengan hampir tidak melewatkan celah sedikitpun untuk promosi. Media online dari twitter, instagram, path, facebook, aplikasi android dan app store, hingga media konvensional ibarat banner dan spanduk terus dijejalkan pada netizen dan non netizen. Kerja keras panitia dibayar dengan membludaknya jumlah pengunjung.
Jejeran karya seni lokal Bandung dipamerkan di sepanjang Jalan Ganesha ITB, maksudnya untuk memenuhi Jalan Ganesha dengan bermacam-macam karya seni. Banyak seniman yang ikut hadir dari yang tradisional hingga kontemporer. Terdapat pula banyak sekali wahana dan kuis yang dimainkan selama event. Kesemua wahananya saya tidak hafal sebab tidak sanggup menikmatinya. Maklum saja, untuk masuk harus antri jawaban berjejalnya orang yang penasaran. Awalnya saya membayangkan kebanyakan pengunjung yang hadir yaitu para penikmat seni. Sadar diri bahwa saya pun tiba atas motivasi jalan-jalan saja, banyak pula pengunjung lain yang mungkin juga demikian. Entah pengunjung yang tiba yaitu penikmat seni atau bukan, yang terang mereka takut hujan. Nayatanya ketika menonton salah satu art perform saja mereka antusias mengerubungi panggung, namun bubar seketika gerimis turun.
Barangkali tiga paragraf di atas sudah cukup menggambarkan kesan saya pada pasar seni ITB 2014. Jelas tidak memuat substansi program yang dirancang dengan penuh keseriusan. Pembaca yang berharap menerima dongeng seni dari goresan pena ini wajib kecewa. Keberadaan saya sebagai seorang pengunjung di tengah lautan insan mustahil membawa pada hasil pengamatan yang khusyuk pada karya seni. Dengan berat hati saya katakan ‘pasar’ menghalangi saya menikmati seni. Diantara sekian banyak stand dan panggung hiburan yang disediakan di Pasar Seni ITB, kesemuanya karam dalam kerumunan orang-orang yang antusias pada event ini. Saya tidak sanggup berbuat apa-apa kecuali mengamati orang-orang yang kemudian lalang dengan penampilan mereka yang tampak fashionable. Pengamatan saya semakin menambah keyakinan bahwa Bandung yaitu kota fashion. Meski pada event itu banyak pula pengunjung dari luar, penampilan para pengunjung sudah boleh dibilang karya seni. Inilah satu-satunya karya seni yang sanggup saya nikmati.
Saya pulang dari event itu dengan perasaan biasa saja. Tidak punya banyak cerita, namun sekaligus tidak kecewa. Berikutnya, kami mencari makan malam yang murah sambil ngobrol-ngobrol. Besok pagi kami berencana mengunjungi objek wisata Kawah Putih yang tempaknya menarik. Namun, ibarat yang sudah saya ceritakan diawal bahwa planning itu gagal. Bukan sebab kami bangun kesiangan, melainkan kami bagun pagi, namun tidur lagi. Agenda berubah spontan, kami berniat mengunjungi museum Konferensi Asia Afrika di Jalan Braga yang pada hari itu ternyata tutup, jadi kami terpaksa berkunjung ke sebuah retail produk peradaban modern berjulukan Indomaret Point. Jalan-jalan menyusuri kota Bandung itu sendiri seketika sudah menjadi hiburan. Pembaca yang mengerti makna ‘Bandung Kota Kembang’ tentu paham maksudnya. Saya akan ceritakan secara singkat melalui paragraf-paragraf berikut ini.
The Geulis City
Tidak benar bahwa Bandung populer dengan gadis-gadisnya yang cantik, mereka tidak cantik, mereka geulis. Pandangan ini sudah menjadi diam-diam umum, sehingga makna Kota Kembang yang semula artinya banyak kebun bunga, bergeser menjadi kembang sebagai personifikasi perempuan. Perempuan-perempuan Bandung yang dikenal geulis-geulis mempunyai legitimasi sejarah sekaligus mitos yang sangat kuat. Melaui kisah-kisah kerajaan Padjajaran dan dongeng tebas Sunda yang eksis hingga sekarang, dijelaskan bahwa wanita keturunan pasundan dikutuk untuk geulis. Sulit mendifinisikan geulis secara harfiah, barangkali definisi yang mendekati yaitu adonan antara ‘manis’ dan ayu alami. Tapi geulis itu sendiri justru makin tidak terang definisinya bila dijelaskan melalui kata-kata. Saya ingin pembaca mengevaluasi goresan pena saya soal ini. Sejak mengamati dan mendengar dongeng wacana perempuan-perempuan Bandung saya ingin berhati-hati memilah antara sejarah dan mitos. Namun pengamatan empirik kami sepertinya berhasil membangun hipotesa kokoh bahwa Bandung sebagai ‘The Geulis City’ yang menyejarah.
