Makalah Perkembangan Kerajaan Islam Di Sumatra


Makalah

Perkembangan Kerajaan ISLAM di Sumatra

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa, yang telah memperlihatkan kita karunia serta nikmatnya hingga pada ketika ini kita masih bisa melaksanakan proses berguru di sekolah ini. Shalawat beriringan salam, mari kita sampaikan ke Rasul Allah SAW yang telah membawa tangan umatnya dari alam kegelapan hingga menuju alam yang terang dengan kepercayaan dan taqwa.
Apabila nantinya dalam penyusunan makalah kami ini ada kekurangan dan ketidak sempurnaan saya terlebih dahulu memohon maaf.
   

Desember 2015


Penulis


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Keadaan masyarakat sumatra sebelum masuknya islam
2.2. Masuk dan berkembangnya islam di sumatera utara
2.3  masuk dan berkembangnya islam di sumatera selatan 

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
            Berbicara mengenai kapan dan siapa yang membawa islam di Sumatra selatan, bisa dikatakan sebuah pertanyaan yang di anggap sacral. Why? Penulis berasumsi bahwasanya, hingga detik ini belum ada bukti yang otentik akan masuknya islam di nusantara terkhusus di Sumatra-selatan. Penulis berasumsi bahwa bukti-bukti dari sejarawan semisal, Hamka, Snowk, dan lain-lain hanya meneliti berdasarkan bukti peninggalan saja dan kemudian di musawarohkan atau diseminarkan oleh banyak sekali tokoh-tokoh sejarawan, semisal di medan pada tahun 1963 yang kemudian dari banyak sekali hasil seminar dipergunakan sebagai documenter hasil penelitian.
            Apakah para sejarawan itu salah dalam meneliti? Saya kiratidak. Sebab, masuk dan berkembang islam di bumi nusantara ini tidak meninggalkan kitab, atau manuskrip-manuskrip dan hanya meninggalkan Nisan, dan sebuah cultur. Sudah sangat bisa dipastikan bahwasanya. Sejarawan pun tidak mengecewakan kesulitan untuk menafsirkan atau meneliti secara otentik. Bagitu pula dengan sebuah nisan, bagi penulis, Nisan pun perlu sekiranya menerima perhatian secara khusus. Alat yang bisa dipakai untuk meneliti barang kali di antaranya metode dealektika dengan orang-orang terdahulu.
            Nah, dari banyak sekali jalan yang dipakai sejarawan, perlu sekiranya penulis melampirkan hasil kajian pustaka, yang insa allah akan menghantarkan kita pada kebenaran yang otentik. Kendati kebenaran itu sulit untuk diraba, terlebih dilihat. Melihat daerah kerajaan Sriwijaya yang bisa dikatakan tempat yang sangat Strategis, baik dalam aspek hubungan antar pulau, berdangan, dan tempat yang dipakai para politikus untuk menghasilkan pelbagai rempah-rempah yang dimiliki oleh bumi nusantra. Dan kita sanggup melihat bahwa kekuasaan kerajaan sriwijaya juga amat luas.

1.2.    Rumusan Masalah
            Dalam hal penulisan rumusan duduk kasus penulis pun mengalami kegalauan. Penulis resah harus dari mana memulai, mengingat begitu sulit mencari refrensi. Bahkan penulis pun sempat berasumsi bagaimana sebenarnya keotentikan documenter risalah masuk dan berkembangnya islam di Sumatra selatan. Hingga pada jadinya penulis mencoba mendiskripsikan keadaan subektif dari pelbagai refrensi yang ada. Namun, sekali lagi penulis hanya menyajikan sebuah pendiskripsiaan bukan sebuah kesimpulan. Adapun penulis mencoba mengsignifikasikan menjadi beberapa rumuan masalah:
1.      Sejarah masuknya islam di bumi Sumatra Selatan
Sebenarnya masih banyak probelematika yang bergelut di hati penulis, penulis sendiri sebenarnya mengiginkan akan sistematisanya materi yang hendak di sajikan kepada ibu dosen dan temen-temen sekalian. Sebab, disini penulis sendiri berasal dari bumi Sumatra-Selatan. Akan tetapi, Sangat ironis bukan? Ketika penulis sendiri tidak paham sepahamnya terkait dengan eksistensinya sendiri. Namun, itulah kami selaku pemateri, kami berusaha untuk menyajikikan yang terbaik. Fa insa allah
BAB II
PEMBAHASAN

Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di Indonesia tidak ditemukan hingga dengan kurun 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan bukti tertulis yakni bangunan-bangunan masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memperlihatkan kesimpulan bahwa pada kurun 1—4 H merupakan fase pertama proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang muslim yang singgah di banyak sekali pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini sanggup diketahui berdasarkan sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, sanggup diketahui bahwa kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara semenjak permulaan kurun ke– 7 M. Sehingga, kita sanggup berasumsi, mungkin dalam kurun waktu kurun 1—4 H terdapat hubungan ijab kabul anatara para pedagang atau masyarakat muslim gila dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat Islam di Indonesia khususnya Sumatera, gres ditemukan setelah kurun ke– 10 M. yaitu dengan ditemukannya makam seorang perempuan berjulukan Tuhar Amisuri di Barus, dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten Aceh Utara pada kurun ke– 13. M. 


