Sejarah Jakarta (47): Pasar Senen, Pasar Snees, Pasar Usang Di Weltevreden; Cornelis Chastelein, Vinck, Mossel, Parra, Daendels


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pasar Senen buka tiap hari, tetapi tempo doeloe awalnya hanya buka pada hari Senin. Pasar ini terbentuk di sisi jalan poros (hoofdplaat) gres antara benteng (fort) Noordwijk di Batavia melalui kampong-kampong utama di sisi timur sungai Tjiliwong sampai fort Padjadjaran di hulu sungai Tjiliwong. Fort Noordwijk dibangun 1660 dan fort Padjadjaran dibangun 1687. Pasar ini dibuat untuk menggeser sentra transaksi ke luar stad (kota) Batavia semoga terjadi pertemuan pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab dari Batavia dengan pedagang-pedagang pribumi dari wilayah pedalaman.

Jalan poros usang ialah antara benteng (fort) Noordwijk dengan pedalaman di sisi barat sungai Tjiliwong melalui Tjikini, Kalibata, Sringsing, Pondok Tjina, Depok terus ke hulu sungai Tjiliwong di benteng Padjadjaran. Oleh sebab sisi timur dianggap lebih kondusif maka dibuka jalan gres sehubungan dengan pembangunan jembatan di atas sungai Tjiliwong di erat fort Noordwijk. Jembatan ini juga disebut Sluisburg (Pintu Air). Jalur gres ini mengikuti saluran Pasar Pasar Baru yang kini berbelok ke kanan menuju ke Lapangan Banteng yang kini terus ke arah Pasar Senen yang sekarang, Kramat, Salemba sampai Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di jalan poros gres inilah Cornelis Chastelein membangun land gres untuk perjuangan perkebunan yang kelak land itu disebut Weltevreden dengan landhuisnya berada erat sungai di Lapangan Banteng yang sekarang.

Inisiatif pembentukan pasar ini dilakukan oleh Justinus Vinck sehabis sebelumnya pada tahun 1733 Justinus Vinck membeli lahan Weltevreden dari (keluarga) Cornelis Chastelein. Pasar yang buka setiap hari Senin ini terus berkembang dan adakalanya pasar ini disebut Pasar Vincke merujuk pada nama Justinur Vinck sebagai pionir. Sementara Land Weltevreden yang pertama kali dikembangkan oleh Cornelis Chastelein sering disebut sebagai Bapak Weltevreden.

Benteng (fort) Noordwijk, 1725 dan desain konstruksi 1660
Sumber utama yang dipakai dalam artikel ini ialah ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), sebab saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi sebab sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Bagaimana Pasar Senen terhubung dengan kota gres Weltevreden tentu masih menarik diperhatikan. Hal ini tidak semata-mata wacana Cornelis Chastelein, seorang botanis dengan Weltevreden dan Justinus Vinck, seorang pengacara (procureur) dengan Pasar Senen, tetapi di sekitar daerah Pasar Senen di Weltevreden pada era selanjutnya terjadi dinamika yang sangat intens yang juga menjadi menarik untuk diperhatikan. Setelah era Jacob Mosel dan Petrus Albertus van der Parra, Gubernur Jenderal Daendels tidak hanya membangun jalan gres antara Anjer dan Panaroekan, tetapi juga di Weltevreden Daendels membangun Istana Gubernur Jenderal untuk menggantikan Stadhuis di stad (kota) Batavia. Popularitas Pasar Senen menjadi semakin meningkat. Itulah keutamaan Pasar Senen di Weltevreden.

Cornelis Chastelein dan Justinus Vinck

Pada dikala Gubernur Jenderal VOC masih tinggal dan berkantor di Casteel Batavia di muara sungai Tjiliwong, Cornelis Chastelein membuka lahan dan membangun pertanian dengan rumah pedesaan di suatu lahan di sisi barat sungai Tjiliwong yang disebut land Antonij Paviljoen (lihat Algemeen Handelsblad, 26-10-1932). Lahan yang kelak disebut Weltevreden dikala itu sebagian masih terdiri dari hutan lebat dan sebagian rawa. Di lahan ini juga Cornelis Chastelein membangun pabrik gula yang lokasinya di era Pemerintah Hindia Belanda dibangun Hertogspark. Pada tahun 1697, Chastelein sudah mempunyai sebuah rumah dan dua pabrik gula di land ini. Chastelein juga mempunyai lahan di Sringsing dan Depok.

