Sejarah Menjadi Indonesia (23): Sejarah Bank Bni 1946 Sebenarnya; Didirikan Modal Utang 200 Juta Rupiah Dari Rakyat


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) yaitu bank negara Indonesia yang didirikan tahun 1946. Lembaga keuangan negara ini yaitu satu-satunya forum pemerintah yang mematenkan tahun di belakang namanya. Itu bukan hanya lantaran bank tersebut didirikan tahun 1946 tetapi juga lantaran tahun itu yaitu tahun sangat sulit bagi negara gres Indonesia. Negara harus berutang kepada rakyat untuk membiayai pemerintahan. Berutang kepada rakyat ini termasuk untuk menyediakan modal awal pendirian Bank Negara, bank negara yang kini dikenal sebagai Bank Negara Indonesia (BNI).

De Volkskrant, 11-11-1946
Penetapan nama Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946) dan statusnya menjadi Bank Umum Milik Negara (BUMN) berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968 wacana Bank Negara Indonesia 1946. Pada logo gres Bank BNI yang dibuat tahun 2004 angka (19)46 sengaja lebih ditonjolkan. Ini seakan menagaskan bahwa angka tahun 1946 begitu penting bagi Bank Negara Indonesia (BNI).

Bagaimana Bank Negara Indonesia (BNI) bisa berutang pada ketika pendiriannya tahun 1946? Itu pertanyaannya. Fakta ini tidak ada akan ditemukan dalam sejarah BNI. Sebab Bank BNI ketika ini yaitu bank yang sangat kaya. Untuk mengingatkan BNI jangan hingga jatuh menjadi sombong di tengah masyarakat, kita perlu membangkitkan memory bahwa Bank BNI pernah berutang ketika pendiriannya tahun 1946. Mari kita perlihat sumber-sumber masa lampau.

Poesat Bank Indonesia

Poesat Bank Indonesia (Centrale Indonesische Bank) didirikan pada tanggal 14 Oktober 1945 dan memulai kegiatannya pada bulan November 1945. Pembentukan itu diharapkan lantaran sistem perbankan benar-benar terganggu sesudah kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan tubuh ekonomi pusat (centrale economische organisatie) yang diadakan di Jogjakarta mengumumkan pendirian Poesat Bank Indonesia (PBI) yang mana Dr. Karim sebagai eksekutif (Leeuwarder koerier, 02-03-1946). Disebutkan pendirian PBI ebagai bank sentral Indonesia ini sangat didukung oleh pemerintah Republik.

Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Djakarta ke Jogjakarta. Perpindahan ini secara sedikit demi sedikit dimulai semenjak awal tahun 1946. Rombongan terakhir terjadi pada bulan Oktober 1946 (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari potongan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan yang mana yang memimpin rombongan terakhir ini yaitu Mr. Arifin Harahap yang berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda.

Sementara RUU sedang disiapkan untuk diajukan mengenai dasar bank negara, PBI bertanggungjawab untuk mengeluarkan santunan dua kali 500 Juta rupiah. Dari 500 Juta rupiah pertama, sebanyak 100 Juta rupiah dipakai untuk menutupi defisit anggaran pemerintah, 200 Juta rupiah sebagai modal bagi Bank Negara yang akan didirikan dan 200 Juta rupiah untuk pekerjaan umum. Untuk 500 Juta rupiah kedua akan ditempatkan di Sumatra (lihat Algemeen Handelsblad, 31-05-1946).

Pada bulan Februari 1946 Bank Rakjat Indonesia (BRI) dibuka (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 10-04-1946). Disebutkan Bank Rakjat Indonesia telah mempunyai tidak kurang dari 70 cabang di Jawa dan Madoera yang akan mendukung Republik [Indonesia] dalam perjuangan, konstruksi dan ekonomi. Cabang BRI ini yaitu eks Syomin Ginko pada masa pendudukan Jepang dan Volkscredietbank di masa kolonial Belanda. Pendirian Bank Negara dalam hal ini terutama untuk menjadi sirkulasi (bank sentral).

RUU tersebut disahkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 tahun 1946 wacana Bank Negara Indonesia.  Perpu ini ditetapkan di Jogjakarta pada tanggal 5 Juli 1946 yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri Keuangan Soerachman. Perpu ini kemudian diumumkan oleh Sekretaris Negara AG Pringodigdo. Dengan adanya perpu ini maka bank negara Bank Negara Indonesia mulai melaksanakan fungsi moneter.

