Cerpen: Dongeng Dari Tapal Batas Karya Kurnia Hadinata

CERITA DARI TAPAL BATAS
Karya Kurnia Hadinata

Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan pengecap api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Seekor elang lembah yang kedinginan berusaha menyelipkan tubuhnya di sebuah lubang kayu, menghindar dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan yang semakin menggigilkan, semakin menyesakkan bulu roma dan menebarkan hawa petakut. Angin cuek yang membekukan rabu, menusuk-nusuk ke tulang berhembus menyesakkan dahan-dahan. Hutan ini begitu perawan, gelap sepi, di dasar lembah yang paling dalam. Hanya gemericik air jatuh di bibir tebing, hujan yang mengibas-ngibas di ujung-ujung kayu memaksa semuanya temaram dalam nuansa dingin. Hanya bunyi hewan penggerek atau kecoak tanah yang merengkuh di telinga. Lembah ini paling dalam, di perut bumi Cendrawasih, tersunyi tak tersentuh sama sekali. Letaknya entah di distrik atau kabupaten apa, kurang terang lantaran kabut yang memangkas jarak pandang. Mungkin arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura. Mungkin juga tidak terlalu jauh dari perbatasan Papua Nugini. Di situlah saya kini tersungkur tak berdaya.

Kulihat tubuhku remuk, tak tentu bentuk, beberapa tulang lenganku tersumbur keluar, darahku telah membeku. Kepalaku, astaga wajahku sungguh hancur. Hampir seluruh kepingan kepalaku tak sanggup dikenali, tak utuh lagi mungkin terhempas ke benda keras. Ya semua serba berantakan, serba hancur, puing demi puing berserakan, sebahagian tergantung di dahan-dahan kayu. Hanya ada baling-baling panjang yang ringsek dan tergolek di tanah satu-satunya menjadi tanda. Ya, helikopter yang kami naiki dari Jayapura itu, helikopter milik korps Tentara Nasional Indonesia AU jenis super puma SA330 tak berdaya melawan kabut kelam dan ganasnya cuaca di pedalaman Papua ini. Setelah didera kabut pekat dan terjangan angin badai, heli bernomor pendaftaran H 3375 yang sudah renta itu oleng dan hilang kendali. Pilot masih sempat melaksanakan kontak beberapa waktu yang kemudian dengan Jayapura namun setelah itu sama sekali terputus.

Cerpen: Cerita Dari Tapal Batas Karya Kurnia Hadinata

Pilot dan copilot heli, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Letnan Satu Penerbang Guntur, sudah tak bernyawa. Keadaan tubuh mereka lebih parah dari aku. Hery tubuhnya tergeletak dengan posisi tertelungkup. Kepalanya remuk dan sebuah besi panjang menancap di dadanya hingga tembus ke belakang. Lebih parah lagi Guntur. Tubuhnya nyaris sama sekali tidak sanggup dikenali, terpotong, terpisah-pisah jawaban diterjang baling-baling heli. Ah, sungguh saya tak bisa menceritakan keadaannya, sangat mengenaskan. Ya saya ingat sewaktu heli oleng tubuhnya terbanting ke luar dan pribadi ditebas baling-baling. Sementara dua lagi temanku sama-sama penempatan di pos pengintaian di Arso, Serka Bambang dan Serka Dodi, mayit mereka tergantung di atas pohon dengan kondisi memiriskan dan tak lagi bernyawa. Hanya bunyi gemerisik bunyi radio HT yang mematahkan daun-daun. Kadang bunyi itu menyatu dengan gemericik tetesan hujan dan semilir angin yang tersasar di sela-sela kayu.

Dari jauh tubuhku mirip melayang, menuju ke rumahku. Waktu mirip diputar balik, saya kembali ke masa silam. Aku melihat ayah dan ibuku tengah menggendongku. Aku ditimangnya, mereka senang akan kelahiranku. Tak terasa tiba-tiba saja saya sudah berada di asrama Secabaku dulu di Padangpanjang. Aku bercanda gurau dengan sahabatku si Letnan Samson alias Ramses dari Medan itu. Tak usang setelah itu gelap bertahta. Tiba-tiba saja saya terbangun dan mendapati Ramses tengah duduk di sampingku di tapal batas ini.

***

Penghujung tahun yang sendu, hujan mengelupas dari langit begitu menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang cuek dan sembab semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung kemudian berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Hujan menciptakan garis-garis langit mirip renda-renda putih yang semakin kabur dari ujung timur. Garis-garis air itu kadang berubah haluan dibawa angin yang semakin terpukul. Ya, hujan yang menaburkan harapan kehidupan dan kelembapan di hutan tropikal, aneka macam macam bibit kehidupan jatuh dari langit kelam yang pekat kelabu. Hujan memelihara bibit demi bibit itu untuk hidup dan menebarkannya di pesona bumi hijau di wilayah pulau Papua ini, di Keerom wilayah paling ujung NKRI ini. Hujan juga menyapa lembut setiap permukaan bumi. Dari sejauh mata memandang hanya pohon-pohon raksasa yang tiada pernah kujumpai di tanah asalku Sumatera paling barat. Di sini, di hutan ini, si wilayah timur ini, pohon-pohon itu menjadi hantu legam, membisu dan mirip merenung dalam kesepian. Di sini semuanya mirip membeku, menyembul ke angkasa terperangah membelah langit bagai tiang-tiang dari perut bumi yang menjulang menunjuk langit. Satu setengah bulan yang kemudian saya dihempaskan perjalanan nasib ke sini. Ya hitungan waktu, tak terasa sudah memasuki bulan kedua saya di sini, di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini.

