Sejarah Yogyakarta (34): Ki Hadjar Dewantara Dan Sutan Gunung Mulia; Dua Tokoh Pendidikan Sejaman Menjadi Menteri


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Di Indonesia banyak tokoh pendidikan, tetapi hanya ada dua tokoh pendidikan sejaman yang keduanya juga sama-sama menjadi Menteri Pendidikan. Kedua tokoh pendidikan itu yakni Ki Hadjar Dewantara dan Sutan Gunung Mulia. Meski mereka berdua mempunyai latar belakang yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama Republiken sejati di Jogjakarta.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara lahir di Jogjakarta, 2 Mei 1889. Raden Mas Soewardi tahun 1902 diakui sebagai kelas 3 Europanen Lagere School (ELS) di Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 14-03-1902). Setelah lulus ELS, Raden Mas Soewardi melanjutkan sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavia. 

Todung Harahap gelar Sutan Gunung Mulia lahir di Padang Sidempuan tahun 1896. Memulai pendidikan dasar di Sekolah Eropa (Europeesche Lagere School=ELS) Padang Sidempuan tahun 1903. Pada tahun 1910, Todung menuntaskan pendidikan di ELS dan ayahnya Mangaradja Hamonangan seorang pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung ke Negeri Belanda.

Itulah awal pendidikan dua tokoh pendidikan Indonesia. Lantas bagaimana selanjutnya?. Bagaimana kiprah masing-masing sebelum menjadi Menteri Pendidikan RI?. Sebagaimana diketahui Ki Hadjar Dewantara menjadi Menteri Pendidikan RI yang pertama dari tanggal 2 September 1945 hingga 14 November 1945 (2,5 bulan) dan kemudian dilanjutkan Sutan Gunung Mulia dari tanggal 14 November 1945 hingga 2 Oktober 1946 (10,5 bulan). Setelah tidak menjadi menteri apa yang mereka lakukan? Semua pertanyaan tersebut tentu masih menarik untuk diperhatikan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Raden Mas Soewardi ke Batavia, Todung Harahap ke Leiden

Raden Mas Soewardi hanya satu tahun di ELS Semarang, kemudian diterima di sekolah kedokteran (Docter Djawa School) di Batavia. Pada bulan November 1904 Raden Mas Soewardi dinyatakan lulus kelas 1 tingkat persiapan di Docter Djawa School. Teman satu kelas antara lain Raden Angka dan JB Sitanala. Di atas mereka setahun antara lain M Goenawan, Raden Soetomo, Raden Goembrek dan Raden Slamet. Pada kelas tertinggi yang lulus kelas 5 medik naik ke kelas 6 terdapat 10 orang antara lain Abdul Hakim, Abdul Karim dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Het nieuws van den dag voor Ned-Indie, 27-11-1902
Abdul Hakim dan Abdul Karim berasal dari Padang Sidempoean dan Tjipto Mangoenkoesoemo berasal dari Poerwodadi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-11-1902). Setahun kemudian mereka lulus (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1905). Selanjutnya mereka diangkat menjadi dokter pemerintah. Abdul Hakim Nasution dan Tjipto Mangoenkoesoemo ditempatkan di Batavia, sedangkan Abdul Karim Harahap ditempatkan di Sawahloento (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-12-1905).  

Raden Mas Soewardi gagal di Docter Djawa School ke tingkat medik. Nama Raden Mas Soewardi tidak pernah tercatat lagi sebagai siswa Docter Djawa School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Raden Mas Soewardi kemudian diketahui mengikuti sekolah Ambtenaren (OSVIA) di Bandoeng. Raden Mas Soewardi dinyatakan lulus pada tahun 1910 (lihat De Preanger-bode, 14-09-1910). Sementara itu, Todung Harahap menuntaskan pendidikan di ELS 7 tahun dan ayahnya Mangaradja Hamonangan, seorang pensiunan guru yang menjadi pengusaha perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung Harahap ke Negeri Belanda.

Todung Harahap berangkat dari Batavia menuju Negeri Belanda tahun 1911. Dari Batavia menumpang kapal Prinses Juliana tanggal 2 November 1911 dengan nama tertulis di dalam manifest kapal sebagai Si Todoeng (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 27-11-1911).

Pada tahun 1912 Raden Mas Soewardi berhenti sebagai pegawai pos dan telegraf di Bandoeng terhitung semenjak tanggal 17 Mei 1912 (lihat De Preanger-bode,  06-09-1912). Tidak diketahui apa yang menjadi alasan berhentinya Raden Mas Soewardi. Ada dugaan bahwa Raden Mas Soewardi memasuki dunia politik.

De Preanger-bode, 17-01-1913
De Preanger-bode, 17-01-1913: ‘Diberitakan di Bandoeng dilakukan pertemuan publik IP [Indisch Partij] pada hari Minggu yang mana Raden Akman menyoroti perbedaan upah antara orang Belanda dan pribumi...Mas Wiria meminta pemilihan dewan kota untuk dipilih dan pembatalan perbedaan ras, hak yang sama (tugas yang sederajat!) dan tidak ada perbedaan posisi!..Pidato paling revolusioner diberikan oleh RM Soewardi, yang bertanya mengapa Inlander mempunyai hak paling sedikit disini di negaranya sendiri, di tanahnya sendiri. Pembicara ini berpikir bahwa bila aturan ada, penduduk pribumi mempunyai satu-satunya klaim atas kepemilikan sah atas tanah sebagai putra-putri negeri tersebut. Orang ajaib itu menjadi tuan dan tuan dan penduduk pribumi tidak lebih dari pelayan’.

Tidak lama sesudah pertemuan publik diberitakan bahwa di Bandoeng didirikan cabang Sarikat Islam (SI) pada tanggal 9 Februari 1913 di aloon-aloon yang dihadiri 400 orang (lihat De Preanger-bode, 10-02-1913). Disebutkan Presiden sementara RM Soewardi menyambut semua orang dalam bahasa Melayu dan kemudian menyampaikan yang berikut: ‘Atas nama komisi yang bertanggung jawab atas organisasi di Bandoeug dari sebuah divisi Sarikat Islam, saya menyambut Anda semua dan terima kasih banyak atas minat Anda... Ketua manajemen pusat kami di Surabaya akan segera diangkut ke Malang di bawah pengawalan polisi atas permintaan Bupati Malang. Polisi telah diberitahu disana bahwa Tjokroaminoto yang merupakan nama presiden kami....di Jawa Timur, manajemen dan polisi menyita buku-buku dan arsip salah satu departemen asosiasi kami.. Sehubungan dengan apa yang telah saya katakan, kami sangat bahagia bahwa Anda ingin menghormati pertemuan kami hari ini dengan kehadiran Anda. Bagaimanapun, ini memberi kita kesempatan untuk berkenalan satu sama lain lebih dekat... Apa tujuan dari Boedi Oetomo?... asosiasi BO ternyata tidak bisa melaksanakan acara keluarnya, rencana besarnya... tak perlu dikatakan bahwa mustahil baginya untuk mempertimbangkan kepentingan begitu banyak orang... Kami telah dengan terang menyadari bahwa BO sepertinya tidak sanggup mempromosikan kepentingan nasional.. Sarikat Islam kini akan mengambil alih sebagian dan semoga sebagian besar dari acara BO..Setelah Soewardi pidato disampaikan oleh Wakil Presiden, AH Wignjadisastra dan kemudian oleh Sekretaris Abdul Moeis dalam bahasa Melayu...perwakilan dari kantor pusat di Soerabaja juga ambil serpihan dan yang terakhir sebelum penutupan yakni Moeso...dari pertemuan publik ini sebanyak 200 orang didaftar menjadi anggota sarikat..’.

Dalam perkembangannya muncul di Soerabaja surat kabar Oetoesan Hindia organ SI (lihat De Preanger-bode, 16-03-1913). Dalam edisi kedua surat kabar mingguan ini terdapat goresan pena Abdoel Moeis, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Raden Soewardi. Pada waktu Kongres SI di Soloh Soewardi turut hadir (lihat De Preanger-bode, 26-03-1913). Disebutkan Delegasi dari Bandung, RM Soewardi, presiden SI disana, memperlihatkan pidato wacana gagasan nasionalis yang harus diberikan kepada SI atas gagasan agama. Pidaro Soewardi mendapat protes dari kolompok Arab dari Soerabaja. Soewardi malah berdiri kembali dari duduk menyampaikan bila tidak baiklah nasionalis modal Arab di organ Sib Oetoesan sanggup dapat diambil alih oleh SI. Dalam final kongres diketahui seorang Arab dari Batavia (malah) berjanji akan mendirikan perusahaan percetakan untuk SI dan juga soal persetujuan tubuh aturan dari Gubernur Jenderal. Pada malam hari pengurus aneka macam cabang bertemu Presiden SI Samanhoedi’.

Raden Mas Soewardi di Bandoeng dalam tempo sesingkat-singkatnya telah menjadi tokoh penting. Raden Mas Soewardi sebagai presiden SI cabang Bandoeng yang pertama. Raden Mas Soewardi telah hadir di aneka macam pertemuan dan memperlihatkan gagasan baik di panggng maupun di dalam media. Gagasannya selalu dalam hal menentang Belanda. Raden Mas Soewardi memperkenalkan visi nasionalis di SI (meski ada protes). Visi nasionalis ada di Indisch Vereniging di Belanda.

Dalam posisi ini Raden Mas Soewardi dalam bayang-bayang visi nasionalis tetapi masih terikat berpengaruh dengan misi golongan (agama Islam) dan misi kedaerahan Boedi Oetomo. Dalam pertemuan umum Boesi Oetomo cabang Bandoeng yang diadakan kemarin malam berhasil menyusun pengurus gres (lihat De Preanger-bode, 07-07-1913). Dalam susunan pengurus gres Raden Mas Soewardi duduk sebagai Sekretaris I.

Seperti yang sanggup diduga kegalauan Raden Mas Soewardi dalam soal visi nasional kesudahannya menjadi kenyataan. Raden Mas Soewardi keluar dari Sarikat Islam (lihat De Preanger-bode, 18-07-1913). Disebutkan dalam rapat dewan Sarikat Islam yang diadakan semalam, RM Soewardi dan Abdul Moeis, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris, mengajukan pengunduran diri lantaran keadaan yang mendesak. Kedua fungsi akan dilakukan sementara oleh AH Wignjadisastra dan Abdul Gani’.

Apa yang menjadi alasan mendesak Raden Mas Soewardi mengundurkan diri dari kepengurusan SI cabang Bandoeng tidak diketahui secara jelas. Padahal Raden Mas Soewardi yakni pendiri SI Bandoeng dan SI Bandoeng sendiri bahkan masih belum mapan sebagao organisasi cabang yang belum lama didirikan, Apakah Raden Mas Soewardi telah menemukan haluan baru?

Beberapa hari kemudian di Bandoeng nama Raden Mas Soewardi yang telah sering ditulis sebagai Soewardi Soerjaningrat diketahui telah terlibat dalam penyebaran pamflet (lihat De Preanger-bode, 26-07-1913). Disebutkan dalam pamflet tersebut bahwa komite penduduk pribumi akan melaksanakan peringatan pembebasan dari Belanda dan akan mengirim telegram kepada Ratu pada hari peringatan tersebut. dan juga ingin meminta pembentukan segera tubuh legislatif Hindia. Pamflet ini telah dikeluarkan Komite brosur pertama tertanggal 12 Juli 1913.

Mereka anggota komite ini berbicara atas nama penduduk pribumi. Disebutkan bahwa Nieuwe Soerabaja Courant memantau bahwa 'pribumi tidak tahu apa-apa wacana artikel propaganda wacana pembebasan dan apalagi wacana konsep tubuh legislatif Hindia. Juga disebutkan bahkan Sarikat Islam tidak mendukung slogan itu. Komite ini diduga hanya kelompok kecil. Di dalam pamflet itu ada dinyatakan Belanda dianggap sebagai ‘belanda tetamoe’. Selebaran yang beredar tersebut telah disita dan mereka itu dianggap telah melaksanakan sikap yang tidak patut dan bahwa ini tidak sanggup ditoleransi. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-07-1913 menyebut ada nama Soewardi Soerjaningrat sampul pamflet dan Burgemeester (wali kota) Bandoeng Mr. v. Bijlevelt telah menyita pamplet yang beredar. Pamflet dicetak oleh de Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij (directeur: van der Hoek). Di dalam komite itu antara lain juga terdapat Abdul Moeïs, editor dari Sarekat Hindia. Pria ini dulunya mantri loemboeng.

Komite itu kemudian diketahui Komite Boemi Poetra (lihat De Preanger-bode, 30-07-1913). Disebutkan para anggota Komite Boemi Poetra telah dipenjara, termasuk ketua Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (sekretaris-bendahara). Penangkapan ini terkait dengan pembuatan selebaran. ‘Als ik een Nederlander was’ (Jika saya seorang Belanda, saya pertama-tama akan memberi kebebasan kepada orang-orang yang diperbudak, dan kemudian pertama-tama memperingati kebebasan kita sendiri!). Pamflet ini diketahui telah beredar di Solo, Chirebon dan Batavia (lihat De Preanger-bode, 31-07-1913). Dalam perkembangan terbaru Abdul Moeis dan Wirnjadisastra (lihat De Preanger-bode, 01-08-1913). Disebutkan bahwa tadi malam jam setengah lima anggota komite yang dipenjara anggota Komite Boemi Poetra Abdul Moeis dan Wirnjadisastra dibebaskan. (Sementara) Tjipto dan Soewardi tetap ditahan. Kami diberitahu bahwa jaksa penuntut umum telah meminta jalan masuk aturan untuk distribusi pamflet terkenal itu terhadap manajemen harian komite Boemi Poetra yang terdiri dari Tjipto, Soewardi dan Moeis’. Di lain pihak Tjokroaminoto wakil presiden SI yang tiba ke Bandoeng selain sosialisasi SI juga untuk ratifikasi pengurus gres SI Bandoeng menganggap tindakan Tjipto Mangeoenkoesoe telah menyerat orang-orangnya (lihat De Preanger-bode, 02-08-1913). Kasus Tjipto dan Soewardi ini sudah dibicarakan dalam Dewan Hindia yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal (De Preanger-bode, 05-08-1913). Dalam perkembangan terbaru Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta EFE Douwes Dekker akan diambil langkah-langkah oleh pemerintah lebih lanjut untuk agitasi kasar (lihat De Preanger-bode, 05-08-1913). Juga disebutkan fakta, bagaimanapun, baik penangkapan dan pertemuan Dewan Hindia pada awalnya tidak berhubungan. EFE Douwes Dekker ditangkap dan di penjara di Batavia tadi malam pukul 10 malam’.

Komite Boemi Poetra ini pada masa ini disebut sebagai Indische Partij (Partai Hindia). Indische Partij didirikan pada tanggal 25 Desember 1912. Para pendiri yakni EFE Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Raden Mas Soewardi. Indische Partij ini merupakan partai orang Indonesia dan Indo (orang Eropa/Belanda lahir di Indonesia). Dewan pusat yang didirikan di Bandoeng mengajukan statuta kepada pemerintah pada tanggal 4 Maret 1918 tetapi kemudian ditolak dan disampaikan kepada pengurus pada tanggal 13 Maret 1913 (lihat De Preanger-bode, 20-08-1913).

Dalam perkembangannya muncul Komite Boemi Poetra. Komite ini akan melaksanakan peringan pembebasan Belanda seabad yang lalu. Dalam hubugan ini muncul pamflet yang dibuat RM Soewardi yang didalamnya aneka macam isu yang terkait dengan latar belakang usaha untuk pembebasan dan pembentukan parlemen. Sebagaimana diketahui seabad yang kemudian tahun 1812 Inggris mengambil alih Jawa dan mengembalikannya kembali pada tahun 1816.

Sementara itu, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mulai aktif dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Indisch Vereeniging. Sebagaimana Raden Mas Soewardi, Todoeng Harahap lebih sering namanya ditulis sebagai Soetan Goenoeng Moelia tidak sendiri mahasiswa asal Padang Sidempoean di Belanda. Paling tidak sudah ada dua mahasiswa yang cukup dikenal yakni Rodjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (tiba di Belanda tahun 1905) dan Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon (tiba di Belanda tahun 1910).

Indisch Vereniging (Perhimpunan Hindia) digagas oleh Soetan Casajangan pada tahun 1908. Ide ini muncul lantaran dalam perkembangannya organisasi mahasiswa Boedi Oetomo yang didirikan Soetomo dan kawan-kawan di Batavia pada bulan Mei telah terkooptasi oleh golongan orang bau tanah menjelang kongres Boedi Oetomo yang akan didakan di Jogjakarta pada tanggal 3 hingga 5 Oktober. Pengkooptasian Boedi Oetomo ini dipandang mengakibatkan masalah lantaran visi misi Boedi Oetomo dikerdikan hanya terbatas untuk (penduduk) Jawa dan Madura. Soetan Casajangan bereaksi dan mengundang seluruh mahasiswa Hindia di Belanda ke rumahnya untuk memikirkan bangsa dan membentuk organisasi. Pada tanggal 25 Oktober 1908 di rumah Soetan Casajangan disepakati pembentukan organisasi nasional Hindia yang disebut Indisch Vereeniging yang mana secara aklamasi Soetan Casajangan didaulat sebagai Presiden. Proklamasi pendirian Indisch Vereeniging yang berhaluan nasional ini dengan sendirinya mengcounter perubahan misi Boedi Oetomo menjadi bersifat kedaerahan. Dalam statuta Boedi Oetomo pasca kongres di Jogjakarta hanya disebutkan (pulau) Jawa dan (pulau) Madura. Soetan Casajangan sendiri yakni seorang guru di Padang Sidempeoan yang sesudah 13 tahun mengajar pada tahun 1905 melanjutkan studi untuk memperoleh sertifikat sarjana pendidikan. Soetan Casajangan yakni alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean. Salah satu adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean yakni Mangaradja Hamonangan, ayah dari Soetan Goenoeng Moelia sendiri. Karena faktor Soetan Casajangan diduga Mangaradja Hamonangan mengirim Soetan Goenoeng Moelia studi lebih lanjut ke Belanda.

Meski mayoritas anggota Indisch Vereeniging yakni mahasiswa asal Jawa, tetapi misinya yang berhaluan nasional secara tidak pribadi telah berseberangan dengan Boedi Oetomo (yang tiba-tiba berubah haluan nasional menjadi kedaerahan). Boedi Oetomo telah didominasi oleh para orangtua, dan para pendiri yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa Docter Djawa School (berganti nama menjadi STOVIA) terkesan tersingkir dan disingkirkan. Soetomo dan kawan-kawan yang masih muda-muda secara perlahan-lahan ‘keluar’ dari Boedi Oetomo atau paling tidak mereka tidak aktif di pengurusan yang kantor pusatnya sebelumnya di Batavia telah dipindahkan ke Jogjakarta (pasca komgres Oktober 1908). Soetomo dan kawan-kawan sepertinya tetap menjaga kekerabatan baik dengan Indisch Vereeniging di Belanda.

Raden Mas Soewardi alias Soewardi Soerjaningrat sesudah gagal di STOVIA (Docter Djawa School) di Batavia pindah ke Bandoeng untuk sekolah di OSVIA. Dalam fase sekolah di Bandoeng inilah diduga Raden Mas Soewardi berinteraksi dengan seniornya Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang telah muak dengan ketidakadilan Belanda. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dengan kawan-kawan di Bandoeng mulai menyusun konsep negara Hindia (yang dipisahkan dari Belanda). Pemikiran Bandoeng ini sejalan dengan Indisch Vereeniging di Belanda yang menentang misi Boedi Oetomo. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-kawan di Bandoeng bahkan lebih ekstrim dari Indisch Vereeniging sendiri.

Untuk sekadar diketahui, sebelum (organisasi kebangsaan) Boedi Oetomo didirikan sudah ada organisasi kebangsaan yang pertama, didirikan di Padang tahun 1900 dengan nama Medan Perdamaian. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian di Padang ini yang beranggota multi etnik mempunyai haluan nasional. Dalam kongres Boedi Oetomo pada bulan Oktober 1908 nama organisasi kebangsaan Medan Perdamaian disebut dan konsep organisasi Boedi Oetomo disebut mengikuti (copy paste) konsep Medan Perdamaian yakni telah mempunyai organ untuk memberikan program-program organisasi. Boedi Oetomo tidak mengikuti pola Sarikat Dagang Islam (SDI) yang bersifat golongan yang didirikan tahun 1905 (pada tahun 1906 berubah nama dann meluas menjadi Sarikat Islam) dan menentukan pola yang diterapkan oleh Medan Perdamaian di Padang yang bermacam-macam etnik. Boedi Oetomo bersifat multi etnik tetapi bukan bersifat nasional dan hanya terbatas di Jawa dan Madoera (Jawa, Soenda dan Madoera). Medan Perdamaian menjadikan surat kabar Pertja Barat sebagai organnya dengan motto ‘Oentoek Sagala Bangsa’. Pemilik surat kabar Pertja Barat ini yakni seorang pensiunan guru yang semenjak 1895 mendirikan sekolah swasta di Padang. Penggagas organisasi kebangsaan Medan Perdamaian ini digagas oleh Dja Endar Moeda yang juga sekaligus eksekutif pertama semenjak awal pendirian. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda yakni alumni Kweekschool Padang Sidempoean, kakak kelas Soetan Casajangan dan Mangaradja Hamonangan (ayah Soetan Goenoeng Moelia).

Indisch Vereeniging di Belanda mempunyai posisi ideal dalam usaha nasional oleh para pemuda. Dalam kasus pamflet, Indisch Partij menjadi ekstrim dari satu sisi dan sebaliknya Boedi Oetomo menjadi ekstrim yang lain. Indisch Partij mengusung multi ras, termasuk Indo (orang Belanda yang lahir di Hindia). Sementara Boedi Oetomo meski hanya membatasi untuk pribumi tetapi perjuangannya hanya terbatas di Jawa dan Madura saja (kedaerahan). Sedangkan Indisch Vereeniging mengusung misi nasional dengan platform multi etnik (tidak termasuk ras yang lain apakah Eropa atau timur ajaib lainnya)anpa).

