Sejarah Yogyakarta (28): Lapangan Terbang Maguwo Dan Adi Sucipto; Informasi Pesawat Dakota Dari Singapura 1947 Di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta sekarang disebut bandara Adi Sucupto. Nama lapangan bandara ini mengambil nama Adi Soetjipto yang turut dalam penerbangan dari Singapoera yang jatuh di akrab Jogjakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Peristiwa ini menjadi polemik lantaran pihak RI melalui Radio Jogjakarta membawa obat-obatan atas nama palang merah, tetapi pihak Belanda menduga jatuh lantaran kelebihan beban yang terbang rendah dan menambrak pohon kelapa. Pihak Inggris di Singapoera pesawat tidak menjalankan mekanisme penerbangan normal dan Belanda berhak menembak pesawat di wilayahnya.

Berita Dakota dan Adi Soetjipto, 1947
Saya tadi malam berangkat sempurna waktu pukul 08.20 dari bandara Adi Sucipto dan sempurna waktu pula tiba di bandara Sukarno- Hatta di Cangkereng dengan penerbangan dari maskapai Batik Air. Ketika keluar dari bandara saya juga sempurna waktu sebagai penumpang terakhir yang sempurna berada di dalam bis yang segera membawa saya ke Depok. Selama perjalanan bis Damri trayek bandara-Depok ini sepertinya tidak pernah berhenti bahkan di persimpangan di Depok yag selalu lampu kemudian lintas dalam posisi lampu hijau. Saya yang dijemput di jalan Margonda Raya sempurna waktu tiba di rumah pukul 11 malam. Pagi ini saya coba merenung ketepatan waktu ini dengan mencoba membaca surat kabar tempo doeloe apa yang menjadi kekerabatan Adi Soetjipto dengan lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta.

Lantas bagaimana bahu-membahu duduk soal jatuhnya pesawat Dakota yang dimiliki sebuah maskapai di India yang membawa obat-obatan dari Singapoera ke Jogjakarta? Tentu saja insiden tersebut sudah banyak ditulis dan sanggup dibaca dalam banyak sekali versi di internet. Bacaan-bacaan tersebut tentu saja berguna, tetapi artikel ini coba menyarikan berita-berita yang ada pada seputar waktu dan kawasan kejadian. Mari kita telusuri beritanya pada surat kabar pasca kejadian.

Pesawat Dakota dan Adi Soetjipto

Perseteruan Belanda dan Indonesia dari hari ke hari semakin meningkat sesudah ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djocjakarta. Ini dimulai sesudah pasukan Sekutu/Inggris menuntaskan tugasnya di Indonesia dalam hal pelucutan militer Jepang dan pembebasan interniran Eropa/Belanda. Di satu pihak permusuhan Belanda dan Indonesia semakin memuncak di pihak lain Indonesia (di Djogjakarta) mulai membangun aliansi (paling tidak di bidang perdagangan) dengan Australa dan Semenanjung (Malaya dan Singapoera) yang tergabung dalam persemakmuran Inggris. Aliansi ini juga terjadi dalam bidang transportasi (udara).

Kerjasama perdagangan ini dimulai dengan mengangkat G Campbell sebagai kepala perwakilan perdagangan Indonesia di Australia. G Campbell menjadi orang yang bertanggungjawab untuk kepentingan perdagangan Indonesia di luar negeri. Salah satu wujud kerjasama ini yakni pengadaan pertama penerbangan domestik di Indonesia jalur Djogja-Malang (Algemeen Indisch dagblad, 29-04-1947). Disebutkan bahwa pesawat Dakota pertama dari Maskapai Indonesia, berjulukan Glatik telah melaksanakan penerbangan pertama jalur Djokja-Malang pada tanggal 28 April dengan membawa 29 penumpang dalam penerbangan uji coba dengan jarak tempuh sekitar 159 Km dalam satu jam dua puluh menit. Para kru (pesawat pertama ini) terdiri dari seorang pilot pertama Australia, seorang pilot kedua Inggris, seorang operator telegraf radio Australia dan seorang pilot Indonesia, Adi Soetjipto. Inilah untuk kali pertama muncul nama Adi Sucipto dan maskapai penerbangan Indonesia.

