Sejarah Yogyakarta (22): Sejarah Masjid Di Yogyakarta; Masjid Syuhada Indonesia, 1950 Dan Masjid Kauman Jogjakarta, 1779
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ada dua masjid besar di Yogyakarta yang mempunyai nilai sejarah penting, yaitu Masjid Kauman dan Masjid Syuhada. Masjid Kauman dibangun tahun 1779 ketika pedagang-pedagang Islam (Arab) bermukim dan semakin banyak di Jogjakarta. Pemukiman pedagang-pedagang Arab (muhajirin) tersebut disebut kauman. Sedangkan Masjid Syuhada dibangun tahun 1950 ketika orang-orang Belanda semakin hilang dan kembali ke Belanda pasca ratifikasi kedaulatan Indonesia. Nama masjid disebut untuk menghormati para syuhada Indonesia yang gugur dalam melawan Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Ada dua masjid besar di Yogyakarta yang mempunyai nilai sejarah penting, yaitu Masjid Kauman dan Masjid Syuhada. Masjid Kauman dibangun tahun 1779 ketika pedagang-pedagang Islam (Arab) bermukim dan semakin banyak di Jogjakarta. Pemukiman pedagang-pedagang Arab (muhajirin) tersebut disebut kauman. Sedangkan Masjid Syuhada dibangun tahun 1950 ketika orang-orang Belanda semakin hilang dan kembali ke Belanda pasca ratifikasi kedaulatan Indonesia. Nama masjid disebut untuk menghormati para syuhada Indonesia yang gugur dalam melawan Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Masjid Kaoeman di Jogjakarta, 1874 |
Ada perbedaan waktu selama 171 tahun ketika Masjid Kauman didirikan tahun 1779 dengan Masjid Syuhada didirikan tahun 1950. Selama itu pula banyak kejadian penting di Jogjakarta dalam kaitannya dengan penjajahan. Satu yang terpenting yaitu perang yang dilancarkan oleh para kaum ulama yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). Bagaimana itu sanggup terhubung satu sama lain? Mari kita telusuri.
Masjid Syuhada: Masjid Para Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim Harahap mengundang sejumlah pihak di kantor Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta. Hal yang ingin dibicarakan yaitu soal rehabilitasi dan rekonstruksi nasional. Dua hal pokok yang dibicarakan yaitu pembangunan kemudahan sosial diantaranya masjid dan melisting para p0juang dan menyatukannya dalam satu makam pahlawan. Inilah awal mula pembangunan masjid gres di Jogjakarta yang kemudian namanya disebut Masjid Syuhada. Lokasi yang dipilih yaitu di wilayah lingkungan elit Eropa/Belanda (sejak tahun 1923 ketika jalan jalan masuk dan jembatan dibangun dari Jalan Malioboro).
Abdul Hakim Harahap yaitu satu-satunya di dalam kabinet RI di Jogjakarta dari Partai Masyumi. Abdul Hakim Harahap yaitu satu-satunya di dalam kabinet yang ikut bergerilya dalam perang kemerdekaan. Abdul Hakim Harahap sebagai Residen Tapanoeli memimpin para pejabat pemerintah di Tapanoeli di pengungsian untuk membantu Tentara Nasional Indonesia dalam perang melawan Belanda (Agresi Militer Belanda II). Setelah gencatan senjata, dalam persiapan ke KMB di Den Haag, Abdul Hakim Harahap gres menarik napas. Banyak Tentara Nasional Indonesia dan pejabat yang gugur dalam perang, tidak terhitung jumlahnya penduduk yang ikut mendukung perlawanan. Abdul Hakim Harahap, mantan pejabat ekonomi di kala kolonial Belanda yang menguasasi tiga bahasa aneh (Belanda, Inggris dan Prancis) menjadi penasehat ekonomi ke KMB. Sepulang dari Den Haag, Abdoel Hakim Harahap eksklusif ke ibukota RI di Jogjakarta. Abdoel Hakim Harahap termasuk yang tidak oke dengan isi perjanjian KMB dengan membentuk RIS. Di Jogjakarta, Abdul Hakim Harahap diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri RI yang diresmikan pada tanggal 21 Januari 1950.
Mendengar kabar bahwa di Jogjakarta (wilayah RI) tengah digodok persiapan pembangunan Masjid Syuhada oleh sebuah kepanitiaan, di Djakarta (ibukota RIS) pada tanggal 10 Juli muncul cita-cita untuk membangun sebuah masjid di Bandoeng (wilayah federal). Masjid ini disebut Masjid Agoeng. Tidak diketahui siapa yang mengusulkan tetapi yang terang kepanitiaan pembangunan Masjid Agoeng di Bandoeng yaitu Ir. H. Mohamad Enoch. Desain masjid tersebut yaitu desain masjid yang pernah dibuat oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 (yang ketika itu Soekarno masih kuliah di THS Bandoeng).
