Sejarah Yogyakarta (13): Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro; Grand Hotel 1911; Gosip Hotel Merdeka Vs Garuda 1950; Hotel Di Jogjakarta Bermula Losmen Malioboro 1865
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta mempunyai sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya ialah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis semenjak tahun 1869. Investor Grand Hotel ialah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya sekarang disebut Grand Inna Malioboro.
Hotel Grand Inna Malioboro di Yogyakarta mempunyai sejarah yang panjang. Nama hotel ini awalnya ialah Grand Hotel yang mulai beroperasi pada tahun 1911. Grand Hotel dibangun untuk bersaing dengan Hotel Mataram yang sudah eksis semenjak tahun 1869. Investor Grand Hotel ialah investor Grand Hotel di Soekaboemi. Namun dalam perjalanannya, Grand Hotel beberapa kali harus berganti nama hingga namanya sekarang disebut Grand Inna Malioboro.
Nama dan usia Hotel Grand Inna Malioboro (1908-1919) |
Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro ialah bab dari sejarah hotel di Yogyakarta. Hotel yang pertama muncul di Jogjakarta ialah Losmen Malioboro yang didirikan pada tahun 1865. Losmen ini kemudian diakuisisi oleh Hotel Mataram. Dalam perkembangannya lokasi eks Losmen Malioboro ini dijadikan sebagai Loge Mataram. Pasca ratifikasi kedaulatan RI oleh Belanda) 1950, Loge Mataram (eks Loge Malioboro) dijadikan sebagai gedung dewan (kini di lokasi tersebut berada Gedung DPRD).
Grand Hotel Jogjakarta
Di Soekaboemi terdapat sebuah hotel berjulukan Grand Hotel. Investor Grand Hotel di Soekaboemi diduga yang menjadi investor dalam pembangunan hotel Grand Hotel di Jogjakarta. Pelaksanaan pembangunan Grand Hotel di Jogjakarta dimulai tahun 1908. Grand Hotel Jogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1911. Sebelumnya, di Jogjakarta sudah ada tiga tempat penginapan yaitu Losmen Malioboro, Losmen/Hotel Mataram dan Hotel Centrum.
Grand Hotel Jogjakarta, 1910 |
Setelah dioperasikannnya besi (kereta api) di Jogjakarta, moda transportasi dari dan ke Jogjakarta tetap eksis kereta kuda. Fungsi dua losmen yang ada tetap menyediakan kemudahan istal. Hal ini lantaran kereta kuda jarak jauh masih intens dipakai menyerupai dari dan ke Magelang. Dengan semakin tingginya arus orang dari Semarang dan Soerakarta ke Jogjakarta dengan mengginakan moda kereta api, menyerupai pejabat dan pelancong, maka kualitas penginapan semakin dibutuhkan dan kemudian dibukan hotel di bersahabat kantor Residen. Hotel itu disebut Hotel Centrum. Hotel ini paling tidak sudah beroperasi pada tahun 1898 (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-11-1898).
Foto sebuah losmen di Magelang, 1864 |
Hotel Centrum dan Hotel Mataram kemudian mendapat tentangan gres dengan adanya rencana investor gres membuka hotel di Jogjakarta. Hotel gres itu disebut Grand Hotel. Pembangunan hotel gres ini dimulai tahun 1908 dan selesai pada tahun 1911. Bangunan dan kemudahan Grand Hotel cukup mewah. Jalan yang berada di depan hotel kemudian disebut Jalan Malioboro. Dengan kehadiran Grand Hotel, nama Hotel Centrum tidak pernah muncul lagi. Terakhir terdeteksi Hotel Centrum tahun 1905. Grand Hotel sanggup dikatakan suksesi Hotel Centrum yang terus bersaing dengan Hotel Mataram.
Pada tahun 1912 nama Losmen Malioboro sudah diidentifikasi oleh publik sebagai pananda navigasi dalam kota (pada Peta 1909 ruas jalan tersebut sudah ditandai sebagai Malioboro). Area sekitar losmen juga kerap disebut sebagai daerah Malioboro (lihat contohnya Bataviaasch nieuwsblad, 09-12-1912). Pada tahun 1918 sudah ada yang secara eksplisit menyebut jalan di depan Losmen Malioboro sebagai jalan (weg) Malioboro. Disebutkan perusahaan NV Djokjasche Machinehandel mangadakan rapat umum di Toko Van Biene yang terletak di Jalan Malioboro (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1918). De Indische courant, 09-08-1923 menyebutkan jalan utama (di) Jogjakarta ialah ruas jalan Toegoe, Malioboro, Patjinan dan Résidentielaan.