Ada perbedaan metode yang diterapkan Indisch Vereeniging dengan Indisch Partij. Dalam kasus pamflet, Indisch Partji melaksanakan pendekatan radikal, sementara Indisch Vereeniging lebih persuasif dan dilakukan secara gradual. Dapat dibandingkan antara isi pamflet yang ditulis oleh RM Soewardi yang mengakibatkan terjadinya penangkapan dengan cara yang lebih santun yang disampiakan oleh Soetan Casajangan belum lama ini di Belanda dimana Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam lembaga yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

..saya selalu berpikir wacana pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat bahagia untuk pribadi mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam lembaga ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).    

Lantas bagaimana dengan Indisch Partij itu sendiri? Banyak pertanyaan yang muncul. Indische Partij paling tidak dihubungan dengan tiga tokoh utama: Dr, Tipto Mangoenkoesoemo; EFE Douewes Dekker dan RM Soewardi Soejaningrat. Dr. Tjipto tidak pernah terhubung dengan Boedi Oetomo maupun SI. Dr. Tjipto mengusung visi nasional secara keseluruhan. Sebaliknya RM Soewardi terhubung dangan Boedi Oetomo dan SI. Sedangkan EFE Douwes Dekker, ibarat halnya Dr. Tjipto tidak terhubung dengan Boedi Oetomo dan SI, tetapi EFE Douwes Dekker terhubung dengan Indische Bond yang didirikan tahun 1898 oleh Zaalberg (editor Bataviaasch nieuwsblad), suatu perhimpunan orang-orang Indo di Hindia. Indische Partij dalam hal ini bentuk lain gabungan Indische Bond dan Indische Vereeniging atau boleh juga dikatakan Insulinde format baru.

Bagaimana latar belakang EFE Douwes Dekker sudah cukup jelas. Akan tetapi agak sulit melihat latar belakang Dr. Tjipto. Sementara  RM Soewardi sesudah pamflet dan peringatan pembebasan Belanda satu kala mulai dihubung-hubungkan pers Belanda dengan Jogjakarta. Ini bermula ketika RM Soewardi ditangkap dan diadili di Bandoeng, RM Soewardi mengintimidasi petugas dengan mengaku dirinya sebagai pangeran dari Jogjakarta. Atas hal ini pers Belanda melaksanakan pengusutan ke Jogjakarta. Hasilnya yakni sebagai berikut (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-08-1913). Pertama, RM Soewardi hanyalah pseudo pangeran, salah satu darah biru Pakoe Alaman yang lebih rendah. Kedua, isi pamflet yang ditulis RM Soewardi sempurna pada satu kala sesudah pembentukan Pakoe Alaman di Djokja oleh Luitenant Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, yang yakni Pangeran Noto Koesoemo dari Hamengkoeboewono kepada pangeran independen yang menjadi Pakoe Alam I. dengan arahan untuk mengawasi saudara lelakinya yang galak dan tidak sanggup diandalkan, Sultan Hamengkoeboewono II (Sultan Sepuh). Seperti yang diharapkan oleh pers Belanda, RM Soewardi, yang menyebut dirinya seorang pangeran di Bandung, tidak akan mempunyai banyak perhatian di Djokjakarta. Dengan membawanya ke hadapan hakim di Bandoeng akan lebih gampang bila dibandingkan kasusnya terjadi  di Djokjakarta. RM Soewardi Soerjaningrat dalam dilema. Hal ini diperburuk oleh statement dari dewan pusat SI yang terkesan basuh tangan dan sebaliknya menyampaikan bahwa dengan pamflet yang nota bene berasal dari RM Soewardi menciptakan SI terkena imbasnya. Pihak SI menganggap isi brosur (pamflet)  tidak cocok untuk disebarluaskan (patoet) oleh anggota SI dan oleh Oetoesau Hindia, organ SI. Adapun RM Soewardi yang mengundurkan diri sebagai Presiden SI di Bandoeng sebelum intervensi komite yakni bukti bahwa ia RM Soewardi bertindak untuk dirinya sendiri dan sama sekali tidak atas nama SI. Ia juga menunjukan bahwa SI tidak ada hubungannya dengan kerumitan tersebut dan tindakan Komite atau RM Soewardi  (lihat  De Preanger-bode, 09-08-1913).

Khusus untuk kasus Komite Boemi Poetra terkesan urutan berpikirnya sebagai berikut: EFE Douwes Dekker menghipnotis Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Lalu dalam operasionalnya Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo mendelegasikan kepada RM Soewardi. Pamflet yang disusun RM Soewardi telah menghubungkannya sendiri dengan riwayat masa kemudian keluarganya seabad yang lampau pada ketika mana tiga tahun pembebasan Belanda di Jogjakarta. Saat yang bersamaan SI sendiri mempunyai visi misi dengan acara sendiri. RM Soewardi dalam hubungannya dengan SI bukan murni untuk memperkuat SI tetapi justru sebaliknya untuk memanfaatkan SI dalam pembentukan Komite Boemi Poetra.

Last but not least. Jika Dr. Tjipto tidak terhubung dengan Boedi Oetomo dan SI lantas dengan siapa terhubung. Pada tahun 1912 Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo telah menulis surat terbuka kepada Indisch Vereeniging di Belanda (lihat De Preanger-bode, 14-08-1913). Melalui ketuanya RM Noto Soeroto mengumumkan surat terbuka ini dengan menulis wacana hal itu di Nieuwe Courant yang berjudul De Indische Party. Atas saran Mr. C. Th. van Deventer dua goresan pena itu disatukan menjadi brosur dengan judul De Indische Party en de ‘Open brief aan de Landgenooten’ van dr. Tjipto Mangoenkoesoemo door RM Noto Soeroto yang diterbitkan oleh Beek'e boekhandel, Gravenhage 1913. Sejauh ini surat Dr. Tjipto masih bersesuaian dengan visi misi Indische Vereeniging. Pembuatan brosur oleh Indisch Vereeniging berdasarkan surat Dr. Tjipto dan balasan RM Noto Soerono eskalasinya sedikit meningkat bila dibandingkan dengan isi pidato yang disampaikan oleh Soetan Casajangan dua tahun sebelumnya. Isi pamlet yang dikeluarkan oleh Komite Boemi Poetra jauh melompat dari gradualisasi usaha Indische Vereeniging.

Lantas bagaimana dengan hasilnya bila Komite Boemi Poetra ini berhasil, EFE Douwes Dekker akan menarik manfaatnya. EFE Douwes Dekker terang mempunyai keinginan mulia diantara ras Eropa yang ada di Hindia. EFE Douwes Dekker bukan ingin memisahkan orang-orang Belanda di Belanda dengan orang-orang Belanda di Hindia, tetapi ingin memisahkan Pemerintah (Kerajaan) Belanda dengan Pemerintah Hindia. Tidak ada lagi Pemerintah Hindia Belanda, yang ada Pemerintah Hindia. Dalam kekerabatan ini, Pemerintah Hindia harus mempunyai tubuh legislatif sendiri. Negara Hindia, apakah orang pribumi atau apakah orang Eropa/Belanda bebas menentukan nasib sendiri. Itulah yang dicita-citakan EFE Douwes Dekker.

Cita-cita EFE Douwes Dekker sesungguhnya garis continuum keinginan Edward Douwes Dekker. Pada tahun 1842 Edward Douwes Dekker mengadvokasi penduduk Mandailing dan Angkola untuk melawan Koffiestelsel. Akibatnya kejadian ini, sebagian penduduk Mandailing dan Angkola eksodus ke Semenanjung (wilayah Inggris), sementara Edward Douwes Dekker dicopot dari jabatannnya sebagai Controleur di Natal. Tidak hingga disitu saja, Edward Douwes Dekker dilakukan tahanan kota di Padang dan tidak diperbolehkan bertemu keluarganya di Batavia. Pengalaman di Mandailing dan Angkola inilah yang menjadi pemicu gerakan kemanusiaan Edward Douwes Dekker di aneka macam tempat di Hindia. Edward Douwes Dekker yang menyebut dirinya Multatuli pengalaman hidup yang dilihatnya dikristalisasi menjadi roman yang berjudul Max Havelaar.

Pengurus Indische Partij Diasingkan Tetapi Tidak Terasing

Revolusi Dr. Tjipto dan RM Soewardi dalam Indische Partij terkesan sangat tergesa-gesa dan kurang tertata dengan baik. Propaganda yang vulgar pada ketika Indisch Partij belum begitu berpengaruh di dalam pamflet yang disusun RM Soewardi telah menjeratnya sendiri dan juga dengan dua rekannya Dr. Tjipto dan EFE Douwes Dekker. Pembentukan Indische Partij dan pembentukan SI cabang Bandoeng dan kemudian cepat meninggalkannya juga telah menciptakan situasi dan kondisi menjadi kempleks. Kini, yang tersisa hanyalah menunggu proses persidangan. 

Arnhemsche courant, 19-08-1913
Setelah melalui sidang di Batavia, kesudahannya tiga tokoh tersebut diputuskan untuk diasingkan ke tempat yang berbeda. EFE Douwes Dekker ke Koepang,  Dr. Tjipto ke Banda dan RM Soewardi ke Bangka (lihat Arnhemsche courant, 19-08-1913).

Dalam sidang yang dilakukan Dr. Tjipto dan RM Soewardi diberi kesempatan pembelaan yan dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1913 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-08-1913). Sebelum diberangkatkan ke pengasingan mereka diberi kesempatan selama 30 hari untuk menuntaskan sesuatu dengan tetap di bawah pengawasan polisi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1913). EFE Douwes Dekket ke Bandoeng. RM Soewardi ke Solo (lihat De Preanger-bode,         26-08-1913).

Lantas apakah misi nasional berhenti. Perjuangan kebangsaan nasional tidak akan pernah mati meski para pengurus Indisch Partij diasingkan. Masih ada Indische Vereeniging dan tentu saja masih ada orang-orang yang mempunyai kecenderungan tinggi untuk misi nasional, tidak hanya di Batavia juga di Sumatra. Rumor Tjipto, Dekker dan Soewardi diasingkan ke Eropa.

Selama persiapan pengasingan untuk tiga tokoh revolusioner tersebut muncul rumor bahwa Tjipto diasingkan tidak ke Banda tetapi ke Eropa (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1913). Untuk EFE Douwes Dekker bila dipindahkan ke Eropa mempunyai problem tersendiri, sementara RM Soewardi sulit ke Eropa lantaran mempunyai problem sendiri. Dalam perkembangan terbaru dilaporkan dari Bandoeng  bahwa bila Tjipto ke Belanda akan memakai kesempatan ini untuk melanjutkan studi yang disebut dalam ilmu kedokteran di Eropa. Apa yang ingin dilakukan Soewaidi belum sanggup dikatakan dengan pasti; Namun, kami menganggap sangat mustahil bahwa Soewardi, yang ketika ini tinggal bersama ayahnya di Djokja, tidak akan memakai arahan yang diberikan kepadanya untuk meninggalkan Hindia (lihat  De Sumatra post, 03-09-1913).

Rumor itu telah menjadi terang. De Preanger-bode, 05-09-1913 melaporkan bahwa besok Tjipto dan Soewardi berangkat dari Bandoeng di bawah pengawasan polisi menuju Batavia kemudian ke Singapoera dan akan bergabung dengan EFE Douwes Dekker. Berita ini diperkuat oleh coresponden surat kabar Belanda di Batavia bahwa hari ini (Sabtu) Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi telah berangkat ke Eropa dengan kapal maritim Jerman (lihat Algemeen Handelsblad, 07-09-1913).

Bredasche courant, 03-10-1913
EFE Douwes Dekker terkesan sangat mengasihi Hindia dan juga sangat menjaga dua temannnya Tjipto dan Soewardi. Boleh jadi bagi EFE Douwes Dekker diasingkan ke Eropa bukan masalah baginya, tetapi akan berbeda bagi dua temannnya. EFE Douwes Dekker hanya akan dipisahkan dengan penduduk Hindia, tetapi dua temannya tidak hanya dipisahkan dengan keluarga dan teman-temannya tetapi juga tanah airnya. Sebelum berangkat ke Eropa, EFE Douwes Dekker di penjara Weltevreden masih sempat menulis surat terbuka untuk orang-orang Eropa/Belanda (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-09-1913). Di dalam surat terbuka Douwes Dekker meminta orang-orang Belanda untuk pulih dari ketidakadilan yang dilakukan terhadapnya dan sesama temannya Tjipto dan Soewardi. Disebutkan surat itu ditulis di penjara di Weltevreden.

Tiga revolusioner ini telah tiba di Belanda (lihat Bredasche courant, 03-10-1913). Disebutkan Para interniran di Den Haag. Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi tiba di Den Haag kemarin, ditemani oleh istri mereka dengan kereta api. Di stasion mereka diterima oleh sekitar 30 anggota partai dengan musik yang dibawakan SP-marsch. Tidak diketahui mereka naik kereta api darimana apakah dari pelabuhan Belanda atau pelabuhan di selatan Prancis.

Saat kedatangan tiga revolusioner ini di Den Haag tidak sendiri, mereka disambut oleh 30 orang dengan iringan musik. Mereka ini diduga yakni mahasiswa-mahasiswa pribumi yang kuliah di Belanda. Boleh jadi penyambutan ini diorganisir oleh Indisch Vereeniging yang kini diketuai oleh Noto Soeroto. Pada ketika pendirian Indische Vereeniging pada tahun 1908 jumlah anggota sebanyak 20 orang. Setelah lima tahun berdirinya Indisch Vereeniging sudah barang tentu jumlah anggota mahasiswa telah bertambah (meski ada yang pulang sesudah selesai studi).

Soetan Casajangan Soripada Harahap, pendiri Indische Vereeniging diketahui telah kembali ke tanah air pada bulan Juli 1913 dan kemudian ditempatkan sebentar sambil menungggu penempatan di sekolah Eropa di Buitenzorg dan kemudian berangkat ke Kweekschool Fort de Kock. Sebagaimana diketahui Soetan Casajangan pernah berpidato di hadapan mahir Belanda di Leiden tahun 1911 yang memperjuangkan pendidikan untuk boemi poetra. Soetan Casajangan memperlihatkan perasaannya bahwa di dalam hatinya ada perbedaan antara ‘coklat’ dan ‘putih’.

Buku Soetan Casajangan, 1913
Sebelum Soetan Casajangan pulang ke tanah air telah menerbitkan buku (brosur) yang berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara serpihan Hindia dilihat oleh penduduk pribumi) diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. 1913. Buku ini yakni sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas wacana perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah semenjak lama penduduk pribumi mencicipi adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya aneka macam sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo dkk dan Sarikat Dagang Islam, Medan Perdamaian dan Sjarikat Tapanoeli. Dalam buku ini terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda yang  membatasi konsesi untuk warga pribumi yang mana berdasarkan Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi sanggup diberikan sementara penduduk pribumi orisinil haknya justru dirampas. Lebih lanjut, Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat fundamental bahwa persamaan di hadapan aturan bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan  di Belanda sendiri tidak semua orang sifat, watak dan kebajikannya sama tapi toh diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu, berdasarkan Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa.

Tidak lama sesudah Soetan Casajangan di Fort de Kock, dua guru muda pada bulan Oktober 1913 berangkat studi ke Belanda. Dua guru muda itu yakni Dahlan Abdullah dan Tan Malaka. Lalu pada bulan Desember dari Buitenzorg, ajudan dosen di Veeartsen School Buitenzorg berangkat studi ke Belanda. Asisten dosen tersebut yang juga merupakan dokter binatang pribumi pertama yang melanjutkan studi kedokteran ke Belanda yakni Sorip Tagor Harahap (kelak dikenal sebagai ompung/kakek dari Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Tagor, istri Setya Novanto). Seperti halnya Soetan Goenoeng Moelia, Sorip Tagor juga yakni kelahiran Padang Sidempoean.

Seorang koresponden surat kabar berhasil melaksanakan wawancara dengan EFE Douwes Dekker. Wawancara ini merupakan opini pertama dari EFE Douwes Dekker sesudah artikelnya di suratkabar Ekspres yang dipimpinnya sebelum ditangkap. Di dalam persidangan EFE tidak menciptakan opini tetapi hanya sekadar menjawab pertanyaan jaksa. Hasil wawancara ini dimuat pada surat kabar Nieuwsblad van het Noorden, 06-10-1913.

Wawancara dengan Douwes Dekker. Amserdam, 6 Oktober. Editor Den Haag Persbureau Vas Dias di Amsterdam telah mengadakan pertemuan dengan pemimpin Indische Partij yang gres saja tiba di negara ini. Tuan Douwes Dekker ditemani Tjipto dan Raden Mas Soewardi, tiga pemimpin Indische Partij yang diasingkan. Douwes Dekker menjawab pertanyaan wacana apa yang membawanya ke Belanda, yaitu niat untuk meneruskan proaganda di Belanda dengan penuh semangat. Kami akan, berdasarkan Tuan DD mengguncang opini publik dan memperlihatkan ilegalitas pengasingan kami. Kami sudah diundang untuk keperluan ini oleh SDAP cabang Amsterdam [SADP yakni partai buruh sosial demokrat di Belanda,  Sociaal Democratische Arbeiders Partij] untuk menjelaskan kasus kami dalam pertemuan publik. Selain itu, dalam beberapa hari sebuah surat kabar mingguan De Indiers yang akan dieditori oleh Tjipto akan diterbitkan, dimana prinsip-prinsip kami akan dipertahankan. Kita! selanjutnya, Mr. DD melanjutkan, dalam pengertian keadilan rakyat Belanda dan perwakilan dari partai-partai paling progresif di Tweede Kamer untuk berharap bahwa penghentian akan dilakukan atas kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dimana kami menjadi korban. Kami hancur secara finansial dan sosial oleh pembuangan ini. Dan mengapa brosur yang banyak dibahas yang ditulis oleh Soewardi ‘Als ik Nederlander was’ yang tidak mengandung eksekusi dan bahkan lebih moderat daripada artikel yang ditulis oleh Het Volks wacana kemerdekaan. Mengenai pentingnya hasil pemilu untuk Hindia, DD berkomentar sebagai berikut: Meskipun kita tahu posisi Menteri Koloni yang baru, kita tahu bahwa itu kini akan menjadi masalah stimulasi penduduk pribumi yang tidak perlu, hari demi hari, dari perasaan religius penduduk pribumi itu. Memang benar bahwa tindakan yang tidak taktis dan provokatif itu telah membawa puluhan ribu anggota ke Sarikat Islam. Islam telah menjadi pengikat agama yang menyatukan penduduk pribumi. Menurutmu, tindakan Indisch Partij sudah membuahkan hasil?. Ini umumnya diakui di Hindia. Ada hasil yang terlihat dan tidak terlihat untuk ditunjukkan. peraturan pemerintah yang telah diumumkan bahwa mulai kini dengan upah yang setara untuk kekerabatan dan keterampilan yang sama akan diberikan kepada orang Eropa dan pribumi. Itu yakni salah satu poin utama dari acara kami. Dalam pelayanan, bahkan di ketentaraan penduduk pribumi menjadi kurang diakomodir padahal mereka yakni penduduk asli. Ini akan berakhir sekarang. [Surat kabar] Lokomotif menyebutnya revolusioner yang tepat. Saya juga merujuk pada surat edaran 2014. Ini termasuk ancaman eksekusi berat (bahkan pemecatan; perintah penduduk pribumi untuk diperlakukan sama dengan Eropa). Ini memang akreditasi lapang dada dari pemerintah Hindia Belanda bahwa hingga kini ada perbedaan Dalam surat edaran ini seseorang sanggup benar-benar mengidentifikasi bagian-bagian yang sanggup disaksikan diambil dari artikel utama Express. Perlakuan yang sama putih dan coklat juga salah satu dari klaim kami. Surat edaran ini diterbitkan ketika kami berangkat ke Belanda sebagai orang buangan. Saya masih sanggup memperlihatkan kepada Anda keputusan Departemen Kehakiman untuk memperkenalkan status sipil sesegera mungkin. Kami juga telah bekerja keras untuk mencapai hal ini. Dengan puas, kami telah mencatat pidato dari GG pada tanggal 31 Agustus diucapkan. Di dalamnya diumumkan pengambilan tindakan, perkenalan yang kami perjuangkan dan usaha untuk yang menganiaya kami. Saya menunjuk pada aturan kasus. Ada hak untuk orang ‘kulit putih’ dan untuk penduduk pribumi. GG telah mengumumkan penyatuan hukum. Dia juga berbicara wacana organisasi - pikiran Anda, bukan reorganisasi - wacana Onderwijs. Padahal belum ada organisasi pendidikan di Hindia. Juga pidato dari Perguruan Tinggi juga disebutkan. Ini yakni hasil faktual dari tindakan kita. Hasil yang tidak terlihat yakni tumbuhnya kesadaran diri, harga diri, tumbuhnya rasa persatuan, cinta untuk dan pengetahuan negara sendiri’. 
.
Opini EFE Douwes Dekker ini sesuai dengan yang pernah diutarakan Soetan Casajangan pada presentasinya di hadapan para hali Belanda bulan Oktober 1911. Berikut disajikan kembali petikan isi presentasi Soetan Casajangan tersebut: ‘..Saya selalu berpikir wacana pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan presentasi ini saya sangat bahagia untuk pribadi mengemukakan yang seharusnya..Saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam lembaga ini) ‘Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...Sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Bagaimana Soetan Casajangan berbicara ibarat itu, sejatinya sudah muncul semenjak lama bahkan sebelum Soetan Casajangan menggagas didirikannnya Indische Vereeniging di Belanda. Surat kabar Telegraaf tahun 1907 mewawancarai Soetan Casajangan di Amsterdam. Berikut petikannya yang dilansir surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907: 'Mmengapa Anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu sebagai calon koeria, yang seharusnya Anda sudah pension jadi guru dan anda juga harus pula rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu? Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru Ophuijsen (gurunya di Kweekschool Padang Sidempoen), tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan (akibat penjajahan). Saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk pribumi di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Saya mengajak bawah umur muda untuk tiba kesini (Belanda) semoga bisa berguru banyak. Di kampong saya kehidupan perjaka statis, baik laki-laki dan perempuan dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan). Mereka menghibur diri dengan menari (tortor) yang diringi dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel gong (dansten zij op de muziek van bekkens, klarinet, guitaar en gebarsten gong). Anda tahu dalam filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun berguru semoga tetap intelek’.  

