Hubungan Semangat Kerja Dan Produktifitas Kerja

Seperti pada pembahasan sebelumnya dalam Semangat Kerja ; Definisi dan Aspeknya disebutkan bahwa Semangat kerja ialah kondisi seseorang yang menunjang dirinya untuk melaksanakan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik di dalam sebuah perusahaan. Kondisi melaksanakan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik merupakan citra awal dari pada produktivitas seorang karyawan dalam bekerja. dapatlah dikatakan bahwa terdapat kecenderungan relasi eksklusif antara produktivitas yang tinggi dan semangat yang tinggi. Di bawah kondisi semangat yang buruk, produksi yang menguntungkan sulit dimungkinkan untuk masa yang lama. Bila semangat jelek mengurangi produktivitas. Keuntungan yang lebih rendah sanggup berarti perolehan honor yang lebih sedikit di masa depan. Suatu lingkungan yang penuh dan kumulatif kemudian terjadi, alasannya honor sanggup mempengaruhi semangat (Bakri, 1986, p.227). ’Tetapi semangat yang tinggi tidak harus mengakibatkan produktivitas tinggi, ia hanyalah merupakan satu imbas sekalipun penting pada produksi keseluruhan. Suatu kelompok kerja, seandainya sanggup menjadi senang sebagai hasil relasi sosial yang telah mereka timbulkan dalam pekerjaan, tapi mungkin mereka begitu sibuk membadut saja sampai produktivitasnya rendah. Semangat mereka tinggi alasannya tidak adanya kepemimpinan yang efektif. Jelaslah, alasannya semangat yang tinggi mempengaruhi produktivitas secara menguntungkan, maka itu harus disertai oleh bimbingan administrasi dan pengawasan” (Bakri, 1986, p.228).
Sikap kerja merupakan hasil penilaian atau penilaian terhadap orang-orang atau kejadian-kejadian di daerah kerja apakah memuaskan, baik, menyenangkan, menguntungkan atau sebaliknya. Konsep ini paling sering dipahami melalui kepuasan kerja dan janji organisasi.
1. Kepuasan kerja
2. Komitmen Organisasi
”Kepuasan kerja berafiliasi dengan semangat kerja. Jika seseorang merasa puas terhadap perlakuan yang diterimanya di daerah kerja, maka mereka akan bersemangat untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan” (Panggabean, 2004,p.134)
Brayfield, Arthur H, dan Harold F. Rothe ialah orang pertama yang menawarkan pemahaman ihwal konsep kepuasan kerja. Mereka beranggapan bahwa ”kepuasan kerja sanggup diduga dari perilaku seseorang terhadap pekerjaannya” (Arthur H dan Rothe, 1951, pp.307-311). Kemudian Morse (1953) mengemukakan bahwa pada dasarnya, ”kepuasan kerja tergantung pada apa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang mereka peroleh. Orang yang paling tidak merasa puas ialah mereka yang mempunyai keinginan paling banyak, Namun menerima yang paling sedikit. Sedangkan yang paling merasa puas ialah orang yang menginginkan banyak dan mendapatkannya” Hal senada juga dikemukakan oleh (Getzels dan Guba, 1957, pp.423-441); dengan mengungkapkan bahwa kepuasan ialah “fungsi dari tingkat keserasian antara apa yang diharapkan dengan apa yang sanggup diperoleh, atau antara kebutuhan dan penghargaan” (Locke, 1969, pp.309-336).