Di sini orang-orangnya fasih berbahasa Nugini, berbahasa Indonesia, atau bahasa suku setempat. Kadang sulit membedakan mana orang Indonesia atau yang mana orang Nugini. Semuanya serba campur aduk, inikah kehidupan tapal batas itu? Jauh dari hiruk-pikuk kota raya. Warga sekitar perbatasan sering melintas tanpa dokumen. Itu sudah perjalanan tradisi, mereka tidak pernah bawa surat-surat. Batas sebuah negara kadang tidak begitu penting untuk melangsungkan interaksi kehidupan yang telah berjalan sejak leluhur mereka. Mereka tinggal mendiami beberapa daerah berdataran tinggi. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah. Adat-istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang sanggup diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya. Sebahagian mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang dataran rendah anutan sungai.

Kadang kehidupan penduduk yang alami itu mirip mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Mereka masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam, ironis memang. Jika dibandingkan dengan Indonesia wilayah barat terang pembangunan di sini, di pulau matahari terbit ini begitu berjalan pelan. Padahal pulau ini sangat mempunyai kekayaan alam yang tak terkira dan eksotik. Aku sudah tiga hari mengisi pos pengintaian tapal batas ini di distrik Arso. Pos ini hanya ditempati oleh beberapa orang prajurit Tentara Nasional Indonesia saja. Sebelumnya, saya menduduki pos di wilayah distrik Senggi. Jumlah penduduk di kabupaten ini tersebar sedikitnya di 50 kampung dengan jumlah penduduk lebih dari 50 ribu jiwa. Memang prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas sengaja digilir dan ditukar sebagai salah satu cara mengusir kebosanan sekaligus untuk melaksanakan kiprah rutin kami yaitu patroli dan memastikan tidak terjadi apa-apa di wilayah kiprah kami.

Inilah kehidupanku, jauh dari kesan kemewahan, jauh dari kesenangan hidup dan idealnya hidup zaman sekarang. Hidup kulalui seakan sebagai orang yang tengah bersemedi di kesunyian hutan. Bertemankan malam-malam yang dingin, tiada masakan lezat di sini, cuma santapan sederhana, itu tidak lebih. Tiada hal yang berbau kemewahan di sini, semua serba apa adanya. Hidup dalam bayang-bayang kewaspadaan dan rasa kekuatiran. Di sini antara hidup dan mati tipis sekali bedanya. Kadang kita bisa kondusif sewaktu-waktu, kadang ancaman mengancam keadaan bisa berubah buruk. Beberapa waktu kemudian pos di Senggi diserang oleh beberapa orang separatis bersenjata. Tiga prajurit Tentara Nasional Indonesia gugur dalam serangan tiba-tiba di pagi buta itu. Padahal mereka gres ditempatkan beberapa hari. Di sinilah hidup memang harus dijalani, meski terlihat aman, namun sewaktu-waktu bisa berbalik menjadi sangat berbahaya. Sebagai TNI, sebagai prajurit mental kami memang sudah dilatih dan disiapkan untuk terjun dengan medan dan kondisi apa pun.

Inilah kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah lantaran saya ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin saya menjadi tentara, dan untuk itu beliau mau melaksanakan apa pun. Seiring perjalanan waktu kini menjadi tentara sudah menjadi hidupku, dan saya harus mengasihi profesi ini dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Entahlah kadang bermacam-macam kebimbangan terus mendera, tapi itu semua sudah saya bulatkan, lantaran di awal mengenakan seragam ini, hati ini sudah bertekad siap mati membela tanah Pertiwi. Lebih baik pulang membawa nama dari pada gagal dalam menjalankan tugas. Inilah panggilan nuraniku kini menjadi abdi negara, menjadi pahlawan pujian bagi ayahku, bagi keluargaku atau mungkin bagi anak dan istriku kelak.

Kadang kalau dipikir dengan mengenyampingkan rasa patriot dan rasa cinta akan tanah air ini, rasa-rasanya tidak impas apa yang kudapat kini dengan pengorbanan yang sudah diperbuat oleh ayah dan ibuku di kampung. Ya demi melihat anak semata wayangnya gagah berpakaian loreng, menggunakan baret apa pun niscaya ditebusnya. Itulah ayahku, lelaki tegas si cemara angin itu. Ya, memajang foto anak mereka yang tengah berpakaian prajurit di ruang tamu rumah yakni sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi seorang ayah. Kebahagiaan itu terang tidak bisa dibanding-bandingkan dengan harta berlimpah sekalipun. Walau pada alhasil mereka harus terpaksa berpisah dengan anaknya itu bertahun-tahun lamanya, lantaran kiprah anaknya kepada negara. Walau mereka harus siap sewaktu-waktu anaknya itu gugur sebagai syahid dalam melaksanakan tugas.

Aku masih ingat, tiga hektar kebun kopi milik ayah berikut sebuah sepeda motor Honda CB keluaran final 70-an ludes terjual. Ya, kebun kopi yang sangat produktif berbuah itu beserta motor kesayangan ayah terpaksa dijual demi memasukkanku ke sekolah calon tentara di kota Padangpanjang. Awalnya saya menolak lantaran saya tahu dan sadar ayah mempertaruhkan segalanya asal saya bisa masuk sekolah pendidikan tentara itu. Aku berusaha membujuk ayah untuk mengurungkan niatnya semoga tidak menyampaikan uang pelicin.

“Sudahlah, Buyung, kini ini sudah jarang orang masuk Secatam itu tanpa uang pelicin, mumpung ini ada orang yang membantumu, Yung. Ayah ikhlas, dan hutang ayah sudah lunas kelak kalau melihat kau gagah berpakaian loreng itu,” ungkapnya waktu itu.