Pengasingan tiga rovulusioner menjadi pembahasan semua surat kabar yang terbit di Belanda. Sebelumnya semua surat kabar Belanda di Hindia memonjokkan tokoh-tokoh Indische Partij dan Komite Boemi Poetra, bahkan surat kabar Locomotief yang terbit di Semarang yang investasinya sebagian besar dimiliki van Deventer ikut menyalahkan tokoh-tokoh tersebut. Di Belanda sudah ada surat kabar yang mulai sedikit membela. Surat kabar ini diduga surat kabar yang berhaluan sosialis yang menjadi organ ASDP yakni De tribune: soc. dem. weekblad. Ulasan-ulasannya cukup untuk pembelaan Indische Partij. Salah satu yang penting yang mereka soroti yakni soal perayaan pembebasan Belanda yang didukung oleh Gubernur Jenderal Idenburg. RM Soewardi dalam pamfletnya menganggap itu sebagai penghinaan lantaran perayaan pembebasan 100 tahun kemudian dilakukan dengan partisipasi penduduk pribumi ketika mana Indische Partij ingin membebaskan Belanda dari Hindia dan membentuk parlemen. Pamflet yang telah menyebar ini ini menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah sehingga solusinya dilakukan tindakan represif dengan penangkapan.

Hal yang ibarat dengan kasus yang diangkat RM Soewardi ini pernah terjadi pada tahun 1899 dalam kasus Transvaal. Dja Endar Moeda editor Pertja Barat di Padang mempersoalkan pengumpulan dana di seluruh Hindia Belanda yang dimaksudkan untuk membantu orang-orang Belanda di Afrika Selatan dalam melawan penduduk asli, sementara berdasarkan Dja Endar Moeda  di Hindia Belanda, pribumi dilanda kemiskinan yang parah. Dja Endar Moeda tidak menulis di dalam surat kabarnya berbhasa Melayu Pertja Barat tetapi justru menulis serangannya justru di surat kabar berbahasa Belanda Sumatra courant yang terbit di Padang (lihat salah satu tulisannya di Sumatra courant, 15-12-1899). Dja Endar Moeda yakni kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda dalam hal ini diserang oleh pers Belanda ibarat yang dialami oleh Tjipto dan RM Soewardi.  

Di kalangan pribumi muncul dari Dt. Radjiman, yang cenderung merendahkan dua revolusioner pribumi yang sedang diasingkan di Belanda (lihat  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1913).  Disebutkan Dt. Radjiman, seorang dokter kraton Solo dalam ceramahnya di Semarang hari ini wacana Sarikat Islam Klaim yang dibuat oleh kedua laki-laki ini niscaya ditiup dari luar, mereka mungkin tidak terpikir oleh mereka sendiri. Begitulah cara berpikir seorang pribumi yang maju yang tahu wacana tuan-tuan (papegaaien). Pendapat ini boleh benar dan juga bisa salah. Yang terang pengasingan dua revolusioner ini telah banyak dibicarakan di kalangan pers Belanda lantaran faktor Douwes Dekker.

Iklan rapat publik di Amsterdam
Seperti yang disebutkan sebelum ini, Sarikat Islam melalui Wapres Tjokroaminoto yang basuh tangan segera penangkapan RM Soewardi. Sebab sebelum muncul pamflet RM Soewardi yakni ketua SI cabang Bandoeng yang mengundur diri. Jika dihubungkan dengan pendapat Dr.Radjiman ini maka itu sejalan dengan SI. Sebaliknya dari pihak Belanda termasuk pers awalnya semua memusuhi tiga revolusioner ini bahkan surat kabar Locomotief yang notabene dimiliki oleh van Deventer, tetapi belakangan ada pihak di Belanda yang membela tiga revolusioner ini. Paling tidak sejauh ini kelompok sosial demokrat dengan organnya De Tribune.

Dalam pertemuan publik yang dilakukan oleh ASDP di Amsterdam dengan menghadirkan tiga revolusioner dari Hindia mendapat sambutan di ruangan yang penuh (acara yang dikutip harga tiket banyak peminat yang harus ditolak). Tjipto dan Soewardi seakan tidak berada di tempat pengasingan yang terasing tetapi di tengah yang kota yang simpati dengan mereka. Mereka seakan tidak berjuang melawan kesepian tetapi tetap justru berjuang ibarat halnya di Bandoeng di tempat khalayak ramai di Amsterdam. Dalam rapat publik di Amsterdam, setiap orang yang berminat hadir ingin mendengat dua revolusioner. Tjipto dan Soewardi menjadi perwakilan Hindia, sebagaimana sebelumnya tahun 1911 Soetan Casajangan (penasehat Indische Vereeniging) berada di lembaga mahir Belanda di Leiden. Kini Soetan Casajangan tidak lagi sendiri, sudah ada Tjipto Mengoekoesoemo, RM Noto Soeroto, RM Soewardi dan laiinnya terutama di dalam lingkaran Indische Vereeniging.

Jika membandingkan isi pidato Soetan Casajangan tahun 1911 dan isi bukunya (brosur) yang gres terbit di Barn 1913, sejatinya kurang lebih sama dengan isi pamflet Soewardi dan tulisan-tulisan Tjipto di surat kabar Express pada tahun 1913. Yang membedakannya hanyalah cara mengemas dan menyampaikan. Soetan Casajangan dengan bahasa yang santun dengan nada yang lem, sementara Tjipto dengan bahasa yang keras lebih-lebih Soewardi yang cenderung kasar (paling tidak berdasarkan pandangan orang Belanda dan orang-orang SI). Keutamaan Tjipto dan Soewardi di mata orang-orang Belanda bukan lantaran soal isi dan nada pesan tetapi lebih pada faktor EFE Douwes Dekker yang sanggup mengundang simpati dari orang-orang Belanda yang secara pribadi sanggup menggugah para Indo lebih banyak dan direspon oleh orang Belanda di Belanda yang berhaluan sosial yang pada gilirannya sanggup merongrong dan melemahkan otoritas Belanda di Hindia. Hal semacam ini telah didapatkan oleh Soetan Casajangan dari kelompok terpelajar yang mengidentifikasi diri sebagai para mahir dan pakar Hindia. Namun cara yang dilakukan Soetan Casajangan tidak dianggap oleh orang Belanda berlebihan sehingga tidak ada kekhawatiran yang mendesak. Singkat kata Soetan Casajangan dengan seni manajemen incremental secara gradual (evolusioner), sedangkan Tjipto dan Soewardi (yang di bawah bayang-bayang Douewes Dekker) dengan seni manajemen radikal dan segera (revolusioner). Perbedaan itu juga ditemukan dalam pamflet Soewardi yang berjudul  ‘Als ik een Nederlander was’ (‘Jika saya seorang Belanda) yang merujuk kepada Douwes Dekker dan Indo lainnya; sedangkan Soetan Casajangan dalam bukunya berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (Negara Hindia dilihat oleh seorang penduduk pribumi) yang merujuk pada dirinya yang mewakili pergerakan (mahasiswa) pribumi. Evolusioner dan revolusioner yakni perbedaan kecepatan tetapi sama-sama menuju tujuan yang sama. Evolusioner bisa hingga ditujuan sangat lama, tetapi revolusioner bisa saja macet di tengah jalan (kekuatan angin yang mendorong bahtera kalah dengan gelombang ombak yang menerjang).

Tjipto Mengoekoesoemo dan RM Soewardi di Belanda tidak hanya disambut oleh mahasiswa-mahasiswa pribumi yang tergabung dalam Indisch Vereeniging, tetapi juga mereka berdua telah mendapat panggung di dalam lingkaran ASDP Belanda. Namun timbul pertanyaan? Mengapa Tjipto dan Siewardi sesudah penangkapan di Bandoeng, yang awalnya akan diasingkan ke Banda dan Bangka tiba-tiba bermetamorfosis hanya semacam pengusiran dari Hindia kemudian dilepas di luar yurisdiksi otoritas Pemerintah Hindia Belanda yang kebetulan pilihan Tjipto dan Soewardi bersama dengan Douwes Dekker lebih menentukan ke Belanda.

Kasus pengasingan atau lebih tepatnya pengusiran sebelumnya pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1910 Tirto Adhi Soerjo diusir dari Batavia/West Java dalam kasus delik pers surat kabar yang dipimpinnya Medan Priajaji ke Lampoeng. Tiga tahun sebelumnya Dja Endar Moeda di Padang diusir dan menentukan hijtah ke Medan dalam kasus delik pers surat kabar yang dipimpinnya Pertja Barat. Baik Tirto di Lampong maupun Dja Endar Moeda di Medan nyaman-nyaman saja. Instrumen ini boleh dikatakan instrumen kuno yang sudah diterapkan semenjak jaman tempo doeloe ibarat pengasingan Soeltan Badaroeddin dari Palembang ke Tjiandjoer, Pengeran Diponegro ke Sulawesi dan Imam Bondjol juga ke Sulawesi. Dalam kasus yang terbaru ini Tjipto, Soewardi dan Douwes Dekker pada dasarnya yang sejatinya diawali dalam hubungannya dengan pers yang mana pesan-pesan surat kabar Express telah mengakibatkan keresahan. Sebagaimana diketahui surat kabar Express di Bandoeng dimiliki dan dimpimpin EFE Douwes Dekker yang mana editornya yakni Tjipto Mangoenkoesoemo. Dalam pembentukan Indische Partij, Douwes Dekker dan Tjipto mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Sementara dalam kasus Komite Boemi Poetra dihubugkan dalam perayaan pembebasan Belanda yang mana ketua Tjipto dan Soewardi sebagai sekretaris-bendahara. Dalam hubungannya dengan pamflet yang disalurkan lewat SI Soewardi yang menciptakan brosur dan Tjipto terlibat dalam duistribusinya. Tjipto dalam kasus Indische Partij telah lebih dahulu menciptakan surat terbuka kepada Indische Vereeniging. Dalam hal ini Indische Partij yakni Indische Vereeniging dalam bentuk lain (partai politik). Penolakan pemerintah dalam ratifikasi statuta Indische Partij menjadi pemicu bagi Tjipto dan perayaan pemerintah wacana pembebasan Belanda satu kala menjadi pemicu bagi Soewardi lantaran pembebasan itu menjadi serpihan sejarah kadipaten di Jogjakarta yang diberikan Inggris tetapi kemudian dirampas oleh kembalinya Belanda berkuasa. Soewardi yakni pengeran dari kadipaten Pakoealaman.

Jawaban tersebut mulai terungkap dari lembaga ASDP yang diselenggarakan di Amsterdam. Dari lembaga ini terungkap bahwa ada perbedaan penafsiran antara orang-orang Belanda di Hindia wacana misi Tjipto, Soewardi dan Douwes Dekker di dalam Indische Partij dan pembentukan Komite Boemi Poetra dengan yang sebenarnya. Tjipto dan Soewardi telah mengklarifikasi di dalam forum.Orang-orang Belanda di Hindia telah memperlihatkan penilaian yang jelek terhadap kampanye Tjipto dan Soewardi lantaran diliputi rasa ketakutan yang berlebihan lebih-lebih lantaran melibatkan orang-orang Indo di Hindia yang diwakili oleh EFE Douwes Dekker. Namun nasi telah menjadi bubur, penangkapan dan penahanan telah dilakukan. Kasusnya mereka wacana pamflet telah hingga ke meja Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal melaksanakan rapat dengan Dewan Hindia. Dalam fase inilah diketahui bahwa kasusnya tidak seseram yang digambarkan pada tingkat kawasan dalam hal ini ketika masih ditangani pemerintah kota bandoeng dan oleh Residen di Batavia. Dalam rapat GG dan Dewan Hindia inilah diduga, dengan mempertmbagkan banyak sisi, diduga telah mengubah pengasingan tidak lagi ke Banda, Bangka dan Koepang dan dialihkan dengan mengusir mereka bertiga ke Eropa yang dalam hal ini ke Belanda.    

Oleh karenanya lantaran akhir terjadinya kasus Bandoeng (pamflet dan tempat pengasingan) tidak lagi dalam garis lurus. Ada pembelokan-pembelokan yang dilakukan secara tiba-tiba. Kasus pamflet telah didramatisir orang-orang Belanda dan pengasingan yang diputuskan oleh GG dan Dewan Hindia telah diperlunak dari pengasingan ke Banda, Bangka dan Koepang menjadi pengusiran ke Eropa/Belanda. Oleh karenanya dalam kasus yang heboh di Hindia tersebut bagi Tjipto dan Soewardi bukan pengasingan, bahkan bukan pengusiran tetapi hanya sekadar memisahkan Tjipto dan Soewardi dari para anggotanya di Indische Partij. Sedangkan Douwes Dekker tidak hanya memisahkan dengan anggota Indische Partij tetapi juga telah kehilangan sumberdaya yang besar (kehilangan bisnis di Bandoeng dan biaya-biaya yang harus ditanggungnya di Belanda). Kasus yang terus mengelinding kemana-amana, mereka bertiga menjadi tidak terpisahkan satu sama lain yang disebut tiga serangkai.

Khusus untuk Douwes Dekker, tidak ada pengadilan dilakukan kepadanya, tetapi pribadi ditangkap dan kemudian diputuskan diasingkan. Ini mengindikasikan bahwa Douwes Dekker telah lama diincar lantaran selama ini sepak terjangnya (sejak Indische Bond) dianggap sanggup mengganggu perdamaian di Hindia. Sebaliknya, bagi Pemerintah Hindia Belanda (GG dan Dewan Hindia) dengan solusi pemisahan ini (bukan pengasingan) menjadi terkesan dibuat lebih lunak sehingga tidak memicu munculnya penuntutan dari orang Belanda terutama yang Indo. Orang Belanda yang mayoritas kaum borjuis cenderung ingin dalam pelestarian praktek koloni daripada untuk mentolerir beberapa ‘anak-anak nakal’ yang membahayakan laba mereka. Mereka inilah yang mendiskreditkan Indische Partij dan pobia tehadap Komiter Boemi Poetra. Anak-anak pembangkang itu Tjipto dan Soewardi telah dipandang korban merger dari Indo yang dipimpin Douwes Dekker di dalam bingkai Indische Partij.

Tiga serangkai tidak hanya disambut oleh Indische Vereeniging dan difasilitasi oelh ASDP, kini tiga serangkai juga telah mendapat dingklik ketika menghadiri perdebatan di Tweede Kamer dalam soal Hindia termasuk yang dibicarakan Indische Partij (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 11-11-1913). Kita telah lupa bahwa tiga serangkai dalam pengasingan tetapi faktanya tiga serangkai ini mendapat tempat dan panggung yang sesuai di Belanda. Apakah pengusiran tiga serangkai ke Belanda sesuai yang diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda atau justru sebaliknya. Situasi telah cepat berubah.

Tweede Kamer di Belanda (baca: DPR) yang terdiri dari aneka macam partai kerap membicarakan isu yang terkait dengan Hindia Belanda. Untuk hal yang terkait di Hindia menteri yang disorot atau yang bertanggungjawab untuk urusan di Hindia yakni Menteri Koloni. Gubernur Jenderal (di Hindia Timur/Barat) bertanggungjawab kepada Menteri Koloni. Dalam perdebatan di Tweede Kamer wacana Hindia isu yang dibahas dimana Tjipto dan Soewardi hadir yakni soal Indische Partij. Dalam perdebatan ini isunya mengarah kepada EFE Douwes Dekker. Pembentukan Indische Partij, dalam hal ini Tjipto dan Soewardi dianggap sebagai korban. Dalam perdebatan ini juga dibahas wacana keberadaan Sarikat Islam. Beberapa hal yang disalahkan kepada EFE Douwes Dekker yakni pemisahan (kontras) Belanda murni dengan Indo dan juga wacana pembatalan Afdeeling B di sekolah Willem III. Tentang pembentukan tubuh legislatif debatable ada pihak yang pro dan ada yang kontra. EFE Douwes Dekker dianggap sebagai Multatuli yang telah memicu kerusuhan dan merusak perdamaian. Catatan: Edward Douwes Dekker alias Multatuli mengadvokasi penduduk Afdeeling Mandailing dan Angkola melawan kebijkan koffiestelsel tahun 1842. Dalam kerusuhan di Mandailing dan Angkola banyak korban, sebagian penduduk Mandailing dan Angkola eksodus ke Semenanjung. Afdeeling Mandailing dan Angkola kini (1913) disebut Afdeeling Padang Sidempoean.

Sementara itu di tanah air, pada tahun 1914 di Batavia Dr. Soetomo gres pulang berdinas dari Deli. Dr. Soetomo tiba di Batavia hatinya pilu dan sedikit marah. Dr. Soetomo merasa perlu berbicara di tengah anggota Boedi Oetomo. Satu-satunya cabang Boedi Oetomo yang dipimpin oleh orang muda yakni Boedi Oetomo cabang Batavia yang dipimpin oleh alumni STOVIA yakni Sardjito (kelak lebih dikenal sebagai Rektor UGM yang pertama). Lalu Boedi Oetomo cabang Batavia mengadakan rapat umum (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-07-1914). Rapat publik ini diadakan di gedung Boedi Oetomo di Gang Kwinie 3 yang mana tema yang dibicarakan Dr. Soetomo wacana kontrak kuli di Deli.

Pada tahun 1904 di tingkat persiapan STOVIA Raden Soetomo yakni kakak kelas satu tingkat di atas RM Soewardi. Namun sayang RM Soewardi gagal dan tidak bisa melanjutkan studi ke tingkat medik. Pada tahun 1908 Raden Soetomo dkk mendirikan Boedi Oetomo. Namun  jelang kongres pertama di Jogjakarta Boedi Oetomo dikooptasi oleh orang bau tanah (senior). Golongan muda tersingkir. Lalu pada tahun 1911 Raden Soetomo lulus STOVIA dan diangkat menjadi dokter pemerintah ditempatkan di Semarang, Pada tahun 1912 Dr. Soetomo dipindahkan dari Semarang ke Loeboek Pakam, Oostkust Sumatra (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-03-1912). Setelah dua tahun di Deli Raden Soetomo dipindahkan lagi dari Loeboek Pakam ke Malang, Resiedentie Pasoeroean (Bataviaasch nieuwsblad, 11-05-1914). Dalam fase perpindahan inilah Raden Soetomo berada di Batavia.

Dalam rapat publik di Boedi Oetomo cabang Batavia Dr. Soetomo dalam pidatonya berapi-api. Dr. Soetomo menyatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakukan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.

Pidato ini tentu dicatat intel/polisi Belanda lantaran dalam rapat umum ini turut hadir pejabat-pejabat pemerintah. Lebih-lebih belum lama terjadi kasus Komite Boemi Poetra dengan pamflet terkenal dari RM Soewardi yang kini diasingkan di Belanda bersama Dr. Tjipto dan Douwes Dekker. Mengapa Dr. Soetomo bersemangat dengan nasioalis. Sjarikat Tapanoeli di Medan, idem dito Medan Perdamian di Padang mempunyai visi nasional sebagaimana Indisch Vereeniging di Belanda. Apa yang diinginkan Dr. Soetomo di dalam rapat umum Boedi Oetomo di Batavia yakni bahwa menangani permasalahan kuli Jawa di Deli harus dilakukan secara nasional. Boedi Oetomo tidak bisa berpangku tangan soal poenalie sanctie di perkebunan-perkebunan di Deli. Catatan: Medan Perdamaian didirikan Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang 1900; Sjarikat Tapanoeli didirikan di Medan 1907 yang kini dipimpin Hasan Nasution alias Sjech Ibrahim; Indische Vereeniging didirikan di Leiden Belanda 1908 oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yang kini dijabat RM Noto Soeroto. Pidato Dr. Soetomo ini telah membuka wawasan gres bagi golongan muda Boedi Oetomo bahwa Boedi Oetomo meski dengan populasi 30 juta tidak bisa hidup sendiri. Boedi Oetomo harus kembali ke lhittah Boedi Oetomo pada awal pendiriannya 1908 (ketika masih dipimpin golongan muda sebelum kongres di Jogjakarta).

Dr. Soetomo sudah lama tidak terlibat secara pribadi dengan Boedi Oetomo. Setelah pulang dari Deli dan sesudah berpidato di rapat publik di Batavia, Dr. Soetomo diketahui kembali aktif di Boedi Oetomo. Dr. Soetomo merasa perlu aktif di organisasi untuk memperjuangkan banyak permasalahan yang dirasakannya termasuk permasalahan koeli asal Jawa di Deli. Seperti tampak dalam kepengurusan gres Boedi Oetomo pada kongres di Solo, Dr. Soetomo menjadi salah satu anggota dewan pusat Boedi Oetomo (De Preanger-bode, 08-08-1915). Disebutkan dalam rapat Boedi Oetomo tersebut yang menjadi ketua dewan pusat Boedi Oetomo yakni RM Ario Soeriosoeparto, seorang pangeran Solo yang telah menggantikan Dr, Wahidin yang telah menjabat sebanyak tiga kali semenjak periode pertama.

