Sejarah Yogyakarta (29): Aksi Militer Belanda Ii Di Jogjakarta 19 Desember 1948; Ir. Soekarno Ingin Pindah Ibukota Ke India?
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ibukota RI pindah ke Jogjakarta yaitu satu hal, sedangkan pembentukan negara-negara federal yaitu hal lain lagi. Namun dua hal itu selalu dikaitkan. Itulah latar belakang dilakukannya aksi polisional ke wilatah RI berdasarkan versi Belanda atau aksi militer Belanda oleh para Republiken, Dalam konteks spasial ada dua wilayah kerajaan di Indonesia yang berada dalam balapan: wilayah kerajaan Jogjakarta dan wilayah kerajaan Sumatra Timur. Di dua wilayah yang berseberangan inilah pertarungan politik antara Belanda dan RI paling sengit: Jogjakarta pro RI dan Sumatra Timur pro Belanda.
Ibukota RI pindah ke Jogjakarta yaitu satu hal, sedangkan pembentukan negara-negara federal yaitu hal lain lagi. Namun dua hal itu selalu dikaitkan. Itulah latar belakang dilakukannya aksi polisional ke wilatah RI berdasarkan versi Belanda atau aksi militer Belanda oleh para Republiken, Dalam konteks spasial ada dua wilayah kerajaan di Indonesia yang berada dalam balapan: wilayah kerajaan Jogjakarta dan wilayah kerajaan Sumatra Timur. Di dua wilayah yang berseberangan inilah pertarungan politik antara Belanda dan RI paling sengit: Jogjakarta pro RI dan Sumatra Timur pro Belanda.
Sidempuan, Bukittinggi dan Jogja (Trouw, 23-11-1948) |
Peristiwa Agresi Militer Belanda II di ibukota RI di Jogjakarta dan wilayah-wilayah RI lainnya yang dimulai tanggal 19 Desember 1948 tidak sepenuhnya tanggungjawab Belanda tetapi juga para pemimpin lokal negara-negara federal juga. Demikian sebaliknya, reward juga tidak sepenuhnya dimiliki Jogjakarta tetapi juga wilayah-wilayah RI lainnya terutama di Pantai Barat Sumatra. Bagaimana itu sanggup terjadi? Itulah pertanyaannya. Suatu pertanyaan yang selama ini kurang terinformasikan. Mari kita sarikan beritanya berdasarkan surat kabar sejaman.
Indonesia vs Belanda
Sekatunya Indonesia tertolong dengan adanya pendudukan Jepang. Paling tidak pada pendudukan Jepang para pemimpin Indonesia sanggup duduk sejajar dengan pemimpin militer Jepang di Indonesia, suatu yang tidak mungkin pada kala kolonial Belanda. Pendudukan militer Jepang dan kala perang kemerdekaan boleh dikatakan fase penting dalam transisi kala kolonial Belanda ke kala kemerdekaan dan akreditasi kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Pada penghujung masa transisi ini usaha Indonesia terbelah alasannya yaitu para setia Indonesia (Republiken) harus berhadapan dengan para penghianat usaha yang berkolaborasi dengan Belanda membentuk negara-negara yang disebut negara-negara federal (Federalis) di Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dalam hal ini Jogjakarta setia Republik Indonesia.
Belanda tidak salah menentukan Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur. Itu sangat rasional, alasannya yaitu tujuan kolonial yaitu untuk mendapat ‘kue’ yang lebih besar. Jogjakarta, Soeracarta, Tapanoeli dan Sumatra Barat yaitu wilayah-wilayah yang tidak menguntungkan bagi Belanda alasannya yaitu secara ekonomi kolonial sulit dikembangkan alasannya yaitu banyak faktor. Dari wilayah-wilayah inilah semenjak kala kolonial muncul p0juang-p0juang kemerdekaan Indonesia. Namun ketika Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 tidak usang kemudian Belanda kembali merebutnya dari Jepang. Para pemimpin lokal di wilayah-wilayah kaya, ketika mulai menyadari Indonesia kalah tanding dengan Belanda, berbalik merangkul Belanda yang semakin menguat. Dari sinilah pangkal masalah munculnya negara-negara federalis (anti negara kesatuan). Suatu pesoalan yang sanggup dikatakan sebagai tindakan penghianatan usaha bangsa. Meski demikian, RI yaitu RI, Republiken yaitu Republiken, kemerdekaan yaitu kemerdekaan, kedaulatan bangsa yaitu kedaulatan bangsa. Disnilah patriot sejati bangsa Indonesia diuji dan teruji. Dengan usaha dan pengorbanan yang besar terbukti pada kesannya secara eksternal kedaulatan Indonesia diakui Belanda tanggal 27 Desember 1949 dan secara internal terbentuk kembali negara kesatuan RI (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak ini hingga kini Indonesia tetap NKRI.