Dalam Perpu Pasal 4 usaha Bank Negara Indonesia ialah (dua yang pertama): 1.Mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas Bank; 2.Memberi crediet kepada badan-badan pemerintah, bank-bank Indonesia dan tubuh perekonomian rakyat lain.

Het Parool, 15-07-1946: ‘Bank Negara indonesia. Itu dinyatakan dalam komunike kepresidenan. Setelah disetujui oleh komite kerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), bank negara Indonesia akan segera memulai pekerjaannya dan pengedaran uang Republik sudah di depan mata. Bank akan mempunyai modal awal 10 Juta rupiah (Gulden) untuk mencetak uang kertas dan untuk mengelola keuangan negara dan aktivitas normal forum perbankan. Selanjutnya ia akan memilih nilai tukar dengan negara lain. berdagang emas batangan dan umumnya memfasilitasi kekerabatan ekonomi Indonesia dengan dunia luar’.

Setelah disahkannya perpu, Bank Negara Indonesia didirikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Pendirian bank negara ini dengan sendirinya menggantikan (sebagai kelanjutan) dari PBI, yang mana PBI sendiri yang telah mendapatkan modal awal 340.000 gulden pendudukan Jepang dari ‘Dana Kemerdekaan’. Yang menjadi Presiden Bank Negara Indonesia yaitu Margono Djojohadikoesoemo dan sebagai penasehat keuangan Drs Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Disebutkan Bank Negara Indonesia juga terdiri dari beberapa direktur.

Drs Soemitro Djojohadikoesoemo, Ph.D yaitu anak dari Margono Djojohadikoesoemo. Soemitro Djojohadikoesoemo yaitu seorang ekonom yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang ekonomi di Rotterdam tahun 1943 (lihat  Algemeen Handelsblad, 13-03-1943). Desertasinya berjudul ‘Het volkscredietwezcn in de depressie’ (lihat Maandschrift van het Centraal Bureau voor de Statistiek = Revue mensuelle du Bureau Central de Statistique du Royaume des Pays-Bas, 31-10-1943). Margono Djojohadikoesoemo sendiri pernah menjadi pejabat di masa kolonial Belanda di Afdeeling Cooperatie en Binnenland. Handel van het departement van Economische Zaken (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-12-1941).

Pada simpulan bulan Oktober 1946 BNI dalam fungsi moneternya mulai mengedarkan uang Republik.  

Provinciale Drentsche en Asser courant, 09-11-1946: ‘Sebagian besar orang Indonesia dan Cina mengembalikan uang Jepang mereka ke Bank Negara Indonesia. Sementara yang lainnya lebih suka membeli Gulden NICA untuk itu di pasar gelap. Pedagang pasar gelap dan bisnisnya yang berkembang pesat di Batavia's Chineesche kwartier’.

Pada awal bulan Desember 1946 menerbitkan kurs uang Republik versus uang aneh dan juga tersiar kabar bahwa di Jogjakarta akan dibuka sefera bursa pengaruh Indonesia.

Nieuwe courant, 02-12-1946: ‘Uang Republik. Bank Negara Indonesia menerbitkan kurs uang Republik versus uang aneh sebagai berikut: Pound Australia 7 gulden, Pound Australia 6 guilders republik, Staits Doilar 0,80 guilders republik, Rupee India 0,50 guild republik dan Dolar Amerika 1,50 guild republik... bursa pengaruh Indonesia akan segera dibuka di Djokjakarta’.

Dua bank yang berada dibawah pengawasan Pemerintah RI mulai aktif memperlihatkan pinjaman. Bank BNI telah memperlihatkan santunan sebesar 4 Juta rupiah. Sementara Bank BRI telah memperlihatkan santunan hampir senilai 10 Juta rupiah. Pinjaman-pinjaman tersebut terutama kepada perusahaan milik negara dan perusahaan swasta strategis.

