Sosiologi Virtual

Internet tidak hanya masuk ke kantor kita Sosiologi Virtual


Internet tidak hanya masuk ke kantor kita, ke rumah kita, ke cafe-cafe, atau pun ke kampus-kampus kita. Tetapi juga telah masuk kedalam ruang psikis kita bahkan hingga yang paling dalam. Hampir ke segala penjuru dunia sosial, penetrasi internet tidak bisa kita hindari. Internet telah membuka sebuah dunia baru. Dunia yang bisa membuat identitas perihal “diri”, dunia teks, dunia cerita, melahirkan komunitas-komunitas global dengan interaksi instant di dalamnya. Inilah dunia gres yang seringkali dikaitkan dengan istilah maya, sebuah dunia virtual.


Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari seluk-beluk perihal dunia sosial tidak bisa menghindar dari realitas ini. Dan memang sebaiknya tidak menghindar. Bahkan sebaliknya, sosiologi harus mengadaptasi, mentransformasi, dan memberdayakan aspek-aspek virtualitas untuk memperkaya wacananya. Sosiologi dengan segala diskursus virtualnya mau tak mau akan menarik perhatian kita.


Internet juga membutuhkan sebuah konsep kajian sosial. Sosiologi yaitu salah satu disiplin yang bisa menjadi garda depan. Kajian sosiologi mengenai internet sanggup membantu kita memahami realitas kehidupan sehari-hari yang tampaknya sekarang tidak bisa jauh dari PC, laptop, dan handphone. Inilah sebuah peluang besar bagi disiplin yang mengaku mempunyai kaitan dengan segala hal perihal sosial.


Di masa yang konon kapitalisme-nya telah bergaya post modern, telah mengalami transformasi melalui gosip dan teknologi, Sosiologi Virtual menjadi sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang begitu mendesak ini memaksa hebat sosiologi kontemporer, Ben Agger memproduksi ‘The Virtual Self: A Contemporary Sociology’. Sebuah literature perihal konsep sosiologi virtual. Literatur tersebut merangkum tawaran tema yang bisa dijadikan kajian Sosiologi Virtual, antara lain:



  • Impact virtual pada diri, masyarakat, dan budaya. Meskipun kita belum sepenuhnya melepaskan diri dari modernitas, kapitalisme telah ditransformasikan oleh perkembangan internet. Teknologi ini begitu menguasai planet dan menginvasi pikiran kita. Internet berakselarasi ke dalam kehidupan sehari-hari kita, menggoncang institusi sosial dan menyamarkan atau menghapus batasan antara ruang publik dengan privat.



  • Makin pentingnya sebuah diskursus. Sosiologi Virtual akan menitik beratkan pada diskursus atau wacana. Internet membantu memeragakan klaim Garfinkel yang menyampaikan bahwa struktur sosial mungkin sekali dibuat oleh wacana. Budaya Media juga merupakan diskursus yang diusulkan oleh The Frankfurt School dan Foucault. Virtual Sosiologi sanggup menghubungkan wacana budaya media dengan dominasi dan kekuasaan.



  • Wajah sosiologi formal yang makin blur. Sosiologi bukan lagi milik kalangan profesional dan akademisi saja. Sosiologi merupakan milik semua orang. Derrida telah membantu kita memahami sosiologi sebagai sebuah teks, sebuah proyek literasi. Internet berisi kebanyakan teks yang sanggup dimanfaatkan untuk keperluan intelektual. Semua orang sanggup menjadi intelektual dengan memakai internet. Kenyataan ini mengaburkan batasan antara ‘yang ahli’ dengan ‘yang amatir’. Kekuasaan telah bergeser dari terpusat menjadi ke marginal.


Tampaknya tidak mengecewakan banyak sosiolog yang terlambat merespon perkembangan internet. Seringkali Teknologi Informasi berkembang sedemikian cepat sehingga teori-teori sosial harus mengejarnya. Beruntung Ben Agger memproduksi karya yang merespon cepat sisi sosial dari fenomena virtual. Kajian mengenai internet yang berkaitan dekat dengan perkembangan post modernitas tampaknya menjadi alasan berpengaruh lambatnya para sosiolog menanggapi hal ini. Apakah alasannya mereka takut pada post modernitas?



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sosiologi Virtual"

Posting Komentar