Keinginan-keinginan karyawan
”Berbagai jenis kebutuhan insan (human needs) akan dicerminkan dari aneka macam keinginan para karyawan terhadap pekerjaannya. Meskipun keinginan ini bisa bermacam-macam, beberapa keinginan (wants) berikut ini merupakan aneka macam keinginan yang umum dinyatakan” (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.194):
1. Gaji/upah yang baik. Gaji bisa digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologis, sosial maupun egoistis. Karena itu tidak heran bila banyak atau bahkan sebagian besar karyawan menginginkan honor yang tinggi dari pekerjaannya.
2. Pekerjaan yang menawarkan penghasilan yang ajeg merupakan salah satu impian para karyawan. Keinginan ini bisa dibuktikan dari banyaknya peminat untuk menjadi pegawai negeri (karena ada jaminan pensiun).
3. Rekan kerja yang kompak. Keinginan ini merupakan cermin dari kebutuhan sosial. Seorang karyawan mungkin berkebaran untuk dipromosikan, hanya alasannya tidak menginginkan kehilangan rekan kerja yang kompak.
4. Penghargaan terhadap pekerjaan yang dijalankan. Keinginan ini berasal dari kebutuhan egoistis, yang bisa diwujudkan dengan pujian, hadiah (dalam bentuk uang maupun tidak), diumumkan kepada rekan-rekan sekerjanya dan sebagainya.
5. Pekerjaan yang berarti. Keinginan ini merupakan perwujudan dari kebutuhan untuk berprestasi. Mungkin pada era ini keinginan ini agak sukar terpenuhi, terutama dengan timbulnya spesialisasi yang tajam.
6. Kesempatan untuk maju. Meskipun mungkin tidak semua karyawan ingin dipromosikan (karena alasan sosial) tetapi pada umumnya setiap orang menginginkan untuk maju dalam hidupnya.
7. Kondisi kerja yang aman, nyaman, dan menarik. Kondisi kerja yang kondusif berasal dari kebutuhan akan rasa kondusif (safety needs). Tempat kerja yang nyaman dan menarik sebetulnya lebih merupakan suatu prestise (simbol status), dan pengalokasian hal-hal yang bersifat “status simbol” juga cukup sukar, sebagaimana pengalokasian dana.
8. Pimpinan yang adil dan bijaksana. Pemimpin yang ada menjamin bahwa pekerjaan akan tetap bisa dipertahankan (physiological dan security needs). Demikian juga, pimpinan yang tidak berat sebelah, akan menjamin ketenangan kerja.
9. Pengarahan dan perintah yang wajar. Kedua hal ini sebetulnya juga tidak bisa dipisahkan dari pimpinan yang bijaksana. Pengarahan diharapkan menjaga semoga pelaksanaan tidak menyimpang, dan perintah yang masuk akal diharapkan untuk keberhasilan pelaksanaan.
10. Organisasi/tempat kerja yang dihargai masyarakat. Keinginan ini merupakan pencerminan dari kebutuhan sosial.

Fungsi pemeliharaan karyawan menyangkut acara untuk memelihara kondisi fisik dan mental dari para karyawan, suatu kondisi yang akan diciptakan oleh penarikan karyawan yang baik, pengembangan, dukungan kompensasi dan integritas dan akan dilanjutkan dengan pemeliharaanya. Tetapi disamping itu perlu menawarkan perhatian khusus terhadap usaha-usaha untuk memelihara kesehatan dan perilaku karyawan. Program pelayanan karyawan membantu memelihara semangat (morale) karyawan. Tentu saja alasannya menyangkut persoalan semangat kerja, persoalan ini bisa kita masukkan dalam fungsi integrasi, yaitu untuk membuat karyawan yang bukan hanya bisa bekerja tetapi juga harus bisa bekerjasama. (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.267)
Berbagai bentuk jadwal pelayanan karyawan dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.267):
1. Yang menyangkut persoalan ekonomi para karyawan.
2. Program rekreasi/hiburan.
3. Program penyediaan kemudahan bagi para karyawan.

Prinsip-prinsip dari jadwal pelayanan karyawan
“Prinsip utama dari jadwal ini ialah semoga laba (hasil) yang diperoleh minimal bisa digunakan untuk menutup biayanya. Sebagai embel-embel dari prinsip ini, bisa disebutkan beberapa prinsip lainnya” (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.194). Prinsip-prinsip tersebut ialah :
1. Para karyawan diarahkan untuk memuaskan kebutuhan yang sebenarnya.
2. Pelayanan ini dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang lebih efektif dijalankan secara kelompok daripada secara individu.
3. Pelayanan yang dilakukan mengunakan dasar yang seluas mungkin.
4. Biaya jadwal pelayanan ini bisa dihitung, dan provisinya ditentukan secara terang untuk dasar pembelanjaannya.
(DeSantis dan Durst. (1996, p.327) mengemukakan bahwa kepuasan kerja sanggup dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sanggup dikelompokan ke dalam 4 kelompok, yaitu:
1. Monetary, non monetary
2. Karakteristik pekerjaan (job characteristics)
3. Karakteristik kerja (work characteristic), dan
4. Karakteristik individu.
Karakteristik pekerjaan berbeda dengan karakteristik kerja alasannya karakteristik pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri dimana ia berkaitan dengan cara bagaimana karyawan menilai tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya. Sedangkan karakteristik kerja yang juga disebut dengan the nature of environment ialah faktor-faktor yang diduga sanggup membantu atau menghalangi karyawan dalam pelaksanaan dalam tugas-tugasnya.
(Allen dan Meyer, 1990, pp.1-8) “mendefinisikan janji organisasi sebagai sebuah konsep yang mempunyai tiga dimensi, yaitu affective, normative, dan continuance commitment. Affective commitment ialah tingkat seberapa jauh seseorang karyawan secara emosi terikat, mengenal, dan terlibat dalam organisasi. Continuance commitment ialah suatu penilaian terhadap biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Normative commitment merujuk kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara psychological terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi yang didasarkan kepada perasaan menyerupai kesetiaan, affeksi, kehangatan, pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan, dan lain-lain”

Sumber http://jurnal-sdm.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Hubungan Semangat Kerja Dan Produktifitas Kerja"

Posting Komentar