Usulan pembangunan Masjid Agoeng di Bandoeng besar dugaan yaitu Ir. Soekarno (Presiden RIS di Djakarta). Dugaan ini menurut kepanitiaan dibuat di Djakarta dan desain yang dipakai yaitu karya Ir. Soekarno sendiri. Dalam kepanitiaan, Ir. H. Mohamad Enoch berkoordinasi dengan Presiden Soekarno.
Jogjakarta dan Tapanoeli yaitu wilayah RI paling setia (Republiken). Sementara Sumatra Timur yaitu salah satu wilayah federal yang disebut Negara Sumatra Timur (negara boneka Belanda). Namun di Negara Sumatra Timur jumlah Republiken dan jumlah pendukung federalis cukup berimbang. Dalam hitungan bulan sesudah berdirinya RIS, mulai ada kasak-kusuk antara Jogjakarta (Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim) dengan dua tokoh Republiken di Medan yaitu Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. GB Joshua Batubara.
Bulan April para Republiken di Medan melaksanakan kongres di Medan yang disebut Kongres Rakyat. Hasil kongres ini mengusulkan ke sentra semoga di Negara Sumatra Timur diadakan Referendum. Isi Referendum yaitu Bubarkan Negara Sumatra Timur dan Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Djakarta molohok. Yang paling kaget yaitu Perdana Menteri RIS Mohamad Hatta, tetapi tidak demikian dengan Presiden Soekarno. Boleh jadi lantaran Ir. Soekarno belum usang dari Medan dari tempat pengasingan di Parapat, diasingkan semenjak Agresi Militer II di Djogjakarta Desember 1948.
Utusan kelompok federalis tiba ke sentra menemui Perdana Menteri Mohamad Hatta untuk menghalang-halangi desakan referendum. Beberapa kali Mohamad Hatta berkilah dan mengulur-ulur waktu untuk referendum tetapi desakan para Republiken untuk referendum semakin menguat. Akhirnya Djakarta (ibukota RIS) tak berdaya dan menyetujui referendum. Tentu saja Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta Abdul Hakim Harahap tersenyum. Dalam referendum, Republiken menang sebagai konsekuensinya Negara Sumatra Timur dibubarkan dan bentuk yang berlaku di Sumatra Timur yaitu Negara Kesatuan (RI).
Situasi terbaru yang terjadi di Sumatra Timur menciptakan tempat lain terbangun. Kondisi terbaru di Sumatra Timur menjadi referensi wilayah-wilayah federal lainnya untuk kembali ke negara kesatuan. Pusat (Pemerintahan RIS di Djakarta) kewalahan dan kemudian muncul desakan dari aneka macam kalangan terutama dari KNIP/parlemen untuk kembali ke negara kesatuan. Lalu pemerintah tetapkan RIS dibubarkan dan dibuat NKRI sebelum tanggal 17 Agustus 1950. Kabinet Mohamad Hatta kemudian dibubarkan dan Presiden Soekarno menunjuk Mohamad Natsir untuk menyusun kabinet baru.
Sebagaimana halnya Abdul Hakim Harahap, Mohamad Natsir juga yaitu pemimpin Masjumi. Inilah kemenangan Masjumi yang ingin 100 persen RI (NKRI). Presiden Soekarno tentu saja lebih menyukai NKRI daripada federalis (RIS). Pemikiran ini sudah muncul ketika Soekarno sesudah selesai dipilih dan disumpah sebagap Presiden RIS di Djogjakarta pidato (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 19-12-1949). Satu kalimat penting yang terdapat dalam pidato Sukarno ini adalah: ‘...Kemarin saya dipilih oleh dewan perwakilan Republik Indonesia dan negara-negara federal di RIS. Akan lebih baik kalau pemilihan yang lebih eksklusif sanggup diselenggarakan oleh rakyat, yang dipilih eksklusif oleh rakyat... Selama lebih dari tiga puluh tahun saya telah mengembangkan perasaan nasional rakyat kita. Saya yaitu pelayan rakyat, bukan tuan mereka. Itulah sebabnya saya berjanji untuk melayani rakyat dan negara saya... saya menyampaikan bahwa semua harus dinamis. Semuanya (harus) mengalir, tidak ada yang tetap, Itulah mengapa RIS bukan tujuan simpulan kita. Semoga Tuhan memberkati kita dan menimbulkan kita bangsa yang hebat....’.