Peta kuno Tjiliwong, 1695 (Tjililitan dan Sringsing)
Pada tahun 1896 Cornelis Chastelein juga membeli lahan di Sringsing di sisi barat di hulu sungai Tjiliwong  (kini Serengseng Sawah). Pada tahun-tahun sebelumnya dua lahan yang paling subur di sisi barat sungai Tjiliwong telah dimiliki oleh sang pionir sisi barat sungai Tjiliwong, Sersan St. Martin, seorang tentara pemberani yang menguasai bahasa)-bahasa) pribumi. Lahan yang dimiliki Sersan St, Martin ini berada di Tjiliwong di Tjinere dan Tjitajam (sebagai dukungan hadiah oleh pemerintah atas prestasinya dalam meradakan situasi keamanan di Banten).

Lokasi landhuis C. Chastelein yang jadi Hertogpark
Lokasi landhuis Cornelis Chastelein di Sringsing berada di erat sungai Tjiliwong (di ujung jalan Gardu, Serengseng Sawah yang sekarang). Pada tahun 1704 kembali  Cornelis Chastelein membeli lahan subur yang berada di Depok. Lokasi landhuis Cornelis Chastelein berada di erat sungai Tjiliwong. Jika diperhatikan secara cermat lokasi landhuis dari tiga lahan (land) yang pernah dimiliki Cornelis Chastelein ini ada kemiripan yakni landhuis (bangunan rumah utama dan bangunan lainnya) ditempatkan di sisi sungai yang membentuk setengah lingkaran. Perlu dicatat dikala itu moda transportasi masih memakai bahtera di sungai Tjiliwong dari Noordwijk sampai Depok. 

Dalam hubungan ini, Cornelis Chastelein bukanlah seorang petualang yang suka adventure. Cornelis Chastelein ialah seorang pejabat VOC yang tekun yang mempunyai minat pada bidang botani. Cornelis Chastelein ialah orang yang melanjutkan pekerjaan St. Martin dalam melanjutkan kiprah hebat botani Rumphius yang tinggal di Ambon. Tugas yang dilakukan Rumphius tersebut ialah menyusun buku botani yang terdiri dari lima volume. Pekerjaan ini juga tidak sanggup diselesaikan St. Martin sebab meninggal muda. Untuk melanjutkan ‘mega proyek’ diteruskan oleh Cornelis Chastelein.
Land milik Briel erat Noordwijk (Peta 1744)

Itulah mengapa Cornelis Chastelein tidak terlalu tertarik untuk membangun rumah dan kota di Weltevreden. Cornelis Chastelein sehabis tidak menjabat lebih menyukai membangun pedesan dan meneruskan pekerjaan buku botani yang telah dimulai oleh Rumhius. Cornelis Chastelein meninggal pada tahun 1714 dan mewariskan lahannnya di Depok kepada para pekerjanya. Sementara lahan Sringsing dan lahan Paviljoen tetap dikuasai oleh hebat warisnya.

Bagaimana kesudahan lahan Sringsing tidak diketahui secara jelas, tetapi lahan Paviljoen yang kemudian dikenal Weltevreden telah dijual keluarga Chastelein kepada seoerang pengacara (procureur) Justinus Vinck pada tahun 1733. Justinus Vinck menyebarkan lahan-lahan tersebut dengan membangun landhuis di arah timur landhuis Cornelis Chastelein. Landhuis Justinus Vinck ini kelak dibangun oleh Jacob Mossel sebuah villa. Dalam perkembangannya Justinus Vinck memulai membangun pasar di simpang jalan ke landhuis-nya di jalan poros Batavia menuju hulu sungai Tjiliwong yang kelak disebut Pasar Senen atau Pasar Vincke.