2.1 KEADAAN MASYARAKAT SUMATRA SEBELUM MASUKNYA ISLAM

Sumatera Utara memiiki letak geografis yang strategis. Hal ini menciptakan Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi salah satu sentra perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara, masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar yang menyebutkan bergotong-royong Sultan Malik As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai pertama, menganut agama Hindu sebelum jadinya diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan juga mempunyai letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu sentra perniagaan pada masa dahulu. Oleh lantaran itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini mempunyai kekuatan maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak eksklusif sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis mengakibatkan interaksi dengan budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini menciptakan secara tidak eksklusif banyak budaya gila yang masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang semenjak zaman nenek moyang terkenal akan perilaku tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar anutan agama yang berbeda sanggup hidup secara damai. Hal-hal ini yang menciptakan Islam sanggup masuk dan menyebar dengan tenang di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.
   





2.2. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA UTARA 

Sumatera Utara merupakan salah satu sentra perniagaan yang terpenting di Nusantara pada kurun ke- 7 M. Sehingga Sumatera Utara menjadi salah satu tempat berkumpul dan singgahnya para saudagar-saudagar Arab Islam. Dengan demikian dakwah Islamiyah berpeluang untuk bergerak dan berkembang dengan cepat di daerah ini.
Hal ini berdasarkan catatan bau tanah Cina yang menyebutkan  adanya sebuah kerajaan di utara Sumatera namanya Ta Shi telah menciptakan hubungan diplomatic dengan kerajaan Cina. Ta Shi berdasarkan istilah Cina yakni istilah yang diberikan kepada orang-orang Islam. Dan letaknya kerajaan Ta Shi itu lima hari berlayar dari Chop’o (bagian yang lebih lebar dari malaka) di seberang selat Malaka. Ini memperlihatkan Ta Shi dalam catatan bau tanah Cina itu ialah Ta Shi Sumatera Utara, bukan Ta Shi Arab. Karena, Ta Shi Arab mustahil di capai dalam waktu lima hari.
Islam semakin berkembang di Sumatera Utara setelah semakin ramai pedagang – pedagang muslim yang tiba ke Nusantara, lantaran Laut Merah telah menjadi Laut Islam semenjak armada rome dihancurkan oleh armada muslim di Laut Iskandariyah.
Disamping itu , terdapat satu factor besar yang mengakibatkan para pedagang Islam  Arab menentukan Sumatera Utara pada selesai kurun ke- 7 M. Yaitu lantaran terhalangnya pelayaran mereka melalui Selat Malaka lantaran disekat oleh tentara laut/Sriwijaya kerajaan Budha sebagai pembalasan atas serangan tentara Islam atas kerajaan Hindu di Sind. Maka terpaksalah mereka melalui Sumatera utara dengan pesisir barat Sumatera kemudian masuk selat Sunda melalui Singapura menuju Kantun, Cina.


v  KERAJAAN PERLAK

Kata Perlak berasal dari nama pohon kayu besar yaitu “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak). Kayu ini sangat baik dipakai untuk materi dasar pembuatan bahtera kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan bahtera kapal. Dan di Perlak banyak tumbuh jenis pepohonan ini, sehingga disebut negeri Perlak (Perlak).
Perlak merupakan salah satu pelabuhan perdagangan yang maju dan kondusif pada kurun ke- 8 M. sehingga menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang muslim. Dengan demikian, secara tidak eksklusif berkembanglah masyarakat Islam di daerah ini. Factor utamanya yaitu lantaran karena ijab kabul antara saudagar-saudagar muslim dengan perempuan-perempuan pribumi. Sehingga mengakibatkan lahir keturunan-keturunan yang beragama Islam.
Hal ini semakin berkembang sehingga berdirinya kerajaan Islam Perlak yaitu pada hari selasa bulan muharram tahun 225 H (840 M). dan sultannya yang pertama yakni Syed Maulana Abdul Aziz Shah yang bergelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah. Kemudian Bandar Perlak diganti namanya menjadi Bandar Khalifah.[1][1][3]
Islam terus berkembang di Perlak, dan hal ini terlihat terang pada kurun ke – 13 M. pada kurun ini, perkembangan Islam di Perlak melebihi dari daerah-daerah lain di Sumatera. Hal ini bersumber pada riwayat Marco Polo yang tiba di Sumatera pada tahun 1292 M. Ia mengatakan bahwa pada ketika iu di Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan, yang semuanya menyembah berhala kecuali satu, itu kerajaan Perlak.
Kerajaan Perlak terus berdiri hingga jadinya bergabung dalam kerajaan Islam Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Dzahir (1289 – 1326 M)


v  KERAJAAN SAMUDERA PASAI
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, yakni kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia. Berdasarkan informasi Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam diIndonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai.