Bagian kalimat terakhir Sukarno inilah yang diduga diterjemahkan secara eksplisit oleh para tokoh Republiken di Sumatra Timur (Dr. Djabangoen Harahap dan Mr. GB Joshua Batubara) yang tentu saja didukung Jogjakarta (Wakil Perdana Menteri RI Abdul Hakim Harahap). Sebagai catatan, Dr. Djabangoen Harahap, Mr. GB Joshua Batubara dan Abdul Hakim Harahap sudah saling kenal lama. Pada tahun 1930 Dr. Djabangoen Harahap kepala divisi penyakit kusta di rumah sakit di Medan dan Abdul Hakim Harahap kepala cabang bea dan cukai Medan yang juga anggota dewan kota Medan mendirikan klub sepakbola Sahata yang juga keduanya sekaligus pemain. Pada tahun 1936 kepala sekolah Joshua Institute Mr GB Joshua Batubara menjadi anggota dewan kota ketua klub Sahata didelegasikan Abdul Hakim Harahap kepada GB Joshua Batubara sehubungan dengan dipindahkannya Abdul Hakim Harahap tahun 1937 menjadi pejabat ekonomi di West Java di Bandoeng. Ketiganya berasal dari Padang Sidempoean.
Nama Abdul Hakim Harahap tidak terdapat dalam Kabinet Natsir, lantaran Abdul Hakim Harahap dipersiapkan untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara. Kementerian Dalam Negeri masih bekerja di Sumatra Timur dan Tapanoeli untuk proses integrasi menjadi Provinsi Sumatra Utara. Meski demikian, urusan pembangunan Masjid Syuhada di Jogjakarta tetap berjalan lancar lantaran sudah beberapa bulan sebelumnya dibuat kepanitiaan yang dipimpin oleh Wali Kota Jogjakarta, Mr. Soedarisman. Abdul Hakim Harahap sendiri masih berada di Jogjakarta.
Pada tanggal 21 September 1950 ada empat menteri (terakhir) yang dilantik di Djakarta, termasuk Menteri Dalam Negeri Mr. Assat (mantan Presiden RI di Jogjakarta). Setelah dilantik, kunjungan pertama ke tempat yang dilakukan Mr. Assat yaitu Jogjakarta. Besar dugaan Mr. Assat ke Jogjakarta lantaran semata-mata alasan peletakan watu pertama pembangunan Masjid Syuhada. Boleh jadi lantaran rekan-rekannya sesama Republiken, masih banyak yang berada di Jogjakarta menyerupai Abdul Hakim Harahap (pemimpin Masjumi). Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat (Partai Sosialis Indonesia) didampingi oleh Menteri Keuangan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara (pemimpin Masjuimi).
Sementara persiapan pembangunan Masjid Agoeng di Bandoeng masih digodok, pada tanggal 25 September di Jogjakarta diadakan peletakan watu pertama untuk pembangunan Masjid Sjuhada. Acara peletakan watu pertama ini dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat dan Menteri Keuangan Mr. Syafroeddin Prawiranegara yang didampingi oleh Wali Kota Jogjakarta Mr. Soedarisman. Selain itu program ini juga dihadiri oleh perwakilan dari aneka macam kantor pemerintah dan organisasi. Mr. Assat melaksanakan peletakan watu pertama. Dalam program ini surat/pesan Presiden Ir. Soekarno dibacakan oleh Kepalda Daerah Jogjakarta, Pakoe Alam.
Sultan Hamengkoeboewono tentu saja tidak sanggup hadir dalam program ini. Boleh jadi lantaran kesibukan di Djakarta. Sebagaimana diketahui Sultan Hamengkoeboewono yaitu Wakil Perdana Menteri dan juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Ketidakhadiran Sultan Hamengkoeboewono sepertinya sudah cukup terwakili oleh Pakoe Alam sebagai tokoh masyarakat Jogjakarta. Sultan Hamengkoeboewono yang juga bertindak sebagai Koordinator Pertahanan (kini semacam Menko) dan Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Perang RI sedang membicarakan persiapan pemindahan Kementerian Pertahanan dari Djakarta ke Bandoeng. Dua pejabat ini sangat super sibuk sehubungan dengan dievakuasinya semua militer Belanda yang berada di seluruh Indonesia termasuk kaburnya Westerling dan masalah Daroel Islam di Preangarer. Pada berikutnya Wakil Perdana Menteri Sultan Hamengkoe Boewono ke Bali terkait dengan adanya kerusuhan sebelumnya.