“Tapi, Yah, saya yakin saya bisa lulus tanpa pakai uang mirip itu. Jumlahnya tidak sedikit, Yah. Lebih baik untuk yang lain saja, untuk menjadi orang sukses itu tidak musti jadi tentara, Yah,” saya lagi-lagi mencoba merajuk membujuk ayah.

“Pokoknya Ayah ingin kau menjadi tentara. Kamu harus bisa membanggakan keluarga, membanggakan almarhum kakekmu, lantaran kamulah anak pria satu-satunya yang Ayah miliki,” balas ayah. Kalau sudah begitu saya niscaya berdasarkan pada ayah, lantaran saya tahu persis watak ayahku: ia orang yang teguh pendirian.

Akhirnya, berkat jasa seorang kenalan ayah itulah saya sanggup diterima. Aku memasuki pendidikan di Secaba itu. Ayahku tersenyum besar hati dengan keberhasilanku itu. Tak tanggung-tanggung, demi kebahagiaannya itu ayah menggelar syukuran yang cukup besar. Semua diundang, mulai kerabat, handai-taulan, orang terkemuka di kampung, hingga anak yatim. Aku tidak bisa menghalangi niat ayah. Biarlah ia menikmati kebahagiaannya sendiri. Itulah kebahagiaan seorang ayah mungkin, kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Sesekali dalam masa pendidikan di barak saya masih sempat pulang kampung. Ayah menciptakan aturan: kalau pulang saya harus mengenakan pakaian seragamku. Kadang saya tertawa geli dibuatnya. Ah, perangai ayah kadang ada-ada saja. Tapi sudahlah, nyatanya saya senang juga kalau ayahku senang. Ia akan menepuk-nepuk pundakku dan tersenyum haru merengkuhku. Rasanya terbayar sudah jerihnya mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk memasukkanku menjadi tentara.

“Kau tahu, Buyung, ayahku, kakekmu, niscaya akan hening di alam sana, apalagi kalau tahu cucunya kini sudah melanjutkan jalan hidupnya, menjadi prajurit pembela merah putih, pembela tanah Pertiwi. Aku berjanji padanya, Yung, kalau saya punya putra saya akan menjadikannya tentara. Hutang janjiku lunas sekarang, Yung. Arwah kakekmu sebagai syahid p0juang kemerdekaan niscaya akan tenang,” ungkapnya dengan serak penuh nada pujian bercampur haru.

Aku tahu ayahku; saya tahu sejarah keluargaku. Ayahku yakni seorang veteran p0juang, yang bersama kakekku ikut berjuang membela bangsa ini mengusir penjajah. Kakekku gugur dalam peperangan di kota Padang. Dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa peluru menembus dada kirinya. Ayah tak pernah lelah menceritakan insiden heroik itu setiap menjelang saya mau tidur. Mungkin dongeng sejarah ayah itu juga yang menguatkan pilihanku untuk menjadi tentara.

Tahun-tahun berikutnya saya dilarutkan dengan masa tugasku. Aku mulai jarang pulang. Tahun pertama saya ditugaskan di sebuah pulau terujung di pulau Sumatera, daerah konflik, yaitu Aceh. Dua tahun saya sempat pulang dan kembali mendapat kiprah di Mentawai. Tidak selang beberapa usang saya ditarik dan dikirim menjaga perbatasan di daerah Nusa Tenggara Timur dan selanjutnya hingga di penghujung timur tanah Pertiwi ini, pulau Papua, atau provinsi Irian Jaya dulu namanya di zaman Orba.

“Berangkatlah, Buyung. Aku besar hati padamu. Jagalah keutuhan bangsa ini. Aku ikhlas, Nak, kalau sewaktu-waktu hanya namamu yang pulang.” Hanya itulah kata-kata ayah yang bisa ia ucapkan. Sama sekali ia tidak menangis. Ia sangat tegar dan sama sekali tiada guratan kesedihan dari wajahnya itu. Berbeda dengan ibu yang tak kuasa menahan tangisnya.

Itulah terakhir kali saya merengkuh tubuh paruh baya, sejak itu saya hanya mendengar suaranya. Terakhir empat bulan yang silam saya kontak dengan ayah di kota Jayapura. Waktu itu ia sempat menanyakan keinginanku untuk menikah. Oh, menikah, ingin sekali saya akan hal itu, menghadiahkan orang renta itu seorang menantu dan sosok jabang bayi yang kelak akan ia timang-timang dan memanggilnya kakek. Tapi lagi-lagi batinku kecut. Gadis mana yang akan tahan mempunyai suami mirip saya ini, tiap sebentar ditinggal pergi suaminya, bisa berbulan bahkan bertahun-tahun tak bertemu suaminya. Mungkin juga harus siap-siap menjadi janda kalau sewaktu-waktu suaminya gugur dalam menjalankan tugas. Lihatlah si Ramses, temanku dari Medan. Baru seminggu menikah beliau harus meninggalkan istrinya, bahkan sudah berumur dua tahun anaknya belum pernah sekali pun ia menggendongnya, cuma mendapat kiriman foto saja. Ya inilah kehidupan tentara itu, dedikasi lebih utama. Ah, saya belum sanggup menyisakan kerinduan kepada gadis mana pun. Biarlah nanti saya pertimbangkan hal itu, lantaran bila sudah tiba waktunya tentu saya akan menikah dan mewujudkan mimpi itu.