Sejak kurun ke-9 hingga ke-11 M berita-berita pelayaran dan geografi Arab juga telah menambah sumber-sumber sejarah. Berita-berita itu, antara lain dari Ibn Khurdazbih (850),Ya’qubi (875-880), Ibnu Faqih (902), Ibnu Rusteh (903), Ishaq Ibn Iman (lk.907), Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi, Abu Zaid dari sirat (lk. 916), Abu Dulaf (lk.940), Mas’udi (943), dan Buzurg Ibn Syahriyar (awal kurun ke-10). (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:22). Hal ini menerangkan bahwa islamisasi telah ada sebelum kerajaan Samudra Pasai didirikan. Oleh lantaran itu, semenjak kurun ke-7 dan ke-8 hingga kurun ke-11 M di daerah pesisir selat Malaka dan juga di Cina Selatan tumbuh komunitas-komunitas muslim akhir islamisasi.
Proses Pembentukan awal Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar kurun 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada tahun 1238 M, ia menerima kiprah merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat yang dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya yakni untuk sanggup menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada. Beliau kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297).

Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai jadinya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521. Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya ketika mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub lantaran ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Namun Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan wacana pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang berjulukan Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu daerah yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua daerah yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pada pemerintahan Sultan Malik Al Saleh masih belum terlihat gejala kejayaan yang signifikan, namun pada pemerintahannya setidaknya kerajaan Samudra pasai merupakan kerajaan yang besar dari wilayah Aceh sendiri.  letak kerajaan Samudra Pasai kurang lebih 15 Km disebelah timur Lhoukseumawe, Nangroe Aceh. Diapit oleh sungai besar yaitu sungai Peusungan dan sungai Jambo Aye, jelasnya Kerajaan Samudra Pasai yakni daerah aliran sungai yang hulunya berasal jauh ke pedalaman daratan tinggi Gayo Kab. Aceh Tengah. Letaknya yang sangat strategis menciptakan Samudra pasai menjadi kerajaan yang besar dan berkembang pesat pada zaman itu.

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan Ganggang Sari putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu daerah perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah hingga tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja ketika menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia eksklusif duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, tiba serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan mengakibatkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada awal kurun ke-16 mungkin masa memuncaknya kerajaan Samudra Pasai sebagaimana diberitakan oleh Tome Pires (1512-1515) tengah mengalami banyak sekali kemajuan dibidang politik pemerintahan, di bidang keagamaan, terutama di bidang pertanian dan perdagangan. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23), adapun Pasai yang selalu menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan lain, menyerupai Malaka yang ketika itu Malaka menjadi sentra perdagangan Dunia, yang diikuti pula ijab kabul antara raja-raja malaka dengan para putri Pasai (Gade Ismail, M.1997:28).
Tome Pires menceritakan wacana hubungan antara Pasai dan Malaka,terutama pada masa pemerintahan Saquem Darxa yang sanggup disamakan dengan nama sultan Iskandar Syah raja kedua Malaka. (Soejono,R.P&Leirissa,R.Z,2008:23).

Kemajuan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai Pada Masa Kejayaannya Sekitar Awal Abad ke 16 antara lain:

1. Perdagangan
Yang merupakan perdagangan internasional, Pasai mempunyai Bandar-bandar yang sanggup menjadi persinggahan para pedagang gila dan mereka juga membayar uang pajak untuk Pasai

2. Pelayaran
Sebagai kerajaan maritime, pastinya Pasai mempunya keunggulan dalam bidang pelayaran dan nelayan. Maka dari itu masyarakat Pasai, dominan ialah nelayan.

3. Perekonomian
Merupakan salah satu kemajuan Pasai dalm meraih kejayaannya, dan perekonomian Pasai telah terbantu dengan adanya perdagangan dan pelayaran, serta pajak dagang yang dikenakan bagi pedagang,

4. Hubungan internasional dan politik
Merupakan keterkaitan, yakni terjadi pula politik pernikahan, yang dilakukan oleh sultannya.

Relasi dan Persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangun dibawah pimpinan Sultan Zainal-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah hingga tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya menyerupai Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan mempunyai batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jikalau terus ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jikalau terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga memberikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk memberikan informasi tersebut.


