Cerita Legenda Sangkuriang, Penerbit Dan Penulis
LEGENDA SANGKURIANG
Judul buku : Panah Patah Sangkuriang
Penulis : Femmy Syahrani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Juni 2003
Halaman : 115
Novel ini menuturkan legenda klasik Sangkuriang dengan konsep penceritaan yang baru. Konsep penceritaan yang gres tersebut, sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulisnya dalam catatan ihwal novel ini, diilhami oleh retelling (penceritaan ulang) folklor dalam film-film Disney dan dalam novel-novel, misalnya, Beauty karya Robin McKinley. Para penulis kisah film dan novel ini memodifikasi banyak sekali folklor secara menarik dalam konteks kehidupan modern. Konsep penceritaan ulang menyerupai inilah yang dilakukan penulis terhadap legenda Sangkuriang yang sangat populer itu.
Ada dua buah konsep penceritaan yang tampak mencolok dalam novel ini, yakni, pertama, eksplorasi psikologis penokohannya; dan, kedua, logikalisasi alur kisah yang terjaga dan rapi. Eksplorasi psikologis tampak dalam tiga penokohan penting yang menyangga novel ini: Dayang Sumbi, Aki, dan Sangkuriang. Mula-mula, penulis mengeksplorasi “perang dingin” antara Dayang Sumbi dan Aki, dan lalu kekerabatan “asmara” antara Sumbi dan Sangkuriang. Dalam eksplorasi kekerabatan psikologis antartokoh ini dan modifikasi-modifikasi lainnya, alur ceritanya tampak amat logis.
Hubungan antara Sumbi dan Aki, ayahnya yang merupakan seorang guru sakti, tidak berjalan serasi karena Aki tidak merestui percintaan Sumbi dan Tumang. Sumbi dan Aki sama-sama mempunyai tabiat yang keras dan harga diri yang tinggi. Sumbi bersikeras mengasihi Tumang sebagai seorang perjaka yang mengerti kemauannya, sampai Sumbi hamil di luar nikah. Mengetahuinya, kemarahan Aki memuncak dan, di depan mata masyarakat, harga dirinya tercoreng arang tebal. Menghadapi duduk kasus ini, Sumbi dan Aki menempuh jalan keluar masing-masing tanpa kompromi.
Sumbi tidak mau meredakan keinginannya untuk menikah dengan Tumang. Aki pun tidak mau menyerah dan pantang menarik penolakannya untuk merestui kekerabatan mereka. Akhirnya, Aki mengutuk Sumbi yang semula berwajah bagus jadi jelek muka dan Tumang jadi seekor anjing. Sumbi tak mau kalah, dan dirinya bersedia menikah dengan hewan kutukan ini. Kemudian, ketiga orang ini mengasingkan dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial masyarakat sekitar. Aki menutup padepokannya dan tidak lagi mau mendapatkan murid.
Apa yang hendak ditunjukkan oleh penulis novel ini yaitu bahwa kejadian tersebut sarat dengan nuansa psikologis. Sumbi dan Aki sangat bahagia untuk saling bermain perasaan. Sekalipun Aki merupakan guru sakti yang dikenal bijak dan pernah memunyai banyak murid, ia tega memberi eksekusi berat—yang menjadi cikal bakal sebuah kisah “legendaris”—kepada putrinya sendiri tanpa mau berintrospeksi mengapa semua ini bisa terjadi. Sementara itu, Sumbi suka memerturutkan perasaannya. Ia nyaris mengulanginya lagi secara lebih gila saat bersua dengan putranya, Sangkuriang, sehabis usang sekali berpisah.
Sumbi mengusir Sangkuriang alasannya yaitu membunuh Tumang, ayah Sangkuriang yang telah dikutuk jadi anjing, meski tanpa sengaja. Wajah jelek Sumbi kembali bagus menyerupai wajah seorang gadis belia berkat ilmunya dalam meramu obat-obatan. Sankuriang pun tumbuh cukup umur jadi seorang remaja yang tegap. Sangkuriang berkelana mencari ibunya, dan Sumbi berharap suatu saat akan berserobok kembali dengan putranya. Dan, dua kerinduan ini menentukan cara tersendiri untuk memuaskan dahaganya.
Ketika bertemu kembali, kedua orang ini saling tidak mengenali wajah mereka. Sebab, mereka telah “berganti rupa” dan membalut hati masing-masing dengan kerinduan yang rentan beraroma asmara. Sumbi teringat kembali dengan Tumang selagi mereka memadu kasih di fajar legenda ini. Remaja Sangkuriang merupakan kumbang yang sibuk beterbangan melirik bunga-bunga terindah. Akhirnya, kerinduan mereka berpagut di antara keraguan sebagai ibu-anak dan kekhawatiran akan lagi-lagi kehilangan orang terdekat.