Namun harus diakui tidak semua orang di wilayah RI sebagai Republiken, demikian juga di wilayah federal juga masih banyak Republiken. Makara pertarungan politik tidak hanya antar wilayah, tetapi juga diantara individu di dalam wilayah. Oleh karenanya di Jogjakarta sebagai wilayah RI juga terdapat penghianat, sementara di Sumatra Timur yang menjadi wilayah federal juga terdapat banyak p0juang Republiken. Hanya wilayah Tapanoeli yang terbilang 100 persen Republiken.
Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta 19 Desember 1948: Langsung Dipantau Jenderal Spoor dari Udara
Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta dimulai tanggal 19 Desember 1948. Satu resimen absurd diterjunkan ke dua titik yakni di Magoewo dan Wonosari. Resimen absurd gres diketahui kemudian sebagai resimen Speciale Troepen, suatu resimen yang dilatih secara khusus di luar kaidah-kaidah militer reguler yang mempunyai identitas sebagai topi dan sepatu merah (lihat De Volkskrant, 06-05-1950). Pada masa ini di Indonesia resimen serupa ini disebut Kopasus (Komando Pasukan Khusus).
Pasukan Khusus (De Volkskrant, 06-05-1950) |
Setelah pasukan khusus ini menguasai kota, para mata-mata yang menyertai pasukan ini mulai menangkap para tokoh-tokoh penting. Yang pertama ditangkap yaitu Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, spesialis aturan yang masih muda yang menjadi penasehat aturan pemerintah (Soekarno dan Mohamad Hatta). Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D ditangkap di rumahnya di Kaliurang pada tanggal 19 Desember 1949 dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung.
Het Dagblad, 21-12-1948 |
Madoelhak (foto masih mahasiswa di Belanda) |
Berita dibunuhnya Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima yang lainnya beredar di London yang kemudian Dewan Keamanan PBB cepat bereaksi dan meminta Kerajaan Belanda segera melaksanakan penyelidikan atas dibunuhnya intelektual muda Indonesia tersebut (lihat De Heerenveensche koerier: onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949).
Pembunuhan intelektual ini begitu heboh di London dan di markas PBB dan lebih heboh jikalau dibandingkan dengan penangkapan Soekarno dan Mohamad Hatta serta lainnya yang kemudian diasingkan. Satu hal yang menjadi heboh alasannya yaitu pembunuhan ini dilakukan dengan cara fasis dan tidak berperikemanusiaan. Itulah mengapa Dewan Keamaan PBB murka besar dan bereaksi cepat. Terbukti penyelidikan segera dilakukan. Pengadilan darurat segera digelar sebagaimana dilaporkan dari ruang sidang oleh surat kabar De waarheid, 25-02-1949. Catatan: Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2006. .
Itulah sari terpenting seputar ruang dan waktu insiden Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Jika diulang yaitu sebagai berikut: Pertama, pendudukan Jogjakarta dilakukan oleh pasukan khusus, alasannya yaitu Jogjakarta ketika itu yaitu ibukota RI kawasan dimana Presiden dan Wapres RI berada dan juga para tokoh penting Indonesia. Tentu saja ketika itu ibukota Jogjakarta sejatinya dijaga oleh para militer Indonesia dan boleh jadi pasukan Indonesia kalah segalanya baik dalam hal peralatan maupun taktik. Kedua, penangkapan para pemimpin Indonesia dan pembunuhan para intelektual muda Indonesia. Pembunuhan para intelektual inilah yang menjadi isu penting bagi Dewan Keamanan PBB. Para intelektual muda ini bukan hanya ‘aset’ Indonesia tetapi juga dunia.
Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 19-12-1948 |
Berita penangkapan pemimpin Indonesia di Jogjakarta diberitakan aneka macam surat kabar baik di Indonesia maupun di Belanda pada hari Senin tanggal 20 Desember 1948. Surat kabar di Indonesia menyerupai yang terbit di Djakarta, Soerabaja dan Semarang gres bersifat breaking news. Sedangkan surat kabar yang terbit di Belanda isi beritanya sudah jauh lebih dalam. Mengapa sanggup demikian? Itu alasannya yaitu ada perbedaan waktu antara Indonesia dan Belanda. Pengumuman resmi Belanda dilakukan pada pukul 11.30 malam pada hari Minggu (19 Desember 1948).
Nieuwe courant, 20-12-1948: ‘Sukarno, Hatta dan otoritas republik tinggi lainnya diinternir. Di pihak resmi, Minggu malam pukul 11.30 malam di Batavia diumumkan: “Setelah pasukan Belanda menduduki Djokja, otoritas Republik diinternir yaitu sebagai berikut: Presiden Soekarno, Wapres Mohamad Hatta, Hadji Agoes Salim, Komodor udara Soeriadarma, Soetan Sjahrir dan Mr. Pringgodigdo. Mereka ketika ini ditempatkan di Istana Presiden dan di Kantor Wakil Presiden. Sejumlah anggota KNIP termasuk Mr. Assaat juga diinternir. Setelah pendudukan bandara Djokjakarta sebuah pesawat Catalina mendarat oleh pilot seorang Amerika dengan tujuh penumpang. Pilot dan penumpang diinternir untuk penyelidikan lebih lanjut’.
Pengumuman resmi lainnya [hari Minggu siang pukul 1 siang Batavia] melaporkan bahwa ‘Minggu pagi pukul tujuh kurang seperempat pasukan terjun payung Belanda di sekitar bandara Magoewo diduduki oleh pasukan dan dalam kondisi tidak rusak. Pada hari Minggu sore pukul 3.30 pasukan terjun payung Belanda menduduki kota seluruhnya, demikian diumumkan pada Minggu malam dari pihak resmi. Sejauh yang diketahui, hanya satu kebakaran yang diamati terjadi di kota. Panglima Angkatan Darat Luitenent Generaal SH Spoor menyaksikan bab pertama operasi dari pesawatnya sendiri di atas bandara Magoewo (8 kilometer timur Djokjakarta). Setelah dipastikan bahwa aksi pasukan terjun payung telah berjalan sesuai rencana, dan setelah mendengar kata-kata ‘clear’, Jenderal Spoor terbang kembali ke Semarang untuk menyaksikan pemberangkatan penerjun payung. Jenderal itu kemudian kembali ke Batavia.
Nieuwe courant, 20-12-1948 mengutip dari kantor isu Aneta melaporkan selain dari Djokja, Kepandjen (Malang Selatan) kini juga diduduki, sementara Keboemen (Kedu) telah berlalu. Di Sumatra dilakukan di Asahan, juga di Sumatera Tengah garis status quo dilintasi di aneka macam tempat. Selain Asahan, lokasi lain di selatan yakni Tandjoeng Balai, Rantau Prapat dan perusahaan Wingfoot juga ditempati. Sementara unit-unit tentara yang telah mengambil Djokja akan segera melanjutkan pendudukan ke Solo. Selain itu, di Batavia beberapa tindakan dibuat. Para Republikan, terhadap siapa yang sanggup mencurigakan ditangkap di Gedung Delegasi Republik di Pegangsaan yang yang kemudian setiap orang yang banyaknya 15 orang dibawa ke penjara Tjipinang.
Friesch dagblad, 20-12-1948 melaporkan bahwa Dewan Keamanan PBB melaksanakan sidang sesi darurat untuk menyikapi penyerangan Belanda di Indonesia. Sesi darurat ini atas ajakan Amerika Serikat. Wakil Belanda Dr. Van Royen menyatakan ini yaitu masalah urusan rumah tangga (Belanda) dimana Dewan Keamanan tidak berwenang untuk bertindak.Sementara iti juga dilaporkan bahwa pada sore harinya diumumkan bahwa penerjun payung dan pasukan udara telah gotong royong membebaskan (menguasai) Djokja.
Satu hal yang menyebabkan pertanyaan yaitu mengapa penangkapan dan pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual lainnya tidak terinfornmasikan. Sementara penangkapan yang dilakukan kepada Republiken di Pegangsaan Djakarta yang kemudian dikirim ke penjara Tjipinang terinformasikan. Ini boleh jadi alasannya yaitu dilakukan secara sunyi senyap jauh di luar kota di Pakem. Lantas mengapa pembunuhan ini terendus dan bocor di London? Dan mengapa pula Dewan Keamanan PBB eksklusif bereaksi keras dan murka jikalau dibandingkan dengan penangkapan Soekarno dan tokoh lainnya? Lantas mengapa pula desakan Dewan Keamanan PBB untuk melaksanakan penyelidikan dan pengadilan segera dilaksanakan Kerajaan Belanda?