Dalam kongres Boedi Oetomo tersebut juga hadir pemimpin Sarikat Islam yang mengungkapkan keterkejutannya, bahwa orang muda Jawa sangat sedikit dalam kepengurusan Boedi Oetomo. Dalam dewan Boedi Oetomo yang gres terkesan hanya Raden Soetomo yang terbilang muda. Abdoel Moeis dari Sarikat Islam yang hadir dan berbicara dalam pertemuan Boedi Oetomo ini mengkritik bahwa selama tujuh tahun Boedi Oetomo berdiri di tangan para intelektual Jawa, sepertinya terus mengecualikan penduduk lain di Nederlandsch lndie. Abdoel Moeis menggarisbawahi begitu banyak dana yang diberikan kepada Boedi Oetomo namun aliran dana itu tidak hingga kepada para emigran yang terdapat di Lampoeng, Midden Sumatra, Oostkust van Sumatra en Atjeh) yang sekan bukan perhatian orang Jawa, dan hanya untuk mengingini kemajuan pulau Jawa dengan Jawa-nya. Lebih lanjut Moeis mengharapkan bahwa manajemen pusat kini yang sudah mulai diisi (kembali) oleh orang muda Jawa yang sejati dengan ide-ide muda, pembicara (Abdoel Moeis) berpikir bahwa mereka harus memperhatikan fakta bahwa waktunya telah tiba untuk Boedi Oetomo untuk memutus arah konservatif. Setiap Jawa muda harus diyakinkan wacana fakta bahwa mustahil menciptakan kemajuan Jawa hanya dengan orang Jawa, tetapi kemajuan Hindia melalui pergaulan boemi poetra yang juga diharapkan Boedi Oetomo juga akan lebih mengarah pada keadilan. Suara dari luar Boedi Oetomo ini sepertinya bisa diresapi oleh Dr. Soetomo, lebih-lebih Dt. Soetomo cukup lama berada di Deli. Boleh jadi, sesudah kehilangan rekannya RM Soewardi, Abdul Muis mendapat bisikan dari Dr. Soetomo di dalam kongres sebelum Abdul Moeis mendapat kesempatan berbicara.

Sejak kongres di Solo 1915, Boedi Oetomo mulai dimasuki golongan muda, golongan yang lebih terpelajar dibanding golongan bau tanah yang masih lebih banyak didominasi di Boedi Oetomo. Pengalaman Dr. Soetomo di Deli telah mengubah pandangan golongan muda wacana hakikat pendirian Boedi Oetomo. Dalam hal ini Dr. Soetomo yakni Boedi Oetomo dan Boedi Oetomo yakni Soetomo.

Untuk melihat kembali latar belakang, di STOVIA hanya ada satu kegiatan (maha)siswa yang bersifat ekstrakurilir yakni sepak bola. Pada tahun 1904 mahasiswa STOVIA membentuk klub sepak bola yang disebut Docter Djawa Clubvotebal atau juga disebut Stovia Clubvoetbal. Klub mahasiswa ini ikut berkompetisi ketika perserikatan sepakbola Batavia (Bataviasche Voetbalbaond) didirikan tahun 1904. Ada dua pemain sepak bola STOVIA yakni Abdul Rasjid Siregar dan Radjamin Nasution (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1907). Abdul Rasjid yakni pengurus Stovia Voetbalclub. Sebagaimana diketahui Boedi Oetomo dan kawan-kawannya dari Jawa sesama mahasiswa STOVIA tahun 1908 mendirikan Boedi Oetomo.

Pada tahun 1909 ketua Stovia Voetbalclub yakni Radjamin Nasution yang memimpin klub ibukota bertandang ke Medan untuk bertanding melawan klub Tapanoeli Voetbalclub (klub yang dibina oleh Sjarikat Tapanoeli). Soetomo dan Radjamin Nasution yang satu kelas berkawan dekat. Sementara itu, adik Abdul Rasjid yakni Abdul Firman Siregar tidak melanjutkan studi ke STOVIA tetapi melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1910. Abdul Firman gelar Mangaradja Seangkoepon di Belanda menjadi pengurus Inidische Vereeniging. Pada tahun 1911 Todoeng Harahap gelar Sutan Gunung Mulia tiba di Belanda juga menjadi anggota Indische Vereeniging. Abdul Rasjid Siregar, Radjamin Nasution, Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon dan Todoeng Harahap gelar Sutan Gunung Mulia sama-sama kelahiran Padang Sidempoean sebagaimana Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908). Pendiri Medan Perdamaian di Padang 1900 dan pendiri Sjarikat Tapanoeli di Medan juga kelahiran Padang Sidempoean.  

Abdul Firman pernah tiba-tiba namanya menjadi terkenal di Negeri Belanda lantaran namanya diberitakan di koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran pelayan kapal uapa ‘Nederlands’ dari Madura terlibat perkelahian dengan sesama imigran dari Jawa (Oost Java), korban kesudahannya meninggal dunia akhir tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, lantaran para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang pantas tetapi ternyata juga Abdul Firman yakni orang yang alim. Karenanya masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman yakni pemimpin Islam dari para imigran dari Hindia Belanda. Abdul Firman tidak keberatan (lihat  Het nieuws van den dag : kleine courant, 13-03-1912).

Pemuda-pemuda asal Padang Sidempoean inilah yang diduga apa yang dimaksudkan Dr. Soetomo ketika berpidato di dalam rapat publik Boedi Oetomo di Batavia pada tahun 1914: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakuan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.

Indische Vereeniging: Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia dan RM Soewardi Soerjaningrat

Tiga serangkai telah terrpencar. EFE Douwes Dekker telah menetap di Geneva. Paling tidak kertangan ini diketahui pada pertengah Juni 1914 (lihat De Maasbode, 27-06-1914). Dalam beerita ini disebutkan bahwa Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo sedang sakit dan tengah dirawat di sebuah klinik swasta. Dr. Tjipto menederita kelumpuhan. Pada bulan Maret 1914 Pemerintah Hindia pernah mengirimkan tawaran kepada Dr. Tjipto untuk menandatangani perjanjian tidak menciptakan agitasi dan diizinkan kembali  ke Hindia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-07-1914). Hal ini lantaran kehaliannya (sebagai dikter) dibutuhkan di Hindia. Dalam perkembangannya diketahui permintaan Dr. Tjipto kepada Menteri Koloni dikabulkan tanggal 24 Juli unruk kembali ke tanah air lantaran alasan kesehatan (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 29-07-1914).

Dr. Tipto dalam posisi interniran hampir setahun semenjak diputuskan tanggal 18 Agustus 1913. Akhirnya Dr. Tjipto kembali dan tiba di tanah air. Dengan kembalinya Dr. Tjipto maka usaha untuk studi lebih lanjut di bidang kedokteran di Belanda menjadi gagal. Saat keberangkatan ke Belanda rencana ini sangat kuat. Kini, Dr. Tjipto sudah di Soerakarta dan ada kemungkinan Dr. Tjipto akan mengepalai salah satu rumah sakit di kota itu (lihat De Sumatra post, 21-12-1914).

Bagaimana dengan Soewardi? Disebutkan bahwa Soewardi akan mengikuti studi untuk mendapat akte guru. Setibanya Dr. Tjipto di tanah air, gosip wacana Douwes Dekker dan Soewardi juga muncul (De Sumatra post, 19-10-1914). Disebutkan atas permintaan Ratu, Dekker dan Soewardi juga untuk dibebaskan sebagai interniran dan dikembalikan ke Hindia. Beberapa bulan kemudian diberitakan RM S Soerjaningrat lulus ujian saringan masuk untuk berpartisipasi untuk mendapat akte guru hulp acte (lihat Haagsche courant, 18-06-1915). Ujian saringan itu dilakukan Sabtu malam.

Pada tahun ini Dahlan Abdoellah dan Samsi dinyatakan lulus ujian akte guru (LO) di ‘sGravenhage (Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1915). Disebutkan Dahlan Abdoellah lulus untuk bahasa Melayu dan etnografi dan Samsi lulus untuk bahasa Jawa.

Indische Vereeniging yakni prominent di Belanda. Indische Vereeniging yakni organisasi intelektual muda pribumi yang berada di Belanda yang sebagain besar sedang mengambil studi tingkat sarjana dan tingkat doktoral. Indische Vereeniging tentusa saja sangat terkait dengan urusan penduduk dengan ‘negara’ di Hindia. Sejak pertengahan tahun 1914 situasi di Eropa tidak menentu lantaran gejolak politik antara satu sekutu dengan sekutu yang lainnya. Gejolak itu kelak dikenal sebagai perang dunia pertama. Tentu saja situasi ini mendapat perhatian dari orang pribumi baik di Hindia maupun di Belanda. Mahasiswa-mahasiswa pribumi yang tergabung dalam Indische Vereeniging dalam posisi wait en see. Dalam kekerabatan ini, Menteri Pendidikan Hindia menyambangi Indische Vereeniging.

Algemeen Handelsblad, 16-04-1916: ‘Indische Vereeniging mengadakan pertemuan pada hari Jumat tanggal 14 di salah satu ruangan  Café Riche yang mana Mr. Lekkerkerk, Inspektur Pendidikan Hindia Belanda yang sedang cuti memperlihatkan ceramah wacana subjek Hindia untuk Hindia. Pertemuan itu dihadiri banyak anggota dan pihak luar. Lekkerkerk memulai dengan menyatakan bahwa slogan umum ‘Hindia untuk Orang Hndia’ yang secara umum diterima oleh orang Hindia tidak lengkap. Menurut pembicara Orang Hindia dipahami dan berarti semua orang di negara Insulirde tanpa perbedaan dalam agama, warna kulit, jenis kelamin, dll. Selanjutnya pembicara menjelaskan hal yang berurusan dengan aneka macam masalah sosial di Hindia dengan membandingkan Hindia dengan kondisi yang sesuai di Eropa dan di negara muda Jepang di Asia hingga pada keyakinan bahwa seharusnya juga ada persamaan di Hindia, dan oleh lantaran itu posisi yang lebih tinggi di Hindia harus menyerahkan banyak hak istimewa dan hak istimewa mereka dan mendedikasikan upaya terbaik mereka untuk menghapuskan kelas pekerja. Adalah konyol bahwa orang-orang yang berpendidikan di Hindia menikmati honor yang lebih tinggi daripada rekan-rekan mereka di negara lain, di Eropa, di Jepang, dll., sementara tani (petani) yang memproduksi dan pengrajin berpenghasilan jauh lebih sedikit daripada orang yang sesuai dari negara mana pun. Kita harus sudah mulai mengatur banyak masalah sosial, yang diharapkan untuk keadaan yang baik. Sehubungan dengan itu, pembicara menunjuk aneka macam tugas, yang khususnya harus dipenuhi oleh intelektual pribumi terhadap negara dan orang-orang mereka, khususnya kiprah untuk melaksanakan pengorbanan pribadi ketika mereka diberikan untuk kepentingan negara. Dengan meyakinkan memperlihatkan betapa sedikit yang benar, betapa sementara sifatnya yakni popularitas dan diakhiri dengan kebangkitan kembali tenaga kerja yang tak kenal lelah dan pengabdian tanpa pamrih untuk melayani tanah air. Setelah pembicara (utama) beberapa dari mereka yang hadir secara berturu-turut Baron Van Hogendorp, Soewardi, Soerjo Poetro, Abendanon, Versteegh, De la Croix dan Loekman Djajadiningra bertukar gagasan (tanya jawab) dengan Lekkerkerk yang mengarah pada debat yang hidup dan instruktif, Ketua menutup pertemuan dengan ucapan terima kasih kepada pembicara malam ini dan kepada mereka yang hadir untuk kepentingan mereka sebelum melanjutkan ke pertemuan internal Indische Vereeniging’.

Sekarang semuanya terbalik. Sebelumnya semua mahasiswa haru s menghadap kepada Menteri Pendidikan Hindia Belanda bila berangkat studi ke Belanda. Sekarang Menteri yang harus menghadap para mahasiswa di Belanda yang tergabung dalam Indische Vereeniging. Maksud Menteri dalam pertemuan itu terang bukan kunjungan biasa, Situasi di tanah air di Hindia dan di Eropa terang menjadi latar belakangnya. Dalam ceramah Menteri pada pada dasarnya yakni ingin memperkuat pertahanan di Hindia dengan dalih kampanye Hindia Untuk Hindia bila dan hanya bila situasi di perang Eropa semakin memburuk dan Belanda terpuruk. Kekhawatiran orang Belanda tidak hanya Negara Belanda dalam tekanan juga Hindia Belanda. Seperti dikatakan Menteri Hindia yakni untuk semua, sementara Indische Vereeniging berhaluan nasional (hanya terbatas untuk pribumi). Sebagaimana diketahui di Belanda juga ada perhimpunan orang-orang Indo yang diketuai oleh van  Mook dan juga perhimpunan mahasiswa Tionghoa. Soetan Casajangan tempo dulu tahun 1908 mendirikan Indische Vereeniging yakni organ mahasiswa pribumi untuk berjuang demi ibu pertiwi. Kampanye Hindia untuk Hindia yakni kampanye gres yang tidak pernah muncul selama ini di mata orang Belanda. Belum lama berselang, kampanyer Tiga Serangkai dengan Indische Partij nyatanya ditolak pemerintah. Situasi telah berubah cepat. Indische Vereeniging sedang berada di atas angin. Kampanye Hindia untuk Hindia dan juga kampanyen Indie Weerbaar jelas-jelas dipicu oleh situasi yang berkembang di Eropa.

Setelah kunjungan Menteri ke Indische Vereeniging di Belanda, tuntutan negara berparlemen mulai diadopsi. Perjuangan para intelektual pribumi dalam persamaan hak mulai diperlunak. Singkat kata pada final tahun 1916 di Hindia dbentuk tubuh legislatif pusat yang disebut Volksraad untuk menggantikan format dewan lama Dewan Hindia (Raad Indie). Orang-orang Belanda sesudah sekian kala gres menyadari perlunya merakyat meski hal itu masih perlu diuji. Satu korban di pihak Belanda dalam hal ini pencopotan Gubernur Jenderal Idenburg harus dilakukan yang diganti dengan yang gres Johan Paul van Limburg Stirum.  

Sehubungan dengan perubahan yang cepat, bergaungnya motto Hindia untuk Hindia, Indie Weerbaar dan pembentukan tubuh legislatif (Volksraad) Sorip Tagor mengundang di rumahnya di Utrecht para mahasiswa yang tergabung di Indische Vereeniging yang berasal dari Sumatra membentuk komite untuk persatuan Sumatra untuk mempercepat pembangunan di Sumatra untuk mengejar ketertinggalan dibanding Jawa. Komite yang digagas Sorip Tagor ini disebut Sumatra Sepakat yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 1917. Pengurus inti Sumatra Sepakat ini yakni tiga orang yang dulu direkomendasikan Soetan Casajangan studi ke Belanda yakni Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka plus Soetan Goenoeng Moelia.   

Sumatra Sepakat didirikan di Utrecht 1 Januaru 1917
Sorip Tagor lahir di Padang Sidempoean tahun 1888. Pada tahun 1907 Sorip Tagor diterima di Veartsenschool di Buitenzorg dan lulus tahun 1912. Sementara Dahlan Abdoellah lahir di Pariaman tahun 1895 dan Tan Malaka lahir di Suliki tahun 1897 keduanya lulusan Kweekschool Fort de Kock. Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean tahun 1896. Setelah lulus ELS di Padang Sidempoean, Sutan Goenoeng Moelia berangkat studi ke Belanda tahun 1910. Pada tahun 1917 umur Soetan Goenoeng Moelia yakni 21 tahun, sementara Sorip Tagor yang menjadi ketua Sumatra Sepakat yakni 29 tahun.

Pendirian Sumatra Sepakat tersebut terkait dengan semakin menguatnya Boedi Oetomo. Pasca heboh Indische Partij dan Komite Boemi Poetra yang terkenal dengan pamflet RM Soewardi tahun 1913, Boedi Oetomo mendapat angin. Pemerintah Hindia Belanda telah memperlihatkan banyak sumbangan bagi Boedi Oetomo (sebagai organisasi kebangsaan yang kukuh dengan misi kedaerahan). Organisasi kebangsaan yang mengusung misi nasional sangat ditakutkan oleh pemerintah ibarat halnya Indische Vereeniging, Sarikat Islam dan Indische Partij.

Sepeninggal Soetan Casajangan, anggota Indische Vereeniging yang berasal dari Jawa mulai terbelah sebagian kukuh dengan misi nasional sebagian yang lain sudah melihat kemajuan Boedi Oetomo yang didukung habis pemerintah. Wilayah-wilayah di luar Jawa seakan tidak diperhatikan sehingga terasa ketimpangan antara (pembangunan) di Jawa dan di luar Jawa termasuk Sumatra. Untuk memicu dan memacu kemajuan di Sumatra Sorip Tagor mempelopori didirikannya Perhimpoenan Sumatra di Belanda.

Sumatra Sepakat yang diresmikan di Utrecht tanggal 1 Januari 1917 tetap mengusung misi nasional. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. Ibrahim Datoek Tan Malaka (kuliah di kampus Soetan Casajangan) sebagai komisaris. Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di Sumatra, lantaran tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan aneka macam buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra.

Sumatra Sepakat di Belanda mengusung misi nasional, jadi masih in-line dengan Indische Vereeniging. Sumatra Sepakat ingin memberi bantuan untuk semua wilayah di Sumatra tidak hanya Tapanoeli dan West Sumatra tetapi juga Atjeh, Zuid Sumatra, Lampoeng dan Bengkoelen. Sumatra Sepakat juga akan bekerjasama dengan organisasi kebangsaan yang sudah ada ibarat Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli di Medan.

Dalam proses pembentukan bernegara yang terus menggema, Sumatra Sepakat mewakili Sumatra di Belanda. Itulah arti penting mengapa dibuat organisasi mahasiswa asal Sumatra. Setelah tahun sebelumnya Menteri Pendidikan Hindia Belanda menyambangi Indische Vereeniging, kembali tiba dari Hindia delegasi untuk menyambangi Indische Vereeniging, Mereka ini yakni komite Indie Weerbaar.

De Telegraaf, 17-04-1917: ‘Indie Weerbaar. S-Gravenhage, 16 April. Para deputi komite Indle Weerbaar (kecuali Mr. Rerarev) hari Sabtu kemudian menjadi tamu Indische Vereeniging dan pertemuan publik yang sangat sibuk. Ketua Indische Vereeniging Loekman Djajadiningrat. menyambut utusan itu. Abdoel Moeis memperlihatkan pidato kepada dimana ia menjelaskan secara terperinci keinginan Sarikat Islam pada keongres ke-6 dan memprotes ekspresi ibarat ‘de kurk waarop Nederlands welvaart drijft’ yang menjadi latar belakang kepentingan Hinndia digulir. Dia membela rakyat Hindia dan menginginkan bahwa ini akan didengar oleh semua organisasinya. Dwidjo Sewojo menyatakan bahwa keinginan asosiasi Boedi Oetomo sepenuhnya sejalan dengan argumen Abdul Moeis. Laoh perwakilan dari Sarikat Minahasa mempertanyakan kesetiaan para Minahassers kepada pemerintah Belanda dan menyatakan bahwa bangsanya mengejar keinginan yang sama dengan kelompok populasi lainnya. Pangeran Koesoemodiningmt dari kelompok pangeran mengajukan permohonan untuk anutan Buddha Hindu. Soewardi mendukung argumen Abdoe Moeis dengan siapa perwakilan Boedi Oetcmo menyatakan solidaritasnya untuk kegembiraannya. Mr van Mook dan Blom berdebat untuk inspirasi asosiasi. Abcndanon menolak oposisi Hindia dan Belanda. Dibutuhkan diskusi bersama wacana kepentingan bersama. tidak membawa perselisihan ke garis depan. Di masa defensif militer ini, ia khawatir perhatian akan dialihkan dari pendidikan sosial. Anggaran besar yang diharapkan untuk pertahanan, nantinya akan diperhitungkan untuk pembangunan ekonomi, sehingga menciptakan masyarakat kuat. Mr. Sarengat menjelaskan bahwa siswa Hindia selalu menjunjung tinggi gagasan nasional, di masa depan negara mereka. Noto Soeroto menyesalkan bahwa tindakan SI sering dikaburkan oleh tindakan tercela dari beberapa pemimpin. Berkenaan dengan pertahanan Hindia, bila Jerman, Inggris, Prancis, dan negara adidaya lainnya melucuti, Hindia tidak diharapkan untuk berterima kasih secara militer lagi Abdul Moeis membela ide-ide Rhine terhadap Mr Abendanon menganjurkan pembentukan serikat dimana semua orang yang mempunyai minat dalam pengembangan Hindia dan rakyat mereka akan disatukan. Pangeran Koesoemcxilningrat merumuskan pendapat wacana Hindia Tangguh dengan demikian kita harus mempunyai rumah di sekitar rumah kita. Siapa untuk siapa? Tentu saja dari mereka yang membuatnya. Ketua kesudahannya mengumumkan pertemuan lanjutan di mana debat bisa berbicara cukup lantaran kurangnya waktu’.

Mahasiswa-mahasiswa Sumatra sepertinya kurang antusias dengan pemahaman Hindia yang berkembang. Konsep bernegara yang sebelumnya diusulkan Indische Partij dan munculnya gagasan penyatuan ibarat versi Hindia untuk Hindia yang disampaikan Menteri Pendidikan Hindia Belanda tidak nyaman di indera pendengaran mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra. Konsep bernegara Hindia untuk Hindia telah diadopsi oleh Boedi Oetomo dan SI.

