Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu Di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Sekarang Ada Nama Pajajaran Dan Siliwangi
* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan gres terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah semenjak ratifikasi kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan gres terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah semenjak ratifikasi kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903) |
Mengapa tidak ada daftar nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang sanggup dibaca pada masa ini? Tentu saja bukan lantaran tidak tersedia data. Masalahnya yakni tidak ada yang tertarik untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu yakni suksesi nama jalan masa kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini yakni filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Mungkin anda berpikir ‘apalah arti sebuah nama jalan?’ Itu bukan pertanyaan sepintas dan sepele. Nama jalan yakni sebuah pertarungan. Ceritanya bukan hanya pada masa ini, bahkan sudah semenjak usang terjadi di era kolonial Belanda. Pada tahun 1912 di Medan perebutan nama jalan antara orang-orang Inggris dengan orang-orang Belanda dan antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Tionghoa. Lalu bagaimana dengan Jogjakarta pada tempo dulu. Pada tahun 1884 orang di Semarang ingin mengganti nama Jalan Ngajogjakarta menjadi Jalan Djogjakarta, lantas apa reaksi orang Jogjakarta. Singkat kata: nama jalan atau perubahan nama jalan ternyata bukan hal sepele. Ikuti hasil penelusurannya.
Nama Jalan Pertama di Jogjakarta
Ketika di Batavia, Buitenzorg, Semarang, Soerabaja, Padang, Bandoeng dan Medan sudah teridentifikasi nama jalan, di Jogjakarta belumlah ada nama jalan. Nama jalan di Jogjakarta gres teridentifikasi pada Peta 1903. Ada beberapa nama yang mengindikasikan nama jalan, yakni: Residentie laan, Kampemen straat, Patjinan, Malioboro, Toegoe, Spoorlaan, Gemb laan dan Ngabean.
Peta Jogjakarta (1890) |
Setelah perubahan dan penetapan nama jalan tersebut, seorang pembaca menulis sebagai berikut (lihat De Sumatra post, 05-06-1912): ‘Terloops. De Hollandsche namen! Hore, nama-nama Belanda ada dimana-mana sekarang! Plang biru dengan huruf-huruf putih yang jelas, kini menghiasi semua sudut dan lekuk jalan kota! Tidak ada lagi nama asing sekarang, hanya nama Belanda, nama Belanda yang kuat! Inlander kini harus terbiasa dengan nama-nama baru. Kita tahu setidaknya tidak ada lagi Djalan Astana, Djalan Bahroe dan Djalan Hettenbach lagi! Kami orang Belanda di Medan, akan mengatakan kepada Inggris sekali, bahwa kami yakni orang Belanda, bahwa kami mencicipi bahasa kami dan kami besar hati akan hal itu, menjadi sangat tinggi..’.
Nama-nama jalan yang sudah diidentifikasi di Jogjakarta ini hampir semuanya berada di jalan utama (hoofdweeg). Jalan utama di Jogjakarta sesuai peraturan perundang-undangan (stadsblad) jalan utama yakni Groote weg yakni jalan nasional mulai (jalan dari arah Magelang) Toegoe, Malioboro, Pantjinan, Residentie dan Ngabean (ke arah Tjilatjap). Nama hanya nama-nama Belanda yang secara eksplisit ditabalkan sebagai nama jalan yang diakhiri dengan strata jalan (weg, straat, laan plus boulevard). Weg yakni hoofdweg (nasional, residentie atau district), Laan yakni jalan yang manis dan ramai. Sementara nama-nama jalan lainnya menyerupai Malioboro dan Patjinan mengindikasikan sekadar nama area.
Peta Jogjakarta (1925) |
Setelah beberapa nama jalan yang pertama, nama-nama jalan gres di luar jalan utama bertambah dari waktu ke waktu. Di sekitar area Kraton (aloon-aloon), nama jalan yang membelah aloon-aloon dari pintu gerbang Kraton disebut Kraton weg. Jalan diagonal dari Kaoeman ke ujun jalan Kraton weg disebut Kaoeman weg. Jalan yang menghubungkan Kraton weg dengan Residentie straat disebut Kadaster straat (diambil dari adanya Landraad di sisi jalan). Sementara di area Eropa/Belanda di sekitar Residetie straat muncul nama Groote Pasar weg (jalan antara benteng dengan pasar). Nama jalan lainnya yakni Kantoor laan, Pandhuis laan dan Lodji Ketjil. Sedangkan di area Petjinan muncul nama jalan Soerjaatmadja, Padjeksan, Majoor laan dan Beska laan.