Semua pertanyaan tersebut tidak ditemukan data dan informasi yang menjelaskan. Pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual lainnya bertentangan dengan pidato yang disampaikan Dr. Beel wakil dari Kerjaan Belanda di Batavia yang disiarkan melalui radio. Dr. Beel menyatakan kepada prajurit: ‘Anda berbaris untuk menduduki wilayah musuh, tetapi untuk membawa keadilan ke kawasan yang aman, dimana sebelumnya pelanggaran hukum. Tunjukkan melalui tindakan Anda bahwa tidak ada seorang pun, siapa pun, yang hidup untuk takut terhadap apa pun dari Anda, ketika anda melaksanakan tugas’. Namun faktanya di lapangan terjadi penangkapan dan diikuti dengan pembunuhan yang direncanakan dan dilakukan secara diam-siam.
Semua menjadi teka-teki. Namun sanggup diduga alasannya yaitu penangkapan dan pengasingan (Ir. Soekarno dan tokoh lainnya) dianggap hal lumrah dalam suatu krisis politik. Sedangkan penangkapan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual lainnya yang kemudian dibunuh bukan lagi perilaku politik tetapi sudah menjadi tindakan fasis (pembunuhan tokoh politi tanpa proses pengadilan). Namun tetap muncul pertanyaan mengapa Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima lainnya harus dibunuh dan dilenyapkan. Ini juga sulit dicari penjelasannya. Yang terang yaitu Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D andal aturan brilian yang meraih gelar Ph.D dengan predikat cum laude. Lalu apakah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D termasuk rombongan yang akan ke India bersama Presiden, suatu planning yang diduga akan memindahkan ibukota dari Jogjakarta ke India dan membutuhkan spesialis aturan yang mumpuni untuk urusan hukum-hukum internasional? Jawaban ini lebih masuk nalar kemudian mengapa Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D segera dihabisi.
Satu hal yang juga menyebabkan pertanyaan mengapa insiden penangkapan dan pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual lainnya tidak pernah dimasukkan dalam sejarah Agresi Militer Belanda II di Jogjakarta 19 Desember 1948? Apakah sejarawan lupa dengan ini? Apakah sejarawan sengaja mengabaikan ini atau mengerdilkannya? Hanya para sejarawan yang memahaminya. Setelah kala reformasi mengapa gres tahun 2006 Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional dan dilakukan belakang layar pula: sunyi senyap lagi.
Untuk menjawab mengapa pembunuhan terhadap Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D begitu penting bagi Belanda, bagi sejarawan sanggup melihatnya pada file Perdana Menteri Belanda di hadapan para anggota Twede Kamer pada tanggal 20 Desember 1948. Perdana Menteri banyak menyinggung soal hukum-hukum internasional (termasuk perjanjian-perjanjian Linggar Jati dan Renville) yang bertabrakan dengan keputusan dilakukannya penyerangan sepihak oleh Belanda ini. Dalam hal inilah kedudukan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D sebagai penasehat (hukum) Pemerintah (Soekarno dan Mohamad Hatta) sangat penting di pihak Indonesia. Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D seorang doktor andal aturan yang brilian dalam sisi Belanda harus dilenyapkan dead or alive secara diam-diam. Namun pembunuhan keji ini kemudian bocor dan terdengar hingga ke kantor Dewan Keamanan PBB. Mungkin anda tidak percaya seangkatan dengan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dalam meraih doktor kelak menjadi Menteri Kehakiman Belanda sebagaimana seangkatan dengan Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D dalam meraih doktor dalam bidang ekonomi kelak menjadi Menteri Keuangan Belanda. Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D sendiri pada ketika serangan ini sedang berada di Amerika Serikat sebagai perwakilan Indonesia. Jadi, kelompok intelektual muda Indonesia setara dengan kelompok intelektual muda Belanda. Oleh karenanya, sasaran terhadap Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dead or alive masuk akal. Sebagai catatan tambahan: ketika penculikan Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dari rumahnya di Kaliurang, Commissie voor goede Diensten (atau Komisi Tiga Negara) berkantor di Kaliurang.
