Cerpen: Usaha Tak Terduga Karya Fikri Adhitiya

PERJUANGAN TAK TERDUGA
Karya Fikri Adhitiya

Angin malam menelisik menyusup diantara sunyinya suasana dikala itu. Malam keindahan di hati para gamers. Benar, malam minggu. Malam dimana seluruh kebahagiaan tercurah dari golongan para pelajar maupun para pekerja yang senantiasa sibuk di hari kerjanya. Begitupun denganku, saya sangat suka dengan hari ini. Karena pada hari ini kurasakan indahnya kesunyian didalam kamarku yang tidak terlalu megah ini. “nak, ini makan malamnya sudah siap, ayo cepat turun” Teriak ibuku dari dalam dapur yang memintaku untuk segera turun. Dari pada menggubris omongan ibuku, saya lebih menentukan untuk pura pura tidur dan meneruskan gameku yang kucintai.

Setelah beberapa dikala saya ngegame, saya dengar sebuah suara, namun saya tak yakin bila hal itu benar benar ada. Setelah bunyi itu semakin mendekat barulah saya yakin kalau bunyi itu benar benar ada. Aku keluar untuk memastikan, dan saya tak percaya dengan apa yang kulihat. Kulihat di langit malam sebuah helikopter pengangkut yang sedang menurunkan awaknya di lapangan sebelah rumah. Hanya satu yang kuduga, ada training tentara di lapangan erat rumah. Sampai saya mendekati dan semakin terang melihat tentara tentara itu. Disana terpampang badge yang tak pernah kukira. Badge bendera Belanda. Apakah tentara Indonesia melaksanakan kerjasama dengan Belanda untuk training ? Semua itu terjawab sehabis melihat mereka memasuki setiap rumah, dan keluar dengan membawa pemiliknya sebagai tahanan. Beberapa orang yang melihatnya, kabur terbirit birit kearahku. Aku tercengang sekejap hingga saya ikut berlari mengikuti mereka.

 Angin malam menelisik menyusup diantara sunyinya suasana dikala itu Cerpen: Perjuangan Tak Terduga Karya Fikri Adhitiya
Cerpen: Perjuangan Tak Terduga Karya Fikri Adhitiya

Aku masih tidak paham apa yang terjadi. Aku terus berlari, berlari hingga langkahku habis. Mengikuti arah lari orang orang yang ada di depanku. Sampai saya hingga di suatu daerah yang tak absurd bagiku. “Pangkalan Angkatan Darat”, saya benar benar bingung, untuk apa orang orang berlari masuk kedalam markas angkatan darat ? Aku hanya dapat mengikuti langkah mereka. Aku tahu kalau tentara selalu dilatih untuk siap siaga di keadaan apapun. Kulihat disana seorang tentara yang mengarahkan kami dan meminta kami segera masuk.

Didalam sana, kami di masukan kedalam sebuah ruangan yang sangat lebar. Dan siapapun tahu kalau itu aula, daerah berkumpulnya para tentara. Aku takut, saya merinding, saya tak tau apa yang harus saya lakukan. Aku tak paham akan keadaan ini. Keadaan yang membingungkanku. Aku hanya bermain game di dalam rumah, dan semua ini tiba tiba saja terjadi.

“Dek, adek namanya siapa dan dari mana ?”, Tanya seorang tentara padaku. “Saya dari perumahan Permata Indah pak nama saya Hamid”, jawabku dengan gemetar. “Jangan takut dek Hamid ya, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menuntaskan problem ini”, pak tentara menghiburku. “Apa yang bersama-sama terjadi pak ?”, saya beranikan untuk bertanya. Dan pak tentara menjelaskan wacana bencana sebenarnya.

