Retorika Untuk Milea: Review Film Dilan 1990

Review film Dilan 1990 ini ditulis oleh salah satu dari lima juta lebih orang yang telah menontonnya. Pas nonton film ini saya berusaha untuk memposisikan diri menjadi seorang abege jaman now tapi gagal. Biarlah review film Dilan ini ditulis dari sudut pandang anak 90an.







Genre film ini drama romantis. Kamu niscaya udah sanggup menebak bahkan dari trailer-nya. Apalagi bagi pembaca novelnya yang niscaya lebih tau kalo ada unsur lain juga yang menyentuh genre romantika sampaumur masa 90-an ini, ibarat komedi, bencana dan kekeraasan. Ini bukan spoiler tapi sesudah menonton filmnya, saya pikir menilai bagaimana sosok Dilan yaitu wajib wajar. Dilan bekerjsama anak rebel, badboy yang suka melawan, dan pandai beretorika, maksudnya berdialog dengan kata-kata persuasif tapi kelewat pede dan kadang garing untuk cewek yang ditaksirnya: Milea.


”Milea, kau bagus tapi saya belum mencintaimu. Nggak tau kalo sore, tunggu aja” -Dilan


Review film Dilan 1990 ini yaitu review film pertama yang kutulis di blog ini. Sebelumnya, saya lebih banyak mereview buku atau jurnal akademik saja, berat… iya. Tiba-tiba terpantik untuk me-review film Dilan 1990 ini sesudah menontonnya. Agak telat sih sebab memang sengaja, demi menghindari desakan antrian teens jaman now, ditambah lagi kalo ada sebagian fans CJR yang nantinya histeris di bioskop.


Tapi mereview film nggak kalah penting dari mereview buku sebab buatku film juga dokumen yang punya ”pembaca” sehingga sanggup ”dibaca”. Bahkan film pribadi bersentuhan dengan pembacanya, yaitu publik yang menontonnya. Baru rilis sepuluh hari aja, udah ada tiga juta penonton yang menyaksikan film Dilan 1990. Selamat buat sutradara Fajar Bustomi dan timnya, khususnya tim marketing! Kaprikornus jelas, film ini punya dampak besar terutama dikalangan anak muda. Artinya, kalo ada pendapat yang bilang me-review film Dilan 1990 ngga penting, saya ngga yakin.


 ini ditulis oleh salah satu dari lima juta lebih orang yang telah menontonnya Retorika Untuk Milea: Review Film Dilan 1990Tibalah tanggal 17 Februari 2018, tepatnya 24 hari sesudah film ini rilis perdana. Kali ini, saya nonton di kota yang gres pertama kali saya kunjungi: Cirebon, kota empal gentong dan nasi jamblang. Layar lebarnya ada di Grage Shopping Mall. Sebelum rilis, bekerjsama udah ada niatan nonton apalagi sesudah salah satu promo di Line Today menyebutkan masa 1990-an bakal jadi setting film ini. Bergabunglah generasi 90-an, kaum milenial dan para kids untuk menghayati obrolan romantis antara Dilan dan Milea sambil sedikit berekspektasi untuk nostalgia. Review film Dilan ini akan lebih banyak perihal pesan tersembunyi dari karakter, dialog, dan adegan yang dimainkan para tokoh. Silahkan menyimak review film Dilan dari kacamata 90an.


Siapakah Dilan, siapakah Milea?


Film ini dimulai dengan kisah singkat perihal Milea. Nama lengkapnya Milea Adnan Husein, cewek kelas 2 SMA, anak tentara yang sebelumnya tinggal di Jakarta. Ia suka makan lumba-lumba. Tahun 1990 Milea pindah ke Bandung sesudah ayahnya dipindahtugaskan ke Bandung. Di sekolah ia bertemu dengan perjaka seangkatan beda kelas yang berjulukan Dilan, lengkapnya ”Abdul” Dilan. Settingnya udah terang nih, Bandung yang adem 1990.


