Sejarah Menjadi Indonesia (18): Sejarah Naturalisasi Di Indonesia; Naturalisasi Jadi Belanda Dan Naturalisasi Jadi Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Ada satu masa dimana Indonesia disebut Hindia Belanda (baca: Indonesia Belanda). Itu terjadi semenjak dibubarkannya VOC/Belanda. Salah satu Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda yakni Daendels. Nama Pemerintah Hindia Belanda berakhir sesudah terjadinya pendudukan Jepang. Pemerintah Militer Jepang hanya berlangsung singkat (1942-1945). Pemerintah Republik Indonesia secara de jure dimulai semenjak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada masa Pemerintah Republik Indonesia (hingga sekarang) naturalisasi di Indonesia menjadi warga negara Indonesia (WNI) sudah dilakukan semenjak tahun 1950 ibarat pemain sepak bola Arnold van der Vin. Tentu saja masih ada dongeng tersendiri, romantismen Johannes Cornelis Princen yang menjadi WNI. Naturalisasi di Indonesia bukanlah baru. Naturalisasi pemain sepak bola Christian Gonzales yang lalu menjadi pemain nasional Indonesia yakni rangkaian naturalisasi di Indonesia pada satu dasawarsa terakhir ini.

Sejak Pemerintah Republik Indonesia, soal naturalisasi menjadi gosip menarik diantara warga negara absurd (WNA). Naturalisasi Warga Negara Belanda (sebut WNB) menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi dongeng tersendiri ibarat pemain sepakbola Arnold van der Vin dan pegiat HAM Johannes Cornelis Princen. Lantas apakah ada WNI yang menjadi WNB? Ada, bahkan semenjak Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu WNI yang menjadi WNB yakni Dr. Abdul Rivai. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Naturalisasi di Era Hindia Belanda: Menjadi Warga Negara Belanda

Pada bulan Oktober 1909 sejumlah warga diajukan untuk naturalisasi menjadi warga negara Belanda (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-10-1909). Mereka yang diajukan menjadi warga negara Belanda (WNB) ini ada yang tinggal di Hindia Belanda (baca: Indonesia) dan ada yang berdomisili di Belanda. Salah satu yang diajukan tersebut, satu-satunya pribumi yakni dokter pribumi Dr. Abdul Rivai yang tinggal di Amsterdam. Dari nama-nama yang diajukan itu umumnya nama-nama asal Jerman yang berdomisili di Hindia Belanda.

Dr. Abdul Rivai, lahir di Bengkulu, lulus Docter Jawa School di Batavia (kini Jakarta). Setelah diangkat menjadi dokter pemerintah pernah bertugas di Tandjong Morawa Deli. Pada tahun 1903 Dr. Abdul Rivai merantau ke Belanda dan bekerja sebagai editor surat kabar dwimingguan Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam. Pada ketika pendirian organisasi mahasiswa pribumi di Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908 yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Dr. Abdul Rivai turut hadir. Presiden pertama organisasi ini di daulat Soetan Casajangan, alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean yang tiba ke Belanda tahun 1905 untuk melanjutkan kuliah di akademi tinggi. Dalam kepengurusan organisasi mahasiswa ini Dr. Abdul Rivai sebagai komisaris (pengawas).  

Pengajuan daftar orang yang akan dinaturalisasi tersebut diajukan kepada Twede Kamer (semacam dewan perwakilan rakyat pada masa ini) (lihat De Preanger-bode, 20-11-1909). Status Dr. Abdul Rivai disahkan berdasarkan undang-undang tanggal 3 Januari 1910 (Staatsblad No. 9). Publikasinya dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 1910 (lihat Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910).

Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910
Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910: ‘Wilhelmina, atas karunia Tuhan, Ratu Belanda, Putri Oranje-Nassau, dll. Semua yang melihat atau mendengar, membaca , salut! Juga kami telah mempertimbangkan bahwa Abdul Rivai telah mengajukan seruan naturalisasi kepada kami, dengan dokumen pendukung yang dirujuk dalam Pasal 8 Undang-Undang 12 Desember 1892 (Staatsblad No. 268) ihwal kewarganegaraan dan daerah tinggal Belanda, diubah oleh Undang-Undang tanggal 8 Juli 1907 (Staatsblad No. 177. Juga sesudah mendengar Raad van State, dan berkonsultasi dengan Staten Generaal, telah menyetujui dan memahami, sebagaimana kami menyetujui dan memahami dalam hal ini: Eebig artikel. Status Nederlander dengan ini diberikan kepada Abdul Rivai, dokter, lahir di Benkoelen (Ned. O.-Indiê) pada 18 Agustus 1871, bertempat tinggal di Amsterdam (provinsi Noordholland). Keputusan ini akan ditempatkan dalam Staatsblad (Lembaran Berita Resmi) dan bahwa semua Departemen Departemen, Otoritas, Sekolah Tinggi dan Pejabat, siapa pun yang terlibat, akan mengikuti implementasi yang dibentuk ini. Diberikan di Den Haag, 8 Januari 1910. Wilhelmina. Dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 1910. Menteri Kehakiman, Nelissen.

Orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda sudah semenjak usang ada yang dinaturalisasi. Salah satu yang terawal terdeteksi yakni Mr. Oei Jan Lee, yang menyebut dirinya Mr Johan Lee, pengacara di Mahkamah Agung Hindia Belanda, lahir di Banda Neira, Amboina (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-03-1893). Untuk orang pribumi yang pertama diduga yakni Dr. Abdul Rivai.

Hingga tahun 1883 sesuai Undang-Undang Kewargaan Negara Belanda (28 Juli 1850)  belum ada undang-undang di Belanda yang dikaitkan dengan hal naturalisasi di Hindia Belanda. Ini sanggup dibaca dalam diskusi yang hangat pada tahun 1883 (lihat De locomotief 26-06-1883). Oleh karenanya belum ada pribumi di Hindia Belanda yang berstatus naturalisasi. Namun sebelumnya status hak setara Belanda (yang pertama) pernah diberikan kepada Willem Iskander (guru alumni sekolah guru di Belanda tahun 1861) tetapi bukan sebagai warga negara. Dasar acuan ini terdapat pada Pasal 5 UU 1850 tersebut yang menyatakan bahwa Gubernur Jenderal dapat, sesuai dengan Raad van Indie, menciptakan pengecualian terhadap penerapan hukum yang ditetapkan dalam pasal ini.  

Willem Iskander yakni pribumi pertama studi ke Belanda tahun 1857 dan sesudah lulus mudik dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli). Penerapan ini sesuai dengan Dekrit Kerajaan No. 147 tanggal 10 September 1864 yang secara eksplisit memutuskan bahwa (setelah lulus ujian), selain orang Belanda, penduduk pribumi di Hindia, sejauh mereka termasuk Hindia Belanda, sanggup diangkat sebagai pegawai negeri sipil dalam pelayanan sipil di Hindia. Willem Iskander meninggal tahun 1876.

Dalam diskusi 1883 ini dekrit ini ditentang alasannya tidak konstitusional (melanggar UU Kewargaan Negara 1850). Dalam UU Kewargaan Negara 1850, orang-orang Arab, Tionghoa dan Moor yang beragama Islam dikategorikan sebagai orang absurd (di luar Belanda) dan dimasukkan sebagai pribumi. Diskusi ini menyoroti tidak adanya peluang untuk naturalisasi dianggap inkonstitusional. Sebab persyaratan terbaru untuk menjadi pejabat harus sebagai warga negara Belanda (naturalisasi). Ismangoen Danoe Winoto meradang. Pribumi yang diangkat sesudah Willem Iskander yakni Raden Ismangoen yang lulus akademi tinggi di Belanda tahun 1875 tetapi berdasarkan peraturan gres dalam kenyataannya tidak diperlakukan sebagai orang atau setara Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 04-02-1897).