Tidak menyerupai di kota-kota lain, di Kota Jogjakarta hampir semua nama jalan berbau lokal. Hanya sedikit yang berbau Belanda dan Tionghoa. Nama-nama jalan Belanda, selain Residentie straat, Kampement straat, Kantoor straat yakni Shonsmaker straat, Prinses Juliana laan, Petronellla weg, Langen laan, Kroonprins laan, Hospital weg, Boelevard dan Apotheek weg. Sedangkan nama Tionghoa hanya terhitung Patjinan weg dan Majoor weg.
Permasalahan Nama Jalan di Era Kolonial Belanda
Kota Jogjakarta dalam hal urusan nama jalan boleh dikatakan yakni tuan rumah di kota sendiri. Hal ini berbeda dengan di Kota Medan, yang mana nama-nama lokal telah digantikan dengan nama Belanda dan nama Tionghoa. Bahkan nama yang terkait kesultanan, menyerupai jalan Astana (Istana) tak kuasa dan diganti. Tentu saja nama jalan berbau Inggris juga telah diganti dengan nama Belanda. Kota Jogjakarta dan Kota Medan yakni dua kota dengan nama-nama jalan yang ekstrim.
Satu hal, bila di Medan, Depok, Buitenzorg ditemukan nama Jalan Kartini, di Jogjakarta tidak teridentifikasi. Orang-orang (Belanda) di Semarang keberatan dengan nama jalan Ngajogjakarta dan bersikukuh harus diganti dengan Jalan Djogjakarta (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1884). Orang-orang Jogjakarta yang ada di Semarang tampk keberatan. Namun tidak terang bagaimana akhirnya.
Penamaan nama jalan Belanda yang cukup lebih banyak didominasi tidak hanya di Medan, tetapi juga di Semarang, Bandoeng dan Soerabaja. Perbedaannya, di Medan nama Tionghoa sangat banyak yang jauh lebih banyak dibandingkan kota-kota lain. Di Jogjakarta hanya terhitung dua buah.
Satu nama Belanda yang terbilang kontroversi yakni nama Jalan Max Havelaar. Jelas bahwa di Jogjakarta tidak ada nama Jalan Max Havelaar, tetapi ditemukan di Medan dan Bandoeng. Max Havelaar yakni nama buku Edward Douwes Dekker alias Multatuli, seorang Belanda pembela pribumi terutama di Mandailing en Angkola (Afd. Padang Sidempoean) serta di Banten. Di Medan, tidak hanya nama Max Havelaar yang dijadikan nama jalan, tetapi juga nama tokoh-tokoh dalam buku tersebut juga ditabalkan nama jalan.
Era Kolonial Belanda Berakhir
Pada era pendudukan Jepang, nama-nama jalan berbau Belanda, terutama di Batavia/Djakarta diganti dengan nama berbau Jepang. Nama-nama penggantinya dngan berbau pribumi tidak terpikirkan. Demikian juga pada ketika kemerdekaan Indonesia (1945) perubahan nama jalan juga belum sempat terpikirkan sudah tiba kembali Belanda (di belakang pasukan sekutu/Inggris). NICA mengembalikan nama Jepang ke nama Belanda (ekembali ke nama-nama jalan di era Belanda sebelum pendudukan Jepang). Namun segera sehabis ratifikasi kedaulatan RI terjadi perubahan nama Belanda dan nama Tionghoa secara radikal terutama di kota-kota Batavia, Medan, Soerabaya, Bandoeng, Semarang dan Malang. Heboh di negeri Belanda.
Nama jalan tempo dulu di Jogjakarta |
Sebelum perubahan nama jalan diumumkan oleh pemerintah daerah, pemerintah sentra melalui Menteri Informasi mengumumkan segera perubahan nama Batavia menjadi Djakarta dan nama Buitenzorg menjadi Bogor (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 21-01-1950). Dua nama ini sangat penting lantaran dua kota dimana terdapat istana yang mana kedua kota di era kolonial Belanda sama-sama pernah menjadi ibukota negara (Istana Negara dan Istana Bogor).