***

Sekarang di sinilah aku, bergabung sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia di bawah Kodam XVII Cendrawasih, di perut alam pulau Papua ini, bergumul dengan sepi dan dinginnya pelukan alam hutan tropis. Kadang kehidupan di tapal batas ini sama sekali jauh dari keinginan duniawi dan gelimangan harta. Tuan tahu berapa honor prajurit Tentara Nasional Indonesia berpangkat rendah di negeri ini? Ya, mungkin terlalu kecil bahkan sangat kecil kalau dibandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan, atau dibandingkan dengan negara tetangga kita. Inilah dilemanya, pemerintah kita menuntut profesionalisme TNI, namun di sisi lain pemerintah masih minim dalam meningkatkan kesejahteraan hidup prajuritnya. Lihat saja anggaran pembelian alat keamanan dan pemeliharaan. Sangat minim. Jelas, peralatan Tentara Nasional Indonesia sangat di bawah standar, ketinggalan zaman dan berusia lanjut. Armada pesawat TNI, misalnya, jauh dari standar modern, sudah tua. Tidak mengherankan kalau banyak insiden kecelakaan pesawat militer di negeri ini, dan menelan korban yang tidak sedikit setiap tahun. Berapa banyak prajurit yang gugur sia-sia? Tidak mengherankan pula kalau banyak oknum Tentara Nasional Indonesia yang berprofesi ganda menjadi tentara bayaran, bekingan pejabat dan pengusaha, hingga menjadi berandal kelas kakap dan penjahat negara yang jelas-jelas melanggar kode etik profesi bahkan menanggalkan kesepakatan yang terpatri sewaktu pendidikan dulu. Ya, itulah hidup. Kadang silau harta dan kemewahan yang ditawarkan dunia bisa memutarbalikkan pemikiran siapa pun. Tapi sudahlah, apa peduliku. Lagipula saya hanyalah tentara, ya prajurit yang berusaha menjalankan tugasku sebaik mungkin.

“Sepertinya ada sesuatu yang tengah kaupikirkan, Yung?” Tibatiba saja bunyi Ramses tiba membuyarkan pemikiranku. Ya, beliau berjulukan Ramses Situmorang, sahabatku. Aku bertemu lagi dengannya di sini, satu penempatan kiprah di tapal batas ini. Sudah usang juga kami tidak bertemu. Dia sahabat seangkatanku di Secaba dulu. Semenjak selesai pendidikan kami terpisah lantaran berbeda tempat tugas, tetapi secara kebetulan kami bertemu lagi di tanah Cendrawasih ini. Ya, secara kebetulan mungkin. Keakraban dan jalinan persahabatan yang dulu sempat terpisah kini kembali bersahabat dan terjalin hangat.

“Ah tidak, cuma saya teringat saja dengan ayahku di kampung, Ses,” lirihku lagi.
“Sudahlah, Buyung, memang kadang kita tidak bisa mengelak dari rasa rindu itu, manusiawi memang.” Ia berdiri menyerahkan secangkir kopi panas dan kembali ke ruang pengintaian.

Aku beranjak dari dudukku dan menghampirinya. Mataku menyapu pohon-pohon raksasa hijau yang mengerubungi setiap mata memandang. Dari jauh mendung semakin memaksa cuek menusuk-nusuk dinding demi dinding menara pengintai ini. Bendera merah putih itu semakin berkibar megah dan berwibawa diterpa angin dan rinai yang makin usang makin bercucuran.

“Banyak alasan yang memaksaku jadi tentara, Yung. Salah satunya mungkin lantaran cintaku pada tanah Pertiwi ini.”
“Meski kadang ancaman menghantam, meski kadang jauh dari orang-orang yang kita sayangi, meski kadang hidup terasing di wilayah tapal batas ini, dan meski… apa lagi?”

“Ya, meski semuanya harus berakhir di ujung peluru dan kita hanya sanggup membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang kita cintai, sebelum semuanya menjadi kabur dan gelap. Tiba-tiba saja orang yang kita sayangi itu hanya mengenang nama kita, atau paling mujur melihat dan menyaksikan prosesi pemakaman kita. Sementara, kita sudah terbujur kaku di peti dengan balutan sang merah putih. Orangorang melayat memperlihatkan wajah kesedihan dan beberapa dentuman senapan dan derap sepatu laras menyertai detik-detik kepergian kita ke tempat peristirahatan terakhir. Sesudah itu kita tamat, berakhir, tak berarti apa-apa dan tentu tidak lagi diingat dan dicatat dalam sejarah,” ujarku.

Pandangannya menerawang jauh ke arah ujung langit. Mungkin kata-kataku tadi menyentakkan nuraninya. Di hatinya masih terpatri kenangan tiga tahun silam. Ya, teringat dengan istrinya yang waktu itu gres saja dinikahinya. Belum genap seminggu bergaul, dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkan istrinya itu, untuk kembali menjalankan tugas, lebih cepat dari seruan cutinya. Sebab ada kiprah mendadak, ia kembali dipanggil masuk barak. Hingga kini ia hanya memendam kerinduan yang mendalam terhadap istrinya. Terakhir ia sempat ke Medan pulang kampung menengok istrinya itu yang kini sudah tinggal di rumah ibunya. Ya, cuma sekali itu dalam kurun tiga tahun terakhir ini, lantaran kiprah demi kiprah terus memanggilnya.

“Istriku sehat, ia senang mendengar kabarku. Wah saya sudah jadi ayah, Yung. Tak terasa sudah renta juga kita sebentar lagi. Tak terasa, sudah kakek-kakek saja kita. Makanya kau cepat-cepat menikah, Buyung, sebelum kau terlambat, nanti renta kau tak ada lagi gadis yang mau he… he…,” tuturnya dengan logat Medan kental yang selalu menyapaku ketika ia menceritakan kabar istrinya kepadaku. Aku kadang hanya senyum kecil membalasnya. Setidaknya di tempat kiprah ini saya masih mempunyai seorang sahabat.

