Sejarah Yogyakarta (19): Piagam Jogjakarta Ditandatangani Di Gedung Agung Jogjakarta 25 Februari 1955; Ah Nasution Vs Z. Lubis
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Satu insiden penting pasca pengukuhan kedaulatan RI oleh Belanda ialah konferensi petinggi militer si-Indonesia di Jogjakarta. Konferensi ini menghasilkan satu keputusan penting perihal integritas Tentara Nasional Indonesia yang dilakukan di Gedung Negara Jogjakarta pada tanggal 25 Februari 1955. Inilah insiden penting yang terakhir di Jogjakarta. Hasil konferensi in kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Yogyakarta 1955.
Satu insiden penting pasca pengukuhan kedaulatan RI oleh Belanda ialah konferensi petinggi militer si-Indonesia di Jogjakarta. Konferensi ini menghasilkan satu keputusan penting perihal integritas Tentara Nasional Indonesia yang dilakukan di Gedung Negara Jogjakarta pada tanggal 25 Februari 1955. Inilah insiden penting yang terakhir di Jogjakarta. Hasil konferensi in kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Yogyakarta 1955.
Diadakannya konferensi ini beraawal dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu militer menganggap DPR terlalu banyak campur tangan untuk urusan pemerintahan kemudian melaksanakan demonstrasi ke Istana yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Kolonel Abdul Haris Nasution. Konsekuensi demonstrasi ini Abdul Haris Nasution dirumahkan. Oleh lantaran Jenderal TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) mendukung demonstrasi kemudian juga ikut dirumahkan. Belakangan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX mengundurkan diri. Untuk mengisi posisi yang lawong, KASAD ad-Interim diangkat Kolonel Bambang Sugeng dengan pangkat Mayor Jenderal dan sebagai WAKASAD diangkat Kolonel Zulkifli Lubis. Tentara Nasional Indonesia menjadi terbelah: Faksi Nasution dan Simatupang vs Faksi Supeno dan Lubis. Bambang Sugeng yang netral menginisiasi terwujudnya persatuan dan kesatuan di Tentara Nasional Indonesia yang berujung pada konferensi di Jogjakarta 25 Februari 1955.
Lantas apakah sesudah konferensi dan fakta integritas Tentara Nasional Indonesia ditandatangani pada tanggal 25 Februari 1955 semuanya berjalan normal? Ternyata tidak. Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) tidak berhasil mengatasi kisruh di badan TNI. Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (sejak 12 Agustus 1955) ketegangan antara dua kubu yang dipimpin oleh Nasution dan kubu yang dipimpin oleh Lubis mulai menemukan titik terang. Perdana Menteri Burhanuddin Harahap meminta Menteri Negara (pertahanan) Abdul Hakim Harahap untuk mendamaikan dua kubu. Perdamaian tercipta dengan kembalinya Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi KASAD.
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (partai PNI) pernah meminta Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin Pohan (partai NU) untuk mendamaikan antara kubu Nasution dan kubu Lubis. Hal ini dilakukan seteleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri gagal melakukannya. Namun anehnya Zainul Arifin Pohan gagal mempertemukan Nasution dan Lubis, padahal ketiganya (Pohan, Nasution dan Lubis) sejatinya berasal dari kampung yang sama di Kotanopan (Tapanuli Selatan). Baru sesudah masa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (partai Masjumi) yang mana Menteri Negara Pertahanan Abdul Hakim Harahap (partai Masjumi) berhasil mendudukkan Nasution dan Lubis dalam satu meja. Berhasil. Abdul Hakim Harahap sendiri sebelumnya ialah Residen Tapanoeli (1947-1949), Wakil Perdana Menteri RI, kabinet RI terakhir di Jogjakarta (1950) dan Gubernur Sumatra Utara (1951-1953).
.
.
Konferensi Tentara Nasional Indonesia dan Piagam Jogjakarta: 25 Februari, 1955
Sebanyak 400 orang perwira Tentara Nasional Indonesia di Jakarta menandatangani Piagam Integritas Tentara (Handvest van de gaafheid van het leger). Penandatanganan piagam yang juga disebut Piagam Jogjakarta (Djokjakarta Charter) ini dilakukan di hadapan para pejabat tinggi negara termasuk Presiden Sukarno. Piagam ini ialah kesimpulan dari sebuah konferensi (lihat De Volkskrant, 28-02-1955).