Dalam fase transisi perubahan nama masih tampak keraguan, menyerupai nama Oranje Boulevard menjadi Djalan Raja Oranje (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 08-04-1950). Namun dalam perkembangannya, Oranje Boulevard diubah sepenuhnya menjadi Djalan Diponegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1950). Bersamaan dengan perubahan nama menjadi Djalan Diponegoro ini juga berubah nama jalan dan nama taman. Nassau Boulevard menjadi Djalan Imam Bondjol; Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Surapati dan Van Heutzboulevard menjadi Djalan Teuku Umar. Total ada perubahan nama jalan sebanyak 30 buah. Besoknya kemudian diumumkan perubahan nama-nama jalan yang gres sebanyak 30 buah lagi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1950). Dengan demikian nama jalan yang telah diubah menjadi 60 buah. Nam-nama jalan yang gres diubah tersebut antara lain: Molenvliet West menjadi Djalan Gadjah Mada; Molenvhet Oost menjadi Djalan Hajam Wuruk; Schoolweg menjadi Djalan Dokter Sutomo; Sipayersweg menjadi Djalan Dokter Wahidin; Nieuwe weg van Gambir Selatan (Kebonsirih) menjadi Djalan Thamrin; Rijswrjkstraat menjadi Djalan Modjopahit; Nieuwe Vliegveldlaan menjadi Djalan Angkasa; Djalan Kemajoran menjadi Djalan Garuda; Eyckmanlaan menjadi Djalan Kimia; Boxlaan menjadi Djalan Borobudur; Bontiusweg menjadi Djalan Mendut; dan Duracusweg menjadi Djalan Prambanan. Beberapa hari kemudian diumumkan kembali perubahan nama jalan sebanyak 30 buah (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1950). Jumlah nama jalan/taman yang berubah telah mencapai sebanyak 90 buah. Nama-nama jalan yang berubah tersebut antara lain: Drukkerijweg menjadi Djalan Percetakan Negara dan Landhuisweg menjadi Djalan Tambak.
Selain di Djakarta, perubahan nama jalan juga dilakukan di Bandoeng, Semarang, Soerabaja dan Malang. Tentu saja di kota-kota lainnya dilakukan perubahan termasuk Jogjakarta. Hanya saja tidak terlaporkan. Hanya perubahan nama jalan di kota besar yang menjadi good news, bad news. Perubahan nama ini menjadi heboh di Belanda, Semua surat kabar di Belanda melaporkannnya.
Nama-nama jalan di Bandung juga sebagian besar diubah. Perubahan nama jalan ini sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat, efektif gres berlangsung pada tahun 1950. Groote weg menjadi Jl. Raya Barat, Jalan Raya dan Jl. Raya Timur. Dalam perkembangannya Jl. Raya Timur menjadi Jl. Asia Afrika. Nama-nama tokoh Belanda semuanya diubah. Tokoh lokal yakni walikota Bandung pertama ditabalkan namanya sebagai Burgemeester Coops menjadi Jl. Padjadjaran, Burgemeester Kuhr weg menjadi Jl. Purnawarman. Sejumlah tokoh nasional menyerupai Idenburg weg (Jl. Sukabumi), Daendels weg (Jl. Jakarta), Heutz weg (Jl. Serang), De Stuers weg, Both weg (Jl. Teratai), Rochussen weg (Jl. Kacapiring). Ruyterlaan (Jl. Martadinata). Jika mundur ke belakang ada nama-nama tokoh penting lainnya, menyerupai Riebbeek weg (menjadi Jl. Pacar), Houtman (Jl. Tjioedjoeng) dan Tasman weg (Jl. Cilaki). Hollandia straat (nama kapal ekspedisi Cornelis de Houtman). Bragaweg tetap dipertahankan. Nama jalan lain yang tetap dipertahankan yakni Boscha dan Pasteur.