Sangkuriang mengasihi Sumbi, dan Sumbi tak mau kehilangannya. Sangkuriang melamar Sumbi, dan Sumbi tidak menolaknya secara tegas. Perasaan Sumbi bergolak, pikirannya kalut alasannya yaitu ia dilamar oleh putranya, darah dagingnya sendiri. Dalam keadaan yang tidak stabil ini, semestinya Sumbi tidak mengambil keputusan. Namun, terjadilah apa yang harus terjadi: Sumbi bersedia menikah dengan Sangkuriang bila putranya ini bisa menciptakan sebuah danau dan sebuah bahtera besar dalam waktu semalam.
Akan tetapi, Sangkuriang gagal memenuhi syarat tersebut. Sebuah kepedihan yang tiada tepermanai! Perahu yang belum rampung itu ditendangnya, terbang, dan jatuh terbalik di tengah danau. Maka, bangun tegaklah sebuah gunung, Gunung Tangkuban Perahu.
Demikianlah, legenda Sangkuriang ditafsirkan secara psikologis, bahkan—menurut Jakob Sumardjo—parapsikologis, dan dilogikalisasikan. Boleh dikata semua kejadian didahului dengan clues, atau, sebaliknya, semua clues diakhiri dengan peristiwa-peristiwa secara logis. Sebagai contoh, di belahan awal diceritakan bahwa Sumbi sangat andal dalam menenun dan mewarnai kain. Jika ia memberi warna jingga, kainnya ini tampak menyerupai rona kemerahan matahari yang terbit di ufuk timur. Clue ini melogiskan adegan Sumbi mengibarkan kain-kain anggitannya sebagai membuktikan hari telah siang sebelum Sangkuriang tuntas menciptakan danau dan perahu. Masih banyak teladan serupa yang akan Anda temui dalam novel ini.
Tentu saja, pengertian logis di sini seturut dengan budi modern yang positivistik. Ini tidak berarti bahwa alur legenda Sangkuriang yang dituturkan dari verbal ke verbal oleh masyarakat Jawa Barat tidak logis, alasannya yaitu masyarakat tersebut memunyai budi tersendiri yang barangkali berbeda dengan budi modern. Jika penceritaan ulang ini menggunakan pendekatan lain, alur dan modifikasi legenda ini menjadi lain.
Pendekatan antropologis, misalnya, pasti akan menyingkap budi masyarakat tersebut secara lebih utuh. Selain itu, pendekatan antropologis juga banyak menguak sistem kehidupan indigenous mereka: kepercayaan, kemasyarakatan, kekerabatan, pengetahuan, bahasa, dan seterusnya. Semakin bermacam-macam pendekatan yang digunakan dalam penceritaan ulang, semakin bermacam-macam pula sisi menarik dari suatu folklor yang sanggup ditampilkan.
Agaknya, kita patut menyimak bagaimana orang-orang zaman kini memahami dan memaknai legenda, dongeng, epos, dan mitos tradisional, serta sejenisnya untuk menemukan sudut pandang dan pesan yang baru
Ada dua buah konsep penceritaan yang tampak mencolok dalam novel ini, yakni, pertama, eksplorasi psikologis penokohannya; dan, kedua, logikalisasi alur kisah yang terjaga dan rapi. Eksplorasi psikologis tampak dalam tiga penokohan penting yang menyangga novel ini: Dayang Sumbi, Aki, dan Sangkuriang. Mula-mula, penulis mengeksplorasi “perang dingin” antara Dayang Sumbi dan Aki, dan lalu kekerabatan “asmara” antara Sumbi dan Sangkuriang. Dalam eksplorasi kekerabatan psikologis antartokoh ini dan modifikasi-modifikasi lainnya, alur ceritanya tampak amat logis.
Hubungan antara Sumbi dan Aki, ayahnya yang merupakan seorang guru sakti, tidak berjalan serasi karena Aki tidak merestui percintaan Sumbi dan Tumang. Sumbi dan Aki sama-sama mempunyai tabiat yang keras dan harga diri yang tinggi. Sumbi bersikeras mengasihi Tumang sebagai seorang perjaka yang mengerti kemauannya, sampai Sumbi hamil di luar nikah. Mengetahuinya, kemarahan Aki memuncak dan, di depan mata masyarakat, harga dirinya tercoreng arang tebal. Menghadapi duduk kasus ini, Sumbi dan Aki menempuh jalan keluar masing-masing tanpa kompromi.
Sumbi tidak mau meredakan keinginannya untuk menikah dengan Tumang. Aki pun tidak mau menyerah dan pantang menarik penolakannya untuk merestui kekerabatan mereka. Akhirnya, Aki mengutuk Sumbi yang semula berwajah bagus jadi jelek muka dan Tumang jadi seekor anjing. Sumbi tak mau kalah, dan dirinya bersedia menikah dengan hewan kutukan ini. Kemudian, ketiga orang ini mengasingkan dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial masyarakat sekitar. Aki menutup padepokannya dan tidak lagi mau mendapatkan murid.