![]() |
De Volkskrant, 28-02-1955 |
Pada dikala Konferensi di Jogjakarta, piagam tersebut hanya ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Bambang Sugeng di hadapan semua perwira angkatan darat yang telah mengambil penggalan dalam konferensi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-02-1955).
![]() |
Java-bode, 26-02-1955 |
Setelah upacara penandatanganan berakhir, Presiden Sukarno berbicara selaku panglima tertinggi angkatan bersenjata RI. Presiden menyampaikan ketika beliau melihat upacara dan ketika beliau mendengar teks piagam dibacakan, berterima kasih kepada Tuhan atas fakta bahwa tentara mempunyai harapan yang ikhlas untuk bersatu kembali dan berterima kasih kepada para perwira atas upaya besar yang telah mereka lakukan di konferensi, yang telah menghasilkan hasil yang begitu baik. Dengan penandatanganan piagam, para perwira telah menyatakan diri mereka dengan sepenuh hati siap untuk dengan setia melaksanakan apa yang dinyatakan dalam piagam. Dapat diperkirakan bahwa kesulitan-kesulitan yang fundamental akan sanggup diatasi dan apa yang disebut krisis dalam ketentaraan mungkin merupakan sesuatu dari masa kemudian lantaran pembentukan dan penandatanganan piagam.
Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Bambang Sugeng juga mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan hasil konferensi yang keputusannya sebagai berikut: Kesatuan ialah syarat penting untuk integritas dalam suatu organisasi secara umum dan dalam ketentaraan pada khususnya. Kesatuan ini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kekuatan organisasi dan untuk menjamin keberlanjutan keberadaannya. Baru-baru ini kita harus mencatat bahwa ada perbedaan dalam pasukan yang mempunyai efek jelek pada persatuan itu. Pada dasarnya perbedaan pendapat dalam suatu organisasi ialah sesuatu yang normal dan bahkan berbuah untuk pengembangannya kalau hanya diselesaikan dengan perundingan dalam suasana toleransi sanggup menghargai satu sama lain dengan peningkatan organisasi dalam pikiran. Jika ini bukan masalahnya, maka perbedaan pendapat yang disebutkan di atas sanggup bermetamorfosis pertentangan dan mungkin mengarah pada tabrakan. Dengan tentara mereka sanggup bermetamorfosis konflik bersenjata. Negosiasi sanggup menuntaskan kesulitan yang kita hadapi. Ribuan kesepakatan tidak sanggup menjamin persatuan dan integritas kalau tidak tiba dari lubuk hati setiap prajurit. Jika kita menyelidiki sejarah pasukan kita, terang bahwa ada dan masih ada unsur-unsur yang belum sepenuhnya teratasi atau setidaknya mengurangi saling pengertian kita. Unsur-unsur yang disebutkan ialah sebagian bersifat organisatoris dan sebagian lagi bersifat spirit. Akibatnya, Kepala Staf direkomendasikan untuk mengambil tindakan yang diharapkan kesatuan unit dan integritas tentara. Diantara hal-hal lain, disarankan untuk menunjukkan pembinaan yang sama dan menarik perhatian anggota angkatan bersenjata, bahwa mereka tidak boleh untuk berpartisipasi aktif dalam politik.
Pada konferensi ini perihal Peristiwa 17 Oktober [1952] diputuskan, demi kepentingan kesatuan tentara, untuk memusatkan duduk masalah ini pada pemerintah, dengan mempertimbangkan efisiensi efek pemerintahan dua orang Soekarno-Hatta, sebagai jaminan perasaan, keadilan dalam arti luas dari kata itu. Semua keputusan yang diambil oleh pemerintah bekerja sama dengan prosedur dua orang Soekarno-Hatta akan diikuti. Untuk memfasilitasi solusi apa pun, Kepala Staf direkomendasikan untuk mengambil langkah-langkah persiapan yang diharapkan dengan membuat mutasi dalam tentara. Pemerintah dan otoritas dua orang Soekamo-Hatta akan direkomendasikan untuk solusi dari 17 Oktober [1952] sanggup direalisasikan sebelum tanggal 17 Agustus 1955.
Peristiwa 17 Oktober 1952: Abdul Haris Nasution, TB Simatupang dan Hamengkubuwono IX
Tunggu deskripsi lengkapnya
PRRI 15 Februari, 1958: Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (19): Piagam Jogjakarta Ditandatangani Di Gedung Agung Jogjakarta 25 Februari 1955; Ah Nasution Vs Z. Lubis"
Posting Komentar