Aku ngga mau lanjut spoiler, walopun semua pembaca mungkin udah khatam nonton filmnya atau bahkan baca novelnya. Di sini, saya cuma mau menilai sebagai penikmat obrolan asmara Dilan-Milea, itu aja, sebab kekuatan film ini menurutku ada pada dialognya itu sendiri. Sosok kunci yang layak apresiasi tentu saja Pidi Baiq. Pemeran filmnya emang nggak kalah penting tapi saya tempatkan diurutan kedua sesudah obrolan sebab di sini, aura akting Iqbaal dan Vanesha udah cukup membuat histeris para kids, maksudnya remaja, dan penonton generasi lainnya juga, termasuk tante-tante dan emak-emak yang nonton barangkali?


Pemilihan tokoh siapa bintang film Dilan dan Milea memang pada awalnya banyak menuai pro dan kontra, terutama Dilan yang di novelnya badboy tapi di filmnya boyband. Mantan boyband tepatnya. It’s okay lah. Life is changing. Justru menurutku dengan film ini, Dilan berhasil membangun image lain perihal badboy dan mungkin juga image perihal seorang panglima tempur geng motor. Badboy is not bad, he is just a boy, kira-kira begitu jadinya.


Pesan tersembunyi di sekitar Milea








Kalo ngga salah gres tiga ahad sesudah Milea bersekolah di Bandung, kisahnya dimulai. Saat itu sepulang sekolah, Dilan yang lagi naik motor cb100 mendekati Milea yang jalan kaki mau naik angkot. Dengan sok kenal, Dilan meramal bahwa mereka akan bertemu di kantin sekolah yang ternyata ramalannya itu salah. Sejak itu, Dilan mulai sering mengirim surat lewat temannya dan berpesan “iqro Milea”.


Sebagai anak yang gres pindahan, Milea punya mantan di Jakarta, sosok antagonis yang tampil dengan kekerasan fisik dan ekspresi di hampir setiap adegannya, namanya Beny. Bagaimana Milea sanggup jadian dengan Beny ngga penting untuk diceritakan. Tapi kita sanggup menilai kecurigaan Beny kalo Milea punya perjaka lain di Bandung, memberi pesan tersembunyi bahwa LDR punya potensi masa depan yang suram. Tapi di sisi lain, sosok Beny sendiri bekerjsama udah berhasil menceritakan bahwa kekerasan tidak punya daerah di hati perempuan ibarat Milea, terutama kekerasan verbal.


Karakter lain yang juga memberi pesan tersembunyi di film ini yaitu Nandan, ketua kelas yang meminta Milea jadi sekretarisnya. Nandan ini boleh dibilang goodboy, kalem dan tentu saja naksir Milea. Pesan yang disampaikan oleh sosok Nandan barangkali yaitu ”menjadi baik aja ngga cukup guys 😊” untuk memenangkan hati seorang perempuan ibarat Milea, bahkan meskipun paras Nandan dinilai cukup tampan berdasarkan Milea.


Sebenarnya apa sih yang ingin disampaikan dari hadirnya sosok Nandan? Mungkin ini kepingan dari definisi cinta yang COMPLICATED, yang ingin disampaikan Pidi Baiq. Tapi diluar kompleksitas cinta remaja, permasalahan asmara dan taksir-menaksir bekerjsama klasik dan itu-itu aja; ‘aku suka dia, ia suka yang lain’, Atau ‘dia suka aku, saya suka yang lain’. ”Yang lain” ini memang sumber masalah.







Ditengah chemistry Dilan dan Milea yang makin nanjak, hadir juga sosok kang Adi, guru privat Milea. Kang Adi ini barangkali mahasiswa ITB yang ambil partime sebagai tutor privat. Nggak tau mahasiswa angkatan berapa atau gres lulus? Kalo diliat dari penampilannya, saya nggak yakin ia ambil partime jadi guru privat sebab butuh duit.


Siapa bekerjsama kang Adi ngga diceritakan di film, tapi apakah ia punya rasa sama Milea, itu pasti. Seleranya anak SMA? Aku menilai kang Adi sebagai sosok yang mau jumawa tapi setengah-setengah. Sepertinya ia agak pendiam dan kurang pede, barangkali lagi banyak pikiran. Entah apa salah dan dosa kang Adi, tapi hampir di setiap kemunculannya, penonton menertawakannya. Sebenarnya kita udah sanggup menebak ia hadir sebagai sosok yang menceritakan perihal adanya ’kasih tak sampai’. Tapi saya menilai, tertawaan penonton ini yaitu sinyal bahwa kegagalan cinta di negeri ini berhak akan sindiran dan jadi materi tertawaan. Ini pola bencana yang jadi komedi.