Het nieuws: algemeen dagblad, 25-02-1947: ‘Menurut laporan resmi oleh Komisi Kredit Indonesia, lebih dari 16 Juta rupiah telah dipinjamkan kepada Pemerintah dan perusahaan swasta di Jawa hingga simpulan Januari tahun ini, dalam bentuk santunan yang diberikan oleh banyak sekali forum perbankan Indonesia. Jumlah terbesar diberikan oleh Bank Rakjat Indonesia, lebih dari 9,9 Juta rupiah kepada yakni 5 perusahaan yang digerakkan oleh negara sebesar 8 Juta rupiah dan sisanya untuk 3 perusahan swasta. Sementara itu Bank Negara Indonesia telah meminjamkan lebih dari 4 Juta rupiah kepada 7 perusahaan negara’.

Sehubungan dengan sulitnya kekerabatan antara wilayah Republik di Jawa dan wilayah Republik di Sumatra dibuat kebijakan untuk mengeluarkan uang kertas sendiri di Sumatra. Sebelumnya uang kertas OERI (Oeang Republik Indonesia) hanya terbatas di Jawa.

Provinciale Drentsche en Asser courant, 16-04-1947: ‘Surat kabar Waspada di Medan melaporkan bahwa uang kertas Republik dikeluarkan di Sumatra mulai tanggal 10 April 1947. Uang gres ini mempunyai nominal seratus gulden Jepang terhadap satu gulden Republik di samping uang kertas Jepang. Uang gres dicetak di [Pematang] Siantar, yang bertanda tangan yaitu Menteri Keuangan dan Direktur Bank Negara Indonésia.

Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda melaksanakan aksi militer ke wilayah-wilayah Republik di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi militer Belanda ini juga termasuk di ibukota Sumatra di Pematang Siantar. Oleh lantaran dalam pertempuran yang dilakukan, Republiken (TRI dan Republiken) mengungsi ke Tapanoeli. Militer Belanda menemukan jutaan gulden suplemen di Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar. Brankas Bank Negara Indonesia ini diduga tidak sempat terselematkan sehingga sanggup dijarah oleh militer Belanda.

Provinciale Drentsche en Asser courant, 04-08-1947: ‘Akhir-akhir ini penyerangan ke wilayah Republik, JJ van de Velde dan komandan teritorial, Kolonel P. Scholten mengunjungi Siantar. Di Bank Negara Indonesia di [Pematang] Siantar ditemukan suplemen dari pemerintahan (RI) yang jumlahnya bernilai jutaan gulden’.

Laporan Pertama Bank Negara Indonesia: Opium Juga Tidak Apa!

Bank Negara Indonesia sebagai bank sentral Indonesia telah menjalankan fungsi moneternya meski situasi Indonesia dalam perang (dengan Belanda). Bank Negara Indonesia telah didirikan di banyak sekali wilayah RI. Dalam situasi perang ini, Bank Negara Indonesia telah memperlihatkan kinerjanya. Ini sanggup diketahui dalam laporan keuangannya yang perdana, Disebutkan Bank Negara Indonesia telah memperlihatkan santunan yang meningkat dari waktu ke waktu. Dalam laporan ini juga Bank Negara Indonesia telah memperoleh pendapatan yang cukup berarti.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-12-1948
Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-12-1948: ‘Laporan Bank Negara Indonesia di Djokjakarta, 6 Dee. (Antara). Laporan pertama dari bank negara republik, Bank Negara Indonesia, melaporkan kepada Antara bahwa jumlah santunan yang diberikan kepada perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah telah meningkat dari 3 Juta rupiah pada bulan Desember 1946 menjadi sebesar 40 Juta pada bulan Desember 1947. Pada simpulan tahun 1947 pendapatan [Bank Negara Indonesia] telah mencapai 436.354 rupiah. [Kantor berita] Antara menambahkan bahwa bank negara didirikan pada 17 Agustus 1946 sebagai kelanjutan dari Bank Sentral (PBI) yang telah mendapatkan modal awal sebesar 340.000 gulden Jepang dari Dana Kemerdekaan. Bank Sentral ini didirikan pada tanggal 14 Oktober 1945 dan berdasarkan Antara kepentingan publik yang dinikmati terbukti dengan fakta bahwa dalam waktu singkat jumlah simpanan yang disimpan mencapai sebesar 31 Juta gulden Jepang. Setelah kantor bank dipindahkan dari Batavia ke Djokjakarta pada awal 1946, bank itu dibubarkan pada Agustus  tahun yang sama. Antara juga menjelaskan bahwa bank negara ketika ini mempunyai fungsi triple yaitu bank sirkulasi, pusat koordinasi semua forum perbankan swasta dan untuk mengatur mata uang dan paritas uang republik. Laporan bank menyatakan bahwa sedikit perbaikan ekonomi terjadi ketika gulden Jepang digantikan oleh rupiah republik pada bulan November 1946. Selanjutnya laporan itu menunjuk pada devaluasi sedikit demi sedikit dari alat pembayaran republik yang mana fenomena berdasarkan laporan tersebut disebabkan oleh lantaran fakta bahwa perselisihan politik antara Republik dan Belanda belum diselesaikan’.

Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melaksanakan aksi militer kembali (Agresi Militer Be;anda II) ke wilayah-wilayah Republik di Jawa dan Sumatra. Dalam aksi militer Belanda ini juga termasuk di ibukota RI di Jogjakarta. Agresi militer ini juga mencakup wilayah Tapanoeli dan beberapa wilayah Republik di Sumatra ibarat di Djambi.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-01-1949: ‘Dikatakan bahwa perintah penyerangan sanggup diharapkan hari ini untuk komandan pasukan di Sumatra. Itu juga secara resmi dilaporkan di Sumatra. Di Pekan Baroe, Tentara Nasional Indonesia telah dimurnikan. Tindakan pemurnian juga telah dimulai di pulau-pulau di lepas pantai Sumatra di Selat Malaka. Wilayah pertambangan batubara di Sawahloento juga ditempati (militer Belanda). Di Telukbetoeng, sesudah pasukan Belanda menduduki tempat ini, sepertinya tidak ada kerusakan yang terjadi. Oosthaven (pelabuhan Telok Betong) benar-benar utuh. Sejak awal aksi ini sebanyak 66 tentara tewas di pihak Belanda berdasarkan data yang diterima sejauh ini, sementara 172 tentara terluka. Dari sumber-sumber militer juga dilaporkan bahwa dii Djambi sebanyak 70 kg opium ditemukan di Bank Negara Indonesia yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai mata uang aneh bagi otoritas Republik (dalam bertransaksi dengan asing). Pnduduk yang sebagian telah melarikan diri, kini kembali dalam jumlah besar. Banyak mantan pejabat kembali menyediakan layanan’.

Dari laporan militer Belanda ini terindikasi bahwa Bank Negara Indonesia telah mentoleransi opium sebagai alat transaksi. Dalam banyak sekali laporan ibarat opium di Bank Negara Indonesia di Djambi ini juga ditemukan di Jawa. Kasus di Jawa yaitu opium yang dibawa oleh para pedagang opium ke wilayah Republik untuk didistribusikan ditemukan oleh militer. Penyitaan opium ini menjadi milik negara. Opium-opium sitaan inilah yang diduga dimanfaatkan oleh Bank Negara Indonesia untuk bertransaksi dengan aneh di Singapoera (untuk mendatangkan barang impor). Tentu saja dalal hal ini pihak RI tidak mempunyai gulden dan hanya OERI (yang mungkin tidak/belum berlaku di luar negeri).

Pengembalian Utang Republik Indonesia

Satu butir kesepakatan dalam KMB di Den Haag yaitu bahwa dengan pembentukan negara RIS, Javasche Bank yaitu bank sirkulasi untuk seluruh RIS. Meski demikian, fungsi bank RI masih berajalan sebagaimana biasanya. Hanya saja soal sirkulasi dan peredaran uang sudah sepenuhnya di bawah tanggungjawab Javasche Bank.Bank BNI mulai fokus pada perihal perbankan umum terutama diarahkan untuk bank devisa. Bank BNI akan menjelma Bank (perusahaan) komersial, Sementara Bank BRI lebih difokuskan untuk peningkatan produksi dan ekonomi rakyat.

Setelah terbentuknya RIS, Margono melpaskan jabatannya di Bank BNI dan diangkat sebagai penasehat khusus Perdana Menteri Mohamad Hatta.

Oleh lantaran Javasche Bank menjadi bank sirkulasi tunggal, Pemerintah RIS menempatkan seorang wakil pemerintah di dalam Javasche Bank (sebagai saatu dari direktur). Javasche Bank sendiri yaitu bank swasta Belanda yang mana Presiden Direktur yaitu N. Tennissen.