Area di sekitar Grand Hotel semakin berkembang. Pada tahun 1924 dibuka jalan gres di Jogjakarta (De Indische courant, 11-02-1924). Disebutkan bahwa pada hari Sabtu pagi diadakan di gedung Nillmij pembukaan jalan gres sebagai jalan penghubung dengan lingkungan gres (nieuwe wijk) Malioboro. Pembukaan jalan gres ini dilakukan oleh Sultan dan Residen. Jalan gres ini terletak bersahabat dengan Grand Hotel. Masyarakat akan diizinkan untuk berjalan di jalan/jembatan tersebut pada pukul 12 siang.
Lokasi Grand Hotel di Jogjakarta (Peta 1925) |
Lantas bagaimana dengan Losmen Malioboro?.Meski sudah ada hotel besar (Hotel Grand dan Hotel Mataram) di Jalan Malioboro, keberadaan Losmen Malioboro masih tetap eksis, paling tidak hingga tahun 1924 ini (lihat De Indische courant, 15-08-1924). Disebutkab bahwa di Loge Malioboro diadakan pertemuan umum. Jalan Malioboro lambat laun menjadi sangat ramai. Akan tetapi dalam perkembangannya Loge Malioboro tidak pernah muncul lagi. Pada Peta 1925 di sekitar Jalan Malioboro tidak ditemukan lagi nama Losmen Malioboro. Nama-nama bangunan di seputar Jalan Malioboro yang terkenal ialah Hotel Grand, Hotel Mataran dan Loge Mataram.
Hilangnya nama Loge Malioboro sepintas ialah teka-teki. Tetapi bekerjsama gampang ditebak. Penjelasannya ialah sebagai berikut: Pada tahun 1909 Loge Malioboro berada di taman kota (stadtuin), Losmen Maliboro dan Losmen Mataram berdampingan. Lalu pemilik Losmen Mataran membangun Hotel Mataram. Dalam perkembangannya, pemilik Losmen Mataran tidak hanya membangun hotel, tetapi juga mengakuisisi Losmen Malioboro. Lalu Hotel Mataram tetap di tempatnya, sedangkan losmen yang sebelumnya berjulukan Malioboro diganti dengan nama Loge Mataram. Lantas bagaimana dengan losmen Mataram? Area losmen ini telah diubah menjadi ekspansi Hotel Mataram. Dengan demikian di area sisi timur Jalan Malioboro ini hanya eksis Hotel Mataram dan Loge Mataram.
Losmen Maliboro telah tamat. Nama Losmen Malioboro ialah situs paling bau tanah di daerah jalan utama. Nama Losmen Malioboro telah bertransformasi menjadi nama jalan utama yakni Jalan Malioboro. Situs gres yang kian terkenal di Jalan Malioboro ialah Grand Hotel. Hal yang menyerupai dengan ini di Bandoeng, gedung seni Braga telah bertransformasi menjadi nama Jalan Braga.
Grand Hotel di Jalan Malioboro di bawah kepemilikan NV Grand Hotel de Djokja menjadi penanda navigasi terpenting di Jalan Malioboro. Grand Hotel mempunyai daya tarik tersendiri tidak hanya sebagai tujuan tempat penginapan bagi tamu yang tiba ke Jogjakarta, tetapi juga bagi para investor. De Sumatra post, 25-06-1929 melaporkan emisi Grand Hotel Djokjakarta. Disebutkan obligasi 6 persen Grand Hotel di Djokja sehingga hanya sekitar 50 persen sanggup digunakan. Bataviaasch nieuwsblad, 30-11-1933 melaporkan bahwa keputusan Pemerintah menawarkan persetujuan atas perubahan anggaran dasar dari NV yang didirikan di Jogjakarta: NV Grand Hotel de Djokja.
