Pembaca Yakni “Pemimpin”
Kalimat ini aku dapatkan di salah satu perpustakaan sekolah dasar yang ada di Perth-Western Australia. Kalimat ini dibentuk oleh petugas di perpustakaan sekolah memasang foto-foto belum dewasa yang membaca buku jenis apa saja yang ada di perpustakaan. Saya hanya sanggup menyimpulkan secara awal makna yang dibentuk oleh petugas tersebut, yaitu bagaimana jikalau semenjak usia dini sudah dibiasakan membaca buku bacaan dan buku pengetahuan yang ada di perpustakaan sekolah akan menawarkan imbas yang luar biasa di masa depan belum dewasa tersebut. Kita tahu, kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebiasaan berguru yang dimanifestasikan oleh kemauan membaca dan menyerap informasi. Kebiasaan dan kemampuan membaca menawarkan derma penting bagi pembentukan pengetahuan, keluasan wawasan, dan kecerdasan. Selain itu, kebiasaan dan kemampuan membaca berpotensi meningkatkan angka melek karakter yang secara eksklusif memilih kualitas bangsa.
Mengapa? Jawabannya sebab semakin sering belum dewasa membaca buku ilmu pengetahuan, sejarah dan lain-lain yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah, maka akan sanggup membekali pengetahuan pada belum dewasa dalam rangka mempersiapkan masa depan belum dewasa tersebut. Ini bisa terjadi karena, semua pihak yang berkepentingan terhadap masa depan anak (baca: orang tua, sekolah dan pemerintah) di kota Perth saling bekerja sama untuk mendorong belum dewasa gemar membaca buku, sehingga tidak jarang semenjak kecil belum dewasa sudah memiliki koleksi buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan atau lainnya di rumah masing-masing. Orang renta tidak hanya membelikan mainan elektronik atau mainan lainnya, tetapi juga membelikan atau meminjam buku bacaan dari perpustakaan yang ada di sekolah atau di perpustakaan yang tersedia disetiap lingkungan rumah supaya belum dewasa mereka banyak membaca. Pihak sekolah memiliki kurikulum yang mengajak siswa-siswi untuk terus membaca dan merangkum bacaan mereka melalui tugas-tugas sekolahnya, sedangkan pemerintah juga memfasilitasi dan mengatur para penerbit buku untuk menciptakan buku bacaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain yang diubahsuaikan dengan usia siswa-siswi.
Sementara itu di negeri kelahiranku, kebiasaan dan minat membaca boleh dibilang sangat rendah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa minat baca di masyarakat kita sangat rendah. Kita bisa mengambil teladan yang paling sederhana, mari kita tanya petugas perpustakaan yang ada disekolah belum dewasa kita. Berapa banyak belum dewasa yang tiba ke perpustakaan untuk meminjam atau membaca buku. Insya Allah jawabannya yaitu sekitar 10-20% dari total jumlah siswa-siswi tersebut tiba ke perpustakaan untuk membaca. Ini sangat berbeda di negara-negara maju, dimana tingkat peminjam buku perpustakaan sekitar 80% dari total siswa-siswi yang ada di sekolah masing-masing.
Kita sebagai orang tua, secara tidak sadar ikut memperburuk angka tersebut, mengapa? Kita lebih suka mendorong atau membelikan belum dewasa sebagai penikmat banyak sekali teknologi digital, menyerupai televisi, telepon genggam, video game, dan internet. Sampai-sampai mereka melupakan membaca, yang sangat penting untuk membentuk karakter dan kecerdasan. Kita jarang mengajak belum dewasa kita untuk menabung untuk membeli sebuah atau beberapa buku bacaan. Kita juga jarang mengajak belum dewasa kita ke perpustakaan tempat yang ada di wilayah kita.
Lingkungan sekitar kita juga punya peranan yang signifikan terhadap budaya minat baca. Mengapa? Munkin kita sering mendengar omongan seperti: “Jangan banyak membaca nanti jadi kutu buku dan merusak mata….”. Kalimat ini sama saja menyerupai undangan untuk jangan membaca, sebab akan merugikan diri sendiri dan merugikan kesehatan. Hal ini tentu saja menciptakan anak akan mulai meninggalkan buku, sebab anak dengan frekuensi membaca buku tinggi (bahkan yang frekuensinya sedang pun sering diberi julukan si kutu buku) akan dicap sebagai anak yang tingkat sosialisasinya rendah.