Pemerintah RIS melaksanakan devaluasi uang. Menteri Keuangan RIS mengumumkan pada hari Minggu devaluasi mata uang yang beredar sebesar 50 persen (lihat Algemeen Handelsblad, 20-03-1950). Langkah ini mulai berlaku pada hari Minggu malam pukul 8. Sejak itu, uang kertas dan guilder Indonesia hanya akan mempunyai setengah nilainya. Semua bank dan kantor pembayaran akan ditutup hingga 22 Maret. Setelah dibuka kembali, uang usang akan sanggup ditukar dengan setengah nilai untuk yang gres hingga 16 April. Menteri Keuangan Sjafruddin menyampaikan dalam pidato radio bahwa setengah dari uang dan setengah dari semua rekening bank akan dianggap oleh pemerintah sebagai santunan publik. Bank harus mentransfer 60 persen dari semua rekening dengan nilai setengahnya ke rekening khusus untuk santunan ini. Setiap uang kertas dari lima gulden harus dibagi menjadi dua bagian, separuh akan berlaku hingga 9 April sebagai tender legal dengan nilai setengahnya. Kemudian harus ditukar dengan uang baru. Setengah yang sempurna sanggup ditukar dengan obligasi pemerintah pada setengah dari nilai nominal pada waktunya. Sjafruddin menyampaikan bahwa tindakan cepat dan drastis ini diharapkan untuk melindungi situasi ekonomi. Menurut pendapat pemerintah, ini hanya bisa dicapai dengan langkah ketika ini, yaitu penerbitan santunan nasional dan penarikan uang dari peredaran, sementara pemerintah dengan mengeluarkan santunan darurat, yang setengah dari jumlah uang yang beredar sekitar 1.500.000.000 gulden, yang akan dibayar 40 persen. Pemerintah mengharapkan bahwa rencana gres ini - yang telah diadopsi sebagai undang-undang darurat - sebagian besar akan menebus defisit untuk tahun berjalan tanpa meningkatkan uang yang beredar atau meningkatkan inflasi’.  

Setelah devaluasi, Pemerintah RIS melaksanakan kebijakan penyederhanaan jenis-jenis uang yang beredar. Sebelum terbentuknya RIS, pemerintah RI mempunyai kebijakan tersendiri dengan mencetak dan mengedarkan uang kertas OERI (di Jawa dan Madura) dan pemerintah RI di Sumatra mengeluarkan jenis uang kertas yang berbeda di sejumlah wilayah ibarat contohnya di Sumatra OERITA di Residentie Tapanoeli, OERIPSOE (Uang Republik Indonesia Piopinsi Sumatera Oetara).

Trouw, 15-04-1950: ‘Setelah restrukturisasi uang secara drastis di Indonesia, pertanyaannya yaitu apa yang akan terjadi pada banyaknya jenis uang yang diedarkan oleh semua jenis otoritas. Bahkan dengan perkiraan, mustahil untuk memilih berapa banyak uang yang telah dimasukkan ke dalam sirkulasi. Menteri Keuangan kini telah memutuskan nilai tukar dimana jenis uang yang beredar di luar wilayah federal sanggup dipertukarkan...Uang OERI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang beredar di Jawa dan uang OERIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Piopinsi Sumatera) yang dicetak di Pematang Sianter dan Bukittinggi, OERITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli); OERIPSOE (Oeang Republik Indonesia Propinsi Sumatera Oetara. Penukaran dimulai pada 30 Maret di kantor pegadaian di tempat Renville dan kemungkinan akan diperluas ke kantor pos dan Bank Rakjat Indonesia (Volksbank Indonesia). Makara dengan cara ini apa yang diharapkan meningkatkan daya beli penduduk di wilayah Djokja. Tidak ada data yang diketahui wacana sejauh mana peredaran jenis uang ini, bahkan perkiraan, yang didasarkan pada kenyataan.Secara umum harus dinyatakan bahwa tingkat konversi untuk uang Republik lebih baik dibandingkan dengan harga perdagangan tidak resmi/

Selain perihal devaluasi dan peredaran uang kertas, Pemerintah RIS juga mulai melunasi utang yang pernah dibuat Pemerintah RI. Bagi Pemerintah RI sendiri sudah waktunya pula mengembalikan dana-dana santunan dari masyarakat. Pemerintah RI pernah melaksanakan santunan dari masyarakat pada tahun 1946 dan pada tahun 1948. Pinjaman tersebut khususnya santunan tahun 1946 salah satu alokasinya untuk pembentukan modal pendirian Bank Negara Indonesia.