Seperti di tempat lainnya, ketika pada bulan Maret 1942 militer Jepang mendarat di Jawa, Grand Hotel de Djokjakarta di Jalan Malioboro ialah salah satu hotel terbaik di Jawa yang dimiliki publik di bawah kepemilikan nama NV Grand Hotel de Jogjakarta. Grand Hotel menjadi salah satu tempat (penginapan) militer Jepang.
Direktur NV Grand Hotel de Jogjakarta, Ny Trutenau menyatakan otoritas pendudukan Jepang tinggal di hotel dengan cara mereka sendiri, menggunakan properti tanpa memikirkan sewa apa pun dengan pemilik yang sah. Lambat laun hotel itu yang glamor tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagai kualifikasi untuk hotel dalam tempo yang singkat. Hanya hotel ini yang terakhir yang berstatus hotel tetapi orang Jepang menciptakan hotel itu beralih fungsi.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 diumumkan kemerdekaan Indonesia. Dengan kedatangan sekutu hotel ditinggalkan. Pada dikala itu, sekitar 75 persen interior hotel itu tidak memadai lagi. Properti yang tidak memadai terutama tempat tidur. Grand Hotel kemudian diambil alih dan dipakai pemerintah Republik. Setelah pengambilalihan ini hotel diberi nama Merdeka.
Kepemilikan hotel yang sekarang disebut Hotel Merdeka berada di bawah Departemen Perhubungan melalui salah satu bidangnya. Orang yang ditunjuk sebagai pejabat yang menangani ialah A. Rachim yang juga akan menjadi pemimpin (manajer) untuk hotel-hotel pemerintah (Staatshotels). Hotel-hotel yang dimaksud selain Grand Hotel juga beberapa hotel lainnya sebagai hotel pemerintah.
Meski sudah dibuat tubuh pengelola hotel pemerintah dan menunjuk A. Rachim, namun uang pemerintah tidak cukup untuk melaksanakan renovasi atau perbaikan yang diperlukan. Saat inilah inisiatif A Rachim untuk mengumpulkan dana dengan meminjam uang ke banyak sekali pihak dan juga melaksanakan peminjaman barang untuk menjaga biar hotel sanggup beroperasi kembali. A. Rachim telah berusaha keras menjalankan hotel sesuai standar hotel.
Namun dalam perkembangannya, A. Rachim yang sejatinya mengoperasikan Hotel Merdeka untuk Pemerintah, tetapi pada kenyataannya sebagai individu pribadi. Ini sanggup dipahami lantaran yang bekerja keras ialah A. Rachim sementara Departmen Perhubungan yang menawarkan penugasan tidak pernah meminta pertanggungjawaban/ Hal ini boleh jadi lantaran pemerintah melalui Departemen Perhubungan tidak pernah mengalokasikan anggaran.
Pada bulan Desember 1948 terjadi Agresi Militer Belanda, yang dalam hal ini termasuk menduduki Jogjakarta. Otoritras pemerintah Republik terbilang berakhir dan digantikan otoritas Belanda. Sehubungan dengan itu, Hotel Merdeka kembali berjulukan Grand Hotel. Kepemilikan Grand Hotel diberikan (kembali) kepada pemilik yang sah yaitu NV Grand Hotel de Djokjakarta. Ny Trutenau kembali mengelola hotel. Namun pengelolaan itu harus berakhir pada tanggal 27 Juni 1949.
Oleh lantaran terjadi gencatan senjata antara Republik Indonesia dan Belanda yang akan dilanjutkan pada konferensi (LMB), Ny Trutenau mulai meninggalkan Jogjakarta. Ny Trutenau menawarkan pengelolaannya kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Perhubungan dengan risko sendiri dalam perjanjian. Di dalam perjanjian tersebut penyelesaian simpulan akan dibahas kemudian. Dalam hal pengelolaan sepeninggal Ny Trutenau, hotel kembali dikelola oleh A Rachim.
Permasalahan kembali berulang. A Rachim melaksanakan inisiatif sebaliknya pemerintah melalui Departemen Perhubungan tidak pernah mengalokasikan anggaran. Tidak diketahui lantaran yang jelas, sejatinya A Rachim ialah seorang pegawai negeri sipil (pejabat) yang bertugas untuk menempatkan hotel-hotel yang harus ia kelola atas nama Departemen tetapi dalam kenyataannya menjadi perusahaan publik Perseroan Terbatas, terlepas dari apakah hal ini dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan Pemerintah.