Ketakutan Belanda semakin meningkat. Ini sehubungan dengan keputusan gres pemerintahan Republik Indonesia menyatukan Tentara Republik (TRI) dan organisasi-organisasi Laskar yang disebut sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini gres saja diumumkan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin Harahap melalui Radio Djogja (Nieuwe courant, 09-05-1947). Menteri Pertahanan menyampaikan tujuannya yakni untuk membentuk tentara nasional yang dimaksudkan untuk membentuk tentara nasional yang besar lengan berkuasa yang akan bisa mempertahankan kedaulatan republik. Menurut Menteri Pertahanan Indonesia juga mulai memusatkan perhatian pada kasus sistem pertahanan bersama untuk Asia Selatan dan meletakkan dasar bagi sistem pertahanan yang melampaui batas-batas kepulauan Indonesia. Ketakutan ini alhasil memicu Belanda melaksanakan pelanggaran. Dengan kata lain boleh jadi beranggapan daripada diserang duluan lebih baik menyerang duluan.

Belanda semakin khawatir, Belanda mulai melanggar perjanjian tenang (perjanjian Linggarjati). Pelanggaran ini dilakukan dalih agresi polisional yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I yang dimulai tanggal 21 Juli 1947. Dalam agresi polisional ini terjadi banyak sekali pertempuran dengan Republiken di banyak sekali tempat. Tentu saja banyak korban di pihak Republiken.

Pertempuran di darat menjadi tidak terbendung. Angkatan udara Belanda telah melaksanakan banyak sekali manuver baik untuk tujuan untuk memantau dari udara maupun melaksanakan serangan dengan menjatuhkan bom di banyak sekali tempat. Dalam fase inilah satu tim dibuat untuk mendatangkan obat-obatan dari luar negeri untuk dipakai oleh Republik dengan cara mendistribusikan ke kantong-kantong pertempuran. Tim ini mengangkutnya dari luar negeri dengan memakai pesawat Dakota. Namun naas, pesawat Dakota yang membawa obat-obatan ini mengalami petaka menjelang pendaratannya di lapangan terbang Magoewo di Djogjakarta. Dalam penerbangan ini turut serta Adi Sucipto sebagaimana diberitakan surat kabar yang terbit di Soerabaja Nieuwe courant, 30-07-1947.

Nieuwe courant, 30-07-1947
Nieuwe courant, 30-07-1947: ‘Insiden penerbangan. Aneta mengirim gosip dari Singapura, yang mana pesawat pertama dengan obat-obatan Palang Merah untuk Indonesia dari bandara Kallang kemarin (Rabu, 29-07-1947). Pesawat membawa setengah ton obat-obatan dan perban dengan penicilin memberi tahu kami gosip berikut dari Radio Djocja: Pesawat Inggris-Indonesia, yang tiba dari Singapura ditembak jatuh oleh dua pesawat Belanda di atas bandara Djocja. Ada empat warga negara Inggris dan lima orang Indonesia di dalam pesawat serta sejumlah obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Hanya satu orang Indonesia yang lolos dari kematian. Pesawat sudah dalam posisi roda pendaratan dan siap mendarat ketika diserang oleh pesawat Belanda. Pemerintah Republik mengeluarkan sebuah komunike dimana ia menyatakan kesedihan dan simpati terhadap kerabat mereka yang terkena dampak. Warga negara Inggris yakni mantan Wing Commander Constantine dan istrinya, mantan pemimpin skuadron Hazelhurst dan seorang Inggris yang tidak diketahui namanya. Selanjutnya, orang Indonesia yakni Adi Soetjipto, Dr. Abdoelrachman Saleh, Hadji Soemarmo Wirjokoesoemo dan Arifin. Seorang penumpang Indonesia Abdul Gani selamat. Sebelumnya telah dilaporkan bahwa pesawat telah meninggalkan Singapura. Tampaknya tidak ada pengaturan khusus yang dibuat dengan Belanda untuk perjalanan bebas melintas dari Dakota ini’.

Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap Memimpin Pemakaman

Pesawat Dakota tersebut yang ditembak jatuh oleh dua pesawat tempur Belanda yakni milik Indier Patniak dari Government of Orissa yang mana seminggu sebelumnya telah membawa Perdana Menteri Soetan Sjahrir ke India diperlukan kembali lagi ke Singapoera pada hari Rabu.

Dr Hassan Aljuneid dari Singapura, kepala Palang Merah Indonesia menyatakan mereka yang berkontribusi pada Palang Merah Indonesia untuk pengiriman yakni Gubernur Jenderal Malaka Malcolm MacDonald dan istrinya yang menyumbangkan 500 Straits Dollars, Sementara masing-masing 250 Staits Dollars dari Gubernur Siredward Ghent dari Uni Malaya dan dua orang Eropa yang tidak ingin disebut namanya, sedangkan United Malaya National Organization menyumbangkan 5.000 dolar (lihat Algemeen Indisch dagblad, 30-07-1947).

Jatuhnya pesawat Dakota menjadi simpang siur. Ini sanggup dibaca pada surat kabar  Algemeen Indisch dagblad, 31-07-1947: ‘Disebutkan bahwa pesawat tidak melaksanakan mekanisme normal untuk mendapat penerbangan bebas melalui wilayah militer Belanda. Ini diakui oleh seorang pejabat Inggris. Dua pilot Belanda yang diwawancara menyampaikan tidak sedang menembak jatuh pesawat tetapu jatuh sendiri sesudah terbang rendah dan menabrak pohon kelapa. Kami terlalu jauh di belakangnya. Pilot Lettu Penerbang BJ Ruesink dari Den Haag dan Sersan Mayor Penerbang WE Erkelens menyampaikan lebih lanjut bahwa pesawat Dakota jatuh disebabkan kebakaran pesawar sendiri dan tampak api dari samping pesawat. Menurut pilot Belanda bahwa pesawat yang jatuh delapan mil dari Djogja meledak dengan tiba-tiba.

Mereka yang meninggal telah dimakamkan sore tanggal 30 Juli empat anggota Angkatan Udara Indonesia yang tewas dalam Dakota India (Inggris) di Djokja. Upacara tersebut dipimpin oleh Perdana Menteri Indonesia Amir Sjarifoeddin Harahap yang juga dihadiri anggota lain dari pemerintah Indonesia. Para korban Inggris akan diperintahkan esoknya sesuai dengan kebiasaan Nasrani atas undangan Konsul Jenderal Inggris di Batavia, lantaran mustahil untuk memindahkan mayat ke Batavia akan dimakamkan di Djogja. Catatan: Amir Sjarifoeddin Harahap diangkat menjadi Perdana Menteri RI semenjak tanggal 3 Juli 1947 (sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI).

Atas insiden tersebut di Singapoera dilakukan penyelidikan menyeluruh. Sementara itu Palang Merah Indonesia di Singapura telah menyelenggarakan pertemuan protes malam ini terhadap apa yang terjadi dengan Dakota. Resolusi akan diajukan, mengecam tindakan Belanda. Di lain pihak Sekretaris Jenderal Gubernur Jenderal, Sir Ralph Hone di Singapoera menyampaikan bahwa tidak ada otorisasi yang diberikan sama sekali untuk penerbangan. Pesawat itu tidak mempunyai pelat nomor Palang Merah dan ia pikir Belanda bertindak sesuai dengan hak aturan mereka.