Pemerintahan
Lonceng Cakra Donya
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua ahad di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak mempunyai benteng pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada daerah inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan gampang menjadikan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang sanggup bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara belum dewasa sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai mempunyai beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi penggalan dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, daerah Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan mempunyai hubungan yang jelek dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan menjadikan Sultan Pasai terbunuh.
Perekonomian
Tercatat, selama kurun 13 hingga awal kurun 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi sentra perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain menyerupai sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham) yang dibentuk 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya mempunyai tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.
Agama dan Budaya
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan anutan Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam, walau imbas Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai menyerupai dengan Malaka, menyerupai bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang bersahabat ini dipererat oleh adanya ijab kabul antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa selesai pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang menjadikan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta santunan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri jadinya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi penggalan dari kedaulatan Kesultanan Aceh.


Daftar penguasa Pasai
Daftar Penguasa Samudera Pasai

Periode
Nama Sultan atau Gelar
Catatan dan insiden penting
1267 - 1297
Sultan Malik as-Saleh (Marah Silu)
Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja
1297 - 1326
Sultan Muhammad Malik az-Zahir
Koin emas telah mulai diperkenalkan
1326 - 1345
Sultan Mahmud Malik az-Zahir
Dikunjungi Ibnu Batutah
1345 - 1383
Sultan Ahmad Malik az-Zahir
Diserang Majapahit
1383 - 1405
Sultan Zainal 'Abidin Ra-Ubabdar
Dikunjungi Cheng Ho
1405 - 1412
Sultanah Nahrasiyah
Raja perempuan, (janda Sultan Pasai sebelumnya)
1405 - 1412
Sultan Sallah ad-Din
Menikahi Sultanah Nahrasiyah
1412 - 1455
Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir
Mengirim utusan ke Cina
1455 - 1477
Sultan Mahmud Malik az-Zahir II
1477 - 1500
Sultan Zain al-Abidin ibn Mahmud Malik az-Zahir II
Sultan Zain al-Abidin II
1501 - 1513
Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir
1513 - 1521
Sultan Zain al-Abidin III
Penaklukan oleh Portugal



v  KERAJAAN ACEH

a.      Letak Kerajaan
         Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang strategis, yaitu di Pulau Sumatera penggalan utara dan dekat jalur pelayaran perdagangan internasional pada masa itu. Ramainya acara pelayaran perdagangan melalui bandar – bandar perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh dalam segala bidang menyerupai politik, ekonomi, sosial, budaya.

b.      Kehidupan Politik
         Berdasarkan Bustanus salatin ( 1637 M ) karangan Naruddin Ar-Raniri yang berisi silsilah sultan – sultan Aceh, dan informasi – informasi Eropa, Kerjaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari Kerajaan Pedir. Raja – raja yang pernah memerintah di Kerajaan Aceh :

1.       Sultan Ali Mughayat Syah
Adalah raja kerajaan Aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 – 1528 M. Di bawah kekuasaannya, Kerjaan Aceh melakukn ekspansi ke beberapa daerah yang berada di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melaksanakan serangan terhadap kedudukan bangsa Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
       
2.       Sultan Salahuddin
Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemeintahan beralih kepada putranya yg bergelar Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 – 1537 M, selama menduduki tahta kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahaan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan mengalami kemerosostan yg tajam. Oelh lantaran itu, Sultan Salahuddin digantiakan saudaranya yg berjulukan Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
       
3.       Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar
Ia memerintah Aceh dari tahun 1537 – 1568 M. Ia melaksanakan banyak sekali bentuk perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemeintahan Kerajaan Aceh.


Pada masa pemeintahannya, Kerajaan Aceh melaksanakan perluasaan wilayah kekuasaannya menyerupai melaksanakan serangan terhadap Kerajaan Malaka ( tetapi gagal ). Daerah Kerajaan Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahaannya, kerajaan Aceh mengalami masa suram. Pemberontakan dan kudeta sering terjadi.

4.       Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh tahun 1607 – 16 36 M. Di bawah pemerintahannya, Kerjaan Aceh mengalami kejayaan. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerjaan besar adn berkuasa atas perdagangan Islam, bahakn menjadi bandar transito yg sanggup menghubungkan dgn pedagang Islam di dunia barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Ace, Sultan Iskandar Muda meneruskan usaha Aceh dgn menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya. Tujuannya yakni menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai daerah – daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Muda juga menolak ajakan Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera penggalan barat. Selain itu, kerajaan Aceh melaksanakan pendudukan terhadap daerah – daerah menyerupai Aru, pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahannya Kerajaan aceh mempunyai wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekeuasaannya, terdapat 2 orang hebat tasawwuf yg terkenal di Ace, yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-Syamsi. Setelah Sultam iskandar Muda wafat tahta Kerajaan Aceh digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani

5.       Sultan Iskandar Thani.
Ia memerinatah Aceh tahun 1636 – 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahan, ia melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya, muncul seorang ulama besar yg berjulukan Nuruddin ar-Raniri. Ia menulis buku sejarah Aceh berjudul Bustanu’ssalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin ar-Raniri sangat di hormati oleh Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat, tahta kerjaan di pegang oleh permaisurinya ( putri Sultan Iskandar Thani ) dgn gelar Putri Sri Alam Permaisuri ( 1641-1675 M )..   
6.   Sultan Sri Alam (1575-1576).
7.   Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8.   Sultan
Ala‘al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9.   Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15.Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)


c.      Kehidupan Ekonomi
         Dalam kejayaannya, perekonomian Kerajaan Aceh bekembang pesat. Dearahnya yg subur banyak menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh atas daerah – daerah pantai timur dan barat Sumatera menambah jumlah ekspor ladanya. Penguasaan Aceh atas beberapa daerah di Semenanjung Malaka mengakibatkan bertambahnya tubuh ekspor penting timah dan lada.
         Aceh sanggup berkuasa atas Selat Malaka  yg merupakan jalan dagang internasional. Selain bangsa Belanda dan Inggris, bangsa gila lainnya menyerupai Arab, Persia, Turki, India, Siam, Cina, Jepang, juga berdagang dgn Aceh. Barang – barang yg di ekspor Aceh menyerupai beras, lada ( dari Minagkabau ), rempah – rempah ( dari Maluku ). Bahan impornya menyerupai kain dari Koromendal
( india ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina ), minyak wangi ( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal – kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan pelayaran hingga Laut Merah.

d.      Kehidupan Sosial
         Meningkatnya kekmakuran telah mneyebabkan berkembangnya sisitem feodalisme & anutan agama Islam di Aceh. Kaum aristokrat yg memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil disebut golongan Teuku, sedabg kaum ulama yg memegang peranan penting dlm agama disebut golongan Teungku.Namun antara kedua golongan masyarakat itu sering terjadi persaingan yg kemudian melemahkan aceh. Sejak berkuasanya kerajaan Perlak ( kurun ke-12 M s/d ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dgn Sunnah Wal Jamma’ah. Tetapi pd masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah memperoleh proteksi & berkembang hingga di daera – daerah kekuasaan Aceh.
         Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fasnsuri yg di teruskan oleh muridnya yg berjulukan Syamsudin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Mud wafat, aliran Sunnah wal Jama’ah mengembangkan islam beraliran Sunnah wal Jama’ah, ia juga menulis buku sejarah Aceh yg berjudul Bustanussalatin ( taman raja – raja dan berisi watak – istiadat Aceh besrta ajarn agama Islam )

e.      Kehidupan Budaya
         Kejayaan yg dialami oleh kerajaan Aceh tsb tidak banyak diketahui dlm bidang kebudayaan. Walupun ada perkembangan dlm bidang kebudaaan, tetapi tdk sepesat perkembangan dalam ativitas perekonomian. Peninggalan kebuadayaan yg terlihat konkret adala Masjid Baiturrahman.
Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh

*    Setelah Sultan Iskandar Muda wafat tahun 1030, tdk ada raja – raja besar yg bisa mengendalikan daerah Aceh yg demikian luas. Di bawah Sultan Iskandar Thani ( 1637 – 1641 ), sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda, kemunduran itu mulai terasa & terlebih lagi setelah meninggalnya Sultan Iskandar Thani.
*    Timbulnya pertikaian yg terus menerus di Aceh aantara golongan aristokrat ( teuku ) dgn golongan utama ( teungku ) yg menjadikan melemahnya Kerajaan Aceh. Antara golongan ulama sendiri prtikaian terjadi lantaran prbedaan aliran dlmm agama ( aliran Syi’ah dan Sunnah wal Jama’ah )
*    Daerah kekuasaannya banyak yg melepaskan diri menyerupai Johor, Pahang, Perlak, Minangkabau, dan Siak. Negara – negara itu menjadikan daerahnya sbg negara merdeka kembali, kadang – kadang di bantu bangsa  asing yg menginginkan laba perdagangan yg lebuh besar.

Kerajaan Aceh yg berkuasa selama kurang lebih 4 abad, akhinya runtuh lantaran dikuasai oleh Belanda awal kurun ke-20.