Perusahaan perseroan terbatas tersebut diberi nama NV Hotel Negara dan Touri.snie disingkat NV Honet. Dalam perseroan ini disebutkan sebagai pemegang saham ialah A Rachim, Tjipto Roeslan dan Djody.
Isu Hotel Merdeka dan Namanya Berganti Menjadi Hotel Garuda
Hotel Merdeka di Jogjakarta dan NV Honet dipertanyakan (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1950). Pertanyaan yang mengemuka ialah bagaimana hal itu mungkin, bahwa seorang pejabat dengan perusahaan negara mendirikan NV. Sementara itu pemerintah pemerintah melalui Departemen Perhubungan mengeluarkan keputusan pendirian perusahaan perseroan terbatas Marba.
Pada tanggal 15 Agustus, Pemerintah melalui Departemen Perhubungan mengesahkan pendirian perusahaan perseroan terbatas Marba. Perusahaan ini kemudian membeli semua saham NV Grand Hotel de Jogjaltarta (pemilik sebelum perang) dan dengan demikian mempertahankan haknya atas hotel. Keputusan pembelian itu diterbitkan oleh VV Marba melalui iklan di surat kabar harian yang terbit di Djokjakarta, Anehnya, di surat kabar yang sama juga NV Honet memasang iklan bahwa NV Honet memberi tahu ke publik bahwa pengelolaan Hotel Merdeka ialah NV Honet.
Melihat kenyataan tersebut, pihak NV Marba bereaksi. Dalam keterangannya ke media, A Loebis mewakili NV Marba menyampaikan bahwa pada hari Sabtu 19 Agustus tiba ke Hotel Merdeka untuk pengambilalihan. Namun pihak NV Honet menolak. Pada tanggal 20 Agustus hari berikutnya, A Loebis tiba ke Hotel Merdeka untuk mengganti plang nama Hotel Merdeka dengan nam Grand Hotel. Namun kembali pihak NV Honet menolak. Oleh lantaran surat keputusan yang dipegang oleh A Lubis resmi, polisi yang tadinya berjaga-jaga kemudian membolehkan A Loebis masuk dan tinggal di hotel serta mulai menjalankan kiprah operasional hotel.
Pada dikala yang sama pejabat pengadilan di Djogjakarta telah mengirim surat panggilan kepada administrasi NV Honet. Surat panggilan tersebut dikirim sebagai tanggapan terhadap iklan dimana keputusan Departemen Perhubugan diabaikan. Permasalahannya tidak hingga disitu, lantaran selain Departemen Perhubungan telah secara resmi menempatkan A Rachim sebagai manajer hotel juga telah memerintahkan A Rachim untuk tanggal 25 Agustus untuk melaksanakan pertanggungjawaban.
Isu Hotel Merdeka menjadi semakin terbuka ke publik. Surat kabar De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-09-1950 memberitakan perselisihan antara NV Marba dan NV Honet wacana administrasi Hotel Merdeka di Djokjakarta. Disebutkan Menteri Perhubungan Ir. Djuanda menyatakan kementerian dikala ini sedang melaksanakan penyelidikan. Ir. Djuanda disebutkan secara eksplisit menyatakan bahwa Hotel Merdeka Djokjakarta telah dijual kepada NV Marba. Dengan demikian, NV Marba ialah pemilik sah hotel.
Sementara perkara antara NV Marba dan NV Honet sedang diselidiki. Surat kabar De vrije pers: ochtendbulletin, 07-11-1950 memberitakan bahwa hingga dikala ini hanya kantor Honet di Bandung dan Djoj'ja yang dibuka. Pembukaan kantor sentra di Jakarta akan segera menyusul demikian juga dengan cabang di Surabaya. Juga kemungkinan dibuka kantor gres di Bali, yang mana delegasi dari Jakarta akan segera pergi untuk kunjungan eksplorasi. Selanjutnya ada rencana untuk membuka kantor di Medan, Padang, Makasar dan Manado.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 16-11-1950 memberitakan bahwa di Bandung belum usang ini didirikan kantor Honet (Badan Hotel Negara dan Tourisme), sebuah layanan resmi untuk industri perhotelan dan tourisme, yang merupakan bab dari Departemen Pehubungan. Kantor tersebut berlokasi di Tjikinilaan No. 16 dan dikala ini berada dibawah kepemimpinan Mr MRA James. Juga disebutkan bahwa Honet didirikan di Djogjakarta sebelum pengalihan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Tujuan utama Honet ialah untuk mempromosikan pariwisata di seluruh Indonesia oleh semua kedutaan Indonesia di luar negeri untuk dijual kepada para peminat yang ingin mengunjungi Indonesia. Honct mengatur perjalanan domestik, mempromosikan antara banyak sekali wilayah Indonesia. Honet disebutkan tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan bisnis hotel swasta. Sebaliknya, Honet membantu diri sendiri dan juga untuk membantu bisnis hotel swasta menurut bisnis dan dengan demikian mengoperasikan hotel itu sendiri.