Di Soerabaja, nama-nama jalan juga telah diubah. Berg/Societeit straat diubah menjadi Jalan Veteran, Heereen Straat menjadi Jalan Rajawali; dan Chinese voorstraat menjadi Jalan Karet. Sedangkan Jalan Handelstraat yang sering dipertukarkan dengan Jalan Kembang Jepoon tetap dipertahankan sebagai Jalan Kembang Jepun (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 25-03-1950). Dalam penamaan gres nama jalan di Soerabaja ini, di wilayah Sawahan nama-nama jalan diberi menurut nama-nama gunung. Di wilayah Udjung diberi nama yang terkait lautan, di wilayaj Pesapen terkait dengan kapal; di wilayah Kebalen nama-nama jalan menurut nama-nama negara bab di Semenanjung; di wilayaj Jembatan Merah terkait dengan nama-nama burung; di wilayah Kembangan demgan nama-nama rempah; di Patjarkoening dengan nama-nama candi. Di Kembang Koening dengan nama-nama tokoh menyerupai Mangkoenegoro dan Chairil Anwar; di wilayah Darmo dengan nama-nama satria nasional menyerupai Dr. Soetomo, MH Thamrin dan WR Supratman
Perubahan nama jalan di Medan yang paling dramatis. Sudah niscaya nama Belanda diganti semua. Diantaranya yakni Wilhelmina straat dipecah dan namanya diubah menjadi jalan Sutomo dan jalan Karimun. Prons Hendrik straat menjadi jalan Bintang, Juliana straat menjadi jalan Asia, Louise straat menjadi jalan Gandhi, Emma straat menjadi jalan Jose Rizal, Frederik Hendrik straat menjadi jalan Tilax, Mauri straat menjadi jalan Peladju, Adolf straat menjadi jalan China Town, Amalia straat menjadi jalan Sun Yat Sen.
Pergantian juga terjadi pada nama-nama Tionghoa dan nama-nama Kling. Di tempat Pecinan, jalan Tapekong menjadi jalan Suwarna. Nama yang sebelumnya jalan Markt menjadi jalan Perdagangan.dan jalan Kerk menjadi jalan Gereja (alih bahasa saja), jalan Tjong A Fie menjadi jalan Tjakrawati, jalan Peking menjadi jalan Palangkaraya, jalan Luitenant menjadi jalan Bandung, jalan Tjong Jong Hian menjadi jalan Bogor, jalan Kapitent menjadi jalan Pandu, jalan Hong Kong menjadi jalan Cirebon, jalan Hakka menjadi jalan Nusantara, jalan Canton menjadi jalan Surabaya, jalan Shang Hai menjadi jalan Surakarta dan sebagainya. Di tempat Kling, jalan Calcutta diubah menjadi jalan Palang Merah, jalan Madras menjadi jalan Djenggala, jalan Negapatam menjadi jalan Kediri, jalan Ceylon menjadi jalan Muaratakus, jalan Colombo menjadi jalan Taruna, jalan Bombai menjadi jalan Pagaruyung. Masih di tempat Kling, jalan Kroesen menjadi jalan Teuku Umar, jalan Poedpad menjadi jalan Candi Biara. Jalan Hindu tetap dipertahankan. Moskee straat hanya diterjemahkan saja menjadi jalan Masjid.
Nama-nama yang terkait kesultanan juga diubah. Sultans weg menjadi jalan Slamet Riyadi, jalan Radja menjadi jalan Sisingamangaradja, Soesman weg menjadi jalan Lubuk Raya, Tamiroe weg menjadi jalan Martimbang, Ottoman weg menjadi jalan Singgalang, Sultans weg menjadi jalan Masjid Raya, S. Mahmoed weg menjadi jalan Sorik Marapi. Untuk jalan Mahkamah tetap dipertahankan tetapi Paleis weg diganti menjadi jalan Pemuda.
Dalam perubahan ini tokoh-tokoh nasional muncul. Saat itu gres beberapa yang dikategorikan sebagai satria nasional, menyerupai Sisingamangaradja, Teuku Umar, Tjokro Aminoto, Sudirman, Imam Bondjol dan sebagainya. Tokoh-tokoh nasional yang sudah meninggal menyerupai Slamet Ryadi, Sutomo, A. Rivai, Tjut Nya’ Dien. Amir Hamzah, A. Dahlan, Chairil Anwar, Madong Lubis, Saman Hudi, Suryo, Tjipto, Masdulhak. Juga tokoh-tokoh masa lampau menyerupai Hayam Wuruk, Gajah Mada, Hang Lekir, Hang Jebat, Hang Tuah dan Hang Kesturi. Tokoh-tokoh negara sobat juga diabadikan menyerupai jalan Gandhi, jalan Jose Rizal, jalan Sun Yat Sen.
Last but not least. Max Havelaar laan tidak diganti tetapi digeser namanya dengan jalan Multatuli. Para tokoh dalam buku Edward Doewes Dekker tersebut juga tetap dipertahankan: Saidjah, Badoer dan Adinda. Masih di seputar tempat ini nama-nama jalan yang diambil dari nama bunga tetap dipertahankan: Kenanga, Melati, Melur, Teratai. Kedalam kategori ini juga termasuk jalan Listrik (Electriciteit laan).