De vrije pers: ochtendbulletin, 11-07-1950: ‘Pinjaman Nasional RI. Menteri Keuangan RIS, dengan keputusan tanggal 19 Juni 1950, mengeluarkan peraturan wacana pendaftaran Pinjaman Nasional tahun 1946 dan Janji Negara tahun 1948. Mereka yang mempunyai klaim dengan Pemerintah RI dalam bentuk Pinjaman Nasional 1946 dan atau Janji Negara tahun 1948 harus mendaftar untuk ini sebelum tanggal 31 Agustus 1950. Pendaftaran sanggup dilakukan: untuk Pinjaman Nasional 1946 yang sanggup dibuktikan oleh peserta di Bank Rakjat Indonesia terdekat. Untuk Pinjaman Nasional yang sanggup dibuktikan dengan kantong di Bank tempat nota yang bersangkutan diterbitkan pada ketika itu; untuk Janji Negara tahun 1948 di Bank Rakjat Indonesia atau Bank Negara Indonesia terdekat. Saat mendaftar, bank-bank yang ditunjuk diharuskan untuk memperlihatkan bukti penerimaan sebagai imbalan atas surat-surat hutang yang dikeluarkan. Jika kewajiban pendaftaran ini tidak dipenuhi, hak untuk mengklaim dengan pemerintah RI akan berakhir’.

Pembentukan Bank Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Pada tanggal 6 September kabinet gres (NK)RI dibuat yang mana sebagai perdana menteri yaitu Natsir (menggantikan Mohamad Hatta). Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir yaitu Sjafrodin Prawiranegara. Segera sesudah kabinet baru, Lukman Hakim, mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia di Djogjakarta ditunjuk sebagai (salah satu) Direktur Javasche Bank (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-09-1950). Selama masa RIS, meski Javasche Bank sebagai bank sentral, tetapi tidak satupun orang Indonesia yang duduk di jabatan pimpinan. Dalam hal ini, Lukman Hakim yaitu orang Indonesia pertama di Javasche Bank.

Hal pertama yang dilakukan oleh Lukman Hakim sebagai eksekutif di Javasche Bank yaitu berangkat ke kantor pusat Javasche Bank di Amsterdam (Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad,    12-09-1950). Disebutkan Lukman Hakim akan berangkat simpulan bulan September dan bertugas di Amsterdam selama enam bulan untuk mempelajari banyak sekali hal terkait dengan Javasche Bank.

Pada tanggal 29 Mei 1951 Dr. A. Houwink mengundurkan diri sebagai Presiden Komisaris Javasche Bank dan mengembalikan mandat itu kepada Presiden Soekarno. Lalu kemudian muncul rumor bahwa pemerintah merekomendasikan yang menggantikannya yaitu Sjafroeddin Prawiranegara (lihat De nieuwsgier, 02-06-1951). Boleh jadi ini lantaran Sjafroeddin Prawiranegara dalam posisi menganggur sesudah Kabinet Natsir dibubarkan.

Pada tanggal 28 Juni Menteri Keuangan (Wibisono) membentuk komisi untuk mempersiapkan nasionalisasi Javasche Bank. Pada tanggal 4 Juli sidang kabinet menyetujui pengangkatan Mr. Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Presiden Javasche Bank.

Nieuwe courant, 13-07-1951: ‘Dengan keputusan Menteri Keuangan 4 Juli 1951 memutuskan untuk memperlihatkan semua jenis koin dari Republik Indonesia (OERI, Oeridab, Oerips, Oerita, Oeripsu, Oeriba, Oerin dan koin lokal di Bengkulen dan Palembang, mulai 1 Agustus hingga 31 Desember 1951 ditahan dan dibekukan dan sanggup ditukar di Bank Negara Indonesia atau Bank Rakjat Indonesia di Jawa dan Suimatra dengan uang yang beredar ketika ini’,