Mungkin ia beruntung mempunyai istri yang memahami kondisi dan pekerjaan suaminya. Memang harus begitu menjadi istri seorang tentara. Apalagi masa-masa perang dan keamanan negara terancam, sang istri pun harus siap dengan risiko apa pun. Doa restu dan kontribusi moral istri yakni sebuah kekuatan yang tak terkira kuatnya membantu tegarnya semangat sang suami dalam menjalankan kiprah negara.

Cerita perihal Ramses, saya teringat dengannya di Secaba dulu. Dia yakni temanku sesama pendidikan dulu. Aku satu kompi dengannya, malahan saya satu kamar dengannya. Ia gampang bergaul dan saya sangat bersahabat dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia sudah kuanggap mirip saudaraku sendiri. Di barak saya mirip mendapat seorang kakak pria yang dulu selalu kuimpikan. Jika ada kesempatan, saya selalu mengajaknya pulang ke kampung halamanku di Bukittinggi, lantaran jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak terlalu jauh. Ia juga bersahabat dengan keluargaku, dengan ayahku.

Ia termasuk tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya tegap dan tinggi kekar. Segala lomba berkelahi kekuatan stamina di barak —mulai berkelahi panco, push-up, hingga lomba lari— ia nomor satu. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Kami sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi duduk perkara cewek beliau paling apes. Setiap kali beliau naksir cewek, cintanya selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk orang yang sangat setia dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami sama-sama jatuh cinta dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia lebih menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu menjadi pacarku. Aku besar hati dengannya, punya sahabat dan saudara mirip Ramses. Semenjak tamat Secaba kami memang tidak lagi bersama-sama, cuma kebetulan kami disatukan kembali dalam kiprah di tapal batas ini. Jadilah kami senasib sepenanggungan sambil reunian. Bedanya cuma ia lebih laris dibandingkan denganku, ia sudah beristri dan malah sudah menjadi ayah, sementara saya masih betah menjadi lajang.

***

Cerita itu turun mirip air hujan yang tercurah dari langit dan terus mengalir menuju ceruk, saluran dan sungai-sungai di tepian bukit menuju muara. Daun yang gugur berganti dengan tunas-tunas gres yang mendesak. Musim hujan yang sembab berganti dengan kemarau yang kering. Siklus hidup terus berjalan mirip roda yang berputar. Waktu demi waktu telah kulalui di setiap tempat kiprah dengan penuh rasa tanggung jawab meski jemu kadang meraja. Hari-hari berganti, siang menjadi malam, pagi menjelma, ekspresi dominan demi ekspresi dominan bergulir, mirip air mengalir tetapi pemandangan yang kulihat masih tetap sama. Rutinitas yang saya lalui masih sama, tak ada yang berubah. Kehidupanku sebagai prajurit di tapal batas tak jauh berubah. Masih sama mirip tahun sebelumnya.

Yang berubah mungkin saya tak lagi bersama Ramses, temanku itu, saudaraku itu, si Letnan Samson. Ia sudah tak lagi satu tim denganku, tidak lagi bersamaku di sini di pos jaga ini. Setengah tahun yang kemudian ia ditarik ke sebuah pos jaga gres di wilayah timur laut. Lebih jauh ke arah timur provinsi ini. Aku sudah tidak lagi berkomunikasi dengannya; saya sudah kehilangan kontak dengannya. Tetapi itu semua sudah aturan. Lagi saya tegaskan, inilah kehidupan tapal batas. Sewaktuwaktu keadaan sanggup berubah. Kemarin saya masih sanggup berkumpul dengan sahabat usang tetapi mungkin besok kami sudah digilirkan, berpisah bahkan tak bertemu lagi. Aku masih tetap di pos jaga ini.

Memasuki bulan ketiga keadaan cukup berubah. Ancaman wilayah tapal batas mulai meningkat. Untuk itu kami mesti meningkatkan penjagaan dan kewaspadaan. Ini bermula dari semakin memanasnya situasi di beberapa tempat di Papua. Aktivitas orang-orang bersenjata tak dikenal mulai berani menyerang daerah vital milik pemerintah. Beberapa waktu yang kemudian terjadi penembakan demi penembakan terhadap tim penjaga aset pemerintah di Papua. Belum dipastikan pihak mana yang bertanggung jawab. Disinyalir pihak Tentara Pembebasan Papua Barat (TPN) atau pihak OPM. Belum lagi ulah residivis bersenjata yang memanfaatkan masyarakat pribumi. Mereka mengeruk untung di tapal berbatasan. Mereka kadang melaksanakan penyelundupan dan perdagangan gelap. Persoalan lebih berat lagi, ada sinyalemen yang menyampaikan di balik agresi itu semua ada oknum tentara yang membeking. Lagi-lagi rumor tidak sedap itu saya dengar. Beberapa ahad yang kemudian pos jaga Tentara Nasional Indonesia di distrik Skamto kembali diserang oleh OPM. Meski tak ada korban jatuh di pihak TNI, ini membuktikan kegiatan kelompok bersenjata itu sudah kembali berani main petak umpet dengan TNI.