De Sumatra post, 02-07-1917: ‘Mengejar Hindia yang tangguh dalam rapat propaganda divisi Amsterdam dari asosiasi 'Onzo Vloot', dengan aneka macam wakil 'Indie Weerbaar' berbicara dan orang-orang ibarat mantan menteri Cremer, mantan GG ldenburg dan Van Heutsz, wali kota Teilegen dan Van Aalst, Vissering dan Van'Nierop mengambil tempat mereka di podium. K. van Linnep berbicara wacana kesatuan Grooter Nederland tempat kita semua menggantung. Jika slogan  Indie Weerbaar harus ditetapkan secara definitif. Dengan pernyataan dari Abdul Moeis bahwa setengah dari divisi SI mendukung kampanye 'Indië Weerbaar'. Perwakilan Boedi Oetomo sudah berbicara dalam semangat ini dalam rapat propaganda Moderland en Kolonie..Abdoel Moeïs, sebagai wakil dan wakil presiden SI menyampaikan bahwa penampilannya merupakan bukti kesetiaan Sarikat Islam terhadap Nederland. Terlepas dari ketidakpercayaan yang disambut oleh SI, pemerintah mengakui bahwa yakni penting bahwa Hindia Belanda tetap berada di bawah perwalian Belanda bahwa mereka, anggota SI merasa terlalu lemah untuk berdiri di atas kedua kaki mereka sendiri dan lantaran itu mempertahankan kepemimpinan Belanda..’.

Kini, Indische Vereeniging kembali dipimpin oleh mahasiswa asal Sumatra yakni Dahlan Abdoellah. Seperti halnya mengapa dibuat Sumatra Sepakat juga terlihat semangat yang sama di dalam Indische Vereeniging. Dalam kongres mahasiswa Hindia yang pertama Dahlan Abdoellah menyatakan Kami Hindia dengan Kami Indonesia dan kami mempunyai hak untuk mempunyai lebih dari sebelumnya dalam pemerintahan nasional.

Algemeen H andelsblad, 24-11-1917: ‘Indisch Studentencongres. Kemarin pagi Kongres Mahasiswa Hindia dibuka di Leiden dalam rangka peringatan lustrum ketiga (15 tahun) Asosiasi Mahasiswa-Indologis (Studenten-Indologenvereeniging) yang didirikan pada tahun 1902. Auditorium kecil Universitas sepenuhnya diisi dengan peserta konferensi (yang secara konsisten terdiri dari mahasiswa yang terdaftar di universitas Belanda). Saat ini Masyarakat Hindia adalah; Chineesebc Vereeniging Chungwa Hui; de vereeniging van Indologlsche studenten van het Utreehtsch Studentencorps ‘Van Verre’; de vereeniging Onze Koloniën te Delft; de Studjentenafdeeling van de Vereeniging Oost en West (Leiden); de vereeniging Kcempoelan Tani Djawi (Wageningen); en de onderaf deelingen Tropische Land- en Boschbouw van de Studentcnvcreenlging te Wageningen. Mr. van Mook, presiden serikat membuka pertemuan...(tiba giliran) Dahlan Ahdoellah sebagai pembicara mewakili Indisch Vereeniging: ‘Kami, Indonesiers yakni elemen utama di Hindia Belanda, rakyat Hindia, dan lantaran itu kami mempunyai hak untuk mempunyai lebih dari sebelumnya dalam pemerintahan nasional. Indisch Vereenigingner lebh bau tanah dari yang lainnya...’. Dahlan Abdoellah mengurai di awal wacana kehidupan awal di Hindia hingga datangnya Belanda.

Dari kongres tersebut, pada intinya, pidato Dahlan Abdoellah ibarat dengan pidato Soetan Casajangan pada tahun 1911. Dalam pidato Dahlan Abdoellah, sepertinya Dahlan Abdoellah telah mengganti terminologi ‘coklat vs putih’ yang diapungkan Soetan Casajangan pada tahun 1911 dengan terminologi Indonesier: ‘Wij, Indonesiers vormen in, Nederlandsch Indie het hoofdbestanddeel der bevolking van Indie en als zoodanig hebben wij het recht meer dan tot, dusver aandeel te hebben in het landsbestuur’ (Kami Indonesiers membentuk Hindia Belanda yakni konstituen utama penduduk Hindia dan lantaran itu kami mempunyai hak untuk mempunyai lebih dari berpartisipasi dalam pemerintahan nasional).  Ini dengan sendirinya, Dahlan Abdoellah telah melanjutkan usaha Soetan Casajangan. Doktrin kesamaan hak, kebebasan, keadilan dan kamajuan telah diterima Dahlan Abdoellah dari Soetan Casajangan di Fort de Kock tahun 1913.

Sejak kepemimpinan Indische Vereeniging diketuai oleh Dahlan Abdoellah, daya dan upaya Sumatra Sepakat dialihkan dan sepenuhnya untuk Indische Vereeniging. Oleh lantaran itu organisasi mahasiswa Sumatra di Belanda sepertinya dialihkan ke Hindia. Mahasiswa asal Sumatra di Belanda lebih fokus di Indische Vereeniging. Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di Djawa kemudian dibuat ‘Persatoean Anak Sumatra’. Lalu pada Desember 1917 di Batavia didirikan ‘Persatoean Anak Sumatra’ yang diberi nama Jong Sumatranen Bond. Organisasi ini dibuat yang dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Jong Sumatranen Bond yang disingkat Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi perjaka ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intensitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya tidak lain dari pemikiran Sumatra Sepakat yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini yakni Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).

Dahlan Abdoellah suatu kesempatan menghadiri suatu perayaan Boedi Oetomo di Den Haag yang diadakan tanggal 20 Mei (Het volk : dagblad voor de arbeiderspartij, 21-05-1918). Ketua panitia membuka acara dan mengucapkan terimakasih kepada undangan dan sekaligus memberi kata pengantar. Pada pada dasarnya ketua panitia menguraikan perjalanan Boedi Oetomo yang mana pendidikan yakni syarat untuk perkembangan lebih lanjut. Ketua panitia juga mengutip beberapa hal dari buku Goenawan M. Sementara itu Dahlan Abdoellah yang turut hadir diberi kesempatan berbicara. Dahlan Abdoellah memberi ucapan selamat kepada Boedi Oetomo. Dr. Tumbelaka, yang didaulat sebagai atas nama Minahaser diberi kesempatan untuk berbicara. Selain itu ada beberapa orang Belanda yang diberi kesempatan berbicara. Dalam pertemuan ini beberapa pembicara Belanda menyebut Indonesier untuk orang-orang Hindia. Sebutan nama Indonesier semakin diterima tidak hanya diantara orang pribumi tetapi juga orang Belanda, paling tidak untuk mengidentifikasi pribumi sebagai Indonesier.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 13-09-1918
Dalam kepengurusan gres Indische Vereeniging ini didirikan majalah Hindia Poetra sebagai organ (Algemeen Handelsblad, 21-06-1918). Sebagai penanggungjawab yakni Soewardi Soerjaningrat. Setelah tidak menangani Hindia Poetra lagi Soewardi menangani Indonesisch Persbureau (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 13-09-1918). Disebutkan berdasarkan edaran akan segera dibuat agensi yang bertujuan untuk menyediakan brosur pada yang penting. Isu-isu Hindia akan dipublikasikan dan sebanyak mungkin untuk melayani pers Belanda dengan berita-berita penting. Biro/agensi ini ditangani Soewardi Soerjaningrat, mantan editor Hindia Poetra. Brosur akan ditulis oleh orang-orang Indonesia tempat pertama dan orang-orang selanjutnya oleh orang-orang yang sangat memahami Hindia. Dari Hinida kantor gosip Indonesia ini didirikan untuk kepentingan propaganda Indonesia di Belanda (De Preanger-bode, 16-09-1918). Biro Pers Indonesia ini menyatakan, bahwa sejumlah profesor Belanda dan spesialisasi politik serta spesialisasi lainnya telah dihubungi oleh agensi untuk berkontribusi pada serangkaian monograf  Hindia yang akan diterbitkan setiap bulan. Episode pertama dari seri tersebut oleh editor Soewardi untuk membahas pertanyaan ‘ambisi nasional Hindia’ dan didahului dengan wawancara dengan anggota parlemen, Mr. H. van Kol (lihat De Maasbode, 04-10-1918).

Sejak adanya pertemuan-pertemuan Moederland en Kolonie (East-West) yang pernah mengundang Soetan Casajangan dan Kongres Mahasiswa (Indologi) yang pernah dihadiri oleh Dahlan Abdoellah sejumlah aspek mulai terlihat kecenderungan berubah di Hindia, ibarat di bidang parlemen, kuota pribumi ditambah di Volksraad, pemilihan umum bagi pribumi di gemeeteraad, pembentukan sekolah tinggi teknik di Bandoeng (THS). Juga berkembang pekan raya dan pegelaran seni yang dilakukan di Belanda yang dihadiri oleh orang-orang Belanda terutama yang pernah bertugas di Hindia. Di bidang media, yang selama ini surat kabar dan majalah masih bersifat pemberitaan mulai tumbuh media-media (majalah) penerangan yang mengulas bidang pendidikan, budaya dan politik, ibarat majalah Hindia Poetra yang menjadi organ Indisch Vereeniging (Algemeen Handelsblad, 01-12-1918).

Parada Harahap seorang krani di perkebunan di Deli berinisiatif membongkar kekejaman di perkebunan oleh ulah para planter terhadap para koeli (dalam penerapan poenale sanctie). Hasil pemeriksaan Parada Harahap dikirimnya ke surat kabar Benih Mardeka di Medan (terbit pertama tahun 1916). Laporan surat kabar tersebut tahun 1918 dilansir oleh surat kabar Soeara Djawa yang menciptakan heboh di Djawa. Akibat perbuataan Parada Harahap ini dirinya dipecat sebagai krani. Parada Harahap melamar menjadi wartawan Benih Merdeka tetapi justru jabatan editor yang diberikan.

Apa yang dilakukan Parada Harahap ini seakan menjawab keresahan Dr. Soetomo ketika kembali ke Jawa tahun 1914 sesudah dua tahun bertugas sebagai dokter pemerintah di Deli. Dr. Soetomo melihat sendiri penderitaan para kuli asal Jawa di perkebunan-perkebunan Belanda. Dalam rapat publik di Boedi Oetomo cabang Batavia tahun 1914 Dr. Soetomo mengatakan: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri’. Dr. Soetomo melanjutkan, ‘Kita tidak bisa hidup sendiri, bangsa kita Jawa tidak bisa terkungkung, kuli-kuli asal Jawa sangat menderita di Deli atas perlakuan yang tidak adil dari para planter pengusaha perkebunan asing’. Dr. Soetomo melanjutkan: ‘Banyak orang Tapanoeli yang pintar, mereka ada dimana-mana...kita tidak bisa hidup sendiri lagi’.

Pada tahun 1918 kembali diadakan kongres mahasiswa di Belanda disebut Congres van het Indonesisch Verbond van Studeerenten (De Maasbode, 31-08-1918). Sejumlah Belanda, Tionghoa dan pribumi berbicara. Dahlan Abdoellah kembali berbicara. Di dalam kongres ini isu pendidikan tinggi kembali mendapat porsi. Isu kurangnya insinyur dan dokter di Hindia. Satu hal lain nama Indonenesier menjadi lazim diucapkan untuk menyebut penduduk di Hindia. Dalam kongres ini juga turut berbicara (bertanya): Zain Rasad (Landbouwonderwij); Sorip Tagor (Utrecht); Goenawan Mangoenkoesoemo, dan S. Sastrawidagda. Saat dimana seorang pembicara menyampaikan ‘kami ingin membebaskan diri, tidak hanya dalam politik, tetapi juga di bidang pendidikan dan ekonomi’ disambut dengan tepuk tangan. Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah dan Zain Rasad, tiga diantara pengurus Sumatra Sepakat yang didirikan tahun 1917 (De Sumatra post, 31-07-1919).

Indisch Vereeniging telah mendapat rohnya kembali. HJ Vermeer menulis riwayat Indisch Vereeniging dengan judul De Indisch Vereeniging yang dimuat pada Bataviaasch nieuwsblad edisi 05-05-1919. Perkembangan Indisch Vereeniging semenjak era Soetan Casajangan telah mengalami metamorfosis. Ini dimulai pada tahun 1917 pada ketika kongres mahasiswa yang pertama. Peran Dahlan Abdoellah mulai terlihat di Indisch Vereeniging.

Parada Harahap dan Mohammad Hatta bertemu di kongres pertama Sumatranen Bond di Padang tahun 1919. Sumatranen Bond didirikan tahun 1918 (harus dibedakan dengan Sumatra Sepakat yang didirikan di Belanda Januari 1917 dan Jong Sumatranen Bond yang didirikan di Batavia Desember 1917). Ketua Pembina kongres Sumatranen Bond di Padang yakni Dr. Abdoel Hakim Nasution (teman sekelas Dr. Tjipto). Parada Harahap hadir sebagai representatif Sumatranen Bond dari wilayah Tapanoeli, sedangkan Mohammad Hatta representatif Jong Sumatra dari Kota Padang. Setelah kongres Sumatranen Bond tiga hari usai, Parada Harahap kembali ke Padang Sidempoean dan kemudian mendirikan surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Sinar Merdeka (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919).

Perjuangan Dahlan Abdoellah tampak lebih menggigit bila dibandingkan dengan ketua-ketua sebelumnya. Sementara ketua Indisch Vereeniging yang pertama, Soetan Casajangan terus melaksanakan perjuangannya di luar Indische Vereeniging. Tema-tema yang diusung Dahlan Abdoellah kurang lebih sama dengan yang diusung Soetan Casajangan. Ini seakan menjelaskan bahwa ada semacam hubugan saling memperkuat antara Dahlan Abdoellah di dalam dan Soetan Casajangan di luar. Dengan kata lain, jiwa Soetan Casajangan di Indisch Vereeniging masih hidup melalui figur Dahlan Abdoellah.

Iets Over Koloniale Politiek: Soetan Goenoeng Moelia dan Soewardi Soerjaningrat Kembali ke Tanah Air

Eskalasi politik yang meningkat dan perang di Eropa (baca: Perang Dunia I semenjak 1914) telah menghipnotis situasi di Belanda. Kebijakan pemerintah Belanda juga terpengaruh baik oleh perubahan di Eropa maupun di dalam negeri Belanda. Dampaknya, kebijakan pemerintahan Belanda juga terkait dengan situasi dan kondisi di Hindia Belanda. Perjuangan para kaum sosialis di Belanda sanggup dikatakan telah berhasil. Gerakan-gerakan yang terjadi di Hindia direspon kaum sosial di Belanda untuk mereformasi kebijakan pemerintah di Belanda dan juga di Hindia. Kaum sosialis demokrat di Belanda berhadapan dengan kaum liberal. Kaum Sosialis demokrat mengklaim bahwa kebijakan kuno pemerintah di tanah jajahan telah berakhir: ‘Iets Over Koloniale Politiek’.

Tulisan ‘Iets Over Koloniale Politiek’ dimuat pada surat kabar Bredasche courant, 28-11-1917. Judul goresan pena menggambarkan kondisi terkini di Belanda wacana situasi di Eropa dan Belanda menjelang berakhir perang dan pembicaraan umum wacana situasi dan kondisi di tanah jajahan termasuk di Hindia.  

Pada ketika inilah aneka macam elemen di Belanda mengalami denyut yang lebih kencang dibandning sebelumnnya. Kongres mahasiswa Hindia digelar. Mahsiswa-mahasiswa  Indo dipimpin oleh van Mook, sementara mahasiswa-mahasiswa Tionghoa dipimpin oleh Hsien Sie Boen, sedangkan mahasiswa dan alumni pribumi di Belanda dipimpin antara lain Dahlan Abdoellah, Sorip Tagor, Soetan Goenoeng Moelia dan Goenawan yang tergabung dalam Indische Vereening. RM Soewardi Soerjaningrat yang telah berhasil mendapat akte guru mulai intens terlibat di Indische Vereeniging, paling tidak aktivitasnya terlihat di majalah Hindia Poetra, organ Indische Vereeniging.

Daftar nama-nama ketua Indische Vereeniging di Belanda
Dalam kongres mahasiswa Hindia, trio Indische Vereeniging yakni Dahlan Abdoellah (Melayu Minangkabau/ketua Indische Vereeniging)), Sorip Tagor (Tapanoeli/Sumatra Sepakat) dan Goenawan (Java/Boedi Oetomo). Soetan Goenoeng Moelia dan RM Soewardi terkesan dingin. RM Soewardi terlihat semakin jinak dalam posisinya sebagai revolusioner yang masih dianggap sebagai orang buangan di Belanda. RM Soewardi di bawah bantun pemerintah Belanda (beasiswa?) ingin memulihkan dirinya semoga bisa kembali pulang ke tanah air. Soetan Goenoeng Moelia lebih diplomatis, berani dengan cara diplomatis, sikap yang ibarat dengan senior mereka, sebagai pendiri di Indische Vereeniging, Soetan Casajangan.

Dalam kepengurusan Dahlan Abdoellah di Indische Vereeniging, RM Soewardi dilibatkan untuk memimpin sebuah organ gres yang didirikan yakni majalah mingguan Hindia Poetra, suatu majalah yang ibarat dengan majalah Sumatra Sepakat. Jika majalah Sumatra Sepakat untuk kalangan terbatas di Sumatra, maka majalah Hindia Poetra untuk segalan bangsa di Hindia. Jika majalah Sumatra Sepakat fokus pada pembangunan wilayah (di Sumatra), majalah Hindia Poetra fokus pada pandangan-pandangan wacana Hindia dari kalangan pribumi (mahasiswa dan alumni). Dalam perkembanganya RM Soewardi memimpin Indonesisch Persbureau yang ruang lingkupnya lebih luas untuk menjembatani isu-isu terkini wacana antara Hindia dan Belanda. Indonesisch Persbureau menyajikan isu-isu tersebut dengan dukungan wawancara terhadap orang-orang Belanda yang memahami betul wacana Hindia.

Pembentukan tubuh legislatif di Hindia (Volksraad) yang dimulai pada final tahun 1916 telah memasuki tahapan trerakhir pada final tahun 1917 siapa saja yang duduk di Volksraad. Beberapa tokoh dari pribumi yang muncul sebagai kandidat antara lain yakni Dr. Tjipto Mangoen kosoemo dan Abdul Muis.     

Kongres mahasiswa Hindia di Belanda terus dilakukan. Jelas bahwa tiga elemen mahasiswa (Indoe, Tionghoa dan pribumi) sepakat dengan (negara) Hindia, tetapi dari kalangan mahasiswa/alumni pribumi yang tergabung dalam Indische Vereeniging menganggap hak pribumi haruslah sebagai serpihan terbesar. Isu ini terang kurang bererima di kalangan mahasiswa Indoe dan Tionghoa. Isu ini menjadi sisa usaha Indische Vereeniging.

Di tanah air, Parada Harahap pada tahun 1918 membongkar isu poenalie sanctie di perkebunan-perkebunan di Deli. Suatu isu yang pernah digulirkan oleh Dr. Soetomo di kalangan anggota Boedi Oetomo pada tahun 1914. Keberanian Parada Harahap terang menciptakan Dr. Soetomo tersenyum. Di Belanda orang-orang Sumatra berjuang habis-habisan dalam isu Hindia, di Deli Parada Harahap berjuang sendiri.

Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi ke Belanda. Seperti hlanya tahun 1913 tiga mahasiswa berangkat studi ke Belanda yakni Sorip Tagor (dokter hewan) dan dua guru muda Dahlan Abdoeollah dan Tan Malaka. Pada tahun ini (1919) ketika yang bersamaan berangkat tiga perjaka yang sama-sama dokter untuk melanjutkan studi ke Belanda yakni Dr. Soetomo dokter yang bertugas di Palembang, Dr. Sarjito dokter yang bertugas di Batavia dan Dr. Sjaaf yang bertugas di Medan dan merangkap sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan. Sebelum tiga tokoh perjaka ini tiba di Belanda, sejumlah alumni di Belanda telah kembali ke tanah air termasuk RM Soewardi Soerjaningrat.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1919: ‘Semarang, 7 Agustus 1919. Soewardti dengan kapal uap ss Wilis meninggalkan Belanda dan mungkin akan tiba di Tandjong Priok pada awal Scptember’.

Di tanah air belum diketahui apa yang akan dilakukan oleh RM Soewardi Soerjaningrat. Tidak lama sesudah keberangkatan RM Soewardi Soerjaningrat ke tanah air, Soetan Goenoeng Moelia diberitakan diangkat sebagai guru di Hindia. Sebagaimana diketahui Soetan Goenoeng Moelia telah berhasil memperoleh sertifikat MO (Middlebare Onderwijzer) kira-kira setara dengan sarjana pendidikan dengan gelar Meester (Mr). Sementara RM Soewardi Soerjaningrat yang juga mengikuti pendidikan guru di Belanda hanya hingga tingkat LO (Lager Onderwijzer) yang setara dengan sarjana muda. Pada final tahun 1919 Soetan Goenoeng Moelia kembali ke tanah air. Sementara itu Sorip Tagor masih sibuk dengan tesis untuk mendapat akte sarjana kedokteran (dokter binatang setara Eropa). Sedangkan Dahlan Abdoellah akan melanjutkan studi untuk mendapat akte guru MO (seperti yang diraih oleh Soetan Goenoeng Moelia). Sebelumnya tokoh-tokoh Indische Vereeniging yang telah mendapat gelar MO yakni Husein Djajadiningrat dan Soetan Casajangan.

De Maasbode, 13-09-1919: ‘Tadoeng Gelar Soetan Goenoeng Moelia, di Leiden, diangkat sebagai guru dalam pendidikan Hindia Belanda’. De Preanger-bode, 14-12-1919: ‘Soetan Goenoeng Moelia berdasarkan beslit Gubernur Jenderal ditempatkan di HIS Bengkoelen’. Soetan Goenoeng Moelia diangkat pemerintah menjadi guru dan ditempatkan sebagai kepala sekolah di Sipirok sebagaimana diberitakan Algemeen Handelsblad, 18-07-1920.