Untuk memperkuat rencana pemerintah terhadap nasionalisasi Javasche Bank pemerintah telah mengundang seorang pakar keuangan dari Jerman, Dr. Hjalmar Schacht. Pakar ini tiba di Indonesia pada tanggal 3 Augustus atas permintaan pemerintah Indonesia. Dalam kedatangan Dr. Schacht ini, pemerintah juga mengumumkan bahwa akan membeli saham Javasche Bank dengan harga 120% dari nilai nominal.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,             14-11-1951: ‘Javasche Bank. Pembelian saham. Dalam sebuah pertemuan yang berlangsung selama satu setengah jam, wacana nasionalisasi Javasche Bank, Dewan Menteri membahas beberapa undang-undang dan melampirkan itikad baik untuk pendirian Kantor Pengawasan Pasca-Surveilans, saran apa yang akan diberikan kepada Presiden, Dari BRI, Harsoadi memberitahu Mononutu menyatakan bahwa pembelian seumur hidup Javascne Bank senilai f 8.800.000 nominal sekitar 97%. Bahwa Indonesia, sebagai bangsa, harus menjadi bank sentral dengan abjad nasional. properti, kepentingan publik bank harus menjadi milik negara, yang sejauh ini Javasche Bank telah ada sejauh ini dibiayai oleh orang asing, Bahwa untuk mengakhiri posisi Javasche Bank harus dinationalisasi. Tentang pengangkatan ketua Dewan Pengawas juga Harsoadi dari BRI terdiri dari anggota: RM Margono Djojohadikusumo, presiden Bank Negara Indonesia, M. Sutoto, Sekretaris Jenderal Kementerian Koneksi, TB Sabaruddin, Direktur Foreign Exchange Institute dan N Tennissen, Direktur Javasche Bank’.

Upaya pemerintah untuk menasionalisasi Javasche Bank menerima respon positif dari parlemen. Pada tanggal 30 November 1951, dewan legislatif telah menyetujui deklarasi Rancangan Undang-Undang wacana nasionalisasi Javasche Bank. Dalam situasi dan kondisi inilah Lukman Hakim, eksekutif Javasche Bank dan Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden (komisaris) yang gres Javasche Bank saling pundak membahu untuk menasionalisasi Javasche Bank dan menggantinya dengan nama yang baru, yakni Bank Indonesia.

Nasionalisasi Javasche Bank tentu saja tidak gampang dan berlangsung setahap demi setahap. Hal ini di satu pihak lantaran keuangan Pemerintah Indonesia belumlah besar lengan berkuasa dan di pihak lain para investor di Javasche Bank yang berkedudukan di Amsterdam masih wait en see. Tentu saja ini terkait dengan dilema politik antara Indonesia dengan Belanda yang mana Pemerintah Indonesia ingin membatalkan perjanjian KMB sementara Pemerintah Belanda tidak terlalu meresponnya.

Sejak kepulangan eksekutif Javasche Bank Mr. Lukman Hakim dari Belanda, pemerintah dan otoritas bank sentral di Indonesia (Javasche Bank) terus melaksanakan konsolidasi. Undang-Undang Pokok Bank Indonesia telah diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1953. Ini sehubungan dengan tuntasnya upaya nasionalisasi Javasche Bank.

Dengan diberlakukannya undang-undang Bank Indonesia maka Mr. H. Teunissen, salah satu eksekutif di Javasche Bank yang merangkap wakil presiden terhitung tanggal 1 Juli harus mengundurkan diri dari jabatannya, Susunan pimpinan gres Bank Indonesia telah ditetapkan (Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad, 14-07-1953). Disebutkan dewan eksekutif Bank Indonesia terdiri sebagai berikut: Gubernur: Sjafroeddin Prawiranegara; eksekutif yaitu Mr. Lukman Hakim yang merangkap sebagai Wakil Gubernur dan Mr. Indrakoesoema. Sebelumnya banyak sekali kalangan sempat mengkhawatirkan fungsi bank sentral akan awut-awutan sesudah pengunduran diri Dr. A Houwink.  Namun penunjukkan Sjafroeddin Prawiranegara untuk menggantikan Houwink secara perlahan bisa menghilangkan persepsi tersebut.

Javasche Bank tamat sudah sesudah beroperasi di Indonesia (baca: Hindia Belanda) semenjak 1824. Tahun 1953, Bank Indonesia (suksesi Javasche Bank) memulai babak gres dalam kebanksentralan di Indonesia yang mana semua posisi strategis telah diisi oleh 100 persen orang Indonesia. Bank Indonesia yaitu suksesi Bank Negara Indonesia.