Desember yang sembab di penghujung tahun. Lagi kuncupkuncup hujan menyumbul di antara ceruk-ceruk kabut langit kelam Papua. Dingin dan sembab bertahta di mana-mana. Pohon-pohon tinggi menjulang di kaki-kaki bukit dan jurang-jurang yang dalam. Kabut menyelinap dalam-dalam. Kami satu regu gres saja melaksanakan patroli. Kami melewati sebuah sungai dan terus menyusuri pinggirannya dengan senjata laras di tangan, dengan perilaku siaga kami terus bergerak. Beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk pribumi. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan dari mereka. Mereka bukan OPM atau TPN. Kali ini ada hal ganjil rasanya, ya ganjil bagiku lantaran memang sama sekali saya tak mendapati Ramses di sampingku. Aku merasa kehilangan dia, bagaimana kabarnya, entahlah.

Kami melewati sebuah tebing yang curam, tebing itu kuyakini merupakan tapal batas dengan negara tetangga Papua Nugini. Dengan sangat hati-hati kami menyelidiki keadaan sekitar masih sepi, hanya bunyi gemericik air sungai. Aku selaku pimpinan regu memerintahkan Serka Bambang untuk mengamati suasana dari atas puncak tebing. Entah mengapa tiba-tiba saja ada hal gila yang saya rasakan, bukan lantaran tidak ada Ramses di reguku tetapi sebuah hal lain. Naluri prajuritku menuntunku untuk waspada. Aku menyampaikan instruksi semoga semua anggota regu yang kupimpin tetap dalam kondisi waspada.

Benar saja di atas tebing ini kami memperhatikan gerak-gerik beberapa warga pribumi, senjata mereka lengkap. Kami yakin mereka bukanlah kelompok sembarangan, lantaran di antara mereka juga terdapat beberapa orang berbadan tegap dan menggunakan sepatu laras dan berseragam layaknya tentara dan terlatih. Tapi siapa mereka, belum sanggup kupastikan apakah dari pihak Tentara Nasional Indonesia atau kelompok separatis bersenjata. Dari atas tebing kami masih terus memperhatikan dengan sangat hatihati. Jelas mereka tengah melaksanakan sesuatu, tapi apa, belum bisa kami pastikan. Butuh jarak lebih dekat lagi semoga kami sanggup mengamati gerakgerik mereka dengan leluasa.

“Bang, kau arah samping, sisir sebelah selatan. Aku dan yang lain menyisir sebelah utara, dan kau Rob, tetap berjaga dari atas sini. Lindungi kami. Kita akan amati apa yang mereka lakukan,” tegasku setengah berbisik. Semuanya paham akan maksudku.

Kami menyisir pelan-pelan, menyelinap di antara semak belukar, mendekat ke arah kelompok yang mencurigakan itu. Darahku berdegup kencang. Meski hal semacam ini sering kualami, namun agresi pengintaian kali ini sungguh sangat mencemaskan dan dramatik. Sebab, saya tahu hal ini berisiko tinggi dengan terjadinya kontak senjata.

Ternyata mereka berasal dari kelompok bersenjata, tapi di antara mereka ada yang mengenakan atribut prajurit TNI. Siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan? Belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba bunyi tembakan memecah keheningan hutan ini. Aku berlindung dan memerintahkan anggotaku untuk berlindung. Aku yakin keberadaan kami sudah diketahui oleh mereka. Rentetan tembakan kembali menyalak, saya membalas. Beberapa yang lain juga membalas. Lama terjadi kontak senjata. Posisi kami di atas tebing; mereka di bawah. Jelas kami sangat diuntungkan. Ditambah dengan latihan perang yang kami miliki, dengan gampang kami sanggup memukul mundur serangan demi serangan dari kelompok itu. Beberapa anggota kelompok itu tertembak. Beberapa orang terkapar tak bernyawa, luka tembak di kepala. Satu orang lagi masih bernyawa sementara dua orang anggota berhasil kabur. Keberuntungan berpihak kepada reguku. Sama sekali tak ada anggota reguku yang terluka. Kami menyisiri keadaan sekitar untuk memastikan aman, mengumpulkan korban.


***

Aku tak menyangka, sungguh saya tak menduga temanku Ramses, sahabatku si Letnan Samsonku itu, orang yang saya banggakan, orang yang menyulut semangatku menjadi TNI, ternyata kini terlibat dalam agresi yang memalukan ini. Ia yang kini berada di depanku dengan satu luka tembak di kakinya. Ia ternyata rahasia terlibat sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia yang membeking agresi perdagangan gelap ini.

“Munafik, jadi selama ini kata-katamu kepadaku hanya kedok semata,” ujarku. Ia tak berkata lagi. Pandangannya jauh terhunus ke langit sesak. Hujan masih menggelegar. Sore menjelang gelap itu semua begitu lembayung dalam lembab. Entah rasa apa yang muncul dan bergejolak di benakku. Ia yang kini terkapar di hadapanku yakni lawanku yang juga sahabatku.
“Kenapa, Ram, kenapa kaulakukan semua ini? Kenapa?” Aku mengangkat kerah bajunya, saya emosi, saya kalut, saya murka padanya. Ia tersenyum kecut.
“Kau tahu, Yung, saya tak tahan lagi, Yung. Aku bosan hidup bersemedi dengan segala kesengsaraan dan sama sekali saya tak mendapat apa-apa. Ah persetan dengan pengabdian. Hidup tetap tak punya apa-apa. Gaji kecil itu yang kuharapkan, saya muak saya bosan,” ungkapnya dengan nafas sesak.
“Kini kau bukan sahabatku, Ramses. Aku gres sadar ternyata selama ini kata-katamu padaku hanyalah dusta semata.”
“Alah persetan dengan kesepakatan di barak dulu, persetan dengan segalanya, dengan tanah Pertiwi ini. Apa lagi yang kita harapkan, Yung? Menjadi tentara dengan honor kecil hidup sengsara di tapal batas ini? Ingat, Yung, istri kita, anak kita, keluarga kita butuh uang, butuh biaya. Jika cuma mengandalkan honor seorang tentara mana mungkin kita bisa memenuhinya semua.
“Hehe… hehe… di tapal batas ini memangnya ada sahabat, Yung? Dasar prajurit idealis kere kau, Yung,” ungkapnya mengejek.