Sementara Honet, tubuh pemerintah di bidang perhotelan dan tourism memperluas cabang di banyak sekali kota di Indonersia, di Djogjakarta diadakan Kongres Staf Hotel (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1950). Dalam kongres ini resolusi dibuat yang meminta kepada pemerintah memutuskan secara terang status NV Hotel Negara dan Tourism (NV Honet) sesegera mungkin dengan ketentuan bahwa hotel-hotel di bawah NV Honet murni sebagai staatshotels (hotel pemerintah) dan staf mendapat status sebagai pegawai pemerintah.
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1950 juga memberitakan bahwa pengadilan telah menyatakan keputusannya wacana problem Hotel Merdeka. NV Honet yang dalam hal ini A Rachim dan Mr Tjipto Roeslan harus menyerahkan kepada NV Marba. Jika pihak NV Honet tidak mematuhi ini maka penggusuran akan dilakukan di bawah pengawasan polisi. NV Honet dimohonkan untuk (naik) banding. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-12-1950 juga memberitakan problem hotel di Djokjakarta. Pada hari Kamis, Dewan Pertanahan di Djokjakarta mengumumkan keputusan dalam isu Hotel Merdeka yang terkenal. NV Honet yang diwakili oleh direkturnya, Mr Rachim dan Mr Tjipto Roeslan tidak berhasil dan harus mengosongkan gedung hotel secepat mungkin untuk NV Marba. NV Honet telah mengajukan banding.
Dalam perkara Hotel Medeka di Jogjakarta NV Honet sepertinya tidak berhasil dalam banding. Kekuatan aturan dan pemilik yang sah dari Hotel Merdeka tetap di tangan NV Marba. Surat kabar De nieuwsgier, 05-01-1951 memberitakan bahwa per 31 Desember 1950 Hotel Merdeka di Jogjakarta secara resmi dipindahkan dari NV Honet kepada NV Manba. Disebutkan dengan izin dari Wali Kota Djokjakarta nama hotel diubah menjadi Garuda.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 13-01-1951: ‘Pemberitahuan Kepada khalayak ramai umumnja dan pihak-pihak yang berkepenüngan khususnja dengan mi kami permaklumkan bahwa: SEJAK TANGGAL 30 DESEMBER 1950 kami telah menyelenggarakan sendiri perusahaan hotel kami di Jalan Malioboro No. 24 Jogjakarta (dulu ditempati olch perusahaan Hotel Merdeka) dengan menggunakan nama HOTEL GARUDA. Jogjakarta, 30 Desember 1950. Direksi NV GRAND HOTEL de DJOKJA. A LOEBIS.
Selesai sudah permasalahan yang timbul pada Hotel Merdeka Jogjakarta yang kemudian namanya diubah Direksi NV Grand Hotel de Djokja. Alamat Direksi NV Grand Hotel de Djokja diketahui berada Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-11-1951). Ini terkait dengan pengumuman NV Grand Hotel de Djokja yang membuka lamaran untuk manager yang berpengalaman yang mana disebutkan surat lamaran disertai dengan salinan suratsurat keterangan dialamatkan kepada: Direksi NV Grand Hotel de Djokja, Djalan Tjengkeh 1 Djakarta.
Hotel Grand Inna Malioboro
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (13): Sejarah Hotel Grand Inna Malioboro; Grand Hotel 1911; Gosip Hotel Merdeka Vs Garuda 1950; Hotel Di Jogjakarta Bermula Losmen Malioboro 1865"
Posting Komentar