Banyak perjaka mengirim pesan tersembunyi di sekitar Milea. Tapi yang benar-benar mengirim pesan hanyalah Dilan lewat surat dan puisi. Surat dan puisi tetap jadi sarana paling ampuh untuk mengesankan hati Milea. Disini kita boleh yakin bahwa abjad yang mati itu ternyata berbicara lebih banyak dari pada ucapan yang hidup. Dilan juga rajin nyemplungin koin receh di telepon umum untuk menyenangkan Milea. Ini salah satu gaya pacaran masa 1990-an yang punah di masa sosmed.


Apa yang membuat film ini berkualitas?


 ini ditulis oleh salah satu dari lima juta lebih orang yang telah menontonnya Retorika Untuk Milea: Review Film Dilan 1990


Seperti yang saya sampaikan di awal, kualitas film ini terletak pada dialognya. Ini mungkin pandangan subjektif tapi kalo dinilai dari dimensi lainnya, misal; sinematografi, plot dan alur ngga sanggup dikatakan luar biasa. Sinematografi film ini kurang bagus. Gradasi warna yang ditampilkan juga nggak optimal. Misalnya, saat Milea dan Bundahara Dilan naik jeep ke rumah Milea. Jeepnya jalan apa nggak, nggak jelas. Bahkan obrolan pun bekerjsama nggak 100% sempurna. Kesan garing muncul di awal dan pertengahan. Tapi saya melihat kekurangan obrolan ini bukan sebagai kegagalan tapi representasi realitas bahwa melucu itu bekerjsama ya memang kadang garing, bahkan pelawak profesional pun sanggup garing. Bukankah garing itu sendiri layak ditertawakan?


”Aku pernah ramal, kau akan naik motor aku, ingat? Bantu saya ya, mewujudkannya” -Dilan


Garing bener dah! Ketegangan dan titik puncak di alur film ini selalu muncul dan tenggelam. Masalah yang muncul di film ini juga menurutku biasa aja, nggak membuat ketegangan hingga ’deg-degan’. Artinya, apa yang coba dijadikan titik puncak di film ini masih sangat umum terjadi dan sama sekali nggak sanggup menggoncang emosi penonton, kecuali yang labil dan baper. Misal, selain kisah cinta merebutkan hati wanita, ada adegan berantem sebab cemburu. Ada pula anggota geng motor lain yang menyerang di jam sekolah, kemudian polisi datang. Ada juga guru BP yang menampar muridnya, trus dibalas hingga dibawa ke ruang kepala sekolah. Ada pula perkelahian antarsiswa, diskors, dan orang renta dipanggil. Itu semua duduk kasus tentu saja, tapi masalahnya ya itu-itu aja, datar. Dialog, sekali lagi, satu-satunya kekuatan film ini.


Perjalanan Dilan mendekati Milea sedikit mengalami pasang surut. Di sini saya bilang sedikit sebab emang cuma sekali aja di awal. Dilan sempat dianggap berubah dan menjauh di mata Milea. Tapi sesudah temannya Pian bilang kalo Dilan salah sangka dan masih berharap, Milea tersenyum. Di sini, saya amati para penonton juga tersenyum, memberikan ekspektasi mereka kalo Dilan yaitu satu-satunya sosok yang pantas buat Milea. Ekspektasi penonton ini konon katanya nggak terpenuhi di ending dari trilogi novelnya. Bukan spoiler sebab cuma konon katanya.


Sejauh ini saya udah ngasih evaluasi subjektif pada beberapa karakter perjaka di sekitar Milea dan letak kualitas film serta kekurangannya. Penilaian perihal sosok Dilan dan Milea itu sendiri malah kelewat. Tapi di awal udah disinggung bahwa menurutku, Dilan itu rebel dan suka melawan. Mungkin paras bintang film Dilan di sini yang membaliknya jadi romantis. Malah boleh dibilang kesan pemberontak hilang ditelan surat dan puisi.