2.3. MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI SUMATERA SELATAN 

Palembang yakni kota yang mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Sejak masa kuno, Palembang menjadi tempat singgah para pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang akan pergi ke negeri Cina dan daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur barat ke India dan negeri Arab  serta terus melewati jalur barat ke India dan negeri Arab serta terus ke Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak memakai jalur ini. Persinggahan ini yang memungkinkan terjadinya agama Islam mulai masuk ke Palembang (Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera Selatan.
            Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh It’sing, ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina dan tertahan di Palembang. Kemudian ia menciptakan catatan wacana kota dan penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan kurun ke– 7 M yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang dan Keddah. Dengan demikian sanggup disimpulkan, pada permulaan kurun ke- 7 M di Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (pada waktu itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan sanggup menjalankan ibadah berdasarkan agama Islam.
            Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah ada hubungan yang erat antara perdagangan yang diselenggarakan oleh kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu dengan mempertimbangkan sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja Ta-che (sebutan untuk Arab) ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa di Sumatera Selatan pun telah terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya kampong Arab muslim di pantai Barat Sumatera.[2][2]
            Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia tidak mengadakan invasi militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan perdagangan. System penyebaran Islam yang tidak kenal misionaris dan tidak adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan hanya melaui perdagangan saja memungkinkan Sriwijaya sebagai sentra kegiatan penyebaran agama Budha, sanggup mendapatkan kehadiran Islam di wilayahnya.
            Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal mempunyai kekuatan maritim yang tangguh. Walaupun ada yang mewaspadai hal tersebut lantaran melihat kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.
            Oleh lantaran itu, tidak menutup kemungkinan putra pribumi ikut berlayar bersama para pedagang Islam ke sentra agama Islam yaitu mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera pribumi mengadakan ekspedisi ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama Islam.
            Sehingga sanggup disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia tidak serta merta menunggu para pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab ataupun sekitarnya untuk mencari pemanis pengetahuannya wacana anutan agama Islam. 

  
v  KESULTANAN PALEMBANG

Menurut sejarah, islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal kurun ke-1 H atau awal kurun ke-8 Masehi. Sepanjang kurun ke-7 hingga kurun ke-14 Masehi, Islam di kota Palembang tumbuh dan berkembang pesat sehingga berdiri sebuah kerajaan islam Kesultanan Palembang. Kesultanan Palembang Darussalam yakni suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatansekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Menurut sumber yang saya sanggup ada banyak pendapat wacana masuknya islam ke sumatra penggalan selatan :

1. Pengaruh kekuasaan politik Islam dimasa itu, yaitu : Khulafaur Rasyidin 632-661 Masehi - Dinasti Umayyah 661-750 Masehi - Dinasti Abbasiyah 750-1268 Masehi - Dinasti Umayyah di Spanyol 757-1492 Masehi - Dinasti Fatimah di Mesir 919-1171 Masehi

2. Penguasaan jalan bahari perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa Arab telah menguasai perjalanan bahari dari Samudra India yang mereka namakan Samudra Persia kala itu.

3. Islam masuk didaerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada kurun ke-7. Ini mengingat buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T'ang yang memberitakannya utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur pelayaran, maka Islam ketika itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam.

4. Seperti dikisahkan oleh penulis Arab yaitu Ibnu Rusta (900 M), Sulaiman (850 M) dan Abu Zaid (950 M), maka hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750 M - 1268 M) dengan kerajaan Sriwijaya tetap berlangsung. Khusus untuk daerah Sumatera Selatan, masuknya Islam selain oleh Bangsa Arab pedagang utusan dari Dinasti Umayyah (661 - 750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 - 1268 M) juga pedagang Sriwijaya sendiri berlayar kenegara-negara Timur Tengah.


Pendapat lainnya :

1. Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul "Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya"  menulis :
Arya Damar, seorang Adipati kerajaan Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi telah memeluk agama Islam, lantaran diajari oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) ketika singgah di Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanannya kekerajaan Majapahit. Kemudian Arya Damar ini yang jadinya dikenal dengan nama Arya Dillah atau Abdullah, berguru dengan Sunan Ampel di Ampel Denta ketika ia sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.

2. Dr. Taufik Abdullah dalam makalahnya yang berjudul "Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan"  menulis :
Van Senenhoven pada tahun 1822 Masehi membawa 55 manuskrip Arab dan Melayu yang ditulis sangat indah serta dijilid rapi yang merupakan kepunyaan Sultan Mahmud Badaruddin. Raden Patah yang berdasarkan tradisi historis yakni anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya dengan puteri Cina, dilahirkan dan berguru di Palembang.

Maka setidaknya semenjak selesai kurun ke-16 Palembang merupakan salah satu "enclave" Islam terpenting atau bahkan Pusat Islam di penggalan Selatan Pulau Emas ini. Hal ini bukan saja lantaran reputasinya sebagai sentra perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab Islam pada abad-abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tidak pernah melepaskan keterikatannya dengan Palembang sebagai tanah asal.

