Sejarah Yogyakarta (21): Malioboro Di Mataram Dan Pakuan Di Padjadjaran; Fort Di Buitenzorg, Fort Vredeburg Di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Menulis sejarah itu mirip menusuk benang lembap ke lobang jarum. Itu semua bermula alasannya ialah data-data sejarah kita sudah lampau dan sudah usang pula terendam dalam air. Membangkitkan data sejarah ke permukaan dari dalam air lebih sulit dari dalam tanah. Oleh alasannya ialah menemukan jalan buntu, dan adakalanya kita bosan dengan sejarah yang bersifat ilmiah maka terbuka peluang bagi kita untuk membebaskan diri dan mencoba pengalaman gres dengan sejarah yang bersifat non ilmiah. Kalau kita tidak menemukan, paling tidak kita sanggup terhibur. Situasi ini sanggup disajikan dalam bentuk pantun (puisi) sejarah atau roman (novel) sejarah. Tetapi terang itu tidak mempunyai nilai sejarah.

Analisis sejarah tidak sepenuhnya bersifat vertikal (indepth). Analisis sejarah juga tidak sepenuhnya bersifat horizontal (comparative). Analisis sejarah haruslah dikombinasikan antara yang bersifat vertikal dengan yang bersifat horizontal.

Dalam dunia ilmiah, hal yang sangat kompleks sanggup disederhanakan dalam dua dimensi saja yang secara diagramatik menghubungkan nilai-nilai pada sumbu vertikal dengan nilai-nilai pada sumbu horizontal. Dalam bahasa matematis y=f(t) yang mana t ialah waktu dan y ialah nilai kejadian. Serial waktu dari nilai insiden ini yang kerap disebut sejarah (time-series). Jika pada waktu yang sama nilai insiden diperbandingkan maka fungsiya menjadi t=f(y1, y2, y3,..yn). Pendekatan spasial ini sanggup disebut sebagai sejarah (comparative). Jika dianalis pada waktu yang berbeda-beda akan didapatkan sebuah panel sejarah yang komprehensif (bersifat kontekstual). Pendekatan panel ini akan mengatakan nilai insiden pada waktu yang berbeda relatif dari satu daerah ke daerah lain. Dengan kata lain, sejarah itu sejatinya dipahami tidak hanya secara otoriter (vertikal) dan juga tidak hanya secara relatif (horizontal), tetapi secara konstekstual (ruang dan waktu).

Sebagai pola dalam hal ini tugu yang diperlihatkan dalam gambar: Tugu tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di Butenzorg; demikian juga tugu tidak hanya di Bogor tetapi juga di Jogjakarta. Hasil analisis panel serupa ini menjadi lebih luas (bersifat relatif). Kenyataannya, analisis sejarah cenderung bersifat otoriter (lebih sempit). Hal ini yang cenderung mengundang perdebatan. Kejadian-kejadian alam bersifat relatif, apalagi kejadian-kejadian sosial.

Dalam penulisan sejarah, alasannya ialah data yang dipakai cenderung data lampau, maka dalam penulisan sejarah, kita akan berhadapan dengan ketidakpastian. Hal ini alasannya ialah data hilang atau memang tidak terdata. Pendekatan deduktif dalam analisis sejarah adakalanya menemukan jalan buntu. Oleh alasannya ialah itu, pendekatan yang paling gampang dipakai dalam penulisan sejarah ialah dengan cara induktif. Dalam bahasa sekarang, analisis sejarah, azas yang berlaku ialah ‘data membentuk judul’, bukan ‘judul mencari data’. Pendekatan deduktif dalam penulisan sejarah cenderung mengundang spekulasi bahkan godaan untuk mengarang. Jelas menulis sejarah bukanlah mengarang. Namun teknik mengarang sering diterapkan dalam penulisan sejarah. Hasil penulisan sejarah serupa ini tidak jarang dijadikan sebagai tumpuan dalam berperilaku. Padahal sejarah yang dirujuk tidak kredibel (salah).

Pantun sejarah atau roman (novel) sejarah ialah cara masyarakat untuk mengungkapkan sejarah, Namun cara itu bukan metode ilmiah. Namun lucunya, dalam penulisan sejarah banyak yang memakai sumber-sumber semacam ini mirip mitologi dan legenda. Data-data sumber ini tidak sanggup diverifikasi alasannya ialah tidak berhasil mengatakan angka tahun, bulan atau hari. Padahal analisis sejarah memerlukan presisi yang tinggi soal waktu (date) yakni waktu yang berbeda untuk memperbandingkan suatu hal (kejadian sejarah). Demikian juga halnya muncul kasus dalam sumber narasumber. Jurnalistik saja menganut azas cover both side, apalagi analisis sejarah.

Puisi sejarah
Dulu tidak ada nama Jalan Majapahit, Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada di Kota Bandung dan tidak ada nama Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Kota Jogjakarta ialah salah satu bentuk faktual dalam berperilaku yang bersumber dari analisis sejarah. Padahal sumber sejarah itu sendiri sangat lemah alasannya ialah data tidak sanggup diverifikasi dan data diperlakukan sebagai analisis sejarah absolut. Oleh karenanya, adanya upaya menabalkan nama-nama jalan itu di masing-masing kota pada masa ini mengindikasikan bahwa analisis (produk) sejarah bersifat relatif, bukan absolut. Artinya relatif analisisnya dan relatif penerapannya.

Sebelum melaksanakan analisis sejarah lebih lanjut dan untuk menghilangkan kebuntuan ada baiknya kita berpantun sejarah lebih dahulu (lihat teks). Berpantun sejarah akan mencairkan kebekuan. Kebekuan bukan tujuan analisis sejarah. Analisis sejarah untuk mencerdaskan bangsa.

Dalam sejarah kota-kota di Indonesia, pendekatan yang dipakai dalam analisis sejarah kota yang bersangkutan cenderung bersifat otoriter (vertikal). Tidak ada kota yang melaksanakan pendekatan relatif (horizontal). Maka, setiap kota merasa unggul dibanding sejarah kota lain. Hal yang paling konyol data yang dipakai tercampur dengan sumber-sumber yang berasal dari pantun dan roman sejarah. Akibatnya, sebagai contoh, oleh alasannya ialah tidak ada satu metodologi yang seragam untuk memilih hari lahir kota, maka ada kota yang terlalu renta dan ada kota yang terlalu muda. Itulah roman sejarah kota-kota di Indonesia yang lebih mengedepankan hanya unsur romantisnya saja.    

Mataram di Malioboro dan Padjadjaran di Pakuan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Fort Padjadjaran di Buitenzorg, Fort Vredeburg di Jogjakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ mirip surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya ialah saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya ialah sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (21): Malioboro Di Mataram Dan Pakuan Di Padjadjaran; Fort Di Buitenzorg, Fort Vredeburg Di Jogjakarta"

Posting Komentar