Sekolah juga punya peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter akseptor didik untuk menyenangi membaca buku, terutama buku-buku ilmu pengetahuan penunjang pelajaran sekolah. Banyak sekolah yang lebih mementingkan bangunan fisik dibandingkan dengan kemudahan perpustakaan. Fasilitas perpustakaan yang aku maksudkan disini adalah, jumlah koleksi buku bacaan dan pengaturan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk anak-anak. Sekolah di negara kita juga belum menciptakan jadwal yang mendorong siswa-siswi untuk gemar membaca, misalnya: menciptakan bulan atau ahad membaca dengan tema yang bermacam-macam. Contohnya, dalam rangka hari pahlawan, perpustakaan menyediakan beberapa jenis bacaan yang bercerita wacana usaha bangsa Indonesia, dan selanjutnya siswa-siswi sanggup meminjam salah satu buku tersebut kemudian merangkum dalam bentuk kiprah sekolah yang diubahsuaikan dengan tingkatan kelas.
Penerbit buku, secara tidak eksklusif juga memiliki peranan terhadap rendahnya budaya membaca di masyarakat kita. Penerbit buku masih ada yang lebih melihat kelayakan buku dari sisi hemat atau layak jual tidak, belum mengarah untuk meningkatkan atau memperbanyak koleksi buku yang akan dicetak. Sehingga hanya mencetak dan menerbitkan buku-buku yang dianggap sanggup meningkatkan pendapatan ekonominya saja. Penerbit buku juga ada yang masih “menempel” pada “penguasa pendidikan” untuk sanggup memuluskan satu atau beberapa buku pelajaran atau buku bacaan supaya setiap sekolah akan/harus membeli ke penerbit tersebut, dan lain-lain.
Pemerintah sebagai fasilitator juga masih belum beranjak untuk membangun budaya membaca buku bagi masyarakat. Pemerintah tampaknya hanya sibuk memikirkan keadaan politik bagi golongan mereka sendiri, sehingga tampaknya mengabaikan apa yang menjadi amanah dalam Undang-Undang Dasar 1945 untuk mensejahterakan masyarakat kita dalam bidang pendidikan, terutama bidang membaca buku. Pemerintah belum menawarkan peningkatan jumlah dan kualitas perpustakaan yang ada di suatu sekolah dan daerah-daerah, dan lain-lain.
Kompleksnya problem membangun budaya dan kebiasaan membaca pada masyarakat kita akan sanggup berlarut-larut hingga beberapa tahun ke depan dan kemungkinan sanggup terjadi hingga beberapa generasi mendatang, jikalau semua komponen yang berada dalam bundar tersebut tidak/saling bekerja sama. Harapan saya, semoga teman-teman dan masyarakat Indonesia yang berada dimana saja yang membaca artikel ini bisa menginisiasi kemunculan majalah-majalah anak yang menarik, murah dan berisi untuk mulai menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Buku yaitu jendela ilmu, membaca yaitu pemimpin…IQRA’ !!!
Sumber http://rimantho.blogspot.com
Mengapa? Jawabannya sebab semakin sering belum dewasa membaca buku ilmu pengetahuan, sejarah dan lain-lain yang dimiliki oleh perpustakaan sekolah, maka akan sanggup membekali pengetahuan pada belum dewasa dalam rangka mempersiapkan masa depan belum dewasa tersebut. Ini bisa terjadi karena, semua pihak yang berkepentingan terhadap masa depan anak (baca: orang tua, sekolah dan pemerintah) di kota Perth saling bekerja sama untuk mendorong belum dewasa gemar membaca buku, sehingga tidak jarang semenjak kecil belum dewasa sudah memiliki koleksi buku bacaan dan buku ilmu pengetahuan atau lainnya di rumah masing-masing. Orang renta tidak hanya membelikan mainan elektronik atau mainan lainnya, tetapi juga membelikan atau meminjam buku bacaan dari perpustakaan yang ada di sekolah atau di perpustakaan yang tersedia disetiap lingkungan rumah supaya belum dewasa mereka banyak membaca. Pihak sekolah memiliki kurikulum yang mengajak siswa-siswi untuk terus membaca dan merangkum bacaan mereka melalui tugas-tugas sekolahnya, sedangkan pemerintah juga memfasilitasi dan mengatur para penerbit buku untuk menciptakan buku bacaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain yang diubahsuaikan dengan usia siswa-siswi.
Sementara itu di negeri kelahiranku, kebiasaan dan minat membaca boleh dibilang sangat rendah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa minat baca di masyarakat kita sangat rendah. Kita bisa mengambil teladan yang paling sederhana, mari kita tanya petugas perpustakaan yang ada disekolah belum dewasa kita. Berapa banyak belum dewasa yang tiba ke perpustakaan untuk meminjam atau membaca buku. Insya Allah jawabannya yaitu sekitar 10-20% dari total jumlah siswa-siswi tersebut tiba ke perpustakaan untuk membaca. Ini sangat berbeda di negara-negara maju, dimana tingkat peminjam buku perpustakaan sekitar 80% dari total siswa-siswi yang ada di sekolah masing-masing.