Setelah kepengerusannya selesai di Indische Vereeniging, Dahlan Abdoellah berangkat ke Mekkah. Dahlan Abdoellah dilaporkan berangkat ke Mekkah (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1920). Dahlan Abdoellah tiba di Port Said tanggal 20 Juli 1920 (De Telegraaf, 10-10-1920).

Sementara Dahlan Abdoellah berangkat ke Mekkah, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memperlihatkan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan lembaga ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato lantaran saya dianggap sebagai pencetus pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan kesudahannya tiba ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diharapkan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang menciptakan ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang ibarat (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya kini sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan gres ini...karena sanggup merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap sanggup menjembatani perlunya kebijakan gres pendidikan. saya sangat bahagia hati Vereeniging Moederland en Kolonien sanggup mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya bila dibandingkan dengan Dewan (Tweede Kamer)..

De Preanger-bode, 15-06-1921
Kabar dimana dan bagaimana RM Soewardi Soerjadiningrat tidak diketahui. Sementara nama Soetan Goenoeng Moelia muncul sebagai anggota Volksraad (lihat De Preanger-bode, 03-03-1921). Disebutkan Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia diangkat menjadi anggota Volksraad. Sementara menjadi anggota Volksraaf, selanjutnya Soetan Goenoeng Moelia, guru pendidikan Eropa, diangkat menjadi kepala sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang gres dibuka di Kotanopan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). Kepastian Soetan Goenoeng Moelia menjadi anggota Volksraad disebuitkan terhitung 17 Mei 1921 Sutan Gunung Mulia juga akan menjadi Volksraad di Batavia (lihat juga Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). Ini berarti Sutan Gunung Mulia memulai karir di panggung (politik) nasional yang tentu saja akan membawa misi perbaikan pendidikan pribumi. Daftar anggota Volksraad dimuat pada De Preanger-bode, 15-06-1921.

Sejak Dahlan Abdoellah berangkat ke Mekkah, kabarnya tidak terdengar lagi. Jabatan ajudan dosen Melayu di Universiteit Leiden yang cukup lama kosong, kemudian diisi oleh Soetan Mohammad Zain (De Maasbode, 27-07-1922). Untuk posisi ajudan dosen Jawa diisi oleh Perbatjaraka (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Dahlan Abdoellah lulus ujian acte MO voor de Maleische-taal en letterkunde (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923).

Setelah semua generasi pertama Indische Vereeniging kembali ke tanah air, di Belanda Indische Vereeniging dilanjutkan oleh generasi baru, diantaranya Mohamad Hatta dan Ali Sastroamidjojo. Mohamad Hatta tiba di Belanda tahun 1921.

Pada tahun ini, masa jabatan Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum berakhir. Sebagaimana diketahui sesudah terjadinya pengasingan tiga serangkai ke Belanda tahun 1913 muncul kegaduhan di Hindia dan bersamaan dengan perang yang terjadi di Eropa. Untuk meredam gejolak lebih lanjut Gubernur Jenderal AWF Idenburg diganti oleh van Limburg Stirum yang lebih moderat. Saat habis masa jabatannya tahun 1921 van Limburg Stirum kembali ke Belanda. Di pelabuhan, van Limburg Stirum disambut termasuk perwakilan dari Indische Vereeniging (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 13-09-1921). Dari Indische Vereeniging antara lain Mohamad Sjaaf, Soetomo, Sardjito, Noto Soeroto dan Herman Kartowisastro.

Dr. Soetomo kembali ke tanah air pada tahun 1923. Pada tahun 1923 juga tiga tokoh Padang Sidempoean merapat ke Batavia. Soetan Casajangan diangkat menjadi eksekutif sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Soetan Goenoeng Moelia menjadi anggota Volksraad yang ditunjuk dari golongan pendidikan. Parada Harahap pemimpin surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean yang kemudian di Batavia mendirikan surat kabar Bintang Hindia.

Pada ketika kepengurusan Dr. Soetomo dan kawan-kawan, Indische Vereeniging telah diubah namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging. Lalu pada kepengurusan Mohamad Hatta dan kawan-kawan nama Indonesische Vereeniging atau Indonesische Vereeniging diubah (lagi) menjadi Perhimpoenan Indonesia.

Besar dugaan Parada Harahap pindah ke Batavia lantaran undangan dari Soetan Casajangan. Sebab selama Parada Harahap di Padang Sidempoean (1919-1922) selain memimpin surat kabar Sinar Merdeka juga menjadi editor surat kabar mingguan Poestaha (surat kabar yang dirintis Soetan Casajangan pada tahun 1915). Parada Harahap juga yakni ketua Sumatranen Bond di wilayah Tapanoeli. Situasi ini secara tidak terduga akan mempertemukan dua orang yang dianggap sangat peduli terhadap penderitaan para kuli di perkebunan di Deli yakni Dr. Soetomo dan Parada Harahap.

Parada Harahap Menggagas Persatuan Nasional: PPPKI, 1927

Di Belanda ada tiga organisasi mahasiswa Hindia yakni organisasi mahasiswa Indo (yang awalnya dipimpin oleh van Mook), organisasi mahasiswa Tionghoa dan organisasi pribumi yang kini disebut Perhimpoenan Indonesia. Sementara itu di tanah air, selain ada perhimpunan orang Indo/Belanda juga ada perhimpunan orang-orang Tionghoa, juga sangat bermacam-macam organisasi (kebangsaa) diantara orang-orang pribumi.

Organisasi yang bermacam-macam itu sanggup dikelompokkan menjadi organisasi berhubungan keagamaan (Sarikat Islam), berhubungan terhadap internasional (komunis), organisasi nasional (Perhimpoenan Nasional Indonesia) dan organisasi yang bersifat kedaerahan. Organisasi kawasan ada yang mengusung semangat nasional dan ada juga yang mengusung semangat kedaerahan. Organisasi Boedi Oetomo masih terbelah antara misi nasional dan misi kedaerahan. Organisasi orang Minahasa dan Ambon yang mengusng kedaerahan tetapi berafilisasi ke Belanda (kooperatif).

Tidak adanya persatuan nasional secara keseluruhan yang mengusung semangat nasional (non-kooperative), Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer menggagas suatu pertemuan di antara para pemimpin organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Pertemuan ini diadakan di rumah Husein Djajadiningrat pada bulan September 1927.

Dalam rapat yang diadakan di rumah Husein Djajadiningrat tersebut turut hadir hadir anggota Volksraad yakni MH Thamrin, Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia. Dalam hal ini Husein Djajadiningrat, Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia yakni generasi pertama Indische Vereeniging di Belanda.

Soetan Casajangan tidak bisa lagi hadir untuk urusan kebangsaan. Soetan Casajangan yang telah lama menjabat Direktur Normaal School (sekolah guru) di Meester Cornelis (kini Jatinegara) telah meninggal dunia pada tanggal 2 April 1927 (lihat De Indische Courant yang terbit tanggal 08-04-1927). Untuk menggantikan posisi Soetan Casajangan di Normaal School ditunjuk Soetan Goenoeng Moelia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-07-1927). Soetan Goenoeng Moelia ketika itu yakni anggota Volksraad (mewakili organisasi pendidikan).

Estafet usaha nasional (Indische or Indonesia) dari Soetan Casajangan telah diestafetkan kepada Parada Harahap. Soetan Casajangan telah mengkader Parada Harahap. Pada ketika Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919, Parada Harahap juga merangkap sebagai editor surat kabar mingguan Poestaha yang didirikan oleh Soetan Casajangan tahun 1915. Setelah meninggalnya Soetan Casajangan, di Batavia, Parada Harahap tidak sendiri. Parada Harahap dikawal dua matahari di Volksraad yang juga kader Soetan Casajangan yakni Mangaradja Soeangkoepon dan Soetan Goenoeng Moelia. Soetan Casajangan, Mangaradja Soeangkoepon, Soetan Goenoeng Moelia dan Parada Harahap sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.

Para pemimpin organisasi kebangsaan yang hadir dalam pertemuan itu yakni Kaoem Betawi, Pasoendan, Sumatranen Bond, Bataksche Bond, Boedi Oetomo dan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI). Hasil keputusan: pertama membentuk organisasi persatuan nasional yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI. Kedua, memutuskan sebagai ketua, MH Thamrin (Kaoem Betawi) dan sekretaris-bendahara, Parada Harahap (sekretaris Sumatranen Bond); Ketiga, pengurus mempersiapkan kongres pada tahun 1928 dan membangun gedung pertemuan.

Organisasi-organisasi kebangsaan ini didirikan dengan maksud tertentu. Boedi Oetomo didirikan tahun 1908 oleh Soetomo dan kawan-kawan; Sumatranen Bond didirikan tahun 1917 di Belanda oleh Sorip Tagor dan kawan-kawan; Bataksche Bond didirikan di Batavia tahun 1919 oleh Dr. Abdoel Rasjid Siregar (teman sekelas Dr. Soetomo dan juga adik dari Mangaradja Soangkoepon); Perhimpoenan Nasional Indonesia didirikan di Bandoeng tahun 1927 oleh Soekarno dan kawan-kawan (Ir. Soekarno lulus dari THS Bandoeng 1926).

Langkah pertama pengurus PPPKI ini yakni menyiapkan gedung pertemuan. Gedung/kantor pertemuan kemudian ditetapkan di Gang Kenari di suatu persil lahan milik MH Thamrin. Saat itu MH Thamrin dan Parada Harahap yakni pengusaha yang tergabung dalam himpunan pengusaha pribumi di Batavia (semacam Kadin pada masa ini. Ketua Kadin Batavia yakni Parada Harahap, pengusaha percetakan dan penerbit surat kabar Bintang Timoer dan beberapa media lainnya. Para pengusaha inilah yang urunan membiayai gedung/kantor pertemuan PPPKI (gedung ini masih eksis hingga ini hari yang dikenal sebagai Gedung MH Thamrin).

Parada Harahap sesudah tiga tahun memimpin surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoeam (1919-1922), Parada Harahap hijrah ke Batavia dan pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia di Batavia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor gosip Alpena dengan redakturnya WR Soepratman. Pada tahun ini Parada Harahap melaksanakan perjalanan jurnalistik ke kota-kota di Sumatra dan Semenanjung dan laporannya dibukukannya dengan judul Perjalanan di Sumatra: Dari Pantai ke Pantai yang diterbitkan tahun 1926. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer. Ir. Soekarno kerap mengirim goresan pena dari Bandoeng yang dimuat di Bintang Timoer. Pada tahun 1926 bersama MH Thamrin mendirikan perhimpunan pengusaha pribumi di Batavia.

Pada final tahun 1927 Ir. Soekarno dan Parada Harahap membidani perubahan Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI) menjadi partai politik dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mana sebagai ketua Ir. Anwari (teman sekeklas Ir. Soekarno selama di THS). Awal tahun 1928 Ir. Soekarno menghimbau Boedi Oetomo semoga turut dalam usaha nasional Indonesia (bukan terbatas di Jawa saja).

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928
Himbauan ini sepertinya direspon. Hal ini boleh jadi Mr. Soepomo yang gres pulang studi dari Belanda mulai bergabung dalam dewan pusat Boedi Oetomo pada tahun 1927 termasuk golongan muda intelektual yang reformis yang bervisi nasional, Setelah kehadiran Mr. Soepomo, Ph,D di dalam dewan pusat Boedi Oetomo, gaung nasionalis mulai muncul. Paling tidak di dalam kongres Boedi Oetomo tahun 1928, salah satu keputusan yang boleh dianggap penting yang ditempatkan pada butir pertama: ‘bergabung PPPKI, serikat nasionalis (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15-02-1928). Hasil keputusan Kongres Boedi Oetomo ini secara resmi mengindikasi bahwa Boedi Oetomo bergabung dengan PPPKI dalam persatuan bangsa. Dengan kata lain, Boedi Oetomo telah mengoreksi kembali visi misinya yang dianggap telah melenceng selama hampir dua dasawarsa

Keputusan ini terang dianggap penting. Sebab sebelumnya di tubuh Boedi Oetomo masih tajam perbedaan visi misi diantara para anggota. Ini sanggup dilihat pada kongres Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo yang mana muncul suara-suara di lembaga ‘Boedi Oetomo tersebut yang menyatakan bahwa Boedi Oetomo menuntut kemerdekaan di Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar Jawa’. Suara-suara ini sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo di dalam kongres dengan nada yang menentang bunyi false tersebut.

Pada tanggal 9 April 1928 Boedi Oetomo melaksanakan rapat umum di Solo. Sebelum rapat umum digelar, telah dilakukan perubahan pasal-pasal pada Anggaran Dasar Boedi Oetomo (De Indische courant, 11-04-1928). Yang terpenting dalam perubahan pasal itu yakni tujuan Boedi Oetomo untuk mewujudkan persatuan Indonesia, bukan lagi hanya sebatas persatuan di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Penggunaan nama Indonesia sudah dimasukkan dalam statuta. Perubahan pasal-pasal ini tentu saja diumumkan pada ramat umum tersebut. Dalam rapat umum di Solo ini juga hadir perwakilan dari Soerabaja Studieclub, PNI dan PSI. Pada hari kedua kemudian dilakukan pemilihan dewan pusat. Ketua terpilih yakni incumbent Koesoemo Oetojo. Posisi Mr. Soepomo, Ph.D yakni komisaris. Disebutkan Mr. Soepomo, Ph.D sebagai Ketua Pengadilan Landraad di Djogjakarta. Untuk kantor pusat berkedudukan di Solo.

Perubahan visi dan misi Boedi Oetomo yang gres yang telah mengindonesia, kenyataan tidak diterima secara bulat. Masih ada yang menolak dan bahkan akan membentuk organisasi baru. Informasi ini terungkap dalam goresan pena Mr. Soepomo, Ph.D yang juga menyatakan bahwa di dalam tubuh anggota dewan pusat terdapat perselisihan wacana ‘persatuan nasional’ (Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1928).

Setelah Boedi Oetomo berubah visi misi menjadi nasionalis, dalam Kongres PPPKI tahun 1928 di Batavia, delegasi Boedi Oetomo benar-benar hadir. Delegasi Boedi Oetomo yang kini berkantor pusat di Solo dipimpin oleh Mr. Singgih. Di dalam kongres PPPKI ini juga hadir RM Soewardi Soerjanigrat yang berubah nama menjadi Ki Hadjar Dewantara dengan membawa isu permasalahan Pendidikan Nasional. Ketua panitia Kongres ini yakni Dr. Soetomo. Untuk sekadar mengulang Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Soetomo sudah semenjak lama menjadi nasionalis. RM Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara paling tidak ketika menjadi anggota Indische Vereeniging di Belanda (1913-1919) sedangkan Dr. Soetomo paling tidak sepulang dari Deli tahun 1914 dan semakin kental ketika berangkat tahun 1919 studi ke Belanda dan bergabung dengan Indische Vereeniging.

De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik (kongres) pertama. [Seseorang menuli]s: Kamis, 30 Agustus, kongres kaum nasionalis sudah diumumkan oleh kami dengan nama PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Kebangsaan Indonesia) kongres dimulai disini. Beberapa utusan asosiasi yang berhubungan dan diundang secara khusus telah tiba beberapa hari sebelumnya, memanfaatkan waktu luang mereka untuk mengunjungi gedung organisasi dan perusahaan pribumi di sana-sini. Tjokroaminoto, ibarat yang disebutkan sebelumnya akan melaksanakan perjalanan lain ke Oosthoek untuk kepentingan asosiasi PSI (Partai Sarekat Islam). Perwakilan Sumatranen Bond, Parada Harahap yang juga pimpinan redaksi Bintang Timoer tiba disini di tempat ini sehari sebelum kemarin dengan mobilnya. Di Gerebeg, Mauloed sehari sebelum kemarin ada gerakan sibuk para anggota kongres di gedung Klub Studi Indonesia, yang jelas-jelas memperlihatkan hiruk pikuk hari-hari berikutnya. [Para delegasi telah tiba]. Seperti yang sudah ditunjukkan sebelumnya, kongres di Klub Studi akan dibuka di udara terbuka. Pada jam delapan sudah terlihat di halaman klub Studie Indonesia, jumlah yang kami perkirakan 2.000 orang. [Siapa disana?] Diantara yang hadir, kami mencatat Mr Gobée dan Van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi, Dr. M. van Blankensteijo, Vilanus yang terkenal dari Surabashch Handelsblad. Polisi dan pers juga terwakili. Delegasi dari asosiasi perempuan dari anggota kongres ditemukan tempat di aula tengah gedung. [Pembukaan] Sekitar pukul sembilan, Dr. Soetomo membuka kongres atas nama panitia tuan rumah. Pembicara (Soetomo) bahagia melihat begitu banyak sahabat lagi, yang beberapa diantaranya telah dikenalnya dimasa mudanya. Pembicara meminta dukungan dari penduduk Soerabaja untuk mensukseskan kongres ini, salah satu yang terbesar yang pernah diadakan dalam politik pribumi hingga ketika ini. Dia berharap rapat umum itu membuahkan hasil. Disambut dengan tepuk tangan meriah oleh hadirin, pembicara kemudian menyatakan kongres terbuka. [Tujuan PPPKI disampaikan]. Ketua federasi, Mr. Iskaq [Ketua PNI] ditunjuk atas nama PPPKI membaca aneka macam ucapan selamat telegram yang diterima dan semua yang hadir menyambut. Pembicara menguraikan sejarah pembentukan PPPKI. Selama Kongres PSI yang diadakan di Pekalongan pada bulan September tahun sebelumnya, beberapa anggota PNI dikirim ke kongres untuk mengadakan pembicaraan sehubungan dengan pembentukan tubuh federasi semua asosiasi pribumi PPPKI [catatan: dalam pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajadiningrat pada bulan September 1927 PSI tidak hadir]. Hasil pembicaraan yakni bahwa sebuah konferensi diadakan di Bandung pada 17 Desember 1927 dimana pada konferensi diputuskan rancangan statuta diadopsi dan PSI, PNI, BO, Pasoendan, Sumatranen Bond, Klub Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madoera mendaftar sebagai anggota. Gagasan membangun tubuh ibarat PPPKI bukanlah hal baru. Siapa pun yang agak berorientasi pada gerakan pribumi tahu bahwa beberapa tahun yang kemudian aneka macam upaya dilakukan untuk juga membentuk front persatuan sebagai contoh, Konsentrasi Radikal dan Kongres Seluruh Hindia. Organisasi yang disebut PPPKI didasarkan pada basis nasionalis - Indonesia. PPPKI menolak masuknya asosiasi non-pribumi, lantaran para pemimpin PPPKI yakin bahwa korporasi, termasuk orang-orang non-pribumi, cepat atau lambat akan mempunyai secara pribadi atau tidak pribadi kepentingan yang bertentangan. Setiap keputusan, dengan pengecualian pemilihan Presiden dan Sekretaris-bendahara federasi dan adopsi aturan internal, hanya akan berlaku bila disetujui oleh semua asosiasi yang berafiliasi, tanpa kecuali. Pembicara menyatakan bahwa PPPKI berdiri lebih berpengaruh fondasinya daripada tubuh lain dari jenisnya. Ketua dan Sekretaris-bendahara yakni orang yang dibayar dan tidak berhak memilih, sehingga anggota dewan federasi sama sekali tidak mempunyai imbas pada arah tubuh ini tanpa kerjasama dan persetujuan dari pihak-pihak yang terafiliasi. Arahannya di tempat pertama: mengejar konsep persatuan Indonesia. Dalam hal ini, pembicara tidak memahami sikap ragu-ragu dan pasif dari Persatoean Miuabasa dan Sarekat Ambon sehubungan dengan kekerabatan dengan PPPKI. Menjadi polemik antara PPPKI di satu sisi dan Sarikat Minahassa dan Sarekat Ambon di sisi lain. Program PPPKI hanya sanggup mempunyai persetujuan dan persetujuan dari semua asosiasi nasionalis. Pembiacara yakin bahwa sikap ragu-ragu dari asosiasi tersebut akan segera memberi jalan kepada aksesi ke PPPKI. Dengan seruan: Hidoeplah Persatoean Indonesia. Dari kesempatan untuk melihat PPPKI untuk mengucapkan selamat kepada kongres pertamanya, banyak delegasi telah memanfaatkannya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Partai Nasional Indonesia) menyambut baik pembentukan PPPKI, lantaran pemisahan antara sana dan sini menjadi lebih terang didefinisikan. Atas nama Boedi Oetomo, Mr Singgih mengucapkan kata-kata sukacita dan keberanian.Partai Sarekat Islam diwakili oleh Dr. Soekiman dan AM Sangadji mengucapkan selamat. Perwakilan dari Sumatranen Bond, Parada Harahap juga menyesalkan sikap pasif orang-orang Minahasa dan orang-orang Ambon. Soetomo berbicara atas nama Klub Studi Indonesia dengan cara yang sama. Mr Roeslan Wongsokoesoemo atas nama manajemen pusat Sarekat Madoera dan Mr Mobamad Tabrani dari Kaoem Betawi juga bicara. Mr. Ali Sastroamidjojo berbicara atas nama Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Perwakilan Timor Verbond, Mr CA Belder berjanji bahwa verbond-nya akan bergabung dengan PPPKI. Mr Tuwanakotta, berbicara atas nama Sarekat Ambon, Divisi Soerabaja, menyampaikan bahwa apa yang dikatakan di Volksraad oleh rekan sedaerahnya Dr. Apetuley,belum bisa menjadi ukuran posisi bahwa orang-orang Ambon berkenaan dengan PPPKI. Pertanyaan wacana koneksi hingga ketika ini masih sedang dipelajari di lingkaran Ambonscbe. Setelah memperlihatkan lantai kepada beberapa orang, ketua panitia menutup pertemuan pada pukul setengah dua belas. Kemarin malam pertemuan publik kedua di Teater Stadstuin tempat dimana masalah Pendidikan Nasional dibicarakan yang dipresentasikan Ki Hadjar Dewantoro. Karena kurangnya space dalam lembar ini kami tidak sanggup menyajikan laporan pertemuan ini hingga hari Senin’.