Perwakilan Palang Merah Internasional di Singapura, Mr. H. Schweizer, sangat terpengaruh oleh insiden tersebut. Dia menyatakan bahwa ia telah melaksanakan kontak dengannya untuk melaksanakan penerbangan di bawah pengawasan Palang Merah Internasional, tetapi ia tidak sanggup memperlihatkan otorisasi untuk ini, lantaran ia tidak mempunyai izin dari Jenewa untuk melakukannya. Penerbangan itu yakni penerbangan pribadi, itu tidak dilakukan untuk Palang Merah atau untuk pemerintah Malaka. Juga muncul pertanyaan apakah pesawat telah melebihi muatan? Officier bandara di Singapoera menyatakan pintu pesawat yang akan berangkat dibuka lagi untuk mengeluarkan seorang cowok Indonesia, lantaran pilot sepertinya percaya bahwa pesawat itu kelebihan muatan.

Lapangan Terbang Magoewo Menjadi Bandara Adi Sucipto

Pasca perang kemerdekaan dan akreditasi kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Desember 1949), ada dua infrastruktur strategis yang segera dikuasai oleh orang Indonesia. Dua infrastruktur tersebut yakni bandara (di banyak sekali kota) dan pabrik senjata dan mesiu di Bandoeng. Ini dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di bidang penerbangan sipil untuk moda transportasi cepat bagi penduduk Indonesia dan produksi senjata dan mesiu untuk kebutuhan militer Indonesia.

Sejumlah pejabat Indonesia yang diangkat pada awal tahun 1950 diantaranya Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai Kepala Penerbangan Sipil yang berkedudukan di Djakarta dan Overste (Letkol) Ir. AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) yang berkedudukan di Bandoeng. Ir. Tarip Abdullah Harahap lulus tahun 1939 dari departemen teknik sipil dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng (kini ITB). Ir. AFP Siregar lulus tahun 1940 dari departemen teknik kimia dari Universiteit te Delft. Ir. AFP Siregar yakni lulusan kedua dari Delft, sedangkan yang pertama yakni Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia (kini Universitas Indonesia).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian selesai tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader, Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto, Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal; sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’.

Pada fase inilah lapangan-lapangan terbang yang semenjak periode kolonial Belanda sebagai basis angkatan udara difungsikan untuk penerbangan sipil, termasuk lapangan terbang Magoewo di Djogjakarta. Namun persoalannya menjadi muncul lantaran pesawat-pesawat militer berukuran kecil-kecil.

Lapangan terbang yang pertama dikuasai oleh Republiken (pasca akreditasi Indoneisa oleh Belanda 27 Desember 1949) yakni lapangan terbang (vliegveld) di Magoewo. Di lapangan terbang Magoewo Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution bermarkas. Di lapangan terbang lainnya menyerupai Tjililitan di Djakarta dan lapangan terbang Andir di Bandoeng masih intens pergerakan militer Belanda yang sebagian telah dipulangkan ke Belanda. Setelah mulai aman Kolonel Abdul Haris Nasution pindah ke Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-01-1950).

Kepala Penerbangan Sipil, Ir. Tarip Abdullah Harahap mulai bekerja keras untuk merehabilitasi lapangan terbang yang ada lantaran banyak kerusakan selama perang dan juga melaksanakan renovasi (perluasan bandara) biar memenuhi persyaratan penerbangan internasional. Untuk itu Ir. Tarip Abdullah Harahap segera bergegas dengan anak buah ke Australia untuk mempelajari seluk beluk penerbangan sipil dan syarat-syarat yang akan dipenuhi untuk kelayakan lapangan terbang untuk pesawat (penerbangan) sipil. Lapangan terbang Magoewo dan lapangan terbang Tjililitan (kini Halim) mendapat high priority.

Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai Kepala Penerbangan Sipil dari Kementerian Perhubungan memimpin pribadi untuk melaksanakan tugas-tugas investigasi terhadap sejumlah lapangan terbang di Indonesia yang dimulai di Tjililitan dan Magoewo. Namun tidak semua lapangan terbang sanggup dengan gampang dilakukan terutama di Makassar sehubungan dengan masih adanya properti militer Belanda. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-05-1951: 'Ir. Tarip Abdullah Harahap di Makasser, Kepala Departemen Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan berdiskusi dengan tentara dan manajemen sipil, menyangkut rencana untuk memulihkan kekerabatan udara antara Djakarta dan Ambon melalui Makasser’. Lapangan terbang di Makassar dan Ambon yakni lapangan terbang pertama di luar Jawa yang mendapat rehabilitasi dan renovasi untuk keperluan penerbangan sipil. Setelah itu gres Medan sebagaimana dilaporkan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952: Di Medan telah dibuat sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melaksanakan studi persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap (ketua)’.

Upaya rehabilitasi dan renovasi lapangan terbang (vliegveld) di banyak sekali kota tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah yang telah membeli (mengakuisisi) sebanyak delapan pesawat jenis Convalrs (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 29-09-1950). Disebutkan bahwa Dr. E. Van Konijnenburg, Direktur (maskapai) Garuda menyampaikan bahwa akan melaksanakan akuisisi delapan Convairliners, (maskapai) Garuda akan mengeluarkan anggaran total lebih dari 70 juta Ruplah’. Pesawat jenis Convalrs mempunyai tubuh yang lebih besar dari jenis Dakota.

Tidak menyerupai perusahaan strategis menyerupai Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandoeng yang harus dimiliki dan dipimpin oleh anak negeri (Ir. AFP Siregar), perusahaan-perusahaan non strategis pemerintah beberapa diantaranya dalam bentuk joint venture (Garuda dengan KLM) dan pengelolaannya diberikan kepada profesional gila menyerupai Direktur Garuda, Dr. E. Van Konijnenburg, Hingga awal tahun1951 jumlah armada Garuda Indonesian Airways sudah mencapai 38 buah pesawat (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 05-05-1951). Disebutkan bahwa Mr van Houten, wakil administrator Garuda Indonesla Airways telah mengumumkan bahwa GIA dikala ini memilik 8 buah Convalrs, 22 buah Dakota dan 8 buah Catalinas’. Pesawat GIA jenis Convalrs secara sedikit demi sedikit akan menggantikan jenis Dakota (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-12-1952).

Sementara Perusahaan Garuda Indonesian Airways (GIA) terus meningkatkan kapasitasnya sebagai operator tunggal di Indonesia, Kementerian Perhubungan cq Direktorat Penerbangan Sipil yang dipimpin Ir. Tarip Abdullah Harahap terus bekerja keras untuk membenahi secara sedikit demi sedikit sejumlah lapangan terbang di banyak sekali kota. Lapangan terbang Tjililitan dan lapangan terbang Magoewo mendapat perhatian khusus lantaran dua lapangan terbang ini menghubungkan jalur udara paling intens. Sementara itu, rehabiitasi dan renovasi lapangan terbang lainnya terus dilakukan.

Java-bode:nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954: 'Ir. Harahap dari direktora penerbangan sipil, lapangan terbang di Den Pasar, Sumbawa. Waingapu, Kupang, Maumere dan Makassar dan lainnya menginspeksi bandara di pecahan timur Indonesia'.

Itulah riwayat lapangan terbang Magoewo dan insiden jatuhnya pesawat terbang Indonesia di akrab lapangan terbang Magoewo yang mana salah satu pendekar Indonesia yang gugur yakni Adi Soetjipto. Dalam perkembangannya, nama lapangan terbang Magoewo diresmikan dengan nama lapangan terbang (bandara) gres dengan menabalkan nama Adi Sucipto.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (28): Lapangan Terbang Maguwo Dan Adi Sucipto; Informasi Pesawat Dakota Dari Singapura 1947 Di Jogjakarta"

Posting Komentar