Landhuis di Weltevreden (A. Hoffer, 1739)
Sementara itu, ada dinamika tersendiri di Batavia. Casteel Batavia yang dibangun semenjak Coen mulai dirasakan tidak nyaman dan tidak sehat. Lebih-lebih sehabis ada insiden pembantaian orang-orang Cina di Batavia tahun 1740. Gubernur Jenderal Valckenier (1737-1741) ialah Gubernur Jenderal terakhir yang tinggal di Casteel Batavia. Lalu dalam perkembangannya sentra pemerintah dipindahkan ke Stadhuis di stad (kota) Batavia. Ketika perusahaan (Compagnie) tumbuh dan keamanan meningkat secara sedikit demi sedikit aneka macam jenis layanan dipindahkan ke kota. Stadhuis berada di Prinsenstraat antara Casteel dan Stadhuis. Pada tahun 1745 Geubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750) membangun villa di hulu sungai Tjiliwong sebagai tempat peristirahatan, sempurna berada di lokasi fort Padjadjaran. Area dimana villa ini kemudian disebut Butenzorg.

Semakin ramainya jalan poros gres di sisi timur sungai Tjiliwong dari Batavia ke Buitenzorg, posisi Pasar Senen menjadi sangat penting.

Jacob Mosel dan Petrus Albertus van der Parra

Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) tidak menyerupai van Imhoff. Jacob Mossel yang telah membeli lahan Paviljoen tahun 1749, mulai membangun lahannya dengan membangun rumah besar, rumah yang menyerupai dimiliki oleh para ningrat Eropa. Sejak itulah lahan Weltevreden menjadi cikal bakal kota. Rumah besar ini kini lokasinya berada di RSPAD.

Gerbang rumah van der Parra di Weltevreden (J. Rach, 1771)
Rumah besar dengan taman luas ini kini berada di sebelah kiri Pasar Senen. Taman yang luas ini berbatasan dengan jalan Kwini I yang kini (doeloe disebut gang Mendjangan). Di taman yang luas ini juga ditempatkan sejumlah menjangan (rusa). Penampakan pintu gerbang rumah van der Parra di Weltevreden sanggup dilihat pada lukisan Johannes Rach (1771)..   

Land Paviljoen yang telah dikenal sebagai Weltevreden, pengganti Mossel, Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1775) pada tahun 1767 membeli rumah dan taman Jacob Mossel. Boleh jadi van der Parra telah melaksanakan sejumlah renovasi rumah dan taman peninggalan Jacob Mossel tersebut.

Pasar Senen dan parade vab der Parra (J. Rach, 1770-1772)
Pada era dimana van der Parra menjadi Gubernur Jenderal, ekonomi kopi mencapai puncaknya. Upaya ini sejatinya hasil pekerjaan Jacob Mossel tetapi yang menikmatinya sempurna berada di masa pemerintahan van der Parra. Produksi kopi ini terutama di Buitenzorg dan Preanger di West Java dan wilayah Semarang (Ambarawa) dan Vostenlanden di Miiden Java. Introduksi kopi ini dilakukan pada era Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (1708-1713) yang ketika itu Cornelis Chastelein masih hidup.

Bagaimana van der Parra membangun Weltevreden berhasil direkam oleh Johanner Rach dalam lukisannya. Demikian juga bagaimana hiruk pikuk di Pasar Senen juga diabadikan oleh Johannes Rach dalam lukisannya. Dalam lukisan Rach itu disebut kereta van der Parra tengah menuju istananya di Weltevreden.

Rumah van der Parra di Wiltevreden, 1770-1772
Dalam lukisan ini terlihat bahwa pintu gerbang menuju rumah van der Parra berada di sisi timur jalan Kwitang yang sekarang. Tentu saja jembatan Kwitang dikala itu belum ada sehingga jalan Kwitang yang kini ialah jalan menuju rumah van der Parra.

Gubernur Jenderal van der Parra boleh dikatakan salah satu gubernur jenderal yang suka dalam kehidupan mewah. Selain di Weltevreden, van der Parra juga mempunyai lahan luas di Tjimanggis di tempat dimana pada masa kini masih ditemukan bekas bangunan kuno yang sering disebut Rumah Cimanggis.

Rumah dan taman di Weltevreden tetap menjadi milik pribadi. Sementara kantor gubernur jenderal berada di Stad Batavia (Stadhuis). Pada era Gubernur Jenderal Siberg (1801-1805), Siberg tidak berkantor lagi di Stadhuis sebab dianggap tidak nyaman. Johannes Siberg kemudian berkantor di Molenvliet.