Sebelum fokus perhatian pembaca terdistraksi kemana-mana, ijinkan saya kembali melanjutkan dongeng perjalanan kami. Malam terakhir di Bandung, kami habiskan dengan tidur, bangun pagi, dan tidur lagi paginya. Agak siang pukul 10 kami gres benar-benar bangun dari tempat tidur untuk melanjutkan perjalanan. Rencana ke Kawah Putih dibatalkan sebab keterbatasan waktu. Dalam perjalanan menuju pangkalan angkot untuk keliling kota, sahabat kami Tiok ikut mengantar dan menyempatkan diri makan bersama kami di Bakso Barbel Agung Hercules. Kami terpaksa makan sebab kalo tidak makan barbel melayang.
Tempat makan yang meja, kursi, serta mangkuknya didesain ibarat barbel mengakibatkan Bakso Barbel sangat unik. Harganya tidak mengecewakan murah untuk kantong turis lokal yang menginginkan bakso enak. Sebelum melanjutkan jalan-jalan, kami berfoto bersama Tiok di depan kios Bakso Barbel.
Tujuan pengganti Kawah Putih yaitu Museum Konferensi Asia Afrika. Hari senin, sayang, museum tutup. Terhalang sudah planning kami untuk berguru sejarah. Menyusuri Jalan Braga, kami menemukan tempat berteduh untuk duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol sebelum bersinggah ke Ciwalk. Di Indomaret Point Jalan Braga, kami singgah sejenak sambil menikmati masakan ringan pengganti makan siang. Traveler jaman kini ketika kelaparan, asal menemukan indomaret, semua urusan selesai. Menjelang sore hari pukul 3, kami mencari angkot menuju Ciwalk, salah satu sentra perbelanjaan populer di Bandung. Saya harus menyebut sahabat saya Arso, yang paling sering membeli pernak-pernik semenjak awal perjalanan kami, sebab ia juga orang pertama diantara kami yang membeli buah tangan di sekitar Ciwalk. Ciwalk yaitu tempat yang bagus untuk foto-foto sebab memang untuk itulah Ciwalk dibangun. Kami tidak ambil pusing dengan keharusan berbelanja, bukan sebab tidak punya selera, tetapi pembaca tahu apa alasannya.
Stasiun Kiaracondong Bandung, menjadi titik keberangkatan untuk kami kembali ke Jogja. Perjalanan kami dari Ciwalk menuju Kiaracondong diiringi hujan gerimis. Untung saja angkot ada dimana-mana sehingga gampang bagi kami untuk eksklusif ke stasiun. Saya tidak ingin menceritakan secara lebih detail perjalanan pulang ke Jogja. Mengingat Bandung yaitu kota yang layak dikunjungi, dongeng wacana Bandung lebih menarik ketimbang perjalanan pulang. Saya berterimakasih kepada kota yang sedang berbenah diri menjadi kota seni modern atau postmodern ini. Sudah terlalu banyak kebanggaan wacana gadis-gadisnya. Memang nyatanya demikian, sampai-sampai sahabat saya Ferdi rela nyetop angkot sebab ada penumpang geulis duduk di dalamnya, padahal yang kita cari yaitu kendaraan beroda empat Damri. Demikian dongeng ini harus saya sudahi. Bandung dan Tasik telah kami catat sebagai kota yang pernah kami singgahi. Kunjungan kami yang meski sesaat, menghasilkan dongeng yang mengalir dan akan selalu hidup dalam ingatan kami. Sampai jumpa lagi di kota-kota berikutnya!
Baca juga Traveling Mataram-Majapahit: Sebuah Catatan Perjalanan ke Pusat Peradaban Nusantara
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "“The Dragon Village And The Geulis City”: Sebuah Catatan Perjalanan"
Posting Komentar