Konsumen Kelas Menengah: Review Buku
Buku ‘Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia’ yang selanjutnya dikemas dengan sebutan C3000, ditulis segera sesudah GDP per kapita Indonesia tercatat menembus angka $3000. Angka fantastis yang dalam catatan sejarah peradaban suatu negara selalu diidentikan dengan transformasi dari negara bermetamorfosis negara maju. Di Indonesia kini sedang berhembus angin optimisme, namun jikalau tidak hati-hati tentu saja bisa menciptakan penghuninya ‘masuk angin’.
C3000 merupakan buah karya intelektual Yuswohadi –si penulis- wacana revolusi konsumen kelas menengah di Indonesia. Hasil observasi ditemani data statistik ilmiah plus kutipan beberapa penelitian wacana fenomena kelas menengah yang dimuat di jurnal-jurnal Internasional, terang mengambarkan bahwa buku ini patut dianggap berbobot. Secara sederhana, C3000 berisi informasi seputar kelas menengah. Substansinya diuraikan dari siapa bekerjsama mereka, bagaimana referensi konsumsinya, sampai apa pengaruhnya pada bangsa kedepan. Alhamdulillah-nya buku ini ditulis secara sistematis dengan bahasa yang ringan.
C3000, siapa mereka? mereka ialah konsumen dengan pengeluaran US $2-20 per hari. Bukan sembarang konsumen tentunya alasannya ialah mereka membeli dan mengonsumsi barang-barang advance. Di Indonesia jumlahnya mencapai 130 juta lebih atau sekitar 60% dari total populasi dan tiap tahun jumlahnya selalu bertambah sekitar 8-9 juta kepala. Angka yang fantastis bukan?
Diantara jutaan kepala yang disebut kelas menengah itu, tak dipungkiri mungkin kita ialah salah satu diantaranya. Jika kelas menengah ini dikumpulkan dalam satu kawasan dan mereka disuruh berbaris menurut identitas pekerjaannya, maka akan muncul barisan para professional, entrepreneur, supervisor pabrik, ibu rumah tangga, pegawai negeri, guru/dosen, mahasiswa, dokter, arsitek, dan bankir. Dan Anda berada dibarisan yang mana?
Fenomena lahirnya c3000, secara garis besar dipicu oleh dua aspek utama. Pertama, meningkatnya pendidikan konsumen yang menimbulkan mereka lebih modern. berpengetahuan, beradab, melek teknologi, berwawasan global, sadar kesehatan, dan peduli lingkungan. Kedua, meningkatnya daya beli dengan tingkat discretionary income atau pendapatan sisa mencapai 1/3 dari total pendapatan yang memungkinkan mereka menjadi konsumen barang-barang advance seperti: TV layar datar, smartphones, mobil, tiket pesawat, asuransi, kartu kredit, paket liburtan ke luar negeri, dan lain sebagainya.
Meningkatnya daya beli dan pendidikan konsumen merupakan dua kombinasi besar yang melahirkan c3000 sekaligus dianggap sebagai pendorong perubahan sosial secara struktural-fundamental bangsa ini kedepan. Kaum optimis memandang mereka sebagai economic-driven. Hasil riset Asia Development Bank bahkan berani menyampaikan bahwa kelas menengah Indonesia telah menjadi tulang punggung perekonomian negara. Pernyataan yang pastinya mengernyitkan dahi sebagian orang.
Kedepan, c3000 akan memunculkan trend yang bekerjsama sudah sanggup dilihat semenjak sekarang. Beberapa trend tersebut antara lain: ‘Democratize Consumption’, yaitu imbas eksklusif dari meningkatnya daya beli yang mengakibatkan orang bisa membeli barang-barang yang dahulu tidak terbeli. Avanza-xenia ialah wujud konkret dari mimpi mereka mempunyai mobil. Bali, meskipun menarik tetapi sepertinya Phuket Thailand dan Universal Studios di Singapore lebih menarik untuk dikunjungi. ‘Demokratisasi konsumsi’ mengakibatkan Bandara Soetta kini lebih ramai ketimbang Stasiun Gambir.