Mungkin kedengarannya aneh, Edward Doewes Dekker alias Max Havelaar alias Multatuli yang jelas-jelas berkebangsaan Belanda namanya tetap ditabalkan bahkan namanya berada diantara tempat nama-nama satria dan tokoh nasional. Edward Doewes Dekker meski dibenci orang Belanda tetapi bagi penduduk di Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan) yakni seorang pahlawan. Edward Doewes Dekker yakni orang yang mengadvokasi dalam usaha penduduk untuk bebas dari tanam paksa pada awal kolonialisme Belanda. Akibat advokasi tersebut Dekker dipecat dan dibentuk terlunta-lunta di Padang tahun 1844.
Selain itu, juga terdapat nama-nama kayu dan nama gunung tetap dipertahankan. Beberapa nama jalan yang tetap dipertahankan yakni jalan Djaparis, jalan Antara, jalan Amaliun, jalan Utama dan jalan Puri.
Perubahan Nama Jalan Masa Kini
Pada masa ini perubahan nama jalan tentu saja masih terjadi. Namun perubahan nama tidak selalu mulus menyerupai di Jakarta dan Medan. Yang agak sedikit mulus yakni perubahan nama jalan di Yogyakarta, menyerupai Jalan Ahmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo dan Jalan AM Sangaji menjadi Jalan Mangkubumi. Di Bogor juga terkesan mulus ketika nama jalan gres diperkenalkan, yakni: Jalan Andi Hakim Nasution.
Beberapa waktu yang kemudian di Jakarta ada wacana untuk mengganti nama-nama Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Medan Merdeka Selatan dan Jalan Medan Merdeka Timur. Namun wacana ini redup. Lalu ada proposal perubahan nama Jalan Buncit menjadi nama jalan Abdul Haris Nasution, tetapi itu sejauh ini belum terealisasikan. Di Medan muncul penabalan kembali nama Jalan Tjong Jong Hian, namun itu tidak sanggup direalisasikan.
Satu hal yang menarik perhatian baru-baru ini yakni perubahan nama jalan di Bandung, di Surabaya dan di Yogyakarta lantaran saling terkait. Di Yogyakarta diperkenalkan nama jalan baru: Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi. Juga di Yogyakarta diperkenalkan nama jalan Brawijaya dan Majapahit. Sehubungan dengan itu di Bandung diperkenalkan nama jalan baru: Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Sementara di Surabaya diperknalkan nama jalan baru: Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda.
Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa nama-nama jalan di jalan utama (hoofdplaat) Jogjakarta sering gonta-ganti. Kini jalan utama tersebut urutannya menjadi: Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo dan Jalan Pangurakan. Semntara pada masa lampau (saat awal penamaan jalan) cara pandangnya dengan urutan sebagai berikut: Jalan Kraton, Jalan Kadaster, Jalan Residentie, Jalan Patjinan, Jalan Malioboro dan Jalan Toegoe.
Satu hal lagi, di Jogjakarta tidak ditemukan nama Jalan Masdulhak Nasution dan Jalan Lafran Pane, padahal dua tokoh ini yakni satria nasional yang justru diusulkan lantaran berjuang di Provinsi DI Yogyakarta. Jalan Lafran Pane hanya ada di Kota Depok dan Jalan Masdulhak Nasution hanya ada di Medan. Lafran Pane yakni pendiri organisasi mahasis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Masdulhkan Nasution yakni penasehat aturan Presiden Soekarno dan Wapres Mohamad Hatta ketika perang kemerdekaan. Ketika Jogjakarta diduduki Belanda tahun 1948 Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D yang pertama diculik Belanda di tumahnya di Kaliurang dan kemudian ditembak mati di Pakem. Atas penembakan ini, PBB murka besar dan meminta Kerajaan Belanda untuk melaksanakan penyelidikan dikarenakan telah membunuh intelektual muda Indonesia. Masdulhak Nasution, lahir di Sibolga, menerima gelar doktor (Ph.D) pada bidang aturan internasional di Universiteit Amsterdam dengan predikat Cum Laude. Masdulhak Nasution yakni aset dunia, lantaran itu PBB murka besar dan terbukti Kerajaan Belanda segera (dalam satu bulan) melaksanakan pemeriksaan dan pengadilan wacana pembunuhan yang keji tersebut.
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu Di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Sekarang Ada Nama Pajajaran Dan Siliwangi"
Posting Komentar