Dengan demikian sah Masjid Syuhada mulai dibangun. Batu pertama pembangunan sudah diletakkan. Itu terjadi tidak usang sesudah euforia NKRI. Proklamasi NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950 menandai semua orang Belanda harus kembali ke Belanda. Perjuangan para Republiken selesai sudah. Pembangunan Masjid Syuhada yaitu tonggak penghormatan kepada para p0juang yang gugur (syuhada) di medan perang selama perang kemerdekaan (1945-1949). Itulah riwayat awal pembangunan Masjid Syuhada di Jogjakarta.
Pada tanggal 28-09-1951 ketika Presiden Soekarno diundang UGM untuk mendapatkan gelar doktor honoris causa di Jogjakarta menyempatkan diri (di luar protokoler) melihat pembangunan Masjid Syuhada. Uniknya ketika Soekarno melihat berkeliling seputar pembangunan masjid, para pekerja tidak mengetahui bahwa yang berada di bersahabat mereka yaitu Presiden RI.
Pada tanggal 14-09-1952 di Djakarta, Pakistan melalui kuasa perjuangan (semacam dubes) menyumbangkan 24 karpet untuk Masjid Sjuhada di Jogjakarta dalam suatu upacara singkat di Kementerian Luar Negeri. Dalam upacara ini disebutkan Masjid Syuhada di Jogjakarta akan dibuka (diresmikan) pada tanggal 20 September yang mana disebutkan Presiden Sukarno akan hadir.
Tentu saja dalam pelantikan ini Sultan Hameng Koeboewono tidak sanggup hadir di Jogjakarta. Hal ini lantaran di Djakarta Sultan Hameng Koeboewono (Menteri Pertahanan) tengah menghadapi kritik yang dilancarkan Kolonel Bambang Soepeno terhadap kebijakan Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Sultan Hameng Koeboewono. Kolonel Bambang Soepeno mengirim surat ke DPR yang diterima oleh Wakil Ketua Parlemen Mr. Tamboenan. Kisruh ini berujung dengan demontrasi yang dipimpin KASAD Abdul Haris Nasution ke istana tanggal 17 Oktober 1952 semoga DPR dibubarkan. Akibat demonstrasi ini KASAD Abdul Haris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang (suksesi Jenderal Sudirman) TB Simatoepan dirumahkan. Setelah merumahkan para jenderal tersebut tidak usang kemudian Menteri Pertahanan Sultan Hameng Koeboewono mengundurkan diri.
Pada ketika kembali Partai Masjumi ke pemerintahan, pada Kabinet Burhanuddin Harahap (1955), Abdul Hakim Harahap, Gubernur Sumatra Utara dan Wakil Perdana Menteri RI terakhir di Jogjakarta diangkat menjadi Menteri Negara (urusan pertahanan). Abdul Hakim Harahap memanggil pimpinan dua kubu militer yang terus berseteru: kubu yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan kubu yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis. Kesapakatan yang dibuat Abdul Hakim Harahap yaitu tetapkan Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution kembali sebagai KASAD. Presiden Soekarno sedikit gundah menuver yang dibuat Abdul Hakim Harahap, tetapi Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menjamin situasi akan kondusif. Mantan Menteri Pertahanan, Letnan Jenderal Sultan Hameng Koeboewono mulai tersenyum. Terbukti antara Soekarno dan Abdul Haris Nasution tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Hanya perisitiwa G 30 S/PKI 1965 yang memisahkan keduanya. Itulah riwayat para p0juang-p0juang Republiken dari Jogjakarta.
Pembangunan Masjid Syuhada yaitu simpulan keberadaan orang Eropa/Belanda dan simpulan dari penjajahan. Sebaliknya pembangunan Masjid Kaoeman dilakukan ketika VOC/Belanda orang-orang Eropa/Belanda merangsek dari Soeracarta ke Djocjocarta, suatu fase yang mana VOC/Belanda mulai membangun pemerintahan (koloni) di Djocjocarta. Saat itu wilayah Soeracarta dan Djocjocarta di bawah satu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Residen yang berkedudukan di Soeracarta (Solo). Untuk sekadar catatan: Kraton Cartasoera dan benteng VOC/Belanda dipindahkan tahun 1745 ke tempat yang gres yang kemudian dikenal sebagai Soeracarta (Solo).