Melihat semangat Republiken yang dipimpin Ir. Soekarno dalam berjuang melawan Belanda demi kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia bergotong-royong kita melihat sisi yang lain dari para pemimpin lokal yang aktif terlibat dalam pembentukan negara-negara boneka Belanda alias negara-negara federal. Di Sumatra Timur pihak kesultanan (kraton) sangat mendukung negara federal ini alasannya yaitu sangat diuntungkan. Itulah mengapa di Sumatra Timur terjadi ‘gayung bersambut’ antara Belanda dan pihak kesultanan.
Sejarah kesultanan di Sumatra Timur dengan sejarah kesultanan di Jogjakarta selama kala kolonial Belanda sangat berbeda. Para pangeran di Jogjakarta berani melancarkan perang terhadap Belanda pada Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pengalaman surupa ini tidak pernah dialami oleh para pengeran di Sumatra Timur. Selama kala kolonial Belanda Jogjakarta sangat dirugikan, sebaliknya Sumatra Timur sangat diuntungkan. Dalam hal in Jogjakarta lebih menentukan Republik Indonesia daripada Belanda. Sebaliknya Republiken lebih menentukan Jogjakarta sebagai ibukota RI setelah ‘terusir’ dari Djakarta. Hal yang kurang lebih sama, para Republiken di Sumatra Timur lebih menentukan mengungsi ke Tapanoeli. Dalam hal ini Jogjakarta dan Tapanoeli berada dalam barisan yang sama untuk menghadapi Belanda.
Kolaborasi pemimpin lokal dengan Belanda di aneka macam wilayah yang kemudian terbentuk negara federal (baca: negara dalam negara dari sudut pandang Belanda vs RI) telah memasuki bab terakhir yang mana secara secara umum dikuasai dimana terdapat Republiken hanya tinggal di Jogjakarta dan Soeracarta di Pantai Selatan Jawa dan Tapanoeli dan Sumatra Barat di Pantai Barat Sumatra. Wilayah-wilayah inilah yang dipandang Belanda sudah tidak mungkin lagi mengajak berkolaborasi dan bahkan untuk sekadar berdiskusi. Hanya dengan pengerahaan kekuatan penuh (pasukan gabungan) yang sanggup dijalankan untuk melumpuhkannya. Inilah kesimpulan terakhir sehari sebelum dilakukannya penyerangan ke wilayah RI yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Sinyal buntunya obrolan dan kerja sama di satu sisi dan upaya penyerangan dan pendudukan terungkap dari maklumat Kerajaan Belanda yang disiarkan sempurna pada tanggal 19 Desember 1948 (lihat Nieuwe courant, 20-12-1948).
Pemimpin RI di Jogjakarta sudah pula memahami situasi yang terus berkembang. Presiden Soekarno, dengan dalih undangan dari Presiden Nehru dari India, sudah berkemas-kemas dengan rombongan akan berangkat ke India pada hari Sabtu 18 Desember. Hanya tinggal menunggu pesawat dari India. Wapres Mohamad Hatta harus tinggal di Jiogjakarta alasannya yaitu sudah dua minggu terakhir sakit. Antara Belanda dan RI tampak seakan balapan. Ketika penerjung payung mendarat di sekitar Magoewa jelang pukul tujuh pagi tanggal 19 Desember 1948 menjadi penghalang kedatangan pesawat dari India di Singapora yang akan menjemput Presiden Soekarno dan rombongan. Pesawat dari India yang sudah di Singapoera tanggal 18 Desember tidak mendapat visa dan izin masuk ke Indonesia alasannya yaitu dalih permohonan visa dan izin ke kedubes Belanda di Singapoera gres dibahas jam 11 malam pada tanggal 17 Desember. Hasilnya sanggup diduga: pada tanggal 19 Desember 1948 serangan di Jogjakrat sudah dimulai; Presiden Soekarno dan rombongan yang banyaknya 27 orang (termasuk enam menteri) tertahan di Jogjakarta alasannya yaitu pesawat dengan sengaja tidak diberikan visa dan izin masuk.