Sejak diskusi tahun 1883 inilah diduga diakomodir peraturan ihwal naturalisasi. Namun tidak berlaku bagi pribumi, tetapi berlaku bagi yang lain terutama untuk orang Tionghoa ibarat Mr. Oei Jan Lee. Perlakuan terhadap Ismangoen ini berdasarkan Abendanon yakni kesalahan politik, Pemerintah Hindia Belanda hanya memperlihatkan ‘kekecewaan yang menyedihkan’. Politik rasial. Abendanon menyebut Ismangoen yakni orang Belanda sejati hanya ada perbedaan dalam warna kulit. Hal yang sama juga dialami oleh Hendrik Karel Manupassa yang lulus tahun 1889 di Belanda juga status naturalisasi tidak diberikan (lihat Algemeen Handelsblad, 04-02-1897).

Pada tahun 1898 muncul kebijakan gres bahwa orang Jepang dan pribumi beragama Katolik akan diperlakukan sama dengan Belanda. Hal ini dikaitkan dengan proposal Menteri Koloni proposal untuk menyamakan Jepang dan orang Katolik pribumi Hindia Belanda dengan Eropa. Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, editor surat kabar Perja Barat di Padang protes terhadap kebijakan gres ini (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 02-11-1898). Dja Endar Moeda dalam kolom editornya memandang Islam dan Katolik harus dianggap sama dan kesejahteran harus ditingkatkan (bukan dibedakan). Ini soal budbahasa istiadat dan moral, Eropa dan pribumi satu sama lain berbeda (antara minyak dan air). Meskipun dogma mereka yakni kehidupan yang berbeda, ini menjadi kompleks sebagai saudara di antara mereka sendiri. Apa yang akan terjadi? Di pengadilan akan dibedakan, non Katolik akan melayani lebih tetapi membayar pajak. Ini tidak bermanfaat malah bagi pemerintah akan menderita kerugian, yang lalu antara beliau dan Muslim akan mengakibatkan kebencian dan perpecahan. Dalam keadilan yang terbukti bersalah, maka ia dieksekusi sebagai Eropa, ia dipenjara dan menerima makan kentang dan roti dan tidak diharapkan untuk melaksanakan pekerjaan, hal yang sebaliknya untuk yang Islam. Terutama penyebab banyak komplikasi dan lain-lain perselisihan antara Katolik dan pribumi Islam. Bagaimana itu diterapkan di Ambon? Mereka akan banyak yang aib untuk mencari nafkah dengan tenaga kerja manual alasannya mereka disamakan dengan orang Eropa’. Juga sulit membayangkan bila orang Batak Katolik setara Eropa tetapi yang beragama Islam direndahkan padahal mereka orang Batak yang Islam maupun yang Katolik hidup berdampingan yang berasal dari satu keturunan. Dja Endar Moeda yakni alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoen tahun 1886.

Lantas kapan naturalisasi diberikan kepada pribumi yang beragama Islam. Sejauh ini belum ditemukan keterangannya. Yang terang Dr. Abdul Rivai di Belanda yang telah menuntaskan studinya dan meraih gelar dokter penuh tahun 1908, sebagaimana disebut di atas Dr. Abdul Rivai menerima status naturalisasi pada tahun 1910. Apakah Dr. Abdul Rivai yang pertama disetarakan (naturalisasi) dari golongan pribumi Islam?

Naturalisasi di Era Republik Indonesia: Menjadi Warga Negara Indonesia

Tunggu deskripsi lengkanya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Menjadi Indonesia (18): Sejarah Naturalisasi Di Indonesia; Naturalisasi Jadi Belanda Dan Naturalisasi Jadi Indonesia"

Posting Komentar