#Kerjaitumain: Mengenal Atre

Hidup terkadang membawa kita ke jalan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Bukan berarti kita tidak suka, tapi tak bisa kita tidak duga.


kadang membawa kita ke jalan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya #KerjaItuMain: Mengenal Atre


Atre itu saya. Nama panjang saya ialah Astri Apriyani, tapi cukup panggil saya dengan Atre supaya lebih akrab. Saya lulusan Program Studi Indonesia (dulu berjulukan Sastra Indonesia) Universitas Indonesia, Depok, tahun 2007 dengan perasaan lega alasannya ialah perjalanan selama empat tahun yang naik-turun di kampus. Karena saya menimba ilmu di Fakultas Sastra (sekarang berjulukan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), maka seni dan budaya di lingkungan perkuliahan sangat kental. Di luar kelas, saya menjadi langsung yang beruntung alasannya ialah bisa banyak belajar, mulai dari bergabung ke tim redaksi majalah sastra milik jurusan, ikut musikalisasi puisi, teater, bahkan mading.


Saya pikir, kegiatan-kegiatan tersebut membentuk saya menjadi orang yang begitu menyayangi kesusastraan dan dunia tulis-menulis. Dunia “Kata” menyerupai kecintaan akut yang ingin selalu dicumbu setiap hari. Hingga hasilnya lulus kuliah, ketika sebagian besar mitra seperjuangan tetapkan untuk menjadi pengajar, saya malah melamar pekerjaan di dunia media. Ya, saya hasilnya menjadi seorang jurnalis.


Saat menuliskan ini, saya sendiri gres sadar bahwa selama hidup menjadi karyawan fulltime, saya tidak pernah keluar dari bulat dunia media, meskipun beberapa kali saya sempat berganti daerah kerja, mulai dari majalah musik mirip AudioPro hingga majalah legendaris Intisari (Kompas Gramedia).


Bagi saya, profesi jurnalis memungkinkan saya menulis dengan gaya penulisan yang menarik. Namun yang terpenting, saya selalu senang bisa menginformasikan isu yang faktual dan bermanfaat di setiap goresan pena saya. Pekerjaan ini juga memperlihatkan kesempatan kepada saya untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya dan bertemu dengan banyak orang-orang gres dengan latar belakang dan profesi yang beragam. Saya dan beberapa di antara mereka kini terus menjalin silaturahmi alasannya ialah kami sama-sama telanjur bertukar kisah hidup.


Namun, ternyata, menjadi seorang jurnalis di masa kini harus berkompromi terhadap perubahan zaman. Hingga hasilnya di satu titik, saya tidak bisa lagi berkompromi terhadap keadaan. Saya pun pamit undur diri dari dunia jurnalistik sehabis hampir 7 tahun menikmati masa-masa itu.


Baca Juga: Jelajah Lombok Astri Apriyani


Tak ada yang namanya salah jalan. Kita hanya belum tahu arah hidup yang mana yang semestinya kita jalani. Toh, saya memang betul-betul jatuh cinta pada kata-kata, baik itu dikala menjadi manusia pers ataupun tidak. Kekhawatiran saya satu-satunya hanyalah rindu akan keriuhan dan ke-chaos-an dapur media, diskusi-diskusi ringan tapi inspiratif dan teman-teman seprofesi. Tapi, mirip barisan para mantan pacar yang sudah sedikit banyak menyakiti hati, saya meninggalkan dunia itu dengan bahagia, meski berat.


Hanya saja, memang dasar kurang ajar, profesi jurnalis menciptakan saya tidak bisa jauh dari traveling. Ada magnet yang besar lengan berkuasa antara saya dan traveling yang menciptakan saya hasilnya memulai fase hidup saya yang selanjutnya; menjadi travel writer.


kadang membawa kita ke jalan yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya #KerjaItuMain: Mengenal Atre


Sebelum tetapkan resign, saya sadar saya harus jauh dari gegabah. Jadi, saya kalkulasikan kemampuan apa-apa saja yang saya miliki, hal-hal apa saja yang begitu suka saya kerjakan dan menyelaraskan antara apa yang saya sukai dengan yang saya yakini sehingga saya bisa melaksanakan sesuatu. Kalau masih tidak senang sehabis resign, untuk apa pula saya mengajukan resign, benar kan?