Bank Negara Indonesia di Tapanoeli, 1946

Pada tahun 1946 Bank Negara Indonesia didirikan dengan utang dari rakyat. Kantor Pusat Bank Negara Indonesia berada di Jogjakarta. Sehubungan dengan pendirian Bank Negara Indonesia ini di sejumlah tempat didirikan cabang termasuk di Pematang Siantar (ibukota Provinsi Sumatra), Bukittinggi (ibukota Residentie Sumatra Barat) dan Sibolga (ibukota Residentie Tapanoeli).

Sehubungan dengan kembalinya Belanda/NICA dan semakin menguatnya posisi mereka di banyak sekali kota, pusat pemerintahan RI dipindahkan. Ibukota RI di Djakarta dipindahkan ke Jogjakarta; ibukota (provinsi) Sumatra dipindahkan dari Medan ke Pematang Siantar dan ibukota Residentie Sumatra Barat dipindahkan dari Padang ke Bukittinggi. Ibukota Residentie Tapanoeli tetap di Sibolga (tidak termasuk target utama Belanda).

Di Sibolga dibuat cabang dari Bank Negara Indonesia. Yang diangkat sebagai kepala cabang Bank Negara Indonesia di Sibolga yaitu Djames Harahap. Wakil Residen Tapanoeli yaitu Abdul Hakim Harahap.

Pada masa kolonial Belanda ada sejumlah pribumi yang menjadi pejabat di Kementerian Ekobnomi (Economisch Zaken). Tiga diantaranya yaitu Margono Djojohadikoesoemo, Soerjaatmadja dan Abdul Hakim Harahap. Sebelum pendudukan Jepang, Margono sebagai eksekutif koperasi dan Abdul Hakim Harahap sebagai kepala cabang ekonomi di Groot Indie (Indonesia Timur) yang berkedudukan di Makassar,

Djames Harahap bersama Ismail Harahap dan Muslim Harahap yaitu tiga cowok dari Tapanoeli pada tahun 1938 berangkat studi ke Batavia. Djames Harahap dan Muslim Harahap masuk sekolah ekonomi sementara Ismail Harahap masuk sekolah apoteker.Setelah lulus pada tahun 1941 Ismail Harahap ditempatkan di Soerabaja sebagai apoteker. Sementara Muslim Harahap melamar kerja di Bank Nasional Indonesia di Medan. Sedangkan Djames Harahap melamar menjadi pegawai di Econemisch Zaken, tempat dimana Margono dan Abdul Hakim Harahap sebagai pejabat.

Bank Nasional Indonesia didirikan tahun 1930 di Soerabaja. Bank swasta pribumi di Soerabaja ini digagas oleh Dr. Soetomo. Bank swasta pribumi pertama Bataksche Bank didirikan di Pematang Siantar pada tahun 1920 oleh Dr. Mohamad Hamzah Harahap. Bank Nasional Indonesia dalam perkembangannya membuka cabang di sejumlah tempat termasuk di Medan.

Pada ketika pendudukan Jepang, Abdul Hakim Harahap dan Djames Harahap mudik ke Tapanoeli. Sementara Muslim Harahap tetap di Medan. Sedangkan Ismail Harahap tetap tinggal di Soerabaja.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Abdul Hakim Harahap yang menjadi pejabat di Tapenoeli di masa Jepang diangkat Pemerintah RI untuk menjadi Wakil Residen Tapanoeli bersama dengan Residen Tapanoeli Dr. FL Tobing. Besar dugaan Margono meminta rekan lamanya Abdul Hakim Harahap untuk membentuk Bank Negara Indonesia di Sibolga. Untuk menjadi kepala cabang yaitu Djames Harahap. Sementara itu di Medan yang menjadi kepala Bank Nasional Indonesia yaitu Muslim Harahap. Pada tahun 1951 ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara, kepala BNI Cabang Medan yaitu Djames Harahap. Untuk sekadar diketahui Ismail Harahap di Soerabaja kelak dikenal sebagai ayah dari Andalas Datoe Oloan Harahap atau Ucok AKA (pionir musik rock Indonesia), sementara Djames Harahap di Medan kelak dikenal sebagai ayah dari Rinto Harahap dan Erwin Harahap (pendiri band The Mercy’s).

Demikianlah sejarah Bank Negara Indonesia atau BNI 1946


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Menjadi Indonesia (23): Sejarah Bank Bni 1946 Sebenarnya; Didirikan Modal Utang 200 Juta Rupiah Dari Rakyat"

Posting Komentar