Potensi Diri Dalam Islam

Kajian  tentang  manusia  dalam  berbagai  lapangan  ilmu pengetahuan, selalu menghasilkan banyak sekali persepsi dan konsepsi yang berbeda. Dalam kajian tasawuf, “Manusia” juga dipandang sebagai objek yang khas sesuai sudut pandang yang digunakan. Penciptaan insan dalam tasawuf diyakini terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani. Al-Hallaj tokoh tasawuf falsafi beropini insan mempunyai sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut), alasannya yaitu dua unsur yang membentuk insan itu sendiri. Unsur bahan menimbulkan insan mempunyai kecenderungan berbuat jelek dan unsur rohani menimbulkan insan kecenderungan ingin selalu erat dengan Tuhannya. Penciptaan insan yang terdiri dari unsur bahan dan rohani tersebut ditegaskan dalam al-Qur'an (23: 12 dan 15:29).

Senada dengan al-Hallaj, insan berdasarkan Ibn Arabi terdiri dari aspek batin (al-Haqq) dan aspek Lahir (al-Khalq) yang merupakan manifestasi dari Al-Haqq.

Citra insan yang terpenting dan disepakati oleh para tokoh tasawuf yaitu seluruh insan dilahirkan dalam kondisi suci (fitrah), yaitu manusia terlahir dalam kondisi tidak mempunyai dosa sama sekali dan mempunyai potensi dasar taat kepada Allah. Kondisi fitrah ini, kemudian menerima dampak secara terus menerus dari lingkungan yang tentunya menghipnotis perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang. selain itu insan juga dengan mempunyai kebebasan (free will), sehingga insan berhak menentukan jalannya sendiri. Allah SWT berfirman dalam surat at-Tin ayat 4-5;

Artinya: Sesungguhnya Kami telah membuat insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan beliau ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

Potensi Diri

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa meskipun insan diciptakan paling sempurna, namun ia bisa mencapai derajat terendah kalau tidak bisa menentukan kebaikan. Selain itu dalam diri insan juga dilengkapi dimensi rohaniah menyerupai qulb, ruh, nafs dan akal.

a.  Qalb

Hati berdasarkan para sufi bukan dalam pengertian sebagai segumpal daging yang berada di dada yang berfungsi mengatur peredaran darah badan atau bisa  kita sebut jantung, tetapi lebih dimaknai sebagai substansi yang halus. Hati yaitu tempat antara wilayah kesatuan (ruh) dan kawasan keanekaragaman (nafs). Jika hati bisa melepas nafs yang menempel padanya, beliau akan berada di bawah dampak ruh hati yang bersih. Sebaliknya kalau hati dikuasai nafs, maka ia akan menjadi keruh.

Menurut Abdul Mujib, Kalbu Ruhani merupakan cuilan esensi dari  fitrah nafsani yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali tingkah laku, sehingga  bila ia bisa berfungsi normal, maka kehidupan insan  akan sesuai fitrahnya. Dengan hati yang higienis (memiliki uluhiyyat dan rabbaniat) inilah insan tidak hanya mengenal lingkungan fisik dan sosial tetapi juga mengenal lingkungan spiritual keagamaan dan ketuhanan.

b.  Ruh

Ruh juga merupakan dimensi esensial yang membatu insan berbeda dengan makhluk yang lain. Ruh mempunyai eksistensi sendiri yang berbeda dengan jasad. Jasad berasal dari elemen materi, sedangkan ruh berasal dari alam arwah yang merupakan esensi ketuhanan dalam diri manusia. Ruh yang ada dalam diri insan juga merupakan presensi (kehadiran) gerakan uluhiyyah, namun kekhususan tunjangan  ruh kepada insan bukan secara otomatis insan menjadi makhluk secara baik.  Ruh yaitu konsep dasar, semua bergantung pada bagaimana insan hendak memanfaatkannya.