Dahulu, bangsa Belanda pernah menjajah Negara Indonesia. Semua orang tahu itu, bahwa bangsa belanda yang keji pernah menjajah kami bangsa Indonesia untuk mencari rempah rempah. Dan dahulu, ada sebagian dari orang Indonesia yang menjual bangsa Indonesia pada masa ini pada bangsa Belanda sebelum Jepang merebut penjajahan atas Indonesia. Dan pada beberapa hari kemudian terjadi negosiasi antara para petinggi Negara Belanda dan Indonesia untuk menagih apa yang dijanjian oleh orang orang tak bertanggung jawab tersebut. Namun bangsa Indonesia tidak terima dan tetap mencoba mempertahankan kemerdekaan bangsa lewat perundingan. Namun, semua tak berjalan mulus, bangsa Belanda tidak terima, dan bersumpah untuk menyerang Indonesia.

“Tapi itu sangat bertolak belakang dengan apa yang saya ketahui, apakah perjanjian pada zaman penjajahan itu benar ada ?”, Tanyaku ingin tau pada Tentara tersebut. “Kami juga tidak tahu, tiba tiba saja beberapa hari kemudian mereka tiba dan menagih yang katanya hutang kita, padahal itu hanya menguntungkan sebagian pihak”, jawabnya padaku. “Jika memang itu benar, kami sangat kecewa atas orang tersebut. Beraninya ia menjual negaranya sendiri pada bangsa lain dan menyusahkan generasinya yang mendatang”. 
“Apakah kau tinggal sendiri di rumah ? Kok nggak bareng sama keluargamu ?” pertanyaan tentara itu membuatku tertegun, saking takutnya aku, saya hingga melupakan keluargaku yang sedang ada di rumah. Mungkin saja mereka sedang tidur pulas di rumah dan menjadi tawanan para tentara belanda itu. Aku berusaha lari, sambil menangis saya berusaha untuk pergi dari pangkalan. Aku berusaha untuk pergi menjemput keluargaku. Tapi, tak usang kemudian terdengar bunyi dentuman besar, yang arahnya dari perumahan rumahku. Terlihat diatas langit sekilas cahaya terang dibarengi dengan kepungan asap tebal di atas langit hari itu. Aku hanya dapat menangis tersedu, tertegung bersedih. Bisa bisanya saya berlari sejauh ini dengan meninggalkan orang tuaku.
“Dasar kolot !” umpatku pada diriku sendiri. Aku mengamuk sejadi jadiku. Aku menangis sejadi jadiku. Aku menyesal, mengapa saya tidak pernah mendengarkan perintah orang tuaku ? Mengapa hal ini terjadi ? Hanya dalam satu malam yang harusnya bahagia, menghilangkan segala apa yang saya punya.

Beberapa orang menghiburku, mereka tidak ingin saya menangis. Tapi, air mataku tak dapat berhenti menetes. Suara dentuman itu masih terngiang di telingaku membuatku semakin bersedih. Disaat yang bersamaan dengan tangisku, saya melihat satu peleton tentara pergi lari berbaris meninggalkan pangkalan. Aku juga melihat beberapa peleton sedang berbaris menunggu giliran mereka pergi. Disitulah muncul fatwa gila, namun yang terbaik untukku.

“Pak, saya ingin ikut berperang. Aku ingin membalaskan dendam keluargaku” kataku. “Jangan ngawur dek, seberani beraninya kamu. Kamu nggak akan dapat menang melawan mereka. Mereka itu pasukan elit, kami saja kesusahan melawan mereka” jawab bapak itu. “Tapi saya mustahil hidup sendiri. Aku tidak akan hidup tanpa keluargaku”. “Negara akan menanggungnya, Negara akan menanggung seluruh beban hidupmu. Dan kau  tak usah kebingungan untuk hidup” jawab tentara itu meyakinkanku. “Nggak ! Hidupku akan hampa tanpa mereka. Percuma saja saya sukses kalau tak bersama mereka ! saya tetap akan pergi ke medan perang, melalui atau tidak melaui kalian”.”Hah, terserah kau saja, lagipula saya hanya terpaksa untuk menghibur kalian, orang orang lemah yang tak berdaya”. “ Dasar kolot ! Ternyata kau berjuang selama ini sebagai tentara bukan untuk pengabdianmu pada Negara ? Tapi hanya untuk uang ? Aku nggak nyangka, apa kau tak aib pada rekan rekanmu yang tulus berjuang ?!”.