Herman Willem Daendels: Membangun Istana Gubernur Jenderal di Weltevreden

Pada era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) mulai memikirkan ibukota baru. Seperti halnya Siberg, Daendels juga tidak nyaman di Batavia. Gubernur Jenderal Daendels membeli Weltevreden untuk dijadikan ibukota yang baru. Daendels juga membeli lahan-lahan yang dimiliki swasta untuk dijadikan tempat-tempat bangunan pemerintah. Hal yang sama juga dilakukan Daendels di Buitenzorg. Istana Gubernur Jenderal di Buitenzorg tidak cukup. Daendels juga menjadi lahan-lahan di Buitenzorg untuk dijadikan kota pemerintahan.

Sketsa benteng gres dan kota oleh Jan Pieterszoon Coen, 1619
Sebagaimana halnya dengan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1617-1623) yang merancang benteng gres dan pembangunan kota Batavia, Herman Willem Daendels sanggup dikatakan sebagai pendiri ibukota gres untuk menggantikan ibukota (stad) Batavia.

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mulai membangun ibukota (stad) yang gres di Weltevreden. Untuk membangun kota gres ini, Daendels memakai batu-batu eks Casteel Batavia sebagai fondasi untuk bangunan-bangunan baru. Casteel Batavia dianggap sudah tidak berkhasiat dan tidak dimanfaatkan lagi. Daendels tetapkan untuk menghancurkan gedung yang sementara itu menjadi tidak berkhasiat untuk pertahanan dan juga tidak layak lagi untuk tempat tinggal.

Istana Gub. Jenderal Daendels (1870)
Satu bangunan terpenting di ibukota gres di Weltevreden yang mulai dibangun Daendels ialah Istana Gubernur Jenderal yang representatif. Istana ini dilengkapi dengan lapangan yang luas yang diberi nama Waterlooplein (kini Lapangan Banteng). Bangunan utama lainnya ialah Raadhuis. Kampement militer juga dibangun di sekitar Waterlooplein.

Pembangunan ibukota gres ini belum sepenuhnya selesai, pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels harus menyerahkan kekuasaannya kepada Inggris. Sebagai pengganti Daendels, Letnan Gubernur Jenderal Raffles tidak menentukan sentra pemerintah di Batavia, tetapi lebih menentukan di Buitenzorg dan Semarang. Hanya kantor-kantor tertentu yang tetap berada di Stad Batavia.

Tidak diketahui secara terang siapa yang meneruskan pembangunan ibukota gres di Weltevreden, apakah Letnan Gubernur Jenderal Raffles atau tidak boleh atau dilakukan oleh swasta.

Pendudukan Inggris berakhir tahun 1816. Pemerintah Kerajaan Belanda menempatkan Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1816-1826). Boleh jadi pada masa Capellen, pembangunan ibukota di Weltevreden dilanjutkan. Namun tidak usang kemudian meletus perang di Jawa (Perlawanan dari Pangeran Diponegoro).

Weltevreden (Peta 1824)
Defisit pemerintahan yang berkepanjangan terutama dalam Perang Jawa (1825-1830), Johannes van den Bosch (1830-1833) memulai jadwal pemerintah yang sangat radikal yang dikenal dengan nama kultuurstelsen. Seperti halnya Mossel dan van der Parra yang mengandalkan kopi, van den Bosch juga mengandalkan kopi dengan menerapkan koffiestelsel di Buitenzorg, Preanger, Semarang dan Vorstenlanden (Soeracarta dan Jogjakarta). Program ini sepertinya berhasil untuk mendongkrak penerimaan pemerintah. Program koffiestelsel diperluas di Padangsche dan Tapanoeli sehubungan dengan berakhirnya Perang Bondjol (1837) dan Perang Tambusasi (1838). Weltevreden (Peta 1824)  

Salah satu jagoan yang populer dalam Perang Diponegoro (Jawa), Perang Bonjol (Padangsche) dan Perang Tambusai (Tapanoeli) ialah Andreas Victor Michiels. Setelah berakhirnya Perang Bonjol, Kolonel Michiels diangkat menjadi Gubernur Sumatra’s Weskust (Pantai Barat Sumatra) dengan menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Gubernur Michiels berhasil menyukseskan koffiestelsel di Padangsche dan Tapanoeli.

Monumen Michiels di WaterlEditooplein, Weltevreden (1852)
Di Waterlooplein di Weltevreden, nama Andreas Victor Michiels diabadikan dengan pembangunan monumen Michiels. Monumen Michiels juga terdapat di kota Padang. Sebagai hebat perang, Andreas Victor Michiels jasanya masih dibutuhkan yang sejatinya sudah harus pensiun sebagai militer, Mayor Jenderal. Michiels harus meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Sumatra’s Westkust pada tahun 1849 untuk mengisi posisi Komandan Militer di Batavia.