Presiden Soekarno boleh jadi ke India ingin memindahkan ibukota RI. Sebagaimana yang diberitakan surat kabar Sin Po yang dilansir Nieuwe courant, 20-12-1948, Presiden Soekarno berbicara di radio pada Kamis Malam [16 Desember 1948] bahwa Presiden Soekarno telah mengucapkan selamat tinggal untuk para Republiken. Menurut Sin Po, bahwa Sukarno mempunyai mandat untuk bernegosiasi dengan kepala pemerintah India, subjek diskusi tidak lebih dari ajakan Republik untuk pertolongan dari India, baik secara material maupun moral untuk melanjutkan perang melawan Belanda. Kesimpulan Sin Po kemungkinan sifat pertolongan [India] ini, yaitu. pertolongan dalam bentuk senjata dan, kedua, dukungan politik untuk Republik di PBB. Kunjungan ini juga sanggup menjadikan India mengakui Republik sebagai negara yang berdaulat, sementara lebih jauh kemungkinan relokasi Pemerintah Republik [Indonesia] ke India juga akan menjadi titik terakhir. Masih berdasarkan Sin Po dalam rombongan ini terdapat Menteri Luar Negeri Agus Salim yang dimungkinkan Menlu untuk melanjutkan perjalanan ke negara-negara sobat untuk mendapat dukungan. Sementara itu Friesch dagblad, 20-12-1948 menulis bahwa Soekarno ke India untuk membentuk pemerintahan di pengasingan semoga sanggup terus mengambil tindakan di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk rekonstruksi Republik Indonesia.
Para pemimpin yang ditangkap di Jogjakarta sebagian telah dibunuh dan sebagian yang lain setelah diinternir kemudian diasingkan. Tokoh Indonesia yang diasingkan ini Soekarno, Mohamad Hatta, Agus Salim, Assaat, Pringgodigdo, Soerjadarma dan Soetan Sjahrir. Setelah terjadi pembunuhan terhadap Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D dan lima intelektual lainnya pada tanggal 21 Desember 1948 kemudian kemudian tokoh-tokoh lainnya termasuk Soekarno dan Mohamad Hatta dan lainnya pada tanggal 22 Desember 1948 dievakuasi dari Jogjakarta untuk diasingkan sebagian ke Bangka (yang berpusat di Negara Bagian Sumatra Selatan) dan sebagian yang lain ke Brastagi (yang berpusat di Negara Bagian Sumatra Timur). Presiden Soekarno, Menteri Luar Negeri Agus Salim dan Soetan Sjahrir diasingkan ke Brastagi.
Lantas dimana Soeltan Jogjakarta? Soeltan Hamengkoeboewono berada di Kraton. Saat itu posisi Soeltan di Kabinet RI yaitu Menteri Negara. Namun alasannya yaitu Soeltan Hamengkoeboewono diposisikan Belanda sebagai kepala wilayah (kesultanan) tidak termasuk yang dinterniran dan juga tidak termasuk yang diasingkan. Belanda masih mempunyai kepentingan sendiri dengan Soeltan sebagai kepala wilayah kesultanan. Untuk sementara militer Belanda tidak melaksanakan tindaka represif dan hanya sekadar memantau dan mengawasi.
Wilayah kota Jogjakarta telah dikuasi oleh militer Belanda sepenuhnya pada sore hari tanggal 19 Desember. Di belakang pasukan khusus Spciale Troepen menyusul pasukan yang dikomandoi oleh Kolonel D van Langen yang menjadi pimpinan militer tertinggi di kota Jogjakarta.
Pasukan Belanda lainnya maju dari Gombong di Jawa Tengah ke arah timur segera mencapai Karanganjar dan Kabuemen.
Sementara para tokoh pemerintahan dan politik ditangkap, militer Indonesia secara perlahan mundur dan melaksanakan langkah perang gerilya. Saat itu komando militer sebagai berikut: Kepala Angkatan Perang Jenderal Soedirman dan Wakil Angkatan Perang TB Simatupang serta Kepala Staf Teritorial Jawa Abdul Haris Nasution. Untuk tetap menjaga kesehatan Jenderal Soedirman dipercayakan kepada Dr. W Hutagalung.
Friesch dagblad, 20-12-1948: ‘Jenderal Sudirman telah mengumumkan perintah harian melalui Radio Djokja, yang berisi poin-poin sebagai berikut: 1. Kami telah diserang; 2. Tanggal 19 Desember Belanda telah membuka serangan; 3. Mereka dengan demikian menolak perjanjian tersebut; 4. Pasukan Republik kini melaksanakan planning yang disusun.