Kemenangan retorika


Aura bintang film Dilan yang katanya kharismatik nggak punya ruang untuk dibahas di sini, biarkan kaum hawa memberikan dengan histeria-nya masing-masing. Namun ada dua evaluasi lain perihal Dilan yang ngga kalah penting, yaitu jenius dan luas pergaulannya. Apakah Dilan benar-benar jenius memang meragukan, apalagi sesudah menyebut nama Mahatma Gandhi sebagai Menteri Agama Kabinet Pembangunan ke-5! Aku sarankan mereka yang jadi gurunya Dilan untuk resign!


Tapi sependek pengetahuanku, mengisi TTS satu buku penuh itu cuma sanggup dilakukan oleh orang-orang jenius yang encer otaknya. Satu lembar TTS aja sering kali masih ada yang bolong. Di sini, saya curiga, isian TTS yang jadi hadiah ulang taun Milea bekerjsama ngawur semua. Bagi kebanyakan penonton, balasan TTS benar atau nggak itu nggak penting. Apa yang penting adalah, ngasih hadiah buku TTS yang udah diisi semua supaya yang nerima nggak pusing yaitu keputusan kreatif, walopun nggak masuk akal.


Dilan juga luas pergaulannya. Kenyataannya nggak banyak anak Sekolah Menengan Atas yang punya kenalan baik dengan tukang pijat, tapi Dilan punya. Ibu penjaga warung juga terkesan sangat bersahabat dengan Dilan, terutama saat panik melihat keningnya lecet habis berantem. Nggak sulit untuk bersahabat dengan ibu-ibu warung, tapi membuatnya meninggalkan warung untuk membelikan perban dan obat merah pas jaga warung itu nggak gampang. Jadi, supaya nggak simplistik menilai keberhasilan Dilan merebut hati Milea lewat puisinya, Dilan juga punya modal sebagai orang yang luas pergaulannya.


Bagaimana dengan Milea? Menilai tokoh utama yang satu ini susah banget. Menilai Milea sebagai sosok yang bagus saja sehingga jadi sentra perhatian bekerjsama nggak cukup. Tapi sangat sulit melihat kelebihan lainnya yang ingin ditampilkan di film ini. Mungkin inilah kekurangan dari banyak film drama romantis di Indonesia atau bahkan film Hollywood sekalipun. Kenapa nggak ada nilai lain yang ditonjolkan dalam sosok Milea sebagai perempuan sehingga membuat Dilan naksir? Drama ini masih membatasi evaluasi terhadap sosok perempuan sebatas parasnya.


”Waktu itu bersama Dilan. Jika ada alat ukur menghitung kebahagiaan, saya niscaya jadi orang yang paling senang sedunia” -Milea


Pada akhirnya, unsur komedi yang dibalut retorika dalam obrolan Dilan-Milea menjadi keunggulan film ini. Retorika di sini bukan manipulasi kata-kata untuk merayu seseorang, tapi ilmu pengetahuan perihal bagaimana memberikan sesuatu. Tidak semua orang punya keahlian beretorika, sebagian orang memang bertalenta. Pidi Baiq, lewat Dilan memberikan kepiawaiannya beretorika. Jelas, dalam film ini bukan Iqbaal, tapi Pidi Baiq. ”Iqbaal bukan Dilan, itu pasti”, kata Pidi Baiq. Kata-kata Dilan bermuatan emosional. Dilan yaitu rangkaian kata yang jikalau coba dipahami justru terdengar garing, tapi jikalau dirasa cukup menyentuh. Akhirnya, kisah cinta Dilan dan Milea diproklamasikan dengan materai. Retorika berhasil menjadi pemenangnya.


Identitas film


Judul: Dilan 1990

Sutradara: Fajar Bustomi

Produser: Ody Mulya Hidayat

Penulis: Pidi Baiq

Pemeran Dilan: Iqbaal Ramadhan

Pemeran Milea: Vanesha Prescilla

Rilis perdana: 25 Januari 2018


Disclaimer: Review film Dilan 1990 ini merupakan pendapat pribadi penulis. Review film Dilan ini ditulis tanpa adanya konflik kepentingan dalam bentuk apapun. Untuk seruan review film lainnya sanggup klik di sini



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Retorika Untuk Milea: Review Film Dilan 1990"

Posting Komentar