Aku marah, saya panas dengan perkataan Ramses tadi, saya tampar ia dua kali.

Ia sama sekali tak membalasnya. Pipinya pecah darah segar membasahi mulutnya, kemudian bercampur dengan air hujan membasahi bajunya. Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam kondisi mirip ini, saling berhadapan dengan senjata laras berhadapan. Pilu, hancur hatiku hilang seorang sahabat di hatiku. Aku betul-betul telah dikhianati oleh seorang sahabat yang nyata-nyata dulu saya kagumi. Aku sadar dari insiden itu, kehidupan di tapal batas memang bisa memutarbalikkan semua yang ada. Termasuk arah dan jalan pikiran seorang prajurit.

***

Peristiwa itu telah terjadi dua tahun silam. Hujan demi hujan di tapal batas telah menghanyutkan segala kenangan yang baik dan buruk. Yang baik menjadi kenangan, yang jelek biarlah tersimpan atau terkubur dalam-dalam, tidak lagi untuk diingat. Semenjak insiden itu saya tidak lagi mendengar kabar dari sahabatku itu yang sudah saya anggap sebagai musuhku. Ia tidak hanya menjadi pengkhianat dari persahabatanku, tetapi juga telah berkhianat atas negara dan bangsa ini. Harusnya ia kubunuh saja dulu sewaktu di hutan pinggir sungai perbatasan dulu. Akan tetapi nyatanya saya tak mampu. Aku tak tega melihat bayangan istrinya dan anaknya yang masih mengharapkannya. Aku dan anggota reguku menyimpan rahasia perihal insiden baku tembak itu. Membungkus rahasia insiden baku tembak itu dalamdalam di palung hati kami masing-masing. Dalam hati saya berniat akan melupakan Ramses dalam hidupku. Aku tak mau lagi mengingat si pengkhianat itu dalam hidupku. Semenjak itu Ramses pun tak lagi saya dengar kabarnya. Ia sudah menghilang mirip ditelan bumi.

Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan pengecap api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Barangkali ini misi terakhirku di tanah Cendrawasih ini. Sesudah keadaan kondusif saya berencana akan meminta izin untuk menjenguk keluargaku, ayah dan ibuku. Aku rindu mereka. Sudah beberapa hari saya di kota Jayapura. Keadaan sudah sanggup dikatakan aman. Aktivitas gangguan keamanan sudah tidak sering lagi terjadi. Meskipun ada letup-letup kecil namun sudah sanggup diredam oleh Tentara Nasional Indonesia dibantu oleh Polda setempat.

Siang menjelang sore itu, itulah misi terakhirku sebelum saya cuti pulang menuju kampung halaman. Misi patroli udara dan menjemput beberapa personil Tentara Nasional Indonesia di beberapa distrik di kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan radar dan alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga. Dengan menggunakan heli Tentara Nasional Indonesia AU jenis super puma SA330 kami berangkat dari landasan terbang milik Tentara Nasional Indonesia di Jayapura. Heli yang dikendalikan oleh pilot dan copilot, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Letnan Satu Penerbang Guntur, terbang dengan kondisi normal. Cuaca sedikit mendung tetapi tidak mengisyaratkan akan memburuk. Selain aku, memang ada beberapa awak yaitu teknisi alat radio, sementara tugasku memastikan pengiriman barang hingga sempurna waktu sekaligus mengangkut beberapa personil untuk dibawa ke Jayapura.

Entah mengapa di perjalanan tiba-tiba saya teringat dengan mimpiku, mimpi yang sangat menakutkan, mimpi tengah menaiki heli yang sama dan mengalami kecelakaan. Tidak hanya itu. Aku juga teringat dengan kata-kata Ramses bahwa dalam kurun waktu 18 tahun terakhir sudah tercatat 45 pesawat Tentara Nasional Indonesia yang jatuh. Ah, lagi-lagi apa peduliku terhadap si pengkhianat itu. Aku mencoba mengelak dari pemikiran dan petakut ini. Bunyi mesin heli meraung-raung. Beberapa dikala heli yang dikemudikan mulai sedikit oleng. Hujan yang tadi gerimis tiba-tiba berubah menjadi lebat. Kabut gelap dan angin ribut memaksa heli terbang dengan kondisi tak stabil. Ada rasa kuatir menyelinap di hatiku paling dalam. Pilot dan copilot masih berusaha menghubungi landasan dan markas, tapi lagi-lagi korelasi terputus.

Tiba-tiba kepanikan terjadi. Mesin heli mendadak mati. Di ketinggian ini terang sebuah hal yang sangat menyeramkan telah terjadi. Tubuh heli mirip di sedot alam. Inilah gaya gravitasi itu. Kami ditarik berpengaruh dan akan jatuh terhempas.

Prakkkkk.... Tubuh heli gaek buatan Prancis tahun 78 itu menghempas sebuah pohon besar. Baling-balingnya menyebat apa saja kemudian berhenti dan patah. Tak usang kemudian tubuh heli ringsek dan lagi terhempas ke tanah. Dua teknisi terlempar keluar. Copilot Guntur tetap berada di bangkunya namun tubuhnya terjepit di antara kerangka heli. Ah, tubuh Pilot Hery. Dia terlempar menghantam beling heli dan jatuh ke tanah. Tubuhnya terhimpit oleh heli, sangat mengenaskan. Aku gamang di antara sadar dan tak sadar. Di manakah kami, saya tidak tahu. Yang terang belum memasuki wilayah distrik Asro, barangkali masih di perbukitan. Ah, jangan tanya bagaimana keadaanku, saya sungguh tak tahu, tiba-tiba saja pandanganku gelap dan semuanya hilang.