Beberapa jam kemudian menyerupai yang dilaporkan Friesch dagblad, 20-12-1948, siaran Radio Djogja lenyap dari langit untuk selamanya dan Jenderal Sudirman dipenjara. Mudah pimpinan militer secara bebas berada di tangan dua komandan yakni TB Simatupang dan Abdul Haris Nasution.
Provinciale Drentsche en Asser courant, 20-12-1948 menyebutkan Radio Djogja telah menghentikan siaran pada jam 10 pagi. Disebutkan penyiar berhenti di tengah pemberitaan dan stasiun membisu semenjak itu. Pada waktu itu, orang sudah menduga bahwa pasukan Belanda sudah ada di dalam kota.
Jogjakarta dan Tapanoeli: Wilayah Mandailing Satu-Satunya Wilayah yang Tidak Dapat Dikuasai Belanda
Sebelum aksi militer, pembentukan pemerintah sementara federal pada 1 Januari kunjungan Menteri Stikker dan Sassen ke Djokja. Kunjungan ini juga tidak membuahkan hasil. Surat Hatta juga sepertinya tidak mengandung dasar untuk perundingan baru. Belanda mempunyai pendirian, RI juga mempunyai pendirian. Kedua belah pihak tidak ada lagi kompromi untuk berdiskusi lebih lanjut. Situasi inilah yang menjadi dasar bagi Belanda untuk melaksanakan agresi. Serangan pada hari-hari pertama pada tanggal 19 Desember 1948 yang dilakukan Belanda yaitu di Jogjakarta, Kepanjen (Malang), Djambi dan Asahan di Sumatra Timur.
Pendudukan Belanda di Sumatra Timur pada hari pertama ini bahkan sudah hingga ke Wingfoot (pusat perkebunan) di selatan Tandjong Balai. Ini dengan sendirinya posisi Belanda sudah berada di tiga kawasan yakni di Medan dan sekitar, Padang dan sekitar serta di Wingfoot. Pusat Republiken di Sumatra berada di Kota Pematang Siantar dan di Kota Bukittinggi. Friesch dagblad, 20-12-1948 memberitakan bahwa Radio Boekittingi (Fort de Koek, kawasan perwakilan Pemerintah di Sumatra) juga telah mengeluarkan isyarat untuk kaum Republiken yang mana fungsi pertahanan telah didirikan di Sumatra. Dua radio (Jogjakarta dan Boekitttinggi) pada tanggal 19 Desember saling memberi pesan. Keberadaan terakhir dari Radio Jogja yaitu pada pukul 10 pagi tanggal 19 Desember yang tidak usang setelah Jenderal Soedirman membacakan maklumat (yang diduga ketika itu Jenderal Soedirman ditangkap).
Setelah lumpuhnya ibukota RI di Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan para pemimpin RI termasuk Soekarno dan Mohamad Hatta ditangkap maka di Bukittinggi pada tanggal 22 Desember 1948 dibuat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran). Bukittinggi yaitu kawasan perwakilan RI di Sumatra. Dua kota utama Medan dan Padang sudah semenjak 1945 dikuasai oleh Belanda. Pusat Republiken bergeser ke Pematang Siantar dan Bukittinggi. Diantara dua kota inilah wilayah Republiken yang masih tersisa.
.
Trouw, 21-12-1948 |
Dari Sibolga, militer Belanda dibagi dua kelompok. Kelompok pertama diarahkan ke utara menuju Taroetoeng untuk mempertemukan militer Belanda yang terus merangsek dari Pematang Siantar dan Parapat di pinggir danau Toba. Kelompok kedua dari Sibolga menuju ke selatan di Padang Sidempoean. Keutamaan militer Belanda ke Padang Sidempoean ini yaitu untuk menjepit ibukota RI di Bukittinggi, sementara pasukan Belanda yang lain merangsek dari Padang menuju Bukittinggi.
Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK (brigade mobil) semoga tidak sanggup dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori kesannya sanggup memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini kesannya mundur ke Padang Sidempuan.
Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dari kota Padang Sidempoean dan mundur ke Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan melakukan strategi rintangan dan bumi hangus. Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi berlobang dimana-mana. Semua itu dilakukan semoga kendaraan militer pasukan Belanda tidak sanggup melewatinya atau paling tidak untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan dipakai Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan. Aksi bumi hangus dilakukan di Padang Sidempoean.