Hidup saya tak berjalan mulus sehabis keputusan tersebut. Hidup sempat goyah di beberapa bulan pertama menjadi freelancer. Semula mempunyai pendapatan tetap, kini harus terus-menerus pitching sana, pitching sini atau memasukkan goresan pena di majalah sana, di majalah sini untuk bisa diterbitkan demi menerima bayaran. Tulisan yang saya maksud di sini ialah goresan pena perjalanan. Tapi, sehabis beberapa bulan, pekerjaanlah yang tiba menghampiri saya.


Dari sinilah saya yakin bahwa keseriusan melaksanakan apa yang kita kerjakan, di luar suka atau passion, memberikan hasil yang memuaskan. Kini, saya senang kerap kali dipercaya terlibat dalam kolaborasi dengan Kementerian Pariwisata, banyak sekali tourism board, hingga agensi travel yang mengundang saya untuk traveling ke destinasi-destinasi menarik di Indonesia dan dunia, mulai dari Sumatra hingga Maluku, Australia Barat hingga Swiss.


Menjadi freelancer memang tidak mempunyai jam kerja yang niscaya mirip pekerja kantoran. Tapi, disiplin tetap penting! Kedisiplinan membantu saya semoga tetap bisa memenuhi tenggat waktu yang diberikan oleh klien. Disiplin juga dibutuhkan semoga saya bisa bekerja dengan efektif. Memang butuh waktu, namun ketika sudah menemukan iramanya, kita akan punya waktu lebih untuk berguru hal gres yang lain lagi dan melaksanakan hal-hal yang belum pernah kita lakukan sebelumnya.


Seperti saya, saya mulai mencoba menjadi copywriter untuk iklan, menciptakan narasi untuk video travel, berupaya produktif di dunia sastra, hingga menjadi penulis untuk sebuah agenda televisi. Baru-baru ini saya mengggeluti profesi penulis naskah film. Seperti kata Natalie Goldberg, “trust in what you love, continue to do it, and it will take you where you need to go.”


Karena itulah, saya tidak berhenti melaksanakan apa yang saya cintai. Dan benar saja, itu menciptakan saya hingga di fase lain lagi dalam hidup saya, yaitu dunia perfilman. Bagi saya, sehabis traveling, film ialah salah satu kegemaran saya lainnya. Saya gres bisa menyebutkan “kegemaran” alasannya ialah semula merasa dunia film masih terlalu abnormal buat saya. Hingga kemudian saya tetapkan untuk belajar, bahkan menyempatkan waktu untuk ambil kursus penulisan skenario, semoga sanggup menyesuaikan diri di bidang yang satu ini.


Kini, saya bersama teman-teman yang bergabung menjadi tim kecil sedang memproduksi sebuah film pendek berjudul Tambora: The Trail of Ancestor. Film yang dibintangi Gemala Hanafiah ini sedang dalam proses post-production. Film ini akan menjadi film pertama saya sebagai penulis skenario. Jika lancar, film ini rencananya akan diputar di beberapa daerah di kota-kota di Indonesia pada tamat tahun ini. Namun, saya tak mau sombong. Masih banyak yang harus saya pelajari untuk menjadi penulis skenario mahir mirip penulis naskah favorit saya, Asrul Sani.


Jalan memang masih panjang, dan saya tetap ingin melaksanakan apa yang saya cintai sepanjang hidup saya, mulai dari menulis, bersastra dan berpergian. Mari terus berkarya dan bereksplorasi alasannya ialah kerja itu ialah main, tapi bukan main-main! Dan satu lagi, jangan lupa ikuti terus cerita-cerita #KerjaItuMain saya di seluruh channel Acer Indonesia atau melalui akun media umum langsung saya, ya! Silakan pula ikuti hashtag #KerjaItuMain untuk tahu keseruan Acer Explorer lainnya. Ayo, semangat berkarya bareng-bareng!


“Fall in love and stay in love. Write only what you love, and love what you write. The key word is love. You have to get up in the morning and write something you love, something to live for.” –Ray Bradbury.


 



Sumber https://www.acerid.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "#Kerjaitumain: Mengenal Atre"

Posting Komentar