Dalam kongres PPPKI ini tidak semua organisasi kebangsaan hadir. Parada Harahap dari pengurus PPPKI menyesalkan sikap pasif orang-orang Minahassiscbe dan orang-orang Amboina. Perwakilan Timorsch Verbond, Mr CA Belder berjanji bahwa Verbond akan bergabung dengan PPPKI. Meski pengurus pusat Ambon tidak hadir, ternyata ada faksi di dalam Ambon yang respek terhadap persatuan nasional ini. Mr Tuwanakotta berbicara atas nama Sarekat Ambon, Divisi Soerabaja menyampaikan bahwa apa yang dikatakan di Volksraad oleh rekan sedaerahnya Dr Apetuley belum bisa dijadikan sebagai ukuran posisi bahwa orang-orang Ambon berkenaan dengan PPPKI. Mengapa keragu-raguan dari kalangan Minahasa dan Ambon muncul boleh jadi lantaran mereka sangat akrab dengan Belanda (kooperative).

Permasalahan Minahasa dan Ambon yakni masalah tersendiri. Boedi Oetomo telah lingkaran untuk bergabung dengan PPPKI dan mengusung persatuan nasiona. Akan tetapi di tubuh Boedi Oetomo masih ada masalah yang tersisa yakni soal acara perjuangan. Boedi Oetomo di dalam platform bernegara lebih menentukan status dominion (Belanda) sementara arus usaha yakni negara bebas merdeka sepenuhnya. Pada tahun 1931 para pengurus Boedi Oetomo cabang Batavia (yang cenderung nasionalis dan berjuang kemerdekaaan) menjadi tuan rumah Kongres Boedi Oetomo. Panitia mengundang pihak-pihak lain di luar Boedi Oetomo. Rapat umum ini dilakukan cabang Batavia seakan meminjam tangan pihak lain untuk memberi pandangan dan teguran kepada para anggota Boedi Oetomo yang sebagian besar masih bersikukuh Indonesia sebagai status dominion.

Pada rapat umum yang diadakan Sabtu di Gedoeng Permoefakatan cukup banyak yang hadir dari luar Boedi Oetomo. Yang turut hadir antara lain anggota Volksraad, MH Thamrin, sejumlah anggota dewan kota Batavia (tentu saja Dr. Sardjito diantaranya), dan dua anggota dewan kota Soerabaja Mr. Lengkong dan Dr. Radjamin Nasution. Sejumlah pembicara naik ke panggung. Perwakilan mahasiswa dari PI Belanda pada pada dasarnya mengingatkan semoga Boedi Oetomo tidak membawa usaha untuk Status Dominion (Belanda) dalam programnya. Perwakilan PPPI (Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia) di Batavia pada initinya menyatakan untuk kemerdekaan penuh dan tidak ada Status Dominion (suara gemuruh bersorak di dalam ruangan). Tidak hanya itu, juga Sanoesi Pane tampil di panggung sebagai pembicara utama. Sanusi Pane berbicara di podium tiga jam. Topik yang dibawakan wacana ‘British India’. Sanusi Pane cukup lama di India, yang menjadi wilayah jajahan Inggris. Topik ini menjadi perbandingan dengan yang dialami rakyat Indonesia yang dijajah Belanda. Para hadirin terus mengikutinya dengan beberapa kali tepuk tangan. Sanusi Pane menyampaikan ‘Pemerintah juga tidak akan (terus) berusaha menghambat gerakan dengan segala macam artikel hukum’ yang kemudian disambut tepuk tangan.

Dalam kongres Boedi Oetomo ini yang kali pertama diadakan di Batavia ini terkesan diskenariokan oleh tokoh-tokoh Boedi Oetomo yang nasionalis. Jika diingat kembali ketika Dr. Soetomo keluar dari Boedi Oetomo tahun 1924 dan Ir. Soekarno pada final tahun 1927 menyarankan semoga Boedi Oetomo untuk ikut dalam barisan usaha Indonesia itu ternyata tidak cukup (hingga tahun 1931 ini). Para nasionalis Boedi Oetomo, ibarat Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D diduga berada di balik skenario ini. Mereka yang nasionalis ini sengaja mengadakan kongres Boedi Oetomo di Batavia dan mengundang aneka macam pihak untuk bicara. Dengan demikian, anggota Boedi Oetomo yang cooperative (dengan Belanda) dan menginginkan Status Dominion akan mendapat pelajaran dari para ‘tetangga’ yang sengaja diundang untuk berbicara dalam ‘hajatan’ Boedi Oetomo. Dengan kata lain Dr. Soetomo, Ir. Soekarno saja tidak cukup menyadarkan sebagian anggota Boedi Oetomo yang kukuh dengan prinsipnya, apalagi Dr. Sardjito, Ph.D dan Mr. Soepomo, Ph.D. Karena itu, perlu diundang tetangga, ibarat PI, PPPI, Bataksch Bond (Sanoesi Pane) dan SI (Hadji Agoes Salim). Skenario ini sepertinya berhasil.

Setelah sesi debat, kesudahannya kongres ditutup pada pukul 1 siang, Ketua Boedi Oetomo Koesoemo Oetoyo menutup yang menyimpulkan bahwa Boedi Oetomo tidak menyatakan dirinya mendukung Status Dominion. Ini akan diuji oleh Dewan Eksekutif yang baru. Kongres telah menentukan dewan gres Boedi Oetomo. Dewan gres ini hampir semua anggota bekas dewan pusat dipilih kembali, sehingga dewan yang kini yakni sebagai berikut: Ketua RMA. Koesoemo Oetoyo (anggota Volksraad), Wakil Ketua RM Woerjaningrat; Sekretaris-1 RP Singgih, Sekretaris-2 RM.Soetedjo; Bendahara Pinandjojo dan Komisaris terdiri dari: Wongsonegoro, Mr. Sastromoeljono, Soekardjo dan RM Margono. Kongres Boedi Oetomo berikutnya akan diadakan di Semarang.

Antar Generasi Harahap di Tingkat Nasional
Last but not least: Kongres PPPKI yang diadakan bulan September 1928 sesungguhnya terintegrasi dengan Kongres Pemuda yang diadakan sebelun kemudian pada bulan Oktober 1928. Sebagaimana diketahui Sekretaris-bendahara PPPKI yakni Parada Harahap dan Ketua panitia Kongres PPPKI yakni Dr. Soetomo. Dalam struktur kepanitiaan Kongres Pemuda yakni ketua Soegondo (dari PPPI), sekretaris Mohamad Jamin (Sumatranen Bond) dan bendahara Amir Sjarifoeddin Hatahap (Bataksche Bond). Komposisi panitian Kongres Pemuda tentu saja bukan serba kebetulan. Soegondo yakni kader dari Dr. Soetomo, sedangkan Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoenddin yakni kader dari Parada Harahap. Satu lagi tokoh penting dalam Kongres Pemuda yakni diperdengarkannya lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman (editor dari kantor gosip Alpena yang dipimpin Parada Harahap).

Ada dua kiprah lain Parada Harahap menjelang Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior). Pertama, Parafa Harahap yakni ketua himpunan pengusaha pribumi di Batavia yang bersama MH Thamrin membangun gedung pertemuan PPPKI di Gang Kenari besar duigaan yang membiayai Kongres Pemuda dan lantaran itu Amir Sjarifoeddin diposisikan sebagai bendahara. Kedua, Parada Harahap sebagai pemilik surat kabar Bintang Timoer telah menerbitkan surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (untuk wilayah sirkulasi Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk wilayah sirkulasi Oost Java). Edisi Soerabaja ini kemudian menjadi surat kabar Soeara Oemoem yang dipimpin oleh Dr. Soetomo yang menjadi organ organisasi kebangsaan Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) yang didirikan di Soerabaja oleh Dr.Soetomop dan Dr. Radjamin Nasution pada tahun 1929. Pada tahun 1929 yang diangkat menjadi editor Bintang Timoer untuk menggantikan Parada Harahap yakni Adinegoro (abang dari Mohamad Jamin).

Munculnya tokoh muda Amir Sjarifoeddin Harahap seakan menegaskan garis estafet tokoh-tokoh asal Padang Sidempoean mulai dari Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (1861-1926), Rodjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (1874-1927) dan Sorip Tagor (1888-1973) kepada penerus Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1896-1966) dan Parada Harahap (1899-1957) yang kemudian disusul Amir Sjarifoeddin Harahap (1907-1948). Estafet ini bukanlah bersifat random tetapi berdasarkan kaderisasi. Suatu bentuk suksesi yang berlaku pada era kolonial Belanda. Selain garis estafet in, juga banyak garis estafet pada era tersebut, sebut saja garis estafet Soetomo, Soekarno dan Mohamad Hatta.

Ki Hadjar Dewantara Mendirikan Sekolah Taman Siswa di Jogjakarta; Soetan Goenoeng Moelia Studi Kembali ke Belanda untuk Mendapatkan gelar Doktoral (Ph.D)

Setelah sekian lama nama RM Soewardi Soerjaningrat muncul dengan nama panggilan gres Ki Hadjar Dewantara. Dalam Kongres PPPKI  yang diadakan di Batavia 30 Agustus 0 2 September 1928 Ki Hadjar Dewantara termasuk sebagai salah satu pembicara. Ki Hadjar Dewantara membicarakan pendidikan nasional. Pada tahun 1928 Ki Hadjar Dewantara sudah dikenal sebagai pendiri sekolah Taman Siswa.

RM Soewardi Soerjaningrat yang mengubah nama panggilannya menjadi Ko Hadjar Dewantara mendirikan sekolah Taman Siswa di Jogjakarta pada tahun 1922. Sekolah ini menjadi sebuah alternatif ketika pendidikan yang dikelola pemerintah tidak mencukupi untuk semua penduduk. Pendekatan yang dipakai Tagore (swadaya). Pola pendidikan Taman Siswa. Banyak kesamaan dengan sekolah rakyat Tagore scbool orang Jawa kuno (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 11-02-1928). Setelah lima tahun pendiriannya jumlah sekolah Taman Siswa sudah ada 15 buah yang mana pada tahun 1927 di Bandoeng sudah dibuka sekolah MULO.

Pola pendidikan Taman Siswa yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara pada dasarnya sudah muncul diskusi di kalangan ahli-ahli Belanda sehubungan dengan perkembangan akhir-akhir ini. Dalam diskusi tersebut mengutamakan penduduk sangat ditekankan. Apa yang telah dilakukan Ki Hadjar Dewantara ibarat dengan apa yang telah muncul dalam diskusi di antara orang-orang Belanda.

De Preanger-bode, 31-03-1922: Otonomi Hindia atau independen? Baru-baru ini atas undangan Asosiasi Indologi [di Belanda], Ir. Th. Vreede, mantan Ketua Volksraad, memperlihatkan presentasi wacana pertanyaan Indonesia otonom atau mandiri?..tampaknya imbas masa kemudian sama sekali belum padam..fakta bahwa Mahabarata dan Ramayana yang terkenal terus hidup di wajang hingga ketika ini dan dengan demikian mempertahankan tempat mereka dalam jiwa rakyat Jawa. Pengaruh spiritual Barat terhadap Indonesia sejauh ini terbatas. Kekristenan tidak begitu populer. Hanya dalam 10 hingga 20 tahun terakhir budaya Belanda mulai menembus secara bermakna melalui pendidikan..Pengenalan sewa tanah oleh Raffles dan diatas segalanya, sistem budaya [koffie] van den Bosch di sisi lain mempunyai efek yang menghancurkan pada lembaga-lembaga rakyat dan dengan demikian juga pada naluri kerja dan kesejahteraan rakyat...Pembicara menyebut itu hasil memalukan dari pemerintahan Belanda. Sejak awal kala ini, Indonesia telah memperlihatkan kebangkitan yang luar biasa...Semua elemen budaya yang melemah membangkitkan kehidupan baru. Pengaruh Hindu terasa di Boedi Oetomo. Islam memperlihatkan vitalitasnya dalam Sarekat Islam. Pencampuran rasial Belanda dan Indonesia memperlihatkan dasar untuk Partai Nasional Hindia (National Indische Partij). Eksploitasi ekonomi menemukan responsnya dalam gerakan serikat buruh yang kuat. Dengan demikian, semuanya kini bergerak dan mengalami fermentasi... Keinginan politik yang sah dari serpihan yang lebih intelektual dari populasi, termasuk bupati dan pemimpin harus tercermin dalam dewan pemerintahan yang dirancang. Untuk kecenderungan nasionalis ruang yang cukup dibuat di Volksraad. Proposal komite peninjau kemudian menunjuk ke arah yang benar. Tugas kita terutama di bidang budaya, dalam pendidikan bukan pada orang Barat murni, tetapi lebih pada dasar nasional Indonesia dan Timur. Jalur yang benar ditunjuk untuk pembentukan pendidikan menengah umum. Pembicara menjelaskan institusi sebuah universitas dengan dasar yang sama. Hanya dengan cara ini intelek dan material sanggup disatukan di Hindia, diharapkan untuk pemahaman dan pemahaman budaya Indonesia yang lengkap..Dapat dipastikan bahwa Belanda tidak sanggup menarik diri dari Indonesia dengan alasan apa pun. Kebijakan konservasi murni akan sama fatalnya. Kebijakan eksploitasi itu teoretis, tetapi dalam praktiknya belum diatasi. Kebijakan etis yang telah muncul berdasarkan pembicara tidak cukup lagi. Satu-satunya kebijakan yang sanggup memperlihatkan kepuasan yakni yang berfokus pada apa yang dirasakan benar di Indonesia. Kebijakan aturan ibarat itu awalnya mengarah pada otonomi. Apakah ini juga akan mengarah pada kemerdekaan? Sebagian besar orang Belanda ingin melanjutkan kekerabatan mereka dengan Indonesia, lantaran tujuan ekonomi yang menyertainya..Motif yang berbeda berlaku untuk orang Indonesia. Dia hanya menghargai ikatan budaya (pendidikan) yang memberinya jalan masuk ke budaya Barat. Kepentingan politik tidak berbicara kepadanya. Keuntungan ekonomi yang ditarik Belanda dari Indonesia menciptakan murka dan membuatnya membenci kekerabatan dengan Belanda. Di Indonesia, misalnya, ada banyak kecenderungan untuk kemerdekaan sepenuhnya..’.

Sementara itu ketika Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan sekolah Taman Siswa di Jogjakarta pada tahun 1922, di Batavia Soetan Casajangan ditunjuk sebagai eksekutif Normaal School. Sekolah Normaal School yakni bentuk gres dari sekolah guru sebelumnya Kweekschool. Seedangkan Soetan Goenoeng Moelia semenjak 1921 menjadi eksekutif sekolah HIS di Kotanopan.

Sebelum ditunjuk menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis, Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudulDe associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memperlihatkan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan lembaga ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato lantaran saya dianggap sebagai pencetus pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan kesudahannya tiba ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diharapkan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang menciptakan ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang ibarat (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya kini sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan gres ini...karena sanggup merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap sanggup menjembatani perlunya kebijakan gres pendidikan. saya sangat bahagia hati Vereeniging Moederland en Kolonien sanggup mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya bila dibandingkan dengan Dewan (Tweede Kamer)..

Soetan Casajangan, Soetan Goenoeng Moelia dan Soewardi Serjanigrat yakni sama-sama guru alumni Belanda. Soewardi Serjanigrat sebelum pulang ke tanah air telah mememiliki sertifat LO (guru sekolah dasar), sedangkan Soetan Casajangan dan Soetan Goenoeng Moelia mempunyai sertifikat MO (kepala sekolah menegah). Soetan Casajangan meraihnya pada tahun 1911 sedangkan Soetan Goenoeng Moelia apda tahun 1916.

Pada tahun 1922 guru-guru alumni Belanda selain mereka bertiga yakni Dahlan Abdoellah yang sudah mempunyai sertifikat LO dan sedang mengikuti studi untuk sertifikat MO.

Guru-guru pribumi tidak banyak memang tetapi fakta hanya itu guru-guru prubumi yang mendapat pendidikan pedagogi. RM Soewardi Soerjaningrat telah mengambil jalan sendiri dengan membentuk Taman Siswa. Soetan Casajangan dan Soetan Goenoeng Moelia meski tetap berada di pemerintahan, tetapi kesadaran wacana pendidikan bagi pribumi sangat intens.

Pada tahun 1923 Taman Siswa dijadikan sebagai perguruan tinggi nasional (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 11-02-1928). Tidak lagi perguruan tinggi Jogjakarta. Yang dimaksud nasional dalam hal ini yakni Indonesia meski belum semua anggota Boedi Oetomo pro nasional. Mengapa Indonesia? Ini lantaran Soewardi Soejaningrat alias Ki Hadjar Dewantara pernah menjadi anggota Indische Vereeniging di Belanda dan bahkan memimpin biro pers Indonesia di Belanda.

Apa yang dilakukan RM Soewardi Soerjaningrat sanggup dipnadang dari dua sisi. Dari sisi pribumi sendiri sekolah swadaya Taman Siswa menjadi katup pengaman dalam penyediaan pendidikan bagi pribumi yang masih terbatas dari pemerintah. Taman Siswa menjadi pilihan alternatif dan juga menjadi suatu langkah maju untuk menyediakan pendidikan bagi semua penduduk. Dari sisi pemerintah Taman Siswa yang mempunyai kurikulum sendiri (kurikulum timur) sanggup dianggap sebagai langkah mundur. Hal ini lantaran secara kurikulum nasional pendidikan pribumi yang diselenggarakan pemerintah sudah jauh lebih maju dibanding sebelumnya. RM Soewardi Soerjaningrat sendiri yakni produk pendidikan pemerintah (kurikulum barat).

Upaya yang dilakukan RM Soewardi Soerjaningrat bukanlah hal baru. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda telah mendirikan sekolah swasta di Padang. Sebagai pensiunan guru, Dja Endar Moeda merasa terpanggil untuk mendirikan sekolah swasta dengan kurikulum yang dibentuknya sendiri. Upaya ini dilakukan Dja Endar Moeda untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk yang tidak tertampung di sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah.

Jika mundur ke belakang, pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (Kweekschool) di Tanobat0a. Upaya ini dimaksudkan untuk mennyediakan guru yang lebih banyak bagi penduduk di Mandailing en Angkola. Sekolah yang dibangun Willem Iskander ini dalam waktu dua tahun telah mengalahkan kualitas dua sekolah guru pemerintah yang dibangun di Soerakarta tahun 1851 dan di Fort de Kock tahun 1856. Willem Iskander mempunyai serifikat guru dari Belanda yang diperolehnya pada tahun 1861. Salah satu murid Willem Iskander yakni Maharadja Soetan (ayah dari Soetan Casajangan).  

Permasalahannya yakni sejauh mana Taman Siswa bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Pada tahun 1922 selain sekolah Eropa (ELS) dan sekolah pribumi, pemerintah sudah memperkenalkan sekolah HIS (sejak 1914) dan sekolah MULO. Pada tahun 1922 Soetan Goenoeng Moelia yakni eksekutif sekolah HIS.

Soetan Goenoeng Moelia sendiri sepulang dari Belanda tahun 1919 (tahun yang sama RM Soewardi Soerjaningrat pulang dari Belanda) diangkat sebagai guru pemerintah sebagai kepala sekolah di Sipirok. Lalu pada tahun 1921 Soetan Goenoeng Moelia diangkat sebagai eksekutif HIS yang gres dibuka di Kotanopan.

Soetan Goenoeng Moelia pada tahun 1922 juga diangkat sebagai anggota Volksraad mewakili golongan pendidikan. Sementara RM Soewardi Soerjaningrat terus mengembangan sekolah Taman Siswa dengan menambah jumlah dan dan sebaran, Soetan Goenoeng Moelia menjadi anggota Komisi Sekolah HIS Pusat di Batavia

Keputusan Gubernur Jenderal, tanggal 28 November 1927 dibuat Komisi Hollandsch lnlandsch Onderwljs. Komisi  ini diketuai oleh Prof. BJO Schrieke yang mana anggota terdiri dari 10 orang termasuk diantaranya Dr. Mr. Sutan Goenoeng Moelia. Komite ini dibuat untuk memperlihatkan saran wacana kebutuhan sosial untuk pendidikan dasar yang pengajarannya dengan bahasa Belanda bagi penduduk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-03-1929).

Pada ketika diadakan kongres PPPKI di Batavia tahun 1928 RM Soewardi Soerjaningrat hadir sebagai salah tokoh utama pendidikan Taman Siswa. Pada ketika ini Soetan Goenoeng Moelia selain eksekutif Normaal School di Meester Cornelis, anggota Volksrad, Soetan Goenoeng Molia juga anggoat Komite Pendidikan HIS.

Tentu saja dalam kesempatan Kongres PPPKI 1928 RM Soewardi Soerjaningrat dan Soetan Goenoeng Moelia mempunyai acara sendiri. Mereka berdua dulu di Belanda yakni sama-sama anggota Indische Vereeniging. Pada ketika mereka berdua pulan tahun 1919 RM Soewardi Soerjaningrat yakni pemegang sertifikat LO (sarjana muda pendidikan) sementara Soetan Goenoeng Moelia selain mempunyai sertifikat LO juga sertifikat MO (sarjana pendidikan Mr).