Pasukan Belanda kesannya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda menemukan ibukota Angkola itu sudah habis terbakar yang ditinggalkan warganya. Peristiwa bumi hangus di Padang Sidempoean mengingatkan kita pada bumi hangus di Bandoeng Selatan pada bulan Maret 1946.
Afdeeling Padang Sidempoean (kini Tapanuli Bagian Selatan) |
Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘..Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari Tentara Nasional Indonesia dibakar. Kondisi penduduk di bab selatan Tapanoeli sepertinya kurang dekat daripada di bab utara’’
Mengapa sanggup terjadi aksi bumi hangus di Padang Sidempoean? Sulit dipahami. Yang terang aksi serupa pernah terjadi Bandoeng. Pada ketika itu Komandan Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Abdoel Haris Nasution coba menenangkan penduduk dan laskar, namun tetap terjadi pembakaran. Untuk menghimbau semoga tidak terjadi aksi bumi hangus bahkan Menteri Pertahanan Mr. Amirb Sjarifoeddin Harahap bergegas dari Jogjakarta tiba ke Bandoeng. Kini aksi erupa itu terjadi di Padang Sidempeoan, kampung halaman Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Abdoel Haris Nasution.
Aksi bumi hangus di Padang Sidempoean juga sulit dikendalikan oleh Residen Tapanoeli Abdoel Hakim Harahap yang juga ikut mengungsi ke pegunungan. Aksi bumi hangus baik di Bandoeng maupun di Padang Sidempoean sejatinya yaitu aksi heroik dari penduduk dan para laskar penduduk untuk melawan Belanda. Penduduk dan para laskar tidak menginginkan properti pemerintah maupun properti masyarakat dipakai Belanda.
Sementara pertempuran berlangsung di Padang Sidempoean dan sekitar terutama di area Benteng Huraba, situasi dan kondisi di Jogjakarta sudah mulai kondusif. Militer Belanda telah menguasai sepenuhnya Jogjakarta dan sekitarnya. Namun yang menjadi persoalan, belum selesai perang kemerdekaan RI melawan Belanda di aneka macam kawasan menyerupai di Padang Sidempoean dan sekitarnya sudah ada ratusan perwira Tentara Nasional Indonesia yang menyerahkan diri kepada Belanda di Jogjakarta.
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 (Pemurnian Sumatera): ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau-pulau lepas pantai Sumatera di Selat Malaka berlangsung pembersihan. Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki kawasan ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Sumatera, Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat bahari Lahat) Tentara Nasional Indonesia telah dimurnikan (didesak keluar kota). Di Jogjakarta sebanyak 169 mantan perwira Tentara Nasional Indonesia telah melaporkan diri’.
Penyerahan diri sebanyak 169 perwira Tentara Nasional Indonesia di Jogjakarta yaitu satu bentuk penghianatan terhadap Republik Indonesia. Penyerahan diri ini seakan menambah luka gres dari luka-luka darah yang timbul di medan pertempuran. Pasukan Divisi Siliwangi telah bergerak dari Jogjakarta ke Jawa Barat untuk melaksanakan perang gerilya melawan Belanda. Penyerahan diri ratusan perwira di Jogjakarta ini diduga setelah pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution kembali ke Jawa Barat.
Sulit dibayangkan jikalau terjadi penghianatan perwira Tentara Nasional Indonesia dengan cara menyerahkan diri di Jogjakarta sementara para intelektual Indonesia ditangkap dan dibunuh menyerupai Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, para pemimpin RI ditangkap dan diasingkan menyerupai Soekarno dan Mohamad Hatta, para militer Indonesia melaksanakan long march dari Jogjakarta ke Jawa Barat untuk bergerilya yang dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution, Soeltan Hemengkowboewono dijadikan Belanda sebagai tahanan rumah di Kraton Jogjakarta dan Residen Tapanoeli Abdoel Hakim Harahap yang ikut mengungsi ke hutan-hutan dan pegununungan di sekitar Padang Sidempoean. Namun faktanya itulah yang terjadi: diantara usaha terdapat penghianatan.
Trouw, 17-01-1950 dan De locomotief, 12-08-1955 |
Berita-Berita Lain Seputar Agresi Militer Belanda II Tanggal 19 Desember 1948
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya yaitu saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya yaitu sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Sumber http://poestahadepok.blogspot.com
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (29): Aksi Militer Belanda Ii Di Jogjakarta 19 Desember 1948; Ir. Soekarno Ingin Pindah Ibukota Ke India?"
Posting Komentar