Setelah saya menyampaikan itu, saya tertegun sejenak, saya berpikir apa yang telah saya perjuangkan untuk bangsa ini ? Sedangkat setiap harinya saya hanya dapat bermain game dan tak pernah membantu orang tuaku. Aku jadi aib dengan diriku sendiri, dan rasa aib itu justru membuatku semakin menguatkan hati untuk terjun ke medan perang dan membayar semua kesalahanku baik pada keluargaku maupun negaraku.

Aku pergi berjalan meninggalkan tentara tadi. Ditengah jalanku keluar, saya melihat sebuah senapan. Aku mencoba mengangkatnya, dan saya tak mengira kalau senapan dapat sangat terasa ringan dikala kupegang. Aku mengambil senapan itu. Aku juga mengambil sepaket peluru yang ada di dekatnya. Aku mencoba mengisi pelurunya, dan saya bisa. Aku semakin bersemangat, dengan menenteng senapan saya pergi meninggalkan pangkalan.

Aku berjalan, terus berjalan, hingga kudengar bunyi berkelahi tembak di depan sana. Aku bejalan jongkok mendekatinya dan saya tertegun melihat banyak jenazah tentara bergelimpangan, baik dari kubu Belanda ataupun Indonesia. Aku semakin menguatkan mental, saya berdiri dan mencoba menembak, hingga mengenai seorang tentara musuh sempurna di kepalanya. Aku bangga, saya semangat. Namun, tembakanku tadi memancing tentara lain melihat kearahku. Aku gemetar, ia mengacungkan senapan sempurna kearahku. Aku tertegun, tak dapat berlari. Aku hanya membisu menunggu pelatuk senapan itu ditembakan. Hingga bunyi tembakan terdengar, saya hanya diam. Menunggu peluru itu datang. “Andaikan saya punya waktu sekali lagi untuk bertemu ibuku, saya akan memeluknya dan meminta maaf atas segala kesalahanku. Berterima kasih atas segala jasanya padaku selama ini. Maafkan saya ibu, maafkan atas segala kesalahanku” hanya itu yang ada dalam pikiranku dikala ini. Hingga jadinya peluru itu membus dadaku dan membuatku tak sadarkan diri.

Lama saya tak sadarkan diri, saya berpikir kalau saya sudah mati. Aku menyesal. Tapi apa guna menyesal. Semuanya sudah terlambat. Aku telah melaksanakan kesalahan hingga selesai hayatku. Hingga selesai nafasku, saya hanya dapat menyusahkan orang tuaku. Mereka menunjukkan segalanya untukku, namun inilah balasanku. Balasan yang tak pernah diinginkan seorangpun orang renta di dunia ini. Sampai ibukku memanggilku dari luar kamar, “Nak ! ayo bangun, walaupun hari ahad tetep nggak boleh malas lho ya. Ayo keluar sarapan !”.  
                 
Profil Penulis:
Nama: Fikri Adhitiya

Bagi teman-teman yang memiliki suatu goresan pena unik wacana apa saja, ataupun puisi, cerpen, cergam, pantun, bahkan profil sekolah/guru favorit; dan ingin dibagikan ke teman-teman lainnya melalui mading zona siswa, silahkan saja kirim karya kalian di Mading . Karya kalian nantinya akan ditampilkan di mading kami dan akan dibaca oleh ribuan pengunjung lainnya setiap hari. Ayoo kirim karya kalian di mading . Terima kasih... ZONA SISWA | Ikut Mencerdaskan Bangsa

Sumber http://www.zonasiswa.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Cerpen: Usaha Tak Terduga Karya Fikri Adhitiya"

Posting Komentar