Kita sebagai orang tua, secara tidak sadar ikut memperburuk angka tersebut, mengapa? Kita lebih suka mendorong atau membelikan belum dewasa sebagai penikmat banyak sekali teknologi digital, menyerupai televisi, telepon genggam, video game, dan internet. Sampai-sampai mereka melupakan membaca, yang sangat penting untuk membentuk karakter dan kecerdasan. Kita jarang mengajak belum dewasa kita untuk menabung untuk membeli sebuah atau beberapa buku bacaan. Kita juga jarang mengajak belum dewasa kita ke perpustakaan tempat yang ada di wilayah kita.
Lingkungan sekitar kita juga punya peranan yang signifikan terhadap budaya minat baca. Mengapa? Munkin kita sering mendengar omongan seperti: “Jangan banyak membaca nanti jadi kutu buku dan merusak mata….”. Kalimat ini sama saja menyerupai undangan untuk jangan membaca, sebab akan merugikan diri sendiri dan merugikan kesehatan. Hal ini tentu saja menciptakan anak akan mulai meninggalkan buku, sebab anak dengan frekuensi membaca buku tinggi (bahkan yang frekuensinya sedang pun sering diberi julukan si kutu buku) akan dicap sebagai anak yang tingkat sosialisasinya rendah.
Sekolah juga punya peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter akseptor didik untuk menyenangi membaca buku, terutama buku-buku ilmu pengetahuan penunjang pelajaran sekolah. Banyak sekolah yang lebih mementingkan bangunan fisik dibandingkan dengan kemudahan perpustakaan. Fasilitas perpustakaan yang aku maksudkan disini adalah, jumlah koleksi buku bacaan dan pengaturan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan dan nyaman untuk anak-anak. Sekolah di negara kita juga belum menciptakan jadwal yang mendorong siswa-siswi untuk gemar membaca, misalnya: menciptakan bulan atau ahad membaca dengan tema yang bermacam-macam. Contohnya, dalam rangka hari pahlawan, perpustakaan menyediakan beberapa jenis bacaan yang bercerita wacana usaha bangsa Indonesia, dan selanjutnya siswa-siswi sanggup meminjam salah satu buku tersebut kemudian merangkum dalam bentuk kiprah sekolah yang diubahsuaikan dengan tingkatan kelas.
Penerbit buku, secara tidak eksklusif juga memiliki peranan terhadap rendahnya budaya membaca di masyarakat kita. Penerbit buku masih ada yang lebih melihat kelayakan buku dari sisi hemat atau layak jual tidak, belum mengarah untuk meningkatkan atau memperbanyak koleksi buku yang akan dicetak. Sehingga hanya mencetak dan menerbitkan buku-buku yang dianggap sanggup meningkatkan pendapatan ekonominya saja. Penerbit buku juga ada yang masih “menempel” pada “penguasa pendidikan” untuk sanggup memuluskan satu atau beberapa buku pelajaran atau buku bacaan supaya setiap sekolah akan/harus membeli ke penerbit tersebut, dan lain-lain.
Pemerintah sebagai fasilitator juga masih belum beranjak untuk membangun budaya membaca buku bagi masyarakat. Pemerintah tampaknya hanya sibuk memikirkan keadaan politik bagi golongan mereka sendiri, sehingga tampaknya mengabaikan apa yang menjadi amanah dalam Undang-Undang Dasar 1945 untuk mensejahterakan masyarakat kita dalam bidang pendidikan, terutama bidang membaca buku. Pemerintah belum menawarkan peningkatan jumlah dan kualitas perpustakaan yang ada di suatu sekolah dan daerah-daerah, dan lain-lain.
Kompleksnya problem membangun budaya dan kebiasaan membaca pada masyarakat kita akan sanggup berlarut-larut hingga beberapa tahun ke depan dan kemungkinan sanggup terjadi hingga beberapa generasi mendatang, jikalau semua komponen yang berada dalam bundar tersebut tidak/saling bekerja sama. Harapan saya, semoga teman-teman dan masyarakat Indonesia yang berada dimana saja yang membaca artikel ini bisa menginisiasi kemunculan majalah-majalah anak yang menarik, murah dan berisi untuk mulai menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Buku yaitu jendela ilmu, membaca yaitu pemimpin…IQRA’ !!!
0 Response to "Pembaca Yakni “Pemimpin”"
Posting Komentar