Andreas Victor Michiels yang telah dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal dan kemudian memimpin ekspedisi ke Bali. Sang jagoan Belanda Andreas Victor Michiels terbunuh di rumahnya di Bali yang dilakukan oleh bekas pembantunya yang diduga menaruh dendam. Andreas Victor Michiels tamat, tetapi namanya tetap harus dengan berdiri kokohnya monumennya di Waterlooplein di Weltevreden. Foto tertua Monumen Michiels di Waterloplein bertahun 1880. Satu jagoan lagi yang ada di Waterlooplein ialah monumen/patung Jan Pieterszoon Coen, sang jagoan Belanda pada era VOC (foto monumen tertua tahun1875). Hanya dua jagoan ini yang namanya diabadikan di Waterlooplein yang seakan menggambarkan dua jagoan beda generasi: generasi nenek moyak VOC dan generasi penerus Pemerintah Hindia Belanda.

Weltevreden (Peta 1866)
Pada era Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1833) benteng (fort) Noordwijk direvitalisasi yang dilengkapi dengan taman dengan mengganti namanya menjadi Cidatel (benteng) Frederik. Tamannya sendiri disebut Wilhelmina Park. Setelah sukses Perang Atjeh 1874 di erat Wilhelmina Park ini juga dibangun Monumen Atjeh. Di area Wilhelminan Park dan benteng Frederik ini kelak dibangun masjid Istiqlal (1951), Di Weltevreden juga dibangun monumen van Heutsz. Pada era Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz (1904-1909) berhasil merampungkan Perang Atjeh.

Kawasan ibukota gres Weltevreden hampir separuhnya ialah untuk lokasi yang terkait dengan kebutuhan militer, menyerupai lapangan Wateerlooplein (kini lapangan Banteng), Istana Gubernur Jenderal yang berbau militer, garnizun, kampement militer, societeit (Concordia), rumah sakit militer (kini RSPAD), laboratorium, monumen pahlawan. Istana Gubenur Jenderal adakalanya disebut Istana Daendels. Salah satu hal yang kerap terlupakan ialah keberadaan Docter Djawa School.

Peta Rumah Sakit dan Dokter Djawa School 1915 (insert gedung)
Pada tahun 1851 di sebelah timur rumah sakit militer dibangun sekolah kedokteran untuk pribumi untuk membantu dokter-dokter Belanda dalam mengatasi epidemik dan aneka macam penyakit yang muncul di aneka macam daerah. Sekolah kedokteran ini disebut Docter Djawa School yang kelak namanya diubah menjadi STOVIA. Jumlah siswa setiap angkatan sekitar 10 siswa. Gedung STOVIA ditingkatkan pada tahun 1900. Kini gedung STOVIA ini dijadikan sebagai gedung Kebangkitan Bangsa di Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh.

Pada tahun 1915 dimana lokasi Docter Djawa School ini semakin jelas.Di seberang Docter Djawa School ini kemudian terbentuk jalan (gang) Menjangan. Apakah nama menjangan (rusa) ada hubungannya dengan taman rumah Jacob Mossel yang pertama membangun (kota) Weltevreden? Apakah masih ada rusa di taman ini ketika terbentuk gang ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali ke awal di masa lampau yakni dimana posisi pintu gerbang rumah Mossel yang telah dibeli van den Parra.

Foto udara Waterlooplein, 1943
Dalam lukisan yang dibuat Johannes Rach pada tahun 1771 pintu gerbang rumah dan taman van der Parra masuk dari jalan Kwitang yang sekarang. Dalam lukisan lainnya yang dibuat Rach mengindikasikan bahwa pintu gerbang ke rumah van der Parra melewati jembatan di atas sungai kecil (kanal). Kanal ini dibuat dengan cara menyodet sungai Tjiliwong yang dialirkan ke arah Tandjong Priok. Sementara itu di lukisan lain yang dibuat oleh Rach menggambarkan penggalan belakang rumah van der Parra yang dikitari oleh sungai besar (sungai Tjiliwong?). Pada era Gubernur Jenderal Daendels juga dibuat saluran di utara bangunan rumah van der Parra yang diteruskan ke jalan Goenoeng Sahari. Fungsi saluran ini diduga sebagai barier untuk Istana Gubernur Jenderal Daendels.

