Perkembangan Arsitektur Kolonial Di Indonesia Beserta Contoh-Contohnya

Perkembangan Arsitektur Kolonial


Kata kolonial yang kita kenal identik dengan masa penjajahan bangsa Eropa di Indonesia. Namun dalam penjajahan, Bangsa Eropa juga memperkenalkan Gaya Arsitektur di Indonesia. Gaya Arsitektur yang berkembang pada masa penjajahan tersebut memulai perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia.

Masuknya unsur Eropa ke Indonesia menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Seiring berkembangnya tugas dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin lebih banyak didominasi dan permanen hingga risikonya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi baru. Selain itu, semangat modernisasi dan globalisasi (khususnya pada kurun ke-18 dan ke-19) memperkenalkan Indonesia pada bangunan modern menyerupai manajemen pemerintah kolonial, rumah sakit atau kemudahan militer.



Beberapa Ciri bangunan bergaya kolonial yaitu sebagai berikut :


* Berkembangnya sistem konstruksi modern di Indonesia
* Pergeseran tipe bangunan dari semi permanen menjadi bengunan permanen
* Penggunaan sistem struktur rangka pada bangunan
* Berkembangnya sistem struktur atap kuda-kuda
* Dinding memakai pasangan bata yag lebih kuat
* Bentukan jendela yang berjejer sepanjang sisi bangunan
* Pilar-pilar yang khas dengan nuansa arsitektur klasik eropa



Contoh Karya Arsitektur Kolonial


1. Gedung Sate, Bandung



Proses pembangunan Gedung Sate merupakan suatu kerja besar, alasannya melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya ialah pemahat atau hebat Bongpay yaitu pengukir kerikil nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu dan Kanton. Selebihnya ialah tukang batu, kuli aduk, dan peladen yang merupakan pekerja bangunan yang berpengalaman memba-ngun Gedung Sirap (kampus ITB) dan Gedung Papak (Balai Kota).

Arsiteknya sendiri, memadukan beberapa fatwa arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya ialah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan fatwa Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thiland. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate.

Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan, dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.

2. Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta



Bangunan bergaya Indische Empire Stiijl ini, merupakan bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Museum Seni Rupa dan Keramik ini terletak di Jalan Pos Kota No 2, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia.

Museum yang tepatnya berada diseberang Museum Sejarah itu memajang keramik lokal dari banyak sekali tempat di Tanah Air, dari era Kerajaan Majapahit kurun ke-14, dan dari banyak sekali negara di dunia.

Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan usaha kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.

Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bab depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat dan gres sesudah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.

3. Gedung Merdeka, Bandung



Gedung Merdeka merupakan salah satu gedung bersejarah yang terletak di sentra kota Bandung. Gedung Merdeka pernah digunakan sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18-24 April 1955. Selain itu juga pernah digunakan sebagai tempat sidang-sidang sekaligus Sekretariat Konstituante pada tahun 1956 hingga dengan tahun 1959. Kantor Badan Perancang Nasional, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Tahun 1960-1965, Konferensi Islam Asia-Afrika pada Tahun 1965, dan pertemuan-pertemuan lain yang bersifat nasional maupun internasional.

Pada mulanya gedung ini merupakan bangunan sederhana yang didirikan pada tahun 1895 dan berfungsi sebagai warung kopi. Seiring dengan makin banyaknya orang Eropa terutama orang Belanda yang bermukim di kota Bandung, ditambah dengan semakin meningkatnya aktivitas mereka dalam bidang ekonomi menyerupai di bidang perkebunan, industri dan pemerintahan, maka diharapkan tempat untuk rekreasi yang sesuai dengan budayanya. Kebutuhan rekreasi itu antara lain terpenuhi dengan adanya gedung tersebut yang sering diperbaharui dan semakin usang makin diperluas sesuai dengan keperluan.

Pembaharuan secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1920 dan 1928, hasilnya ialah Gedung Merdeka kini yang megah bergaya Romawi dan sejumlah materi bangunannya (marmer, lampu hias kristal) didatangkan dari Eropa.

Arsitek pembangunan Gedung Merdeka ini ialah Van Gallen last dan C.P. Wolff Shoemaker, guru besar arsitektur di Technische Hogeschool (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Gedung yang luasnya 7500 m2 ini dikelola oleh organisasi Sociteit Concordia yang anggota-anggotanya terdiri kalangan elit Eropa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, terutama pengusaha perkebunan dan perwira-perwira militer. Di gedung ini terdapat ruang besar (ruang utama) tempat pertunjukan kesenian atau pertemuan, rumah makan, rumah bola (tempat bermain bilyard) dan lain-lain. Kadang-kadang ruang utamanya disewakan bagi pertemuan umum dan pertunjukan kesenian.

4. Gedung Lowo



Bangunan ini dikenal dengan sebutan Gedung Lowo atau Gedung Veteran. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan/pejabat Belanda. Tahun 1945 bangunan ini dihuni oleh keluarga kebangsaan China berjulukan Djian Ho.

Gedung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi ini mempunyai bentuk khas arsitektur kolonial untuk sebuah rumah tinggal.

Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa merubah bentuk orisinil bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983 – 1985.


5. Lawang Sewu, Semarang



Gedung lawang sewu yang dibangun pada awal kurun ke-20 dan diselesaikan pada tahun 1908 ini dimiliki oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda dan merupakan Kantor Pusat jawatan tersebut hingga kemerdekaan RI.

Arsiteknya ialah Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag yang merupakan arsitek-arsitek Belanda ternama ketika itu. Gedung ini terletak di sudut jalan. Bagian depannya dihiasi oleh menara kembar yang mengingatkan pada bentuk-bentuk menara gothic. Di belakang menara gedung ini membelah menjadi dua sayap, masing-masing memanjang jauh ke belakang.

Oleh masyarakat Semarang, gedung ini disebut Lawang Sewu yang artinya Pintu Seribu, lantaran memang gedung besar dan panjang ini mempunyai banyak pintu di sepanjang sayap-sayapnya. Pintu-pintu berjejer di ruangan-ruangannya yang panjang dan beratap tinggi. Arsitektur gedung ini unik lantaran menunjukkan pembiasaan arsitektur Eropa terhadap iklim tropis, lantaran itulah bangunan ini mempunyai pintu yang banyak.

Setelah kemerdekaan gedung tersebut sempat digunakan oleh Kodam IV dan lalu dikembalikan kepada Jawatan Kereta Api, yang kini ialah PT. KAI. Setelah PT. KAI pindah, gedung ini sempat digunakan sebagai Kantor Wilayah Departemen Perhubungan hingga tahun 1994. Setelah itu, gedung yang resminya masih menjadi milik PT. KAI ini ditinggalkan kosong dan tak terpakai selama 10 tahun mengakibatkan gedung ini kotor dan berdebu.


Note : Share & Copy Artikel harap menyertakan sumber

Sumber http://www.arsitur.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Perkembangan Arsitektur Kolonial Di Indonesia Beserta Contoh-Contohnya"

Posting Komentar