Manusia sanggup menghidupkan sentuhan daya rohaniah, apabila ia sanggup secara tolong-menolong menepatkan  nafs tetap dalam etika, memusatkan pencucian hati dan menghias ruh. Dalam tradisi sufi dilakukan dalam kegiatan thariqat.

c.  Nafs

Nafs bisa dimaknai sebagai jiwa. Mayoritas kaum sufi menyampaikan bahwa jiwa merupkan sumber-sumber penyebab timbulnya akhlaq tercela dan sikap yang rendah.  Nafs juga bisa dikatakan sebagai substansi yang terbentuk dari hasil perkawinan ruh-ruh jasad yang mempunyai kondisi badan dan kondisi eksternal yang ada dalam diri manusia. Jika sesuatu yang ada dalam jiwa insan bertemu dengan dunia eksternal positif, maka akan berkembang secara optimal, namun sebaliknya kalau bertemu dengan dunia eksternal yang negatif, maka yang muncul yaitu hawa nafsu (syahwat yang melahirkan perbuatan destruktif).

Sikap nafs yang paling menyolok yaitu nafsunya, yang tersebar di seluruh badan insan dan semua indra sanggup berpengaruh. Berkaitan dengan daya tarik nafsu mempunyai bentuk beraneka ragam menyerupai nafsu secual dan nafsu akan kemewahan. Nafsu merupakan komponen dalam diri insan yang mempunyai kekuatan untuk mendorong melaksanakan sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri untuk melaksanakan sesuatu (al-ghadhab). Nafs yang cenderung mempunyai sifat jelek ini harus dirubah menuju perilaku-perilaku yang baik.

d.  Akal

Secara terminologi ‘akal” bisa diartikan menahan, ikatan, melarang dan mencegah sehingga orang dikatakan cerdik kalau orang tersebut bisa menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal dalam al-Qur'an disebutkan sebagai bentuk acara menyerupai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran (al-An-am: 151), kesimpulan dan hikmah (al-Baqarah: 44). Dalam al-Qur'an surat al-Ankabut ayat 43:

Artinya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.

Akal yang merupakan komponen fitrah nafsiah insan mempunyai dua makna yaitu sebagai salah satu organ di kepala atau disebut otak yang mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan secara kebijaksanaan dan kebijaksanaan ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsiah yang disiapkan dan bisa memperoleh pengetahuan (al-ma’rifat) dan kognisi. Pengertian ini sering ditafsirkan cerdik merupakan acara kalbu alasannya yaitu hatilah yang bisa mendapatkan pengetahuan supra rasional dengan kekuatan cita rasa (al-zawq). Akal sebagaimana dalam al-Qur'an tidak hanya dimaknai sebagai daya pikir dan daya rasa saja, tetapi ia yaitu dorongan moral untuk berfikir untuk memahami persoalan.

Manusia intinya yaitu ciptaan belum selesai, alasannya yaitu di satu sisi insan diciptakan dalam keadaan  sempurna, tetapi di sisi lain bisa menjadi makhluk yang rendah. Manusia diberi kebebasan (free will) oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri dengan dibekali dimensi ruhaniyah (ruh, aql, qalb dan nafs) yang harus diolah secara seimbang untuk mendapatkan ridla Allah. Ruh Ilahi pada insan berarti terdapat adanya daya cipta dan kepemimpinan, suatu vital principle dan contrutive ability yang hasilnya beliau mempunyai kemungkinan untuk berkembangan dan membuat sesuatu yang gres yaitu  ego batin (inner self).

Demikianlah uraian mengenai Potensi Diri Dalam Islam yang menjelaskan bahwa kebaikan sebagai fitrah manusia, erat kaitannya dengan kiprah besar yang diemban sebagai khalifah di bumi. Tugas tersebut menuntut insan mempunyai struktur tabiat yang baik menyerupai keadilan, persatuan rendah hati, dinamis, kreatif, dan percaya diri. Dalam mencapai itu semua, insan perlu melaksanakan pelatihan nafsu rendah yang diyakini para sufi sebagai sumber perbuatan jelek dengan melalui riyadlah dan mujahadah. Dalam tradisi tasawuf, pelatihan tersebut dilalui melalui tiga tahapan yaitu  takhalli melepaskan diri dari sifat-sifat buruk,  tahalli menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik, dan tajalli integrasinya sifat-sifat baik sehingga seseorang gampang mencicipi kehadiran Tuhan.



Sumber http://makalahahli.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Potensi Diri Dalam Islam"

Posting Komentar