Jalan Hospitalweg dan Senenweg di Weltevreden
Dari citra yang dilukiskan oleh Johannes Rach (1770-1772) sanggup disimpulkan bahwa pintu gerbang rumah van der Parra berada di jalan Kwitang yang sekarang. Dari gate ini masuk jauh ke dalam melalui koridor yang mana di ujung koridor di sisi kiri ialah rumah van der Parra yang membelakangi sungai Tjiliwong dan di sebelah kanan (seberang lapangan) rumah van der Parra ialah taman yang luas. Di penggalan pekarangan rumah dipinggir taman terdapat sangkar menjangan (rusa). Pada masa ini, pintu gerbang dan koridor masuk ke rumah van der Parra tersebut diduga berpengaruh ialah jalan Abdul Rahman Saleh yang kini (dulu Hospitalweg) yang mana rumah van der Parra dan pekarangannya tersebut sudah barang tentu ialah rumah sakit RSPAD yang kini (dulu Groote Militaire Hospital). Jalan Hospitalweg dan Senenweg dibangun pada era Gubernur Jenderal Daendels ketika ibukota Weltevreden mulai dibangun. Bagunan penggalan depan rumah sakit militer dibangun kemudian.

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda ketika Gubernur Jenderal Daendels membangun ibukota di Weltevreden yang pertama dibangun ialah situs Istana Gubernur Jenderal dengan (situs) halaman yang luas di depannya (disebut Waterlooplein). Dengan memperhatikan posisi dua persil lahan situs tersebut (istana dan lapangan) dengan pembangunan jalan yang menghubungkan jalan Pasar Baroe dan jalan Gunung Sahari/Senen maka jalan gres yang dibuat pertama sebelum dua situs ialah membangun (peningkatan jalan) dari jalan Pasar Baru menuju dua sisi lapangan dan Istana. Sisi lapangan/Istana sebelah utara ditarik garis lurus ke Pasar Senen sedangkan sisi selatan ditarik garis lurus ke rumah van der Parra. Akibat pembangunan jalan gres ini, taman dan rumah van der Parra menjadi terpisah. Lahan yang kosong yang sebelumnya berfungsi sebagai taman menjadi peruntukkan pembambngunan gedung-gedung gres termasuk Istana, sedangkan bangunan-bangunan rumah van der Parra tetap dipertahankan yang kemudian menjadi penggalan dari pembentukan rumah sakit militer, gudang peluru (arsenal) dan garnisun militer serta di sekitarnya kemudian didirikan sekolah kedokteran (Docter Djawa School).

Lapangan Banteng (Waterlooplein) masa kini (googlemap)
Pada masa ini penamaan jalan di seputar daerah Weltevreden tersebut ialah di lingkar utara jalan Pasar Baru (Soetomo), di lingkar timur ialah jalan gunung Sahari/ Senen, di lingkar selatan ialah jalan Kwitang, dan di lingkar barat ialah jalan Merdeka Barat. Jalan poros di dalam kota Weltevreden ialah jalan Lapangan Banteng, jalan Katedral (dari jalan Pasar Baru/Juanda) dan jalan Senen Raya (dari jalan Gunung Sahari). Ke jalan lingkar dan jalan poros inilah semua jalan-jalan kecil terhubung di Weltevreden. Seperti yang disebut di atas jalan (gang) Menjangan berpangkal di jalan poros (kini jalan Senen Raya). Kondisi Lapangan Banteng (Waterlooplein) pada masa ini sudah semakin mengicil sebab di bekas Istana Gubernur Jenderal Daendels tersebut pada era Presiden Soekarno telah dibangun Hotel Brobudur dan sebagian lapangan Waterlooplein dijadikan sebagai lokasi Monumen Pembebasan Irian Barat.

Weltevreden: Pasar Senen, Pasar Vinck, Pasar Snees dan Pasar Lama

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini ialah seorang warga Kota Depok semenjak 1999 sampai ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya mempunyai hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan dikala menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

Related Posts :

0 Response to "Sejarah Jakarta (47): Pasar Senen, Pasar Snees, Pasar Usang Di Weltevreden; Cornelis Chastelein, Vinck, Mossel, Parra, Daendels"

Posting Komentar