Kota Djocjocarta (1771) |
Seiring dengan pembangunan Kraton Jogjakarta dan perkembangan para pedagang-pedagang dari Semarang terutama Arab dan Tionghoa juga mulai menyebar ke lingkungan Kraton Jogjakarta. Basis perdagangan mereka di pedalaman selama ini berada di Cartosoera/Soeracarta dan ibukota Mataram usang (Kota Gede). Sultan Jocjocarta menempatkan pemukimanan para pedagang ini di luar pagar (lihat Lukisan 1771). Pedagang-pedagang Arab di sisi pagar sebelah barat dan para pedagang Tionghoa di sisi timur pagar. Area pemukiman Arab ini kemudian berkembang dan disebut (perkampongan) Kaoeman; area pemukiman Tionghoa ini juga bekembang dan disebut kampong Tjina.
Peta Fort Vredeburg 1893 |
Tidak diketahui kapan loji ini dibangun. Yang terang dibangun sesudah pembangunan Kraton Jogjakarta dan sesudah terdapatnya pemukiman Tionghoa dan pemukiman Arab. Sebab intinya pedagang-pedagang Arab dan Tionghoa yaitu juga biro (pedagang) bagi pedagang VOC/Belanda di loji (benteng). Lokasi dimana loji ini dibangun sempurna berada di sisi timur jalan ke utara dari pintu gerbang kraton. Logi ini kelak di kala Pemerintahan Hindia Belanda (pasca perang Pengeran Diponegoro) direnovasi sehingga bentuknya menjadi menyerupai yang tampak sekarang.
Peta Aloon-aloon kraton dan masjid (1833) |
Setelah pagar kraton dimundurkan dan terbentuk aloon-aloon, perkampongan Tionghoa tampak berada terpencil di sudut aloon-aloon arah timur utara. Batas antara perkampongan Tionghoa dan loji yang dibangun oleh VOC/Belanda terbentuk jalan (sebagai pemisah). Jalan ini kemudian menjadi jalan besar yang memotong jalan utama dari arah kraton ke Toegoe. Persimpangan jalan ini menjadi interchange baru. Lokasi logi menjadi berada di hook persimpangan jalan yang terbentuk tersebut.
Pada kala permulaan Pemerintah Hindia Belanda (setelah VOC dibubarkan) pada tahun 1800an awal, arus pendatang pedagang-pedagang Tionghoa semakin tinggi. Pada kala pendudukan Inggris (1812-1816) perkampongan Tionghoa muncul di utara loji di dua sisi jalan Kraton-Toegoe. Lalu pada kala Pemerintahan Hindia Belanda (kembali sesudah tahun 1816) Residen Docjocarta yang sebelumnya berada di Boeloe (dekat Toegoe ke arah Magelang) dipindahkan ke depan loji/benteng. Pembangunan kantor Residen dimulai dan renovasi besar-besaran terhadap loji dilakukan. Pada ketika ini sudah mulai mengkristal pedagang di dalam satu lokasi yang berdekatan dengan loji. Lokasi sentra transaksi di luar loji ini secara perlahan terbentuk pasar (pasar yang kelak dikenal sebagai Pasar Beringharjo). Semakin populernya pasar gres ini, Pasar Gede (kini Kota Gede) semakin meredup.
Pada kala perang Perang Diponegoro (1825-1830) para pedagang Arab dan para pedagang Tionghoa mengungsi ke Soeracarta dan Semarang. Setelah usai perang, dan situasi dan kondisi kondusif, para pedagang Arab dan Tionghoa kembali lagi bermukim di perkampongan masing-masing. Jumlah pendatang pedagangan Arab dan Tionghoa ini semakin banyak. Demikian juga para investor Eropa/Belanda juga mulai berdatangan. Perkampongan Tionghoa yang berada di sudut aloon-aloon kemudian direlokasi ke perkampongan Tionghoa di bersahabat pasar. Eks perkampoengan Tionghoa yang bersahabat dengan aloon-aloon menjadi pemukiman gres untuk orang Eropa/Belanda. Pemukiman orang-orang Eropa/Belanda juga meluas ke belakang benteng (Fort Vredeburg) yang berdampingan dengan barak-barak militer. Fort Vredeburg lambat laun hanya difungsikan sebagai pertahanan (titik kumpul kalau terjadi perang). Perkantoran pemeritah berkembang di depan benteng atau sekitar Kantor Residen yang berpusat pada simpang empat.
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (22): Sejarah Masjid Di Yogyakarta; Masjid Syuhada Indonesia, 1950 Dan Masjid Kauman Jogjakarta, 1779"
Posting Komentar