Pada final tahun 1929 Sutan Goenoeng Moelia meminta dengan hormat mengundurkan diri dari aneka macam jabatan lantaran ingin sekolah dan dikabulkan terhitung 1 Desember 1929 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1930). Soetan Goenoeng Moelia ingin melanjutkan studi doktoral untuk memperoleh gelar doktor (Ph.D) di bidang pendidikan. Kemungkinan alasan Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi doktoral lantaran untuk bidang pedagogi ini, belum ada pribumi yang berpendidikan doktor, mungkin dilihatnya, kebutuhan ini sangat diharapkan dalam pembangunan pendidikan pribumi dan diharapkan orang pribumi. Boleh jadi ini yang menjadi alasan pertama mengapa Soetan Goenoeng Moelia masih bertekad untuk sekolah sekalipun umurnya tidak muda lagi dan jabatannya sudah lebih dari cukup. Ini ibarat dengan apa yang dialami Soetan Casajangan ketika melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1905.

De Sumatra post, 27-04-1933
Sementara Soetan Goenoeng Moelia studi doktoral (Ph.D) di bidang pendidikan ke Belanda, sekolah Taman Siswa yang digagas Ki Hadjar Dewantara telah meluas tidak hanya di Jawa tetapi sudah ada di Sumatra paling tidak di Kota Medan. Kualitas Taman Siswa di Medan sanggup dikatakan cukup kompetitif. Ini sanggup dilihat pada surat kabar De Sumatra post, 27-04-1933 (Hasil ujian masuk HBS, salah?): ‘Ada gosip kejutan dan controversial di Pewarta Deli kemarin. Isinya diskusi perihal hasil dalam ujian masuk HBS yang disorot. Artikel ini menyebutkan hasil yang menakjubkan dari Taman Siswa dan angka yang sangat jelek untuk HIS (pemerintah). Artikel ini mengutip daftar perolehan masing-masing sekolah yang siswanya diterima di MULO: Taman Siswa lulus 50 persen, HIS pemerintah nol persen dan Institute Josua lulus 80 persen. Kami telah mengkonfirmasi kepada Direktur HBS bahwa informasi tersebut salah tempat. Bahwa artikel itu diambil selama dua tahun terakhir, bukan hasil tahun ini. Tahun sebelumnya berhasil sembilan persen. Institute Josua gagal tahun ini tetapi berhasil 80 persen dalam dua tahun terakhir. Berbeda dengan lembaga lain. kami hanya perlu melihat hasil tahun ini ketika lima calon Taman Siswa tidak ada yang cukup berhasil. Daftar lengkap hasil sekolah lihat tabel.

Taman Siswa dan Institute Josua dua sekolah (perguruan) swasta di Medan tidak kalah sama sekolah-sekolah pemerintah. Sebagaimana Taman Siswa didirikan Ki Hadjar Dewantara di Jiogjakarta, di Medan juga GB Josua (Gading Batubara Josua) mendirikan perguruan tinggi (institute( sesuai dengan namanya. GB Josua lahir di Sipirok (Afdeeling Padang Sidempoean) pada tanggal 10 Oktober 1901 (10-10-01). Setelah lulus sekolah dasar di Sipirok, GB Josua melanjutkan sekolah guru di Fort de Kock. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Gading Batoebara melanjutkan sekolah ke Hogere Kweekschool di Poeworedjo dan lulus 1923. Setelah lulus, Gading Batoebara mudik dan menjadi guru sementara di HIS swasta Sipirok (kampung halamannya). Kemudian GB Josua merantau dan menjadi guru di Tandjoengpoera (Langkat). Tidak lama di Tandjongpoera, GB Josua tertarik atas tawaran untuk memajukan sekolah HIS swasta di Doloksanggoel. Kehadirannya menciptakan sekolah HIS Doloksanggoel maju pesat hingga kesudahannya diakuisisi oleh pemerintah menjadi HIS negeri. Sukses GB Josua merancang HIS di Doloksanggoel menciptakan namanya diperhitungkan oleh pemerintah Nederlansch Indie. Dalam perkembangannya, GB Josua diangkat menjadi guru pemerintah dan ditempatkan di Medan tahun 1928 (lihat De Sumatra post, 17-09-1928). Pada tahun 1929 GB Josua melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda di Groningen. Setelah mendapat akte Lager Onderwijs (LO) GB Josua kembali ke tanah air 1931 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 01-12-1931). Di Medan GB Josua mendirikan sekolah HIS. Sekolah yang didirikan Haji GB Josua ini hingga ini hari masih eksis di Medan dengan nama Perguruan Josua.

Pada fase final pendidikan doktoral Soetan Goenoeng Meolia di Belanda, ayah Sutan Gunung Mulia berjulukan Mangaradja Hamonangan diberitakan telah meninggal dunia di Padang Sidempuan. Jarak yang jauh antara Leiden dan Padang Sidempoean telah menghalangi Soetan Goenoeng Moelia menghadiri pemakaman ayah tercinta.

De Sumatra post, 31-10-1933: ‘Mangaradja Hamonangan, orang yang terkenal, pensiunan guru. Dalam pemakaman Mangaradja Hamonangan di pemakaman keluarga di Sitamiang dihadiri oleh banyak pejabat dan tokoh terkenal. Lebih dari prestasinya di bidang pendidikan, almarhum Mangaradja Hamonangan dikenal sebagai ayah dari salah satu yang paling berbakat di Tapanoeli, yaitu, anggota dewan rakyat (Volksraad) Todoeng gelar Sutan Goenoeng Moelia. Mr Todoeng yakni guru dengan sertifikat sertifikat utama yang diperoleh di Belanda. Beberapa tahun yang kemudian ia meninggalkan untuk kedua kalinya pergi ke Belanda, dimana sebelumnya telah memperolah Mr, juga baru-baru ini telah berhasil meraih gelar doktor (Ph.D) dalam pedagogi. Segera, Mr. TSG Moelia kembali ke negara ini’

Soetan Goenoeng Moelia meraih gelar doktor dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap', Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933).

Setelah segala sesuatunya beres di Belanda, Soetan Goenoeng Moelia kembali  segera ke tanah air. Soetan Goenoeng Meolia ingin segera ke kampung di Padang Sidempoean untuk berziarah ke makam sang ayah. Dr. Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia tidak lam kemudian diberitakan Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1934 akan ditempatkan di HIK Bandoeng segera sesudah tiba di negara ini dari Eropa.

HIK yakni kependekan dari Holandsche Indische Kweekschool yang mana siswa yang diterima yakni lulusan MULO atau Kweekschool. Lulusan HIK sanggup diangkat menjadi pengajar di MULO atau Kweekschool.

Sutan Gunung Mulia juga yakni anggota Bestuurs Academic. Dewan ini terdiri dari, presiden, Prof. R. Hussein Djajadiningrat (anggota Volksraad), HA Loghem (Residen di West Java), Dr GF. Piper (penasihat untuk Urusan Pribumi), RTA Hasan Soemadipradja (Bupati Batavia) dan Dr. Mr. Todoeng Gelar Sutan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad). Dewan ini yakni dewan yang terbilang bergengsi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-07-1938). Namun terhitung dari tanggal 8 Maret dikembalikan ke Departemen Pendidikan dan Agama. Soetan Goenoeng Moelia akan kembali menduduki posisinya sebagai Inspektur Pendidikan Inlandsch. Sementara fungsinya yang juga sebagai anggota dewan rakyat (Volksraad) tetap diangkat oleh Pemerintah (lihat De Sumatra post, 25-02-1939).

Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 09-05-1939
Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 09-05-1939: ‘Pengangkatan anggota Volksraad. Ada sebanyak 23 orang yang ditunjuk termasuk Soetan Goenoeng Moelia yang juga anggota Volskraad pada periode sebelumnya. Sementara yang lainnya diangkat sesudah melalui pemilihan (dapil) antara lain Dr. Abdoel Rasjid (dapil Taopanoeli), Mangaradja Soeangkoepon (dapil Oost Sumatra), Hermon Kartowisastro dan MH Thamrin. Catatan: Soetan Goenoeng Moelia pada tahun 1921 juga ditunjuk sebagai anggota Volksraad hingga sebelum berangkat studi doktoral ke Belanda pada tahun 1929. Setelah meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1933 Soetan Goenoeng Moelia kembali ditunjuk menjadi anggota Volksraad. Sementara Mangaradja Soangkoepon terpilih semenjak 1927 hingga tahun 1939 ini. Sedangkan Dr. Abdoel Rasjid yang juga adik Mangaradja Soeangkoepon terpilih dari dapil Tapanoeli semenjak 1931 (menggantikan Dr. Ali Moesa Harahap). Sebagaimana Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid selalu menang hingga tahun 1939. Hermon Kartowisastro yakni mantan ketua Indische Vereeniging.

Inspektur Pendidikan Pribumi yakni jabatan tertinggi di Kementerian Pendidikan yang sanggup diraih oleh orang pribumi. Fungsi Inspektur Pendidikan Pribumi yakni bidang yang mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan pendidikan bagi pribumi baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta atau masyarakat. Dalam hal ini lengkap sudah karir Soetan Goenoeng Moelia di bidang pendidikan. Jabatan ini seakan melengkapi tingkat pendidikan yang tidak hanya bergelar master (Mr) di bidang pendidikan juga pribumi pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang pendidikan.

Di Jogjakarta Ki Hadjar Dewantara berduka, ibu mertuanya meninggal dunia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-08-1939). Disebutkan Bendoro Raden Ajoe Pangeran Ario Sasraningrat yakni istri dari Pangeran Ario Sasraningrat. Secara tradisional, peti mati dibawa oleh putra dan menantu dari rumah serpihan dalam ke pendopo lali kemudian dilakukan prosesi ke gereja Bintaran, dimana seorang pendeta sepupu dari almarhum melaksanakan upacara gereja. Sesaat bergerak prosesi melaju ke biara Fransiskan, dimana kendaraan beroda empat mayit hanya berhenti di depan portal, untuk memperlihatkan biarawati kesempatan untuk menciptakan salam terakhir kepada ibunya. Itu yakni Zr. M. Clara, seorang putri dari almarhum yang sebelumnya dikenal dengan nama Raden Adjoe Soeki. Dari biara dibawa ke Moentilan, dimana BRA Sasraningrat dimakamkan sesuai dengan keinginannya di makam RK Kerkhof der Paters Jezuieten. Atas nama keluarga, Ki Hadjar Dewantara, menantu dari almarhum, mengucapkan terima kasih kepada semua atas partisipasi yang ditunjukkan’

Pendidikan Taman Siswa ala Ki Hadjar Dewantara dan Sekolah HIS dimana Soetan Goenoeng Moelia mempunyai kiprah penting yang menjadi pergumulan dalam mencari pendidikan yang ideal bagi bangsa Indonesia. HIS dibuat tahun 1914 sebagai solusi sulitnya bawah umur Indonesia masuk ke sekolah Eropa (ELS). Janya segelintir yang mampu, tentu saja termasuk RM Soewardi Soerjaningrat salah satu yang berhasil. Taman Siswa sendiri yang diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922 sebagai bentuk pendidikan yang berlawanan dengan HIS.

Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa memakai pendekatan tradisional, swadaya, sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan kurikulum yang berakar dari sosial budaya setempat. Tdak mengikuti hasil pengetahuan (sains) dari Barat juga bukan dari Modjopahit yang dibangkitkan (lihat De Indische courant, 09-05-1941: TAMAN SISWA)). Sebuah sintesis ditemukan antara Timur dan Barat yang terdiri dari beberapa prinsip: 1. Sistem Among; 2. guru harus mahir berada di depan; 3. Nasional tanpa imitasi; 4. Pendidiak untuk semua; 5 tidak mengandalkan sumbangan dan dukungan orang lain; 6. Sistem jaminan diri; 7 bebas dari ikatan. Prinsip-prinsip tersebut disebut melawan migrasi ke Barat dan mundur ke masa kemudian yang masih diterima.

Sekolah HIS yakni bentuk sekolah yang digambarkan sebagai puzzle terkenal: ‘berpajoeng boekannja radja, bersisik boekannja ikan’, Dalam hal ini HIS mempunyai timbangan sendiri: HIS bukan sekolah Eropa, juga bukan penduduk asli. Ini yakni sekolah untuk bawah umur dari kelompok ‘istimewa’ orang Indonesia, dimana bahasa Belanda yakni bahasa resmi di empat kelas teratas (lihat De Indische courant, 25-06-1941: DE HOLLANDSCH INLANDSCHE SCHOOL). Tujuan sekolah HIS disebutkan yakni untuk membuka jalan ke Barat untuk orang Indonesia. HIS dirancang secara berjenjang: HIS (7 tahun(: MULO (4 tahun); dan AMS (3 tahun). Jenjang ini untuk mencapai pintu masuk ke sains dan budaya Barat

Jauh sebelum munculnya konsep pendidikan HIS (Soetan Goenoeng Moelia) dan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa) sudah pernah terjadi pergumulan diantara orang Belanda sendiri. Pada tahun 1818 pemerintah menerapkan pendidikan liberal. Pemerintah memberi kesempatan kepada penduduk pribumi untuk diajar di sekolah-sekolah Belanda. Pada tahun 1837 ada total 37 siswa Indonesia di ELS. Pada tahun 1848 orang pribumi tidak lagi diizinkan berada diantara sekolah ELS.

Perubahan yang terjadi ini melahirkan gagasan pembentukan sekolah guru untuk pribumi (yang disebut Kwekschool) untuk penyediaan guru-guru pribumi yang lebih banyak. Sekolah guru yang pertama dididirikan di Soerakarta pada tahun 1851. Setelah itu menyusul didirikan Kweekschool di Fort de Kock. Pada tahun 1862 seorang perjaka Mandailing yang gres pulang studi dari Belanda dengan mendapat akte guru bantu (LO) mendirikan Kweekschool di Tanobatoe, Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli. Salah satu lulusan Kweekschool Tanobato ini yakni Maharadja Soetan (ayah Soetan Casajangan). Sedangkan Soetan Casajangan sendiri sebelum melanjutkan studi ke Belanda yakni lulusan Kweekschool Padang Sidempoean.  

Lima belas tahun kemudian pada tahun 1863 pelarangan itu kembali dibuka yang memungkin bawah umur pribumi bersekolah di ELS, Ini berarti kembali ke sistem pendidikan tahun 1818. Alasannya bahwa penerimaan dihentikan ditolak bila penduduk pribumi secara tegas dan sukarela. Kebijakan ini bukan tanpa risiko. Sebab sanggup menurunkan kualitas pendidikan dan ketidakpuasan serius di antara orang-orang Eropa/Belanda. Lalu pada tahun 1868 disetop lagi.
Pada tahun 1894 diperbolehkan lagi dengan persyarataa anak Indonesia harus cukup tahu bahasa Belanda dan usia tidak lebih dari 7 tahun. Pada tahun 1900 Abendanon mencoba mengusulkan pembebasan persyaratan itu dibebaskan dan tiga tahun kemudian gres disetujui. Pada tahun 1907 kendala itu diberlakukan lagi tetapi dengan pengecualian dengan jumlah kuota terbatas, Oleh lantaran meningkatnya kebutuhan orang Eropa/Belanda untuk menghilangkan kuota pribumi muncul model sekolah gres setara ELS yang kemudian pada tahun 1914 disebut sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS).  Hingga tahun 1941 sudah ada 150.000 orang Indonesia berbahasa Belanda dari lembaga pendidikan dasar Barat (ELS dan HIS).

Pergumulan bentuk pendidikan ini di Indonesia hingga berakhirnya kolonial Belanda belum berakhir. Berbagai bentuk usul masih terus diapungkan. Sekolah yang digagas Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa) tetaplah satu hal. Sedangkan usulan-usulan yang terus bergulir yakni hal lain.

Dalam pergumulan mencari bentuk pendidikan di Indonesia Soetan Goenoeng Moelia diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi. Selain itu, jabatan Mr. Sutan Goenoeng Moelia, Ph.D juga yakni anggota Volkraad dari golongan pendidikan. Jabatan terakhir Soetan Goenoeng Moelia di dewan sebelum perang yakni Wakil Ketua Volksraad (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949).

Mangaradja Soangkoepon yakni anggota dewan fenomenal, sebagai macan Pejambon, maka selalu terpilih dalam pemilu. Kini, Mangaradja Soangkoepon untuk ketiga periode secara berturut-turut menjadi anggota Volksraad. Pada periode ketiga ini Mangaradja Soagkoepon dan Sutan Gunung Mulia pundak membahu untuk berjuang untuk kepentingan rakyat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-02-1940). Sutan Gunung Mulia terkesan kalem terhadap pemerintah Belanda tetapi pemikiran dan substansinya sangat tajam terutama di bidang pendidikan, sedangkan Mangartadja Soangkoepon terkesan galak terhadap pemerintah Belanda (kadang tanpa kompromi).

Pengelolaan pendidikan di Indonesia selama era kolonial Belanda terang sangat rumit. Untuk pendidikan dasar saja ada sekolah Eropa (ELS) dan ada juga sekolah dasar bentuk gres (HIS) dan sekolah pribumi (sekolah rakyat). Disamping itu ada sekolah yang dikelola oleh pemerintah dan juga ada yang dikelola oleh masyarakat atau swasta (termasuk yang dikelola oleh orang Tionghoa). Taman Siswa yakni sekolah rakyat tetapi berbeda dengan sekolah rakyat yang dikelola oleh pemerintah. Namun demikian, sekolah Taman Siswa tetap berada di bawah pengawasan Inspektur Pendidikan Pribumi (Soetan Goenoeng Moelia).

Soetan Goenoeng Moelia sangatlah kewalahan dengan situasi dan kondisi yang ada di dalam bidang pendidikan. Sekolah Eropa (ELS) sudah barang tentu mengikuti kurikulum pendidikan Eropa (yang kompatibel dengan sekolah-sekolah di Eropa). Sementara sekolah HIS hanya ada di Indonesia dan harus mendapat pendidikan persamaan untuk bisa disetarakan dengan ELS. Oleh lantaran HIS hanya ada di Indonesia dan mempunyai kurikulum yang seragam antara yang dikelola pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta pribumi atau swasta ajaib atau Taman Siswa. Sebagaimana diketahui semenjak 1933 kurukulum Taman Siswa sudah ada yang diubahsuaikan dengan kurikulum HIS sehingga lulusannya bisa ke MULO/HBS. Dalam hal ini pemerintah membentuk Komite HIS yang mana salah satu anggota komite tersebut yakni Soetan Goenoeng Moelia. Sementara untuk sekolah pribumi belum terbentuk komite sekolah pribumi. Boleh jadi hal ini lantaran kurikulum sekolah pribumi yang berada di bawah pengawasan Inspektur Pendidik Pribumi (Soetan Goenoeng Moelia) dilakukan berbeda-beda ibarat Taman Siswa. Dengan demikian akan sangat sulit membentuk sekolah pribumi secara nasional. Sekolah-sekolah Taman Siswa yang berada di bawah Yayasan Taman Siswa yang seragam secara nasional  tetapi berbeda dengan kurikulum sekolah-sekolah pribumi yang dikelola pemerintah secara nasional.

Jelas dalam hal ini sulit menyatukan sekolah pribumi yang dikelola pemerintah (Soetan Goenoeng Moelia) dengan sekolah yang dikelola oleh Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa). Satu-satunya cara untuk menyatukan itu yakni menghilangkan faktor Belanda kemudian menentukan apakah konsep Taman Siswa yang dipertahankan atau sebaliknya konsep pemerintah yang dipertahankan.

Sutan Gunung Mulia dan Ki Hadjar Dewantara Sebagai Republiken Berjuang Demi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Penyatuan pendidikan nasional Indonesia hanya dimungkinkan dengan menghilangkan faktor ajaib (Belanda dan Jepang). Itu sanggup dilakukan sesudah Indonesia Merdeka. Dalam era kemerdekaan Indonesia tanggungjawab penyatuan ini berada di tangan Menteri Pendidikan. Pasca kemerdekaan Indonesia dalam kabinet pertama yang diangkat sebagai Menteri Pendidikan yakni Ki Hadjar Dewantara (sejak 2 September 1945). Namun sangat terang sangat sulit untuk melihat kiprah Ki Hadjar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan dalam masalah pendidikan nasional. Hal ini lantaran Ki Hadjar Dewantara hanya menjabat sebagai Menteri Pendidikan hanya sekitar dua bulan. Yang menggantikan Ki Hadjar Dewantara yakni Soetan Goenoeng Moelia.

Sudah barang tentu sesudah tidak menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara kembali memimpin perguruan tinggi Taman Siswa. Sebagai pencetus dan juga masih menjadi pimpinan Yayasan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara tidak akan mengubah prinsip Taman Siswa yang telah dibangunnya semenjak 1922.

Konsep pendidikan yang dijalankan oleh Menteri Pendidikan Soetan Goenoeng Moelia yakni mengikuti konsep yang sudah terbentuk semenjak era kolonial Belanda. Kebetulan Inspektur Pendidikan Pribumi pada final periode kolonial Belanda yakni Soetan Goenoeng Moelia. Oleh karenanya tidak akan ada kesulitan bagi Soetan Goenoeng Moelia untuk menata pendidikan nasional Republik Indonesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sutan Gunung Mulia (kiri) ketika SU PBB (De Telegraaf, 22-10-1949)
Pada ketika Drs Mohamad Hatta memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Prof. Mr. Todung gelar Sutan Gunung Mulia memimpin delegasi kecil Indonesia ke Lake Success, New Yor Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB keempat (lihat De Telegraaf, 22-10-1949). Delegasi Indonesia bergabung dengan Delegasi Belanda. Prof. Mr. Todung gelar Sutan Gunung Mulia dalam hal ini boleh dikatakan sebagai orang Indonesia pertama yang hadir di dalam sidang umum PBB. Setahun kemudian Indonesia diterima menjadi anggota PBB.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sutan Gunung Moelia dan Ki Hadjar Dewantara: Riwayatnya Kini

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Yogyakarta (34): Ki Hadjar Dewantara Dan Sutan Gunung Mulia; Dua Tokoh Pendidikan Sejaman Menjadi Menteri"

Posting Komentar