Trend berikutnya ialah ‘The Rise of Mass Luxury’. Fenomena ini menggambarkan banyak barang-barang glamor yang dikonsumsi massal. Istilahnya, ‘barangnya branded, tetapi banyak yang punya’. Mereka punya alasannya ialah bisa beli, inilah yang disebut Mass Luxury. Alphard ialah ‘Mass Luxury’, apartemen di sentra kota ialah ‘Mass Luxury’, kartu kredit ialah ‘Mass Luxury’. Trend berikutnya ialah ‘Smart Consumer: Hyper Value Oriented’, artinya sikap konsumen yang kritis dikala membeli barang. Meningkatnya pendidikan merupakan faktor utama pembentuk abjad ini. Mereka cerdas, bahagia menimbang-nimbang produk dan layanan yang akan mereka beli. Terimakasih Google, Facebook, Twitter, dan teman-temannya. Tak heran, boom midnite sale di mall-mall kota-kota besar diserbu konsumen. Tak heran merek value-for-money menyerupai Nexian mengalami boom luar biasa. Konsumen cerdas menentukan Nexian dengan alasan fitur yang menyerupai BB dengan harga yang lebih murah.
Trend selanjutnya yaitu ‘More Competitive, More Mobile’. Mereka menjadi semakin kompetitif dengan tingkat mobilitas yang luar biasa. Makanya, Puply Orange, Coca Cola, Buavita, dan minuman lain dengan kemasan kecil atau genggam laris keras. Ada satu lagi trend yang sangat menarik, yaitu apa yang disebut ‘Need a Place to Talk’. Kelompok kelas menengah membutuhkan kawasan untuk berkomunitas, bersosialisasi, berkumpul, kongkow, kopdar, dan sebagainya. Namun bukan sembarang kawasan yang mereka inginkan. Mereka menginginkan kawasan yang sekaligus bisa dipakai untuk acara lainnya seperti: makan, meeting, bekerja, mengerjakan kiprah kuliah, dan lain sebagainya. So, kita jadi tahu bahwa J.Co sukses luar biasa bukan alasannya ialah jualan donat dan Starbucks sukses bukan alasannya ialah jualan kopi. Mengapa McCafe juga mendulang sukses? Anda tahu jawabannya.
Masih ada lima trend lain yang terlalu panjang untuk diulas. Mungkin, saya akan paparkan istilahnya saja dengan cita-cita Anda penasaran. Kelima trend itu antara lain: ‘Civilized Consumer’, ‘Technology Savvy: Gadged Freak!!!’, ‘Modern Retail Explotion’, ‘Broadband Hunger: Social Media Boom’, dan ‘Era Satu Miliar Wirausaha’. C3000 jikalau dipotret dari sikap konsumsinya, memang sangat menarik untuk dibahas. Namun demikian, selalu tersimpan rasa ketar-ketir apabila kita menyelami lebih dalam wacana apa yang mereka lakukan.
Masih terkait sikap konsumsinya, fenomena kelas menengah tidak selalu patut dikagumi atau bahkan ditiru. Ada hal-hal yang sebaiknya direnungkan dan biar bisa diambil sebagai pelajaran. Kelas menengah seringkali terjebak pada lubang sikap konsumtif. Ketidakmampuannya mendikotomi antara need dan want ialah salah satunya. Sisi yang dianggap penyakit psikologis ini sering dipandang sebagai kelemahan kelas menengah. Hal lain yang tak kalah unik untuk tidak menyampaikan celaka ialah orientasi ‘own, not use’ dikala membeli barang. Contohnya, sering kita membeli gadget ciptaan Steve Jobs tanpa tahu manfaatnya. Kita tidak mengerti manfaat aplikasi yang begitu banyak dan segera menyampaikan bahwa yang penting ialah memilikinya.
C3000 ditulis oleh seorang pemasar. Bagian epilog dalam buku ini, tertulis judul ‘Be a C3000 Brand’. Maknanya ialah himbauan untuk memanfaatkan gelembung besar kelas menegah khususnya di Indonesia. C3000 merupakan segmen pasar yang besar dan paling menguntungkan diantara segmen-segmen yang lain. C3000 akan memunculkan peluang-peluang gres yang luar biasa dimasa depan. Kita tinggal menyiapkan diri untuk menempati satu diantara dua posisi, pemain atau penonton?
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Konsumen Kelas Menengah: Review Buku"
Posting Komentar