Kejadian ini berarti peng-Islaman Palembang telah lebih usang daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa, bahkan jauh lebih dahulu dari Sulawesi Selatan (kerajaan Gowa dan kerajaan Laikang).
Diceritakan dalam buku sejarah "Sulu Mindanau" bahwa seorang Syarif yang berjulukan Syarif Abubakar yang berasal dari Palembang, telah mengembangkan Islam ke Sulu dan Mindanau, yang kemudian kawin dengan puteri setempat berjulukan Paramisuri.

3. Menurut H. Rusdy Cosim B.A. dalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam"  mengemukakan :
Menukil kisah pelayaran Sulaiman didalam bukunya Akhbar As Sind Wal Hino yang diterjemahkan oleh R. Ramaudot, terbitan London 1733 Masehi, dinyatakan bahwa : "Seribuza (Sriwijaya) telah dikunjungi oleh orang-orang Arab Muslim, bahkan diantara mereka ini disamping mengadakan hubungan dagang juga mengembangkan anutan Islam kepada penduduk dan malah ada yang jadinya menetap serta kawin dengan perempuan setempat."

Ini memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan kutipan diatas bahwa agama Islam telah masuk didaerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya.

Selanjutnya Rusdi Cosim B.A. juga menulis : Dimasa Sultan Muhammad Mansur, mencatat nama ulama besar yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih terkenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa dalam mengembangkan agama Islam didaerah Komering Ilir dan Komering Ulu gotong royong dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.

Disamping itu ada pula ulama-ulama dijaman Kesultanan, diantaranya : 1. Kyai Haji Kemas Abdul Somad (K.H.K. Abdul Somad Falembani) 2. Kyai Haji Masagus Abdul Hamid bin Masagus Mahmud (Kyai Marogan) dll.

4. Menurut Salmad Aly didalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kesultanan Palembang" [5] menulis:
Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan Kesultanan Palembang, agama Islam telah usang ada dikawasan ini. Islam masuk Palembang kira-kira pada tahun 1440 M., dibawa oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Arya Damar dan merupakan penggalan dari Kerajaan Majapahit.

Mengenai Raden Rachmat ini, diceritakan oleh Arnold sebagai berikut : "Salah seorang puteri raja Campa, sebuah negara kecil di Kamboja, di Timur Teluk Siam, kawin dengan seorang Arab yang tiba ke Campa untuk kiprah dakwah Islam. Dari perkawinan ini lahir Raden Rachmat yang diasuh dan dididik oleh ayahnya menjadi seorang Islam sejati."

Selanjutnya, Kyai Gede Ing Suro ini, berdasarkan Faile, yakni turunan Panembahan Palembang dan istrinya asal dari keluarga Sunan Ampel, ia yakni dari garis keturunan Panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya.

Sementara dari sumber-sumber Palembang, diperoleh keterangan bahwa ia yakni putera Sideng Laut, salah seorang turunan Pangeran Surabaya. Dia masih mempunyai hubungan silsilah dengan Sayidina Husein, putera dari Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu eksklusif dari Nabi Muhammad Saw dari puteri kandung ia Fatimah az-Zahra.

Salah seorang cucu Sayidina Husein merantau ke Campa, memperistrikan salah seorang puteri Campa yang kemudian melahirkan Maulana Ishaq dan Maulana Ibrahim.

Orang-orang Arab pada masa ini terdaftar sekitar 500 Jiwa yang kebanyakan tinggal ditepi sungai Musi, diantara mereka ada yang menerima gelar dari Sultan, menyerupai Pangeran Umar. Mereka sering membantu Sultan ketika dibutuhkan.

Pada waktu Belanda menyerang Palembang tahun 1821 Masehi (dimasa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II yang jadinya diasingkan ke Ternate), benteng Sultan dikepulauan Kemaro dan Plaju dipertahankan oleh orang-orang Arab. Hampir semua meriam dikedua benteng ini dipegang oleh orang-orang Arab.

5. Drs. Barmawie Umary didalam makalahnya "Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir"  menulis :
Ada tiga orang ulama yang paling kuat didaerah Komering Ulu dan Komering Ilir : 1. Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari/Raden Amar/Ratu Panembahan. 2. Tuan Tanjung Darus (Idrus) Salam 3. Tuan Dipulau/Said Hamimul Hamiem.

Ketiganya dikenal dengan terkenal oleh masyarakat sebagai Waliullah pembawa agama Islam. Keturunan seorang putera yaitu Raja Montik berputera Kyai Djaruan berputera Tuan Penghulu I berputera Tuan Ketip Kulipah I berputera Tuan Ketip Kulipah II yang berputera 2 orang; yaitu Tuan Penghulu II dan adiknya yakni Tuan Labai/Kyai Labai Djamal.