***

Aku sadar telah mendapati diriku berada di RSCM Jakarta. Aku tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sentra itu. Setelah berhasil dievaluasi oleh Tim SAR dan anggota Tentara Nasional Indonesia dikala itu juga saya pribadi dirujuk dan diterbangkan dari Papua menuju Jakarta dengan pesawat khusus. Setelah mengetahui secara niscaya heli super puma SA330 milik Tentara Nasional Indonesia hilang dan jatuh, tim SAR pribadi melaksanakan penyisiran di wilayah yang diduga berpengaruh sebagai tempat jatuhnya heli. Tak usang Tim SAR menemukan puing heli dan mengevakuasi korban. Satu-satunya korban yang selamat dalam insiden itu yakni aku. Selebihnya ditemukan dalam kondisi yang sudah tak bernyawa. Aku ditemukan dalam kondisi kritis di antara sadar dan tak sadar. Tapi dalam ingatanku terang salah seorang Tim SAR yang memapah tubuhku itu yakni Ramses, temanku dari Medan yang juga anggota Tentara Nasional Indonesia itu.

Di ruangan itu saya terbujur tak berdaya. Tubuhku masih lemah, lengan dan kakiku dibalut perban dan gres saja selesai dioperasi. Di sampingku sudah berdiri ayahku yang sengaja didatangkan pihak Tentara Nasional Indonesia dari kampung halamanku. Ia sama sekali tidak memperlihatkan raut sedih. Ia terlihat tegar dan mengusap keningku.

“Ayah harap kau tegar, Yung!”
“Terima kasih, Ayah. Ibu di mana, Yah?”
“Ia di kampung tidak bisa ikut. Ia sehat-sehat saja. Jika kau pulih nanti kita pulang ke rumah. Ia rindu sama kamu, Nak,” ujar ayah.

Entah mengapa saya melihat ada mendung di wajah ayah. Aku mirip berdosa pada diriku sendiri. Wajahnya, meski ia berjuang menutupi kegundahan di hatinya akan apa yang menimpaku, keadaan hidupku kini, tetapi saya terang sekali melihat ada kegalauan di matanya. Membaca sebuah kegetiran pada dirinya. Semangatnya, jiwa nasionalismenya yang dulu menggebu-gebu, kini kian pudar seiring raut wajahnya yang semakin senja.

Tak lama, di sela perbincangan itu muncul sosok kekar dan tegap. Pandanganku tertuju pada lelaki yang gres saja masuk ke ruangan itu. Ia membalas menatapku. Ia Ramses si sahabatku, si pengkhianat itu.

“Gimana kabar kau, Buyung. Aku sengaja tiba kemari hanya untuk melihat sahabatku, Yung,” ujarnya.

Dalam hatiku berkecamuk antara benci dan rindu. Beraniberaninya ia menyampaikan saya sahabatnya. Jika saya sehat ingin rasanya
saya tembak beliau kini juga. Tanpa merasa berdosa ia menampakkan diri lagi di hadapanku. Tak punya rasa malu.

Pelan saya menarik nafas. Mata kami beradu. Ia memelukku. Matanya berkaca-kaca.

“Kita impas, Yung. Maafkan aku, Yung,” ujarnya.

Aku paham kata-katanya, ia sudah membayar hutangnya, atas kesalahan masa silam dengan menyelamatkan nyawaku dengan ikut sebagai Tim SAR dalam pencarian heli yang jatuh itu.

***

Penghujung tahun itu hujan menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang sendu dan sembab ini semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung kemudian berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Jika kuingat hujan saya selalu teringat posku di tapal batas; saya teringat aroma tanah Cendrawasih; saya teringat insiden di pinggiran sungai di perbatasan itu. Aku sungguh belum bisa memaafkan Ramses. Ia lebih dari sekedar sahabat yang berkhianat. Ia yakni pengkhianat bangsa dan negara ini.

***

Profil Penulis:
Nama Kurnia Hadinata. Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 17 Desember 1982. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni (FBSS) Universitas Negeri Padang (UNP), 2004. Aktif menulis di beberapa media lokal dan nasional. Karyanya, buku kumpulan puisi Aubade Pesta Hujan (2003) dan Musim Hujan yang Menggugurkan Daun-daun Puisi (2007), serta novel Bianglala di Bukit Barisan (2008). Mahasiswa S2 di Universitas Negeri Padang ini mengelola rumah baca dan sanggar menulis bagi anak miskin dan cowok putus sekolah, sekaligus staf pengajar di SMPN 2 Panti dan SMAN 1 Panti Kabupaten Pasaman.

Bagi teman-teman yang mempunyai suatu goresan pena unik perihal apa saja, ataupun puisi, cerpen, cergam, pantun, bahkan profil sekolah dan guru; dan ingin dibagikan ke teman-teman lainnya melalui mading zona siswa, silahkan saja kirim karya kalian di Mading . Karya kalian nantinya akan ditampilkan di mading kami dan akan dibaca oleh ribuan pengunjung lainnya setiap hari. Ayoo kirim karya kalian di mading zona siswa. Terima kasih sudah berkunjung. ZONA SISWA | Ikut Mencerdaskan Bangsa

Sumber http://www.zonasiswa.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Cerpen: Dongeng Dari Tapal Batas Karya Kurnia Hadinata"

Posting Komentar