Apa yang hendak ditunjukkan oleh penulis novel ini yaitu bahwa kejadian tersebut sarat dengan nuansa psikologis. Sumbi dan Aki sangat bahagia untuk saling bermain perasaan. Sekalipun Aki merupakan guru sakti yang dikenal bijak dan pernah memunyai banyak murid, ia tega memberi eksekusi berat—yang menjadi cikal bakal sebuah kisah “legendaris”—kepada putrinya sendiri tanpa mau berintrospeksi mengapa semua ini bisa terjadi. Sementara itu, Sumbi suka memerturutkan perasaannya. Ia nyaris mengulanginya lagi secara lebih gila saat bersua dengan putranya, Sangkuriang, sehabis usang sekali berpisah.
Sumbi mengusir Sangkuriang alasannya yaitu membunuh Tumang, ayah Sangkuriang yang telah dikutuk jadi anjing, meski tanpa sengaja. Wajah jelek Sumbi kembali bagus menyerupai wajah seorang gadis belia berkat ilmunya dalam meramu obat-obatan. Sankuriang pun tumbuh cukup umur jadi seorang remaja yang tegap. Sangkuriang berkelana mencari ibunya, dan Sumbi berharap suatu saat akan berserobok kembali dengan putranya. Dan, dua kerinduan ini menentukan cara tersendiri untuk memuaskan dahaganya.
Ketika bertemu kembali, kedua orang ini saling tidak mengenali wajah mereka. Sebab, mereka telah “berganti rupa” dan membalut hati masing-masing dengan kerinduan yang rentan beraroma asmara. Sumbi teringat kembali dengan Tumang selagi mereka memadu kasih di fajar legenda ini. Remaja Sangkuriang merupakan kumbang yang sibuk beterbangan melirik bunga-bunga terindah. Akhirnya, kerinduan mereka berpagut di antara keraguan sebagai ibu-anak dan kekhawatiran akan lagi-lagi kehilangan orang terdekat.
Sangkuriang mengasihi Sumbi, dan Sumbi tak mau kehilangannya. Sangkuriang melamar Sumbi, dan Sumbi tidak menolaknya secara tegas. Perasaan Sumbi bergolak, pikirannya kalut alasannya yaitu ia dilamar oleh putranya, darah dagingnya sendiri. Dalam keadaan yang tidak stabil ini, semestinya Sumbi tidak mengambil keputusan. Namun, terjadilah apa yang harus terjadi: Sumbi bersedia menikah dengan Sangkuriang bila putranya ini bisa menciptakan sebuah danau dan sebuah bahtera besar dalam waktu semalam.
Akan tetapi, Sangkuriang gagal memenuhi syarat tersebut. Sebuah kepedihan yang tiada tepermanai! Perahu yang belum rampung itu ditendangnya, terbang, dan jatuh terbalik di tengah danau. Maka, bangun tegaklah sebuah gunung, Gunung Tangkuban Perahu.
Demikianlah, legenda Sangkuriang ditafsirkan secara psikologis, bahkan—menurut Jakob Sumardjo—parapsikologis, dan dilogikalisasikan. Boleh dikata semua kejadian didahului dengan clues, atau, sebaliknya, semua clues diakhiri dengan peristiwa-peristiwa secara logis. Sebagai contoh, di belahan awal diceritakan bahwa Sumbi sangat andal dalam menenun dan mewarnai kain. Jika ia memberi warna jingga, kainnya ini tampak menyerupai rona kemerahan matahari yang terbit di ufuk timur. Clue ini melogiskan adegan Sumbi mengibarkan kain-kain anggitannya sebagai membuktikan hari telah siang sebelum Sangkuriang tuntas menciptakan danau dan perahu. Masih banyak teladan serupa yang akan Anda temui dalam novel ini.
Tentu saja, pengertian logis di sini seturut dengan budi modern yang positivistik. Ini tidak berarti bahwa alur legenda Sangkuriang yang dituturkan dari verbal ke verbal oleh masyarakat Jawa Barat tidak logis, alasannya yaitu masyarakat tersebut memunyai budi tersendiri yang barangkali berbeda dengan budi modern. Jika penceritaan ulang ini menggunakan pendekatan lain, alur dan modifikasi legenda ini menjadi lain.
Pendekatan antropologis, misalnya, pasti akan menyingkap budi masyarakat tersebut secara lebih utuh. Selain itu, pendekatan antropologis juga banyak menguak sistem kehidupan indigenous mereka: kepercayaan, kemasyarakatan, kekerabatan, pengetahuan, bahasa, dan seterusnya. Semakin bermacam-macam pendekatan yang digunakan dalam penceritaan ulang, semakin bermacam-macam pula sisi menarik dari suatu folklor yang sanggup ditampilkan.
Agaknya, kita patut menyimak bagaimana orang-orang zaman kini memahami dan memaknai legenda, dongeng, epos, dan mitos tradisional, serta sejenisnya untuk menemukan sudut pandang dan pesan yang baru
Sumber http://gad0-gado.blogspot.com/
0 Response to "Cerita Legenda Sangkuriang, Penerbit Dan Penulis"
Posting Komentar