Dan yang membantu Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari dalam menyiarkan Islam didaerah ini yakni Tuan Raja Setan, Tuan Teraja Nyawa, Said Makhdum, Mataro Sungging, Rio Kenten Bakau, Usang Puno Rajo, Usang Pulau Karam, Usang Dukunb dan Kaharuddin Usang Lebih Baru Ketian.
Makam Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari yakni disebuah pulau diseberang dusun Tanjung Atap dan Pulau ini termasyur dengan sebutan "Pulau Sayid Umar Baginda Sari."

Agama Islam mulai masuk dan disyiarkan didaerah Marga Madang Suku I oleh Tuan Umar Baginda Saleh, yaitu putera tertua dari Sunan Gunung Jati Cirebon (Syarif Hidayatullah), jadi abang dari Sultan Hasanuddin Banten. Masuk didaerah ini sekitar tahun 1575-1600 M dan yang bertempat tinggal didusun Mandayun, sehabis itu menyiarkan agama Islam didaerah Tanjung Atap Ogan Komering Ilir hingga wafatnya.

Didaerah marga Semendawai Suku III, penyiar agama Islam yakni Tuan Tanjung Idrus Salam atau disebut juga Sayid Ahmad dengan mengambil tempat kedudukan dusun Adumanis. Ulama didaerah Semendawai Suku II dan Suku I sekitar tahun 1600 M yakni Tuan Dipulau atau Sayid Hamimul Hamiem dengan mengambil didusun Negara Sakti.


Dimarga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam yakni Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.

Awal Mula Pendirian Kesultanan Palembang

Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang berjulukan Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman. Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah daerah yang akan ditaklukannya.

Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Kemudin pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh kesultanan Banten. Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal yakni Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau semenjak tahun 1601 telah ada hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.

Berikut Daftar Keraton yang Berada di Palembang

Keraton Kuto Gawang
keraton kuto gawang - sejarah perkembangan islam di palembang
Pada awal kurun ke-17, Palembang menjadi sentra pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, aristokrat pelarian dari Kesultanan Demak akhir kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Keraton Kuta Gawang yakni sebuah keraton yang setidaknya telah berdiri selama 100 tahun, sebelum dibakar habis oleh VOC tahun 1659. Kuta Gawang berbentuk empat persegi, dikelilingi kayu besi dan unglen empat persegi dengan ketebalan 30 x 30 cm. Panjang dan lebar benteng ini berukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter). Tinggi dinding temboknya yakni 24 kaki, atau kurang lebih 7,25 meter.

Keraton Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman sentra pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar daerah Mesjid Lama (Jl. Segaran).
Keraton beringin janggut yakni salah satu Istana Kesultanan Palembang Darussalam dan merupakan tempat tinggal Sultan-Sultan Palembang Darussalam (di zaman Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman) setelah Keraton Kuto Gawang dibakar pasukan VOC dan sebelum dibentuk Keraton Kuto Kecik / Lamo. Sekarang lokasi Istana Beringin Janggut tersebut telah menjadi daerah pertokoan. Lokasi asal dari Istana Beringin Janggut ini terletak di Jalan Beringin Janggut Palembang.

Keraton Kuto Tengkuruk
Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan keraton lama, Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk kemudian menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk.

Keraton Kuto Besak
keraton kuto besak - Sejarah masuk islam di palembang
Kuto Besak yakni bangunan keraton yang pada kurun XVIII menjadi sentra Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini yakni seorang tokoh kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan mudah dalam perdagangan internasional, serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai sentra sastra agama di Nusantara. Menandai kiprahnya sebagai sultan, ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru

Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang kini menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Peperangan dan Mundurnya Kesultanan Palembang
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga mengakibatkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangun melaksanakan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan menerima serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun sanggup dengan gampang dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III mengalah kemudian diasingkan ke Banda Neira.


BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya islam disumatra-selatan tidak ubahnya menyerupai terjadi pada wilayah Indonesia lainnya, dilakukan oleh putra Indonesia dan tidak berjalan pasif. Dengan pengertian bangsa Indonesia tidak menunggu kedatangan bangsa Arab semata dengan upayanya mencari pemanis pengetahuan wacana agama islam.
Khusus untuk Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab, pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268), juga perdagangan dari Sriwijaya berlayar ketimur tengah. Hal yang demikian ini tidak bertentangan, sekalipun Sriwijaya sebagai sentra pengembangan anutan budha, tetapi, lantaran watak Indonesia yang mempunyai kesanggupan yang tinggi dalam menghormati perbedaan agama, maka, di wilayah kerajaan Sriwijaya di izinkan masuknya agama islam melalui jalur perdagangan. Factor yang terakhir inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh Sistem pintu terbuka dalam menghadapi kenyataan masuknya agama islam.



Sumber http://gad0-gado.blogspot.com/

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Makalah Perkembangan Kerajaan Islam Di Sumatra"

Posting Komentar