√ Teknologi Kurun Bercocok Tanam

Versi materi oleh Marwan S


Pada masa bercocok tanam, teknologi pembuatan alat mengalami kemajuan pesat apalagi saat ditemukannya teknik peleburan, percampuran, penempaan, dan pencetakan logam. Semula jenis-jenis logam ibarat besi, tembaga, timah, dan emas dibentuk dengan teknik peleburan sederhana, kemudian dengan teknik percampuran menghasilkan perunggu yang lebih kuat. Pembuatan alat-alat dari logam semula memakai cara ditempa dan dipanaskan, kemudian memakai teknik setangkup (bevalve) dan cetakan lilin (a cire perdue). Teknik setangkup dengan memakai model cetakan dari tanah liat, sedangakan cetakan lilin modelnya dibentuk dari lilin, kemudian dibungkus dengan tanah liat. Setelah dipanaskan lilin akan mencair keluar dan terbentuk rongga. Pembuatan alat dan benda-benda pusaka serta gelang dari materi besi agaknya terbatas pada daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa. Jenis-jenis benda besi itu berupa mata kapak, mata pisau, mata sabit, mata alat penyiang rumput, mata pedang, mata tombak, dan gelang besi.

Pada masa bercocok tanam dan tinggal menetap, contohnya sudah menguasai pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan perjuangan pertanian mereka. Teknologi pengairan sederhana pada waktu itu kemungkinan sudah dikuasai. Begitu juga pengetahuan mengenai iklim dengan memahami gejala alam untuk mengetahui kapan animo hujan dan kapan animo kemarau. Pengetahuan mengenai animo ini sangat penting bagi perjuangan bercocok tanam mereka. Melihat alat-alat yang mereka kuasai, terutama kapak, dan terdapatnya buktibukti bahwa mereka sudah mengenal dan menemukan api, kemungkinan mereka sudah menyebarkan transaportasi air. Semula bentuk transportasi yang digunakan ialah rakit yang pembuatannya tidak terlalu sulit. Rakit digunakan pertama kali oleh insan di pedalaman. Selain bahan-bahannya berupa bambu banyak tersedia, rakit sangat mudah untuk transportasi sungai.

Sedangkan teknologi pembuatan bahtera muncul kemudian saat insan sanggup menguasai api dan menyebarkan kapak kerikil bertangkai. Dalam menciptakan bahtera dilakukan secara bersama-sama, yaitu dengan cara pohon yang sudah ditebang dibakar sedikit kemudian menciptakan lubang cekung dengan mengerakan kapak, kemudian dibakar lagi kemudian dilubangi lagi. Demikian berulang-ulang hingga terbentuk lunbang besar di tengah-tengah kayu.



Ketika insan sudah menyebarkan perjuangan bercocok tanam dan tinggal menetap, tuntutan terhadap alat-alat penunjang kehidupannya juga mengalami perkembangan. Fungsi alat tidak hanya untuk berburu atau mengolah tanah. Akan tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang bersifat keagamaan. Bahkan pada masa berikutnya pembuatan benda-benda sudah mulai menampakkan aspek-aspek seni yang sangat indah.

Masa bercocok tanam ini ditandai dengan berkembangnya kemahiran mengasah alat-alat kerikil dan pembuatan gerabah. Alat yang diasah ialah kapak kerikil dan beliung serta mata panah dan mata tombak. Alat-alat kerikil yang berupa beliung persegi merupakan alat yang paling umum digunakan pada masa itu. Hal itu terlihat dari temuan-temuan alat kerikil yang tersebar di beberapa tempat terutama di daerah bab Barat Indonesia.

Bentuk beliung kebanyakan memanjang dan seluruh permukaannya diasah halus kecuali di bab pangkal untuk tempat mengikat tangkainya. Cara menciptakan bab yang tajam dengan mengasah bab samping untuk memperoleh tajaman miring ibarat tajaman pahat kini ini. Jenis batubatuan kalsedon, agat, dan jaspis paling umum digunakan untuk materi pembuatan beliung. Di beberapa daerah terdapat variasi dari alat beliung ini, ibarat beliung yang dibentuk dari materi khusus kerikil setengah permata, beliung bahu, beliung tangga, beliung atap, beliung biola, dan beliung penarah. Adanya variasi-variasi itu, selain menunjukkan perbedaan bentuk dan cara penggrapannya juga masing-masing alat itu mempunyai fungsi yang berbeda.

Persebaran beliung dan beberapa variasinya terdapat di daerah Bengkulu, Palembang, lampung (Sumatera), Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung, Surabaya, Madura, Malang, Besuki (Jawa), dan daerah
lainnya ialah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Adonara, Ternate, Maluku, Sangihe, dan Talaud. Beberapa tempat ibarat Tasikmalaya, Bogor, Punung, dan Palembang diperkirakan sebagai sentra pembuatan dan perbaikan beliung persegi.

Pada masa yang hampir bersamaan, di wilayah Indonesia Timur, ibarat Sulawesi, Maluku, Flores, dan Irian, berkembang pembuatan alat kerikil berupa kapak lonjong. Bentuk kapak lonjong ini, sesuai dengan namanya berbentuk lonjong tetapi pada bab tajamnya agak runcing dan melebar. Bedanya kapak lonjong dengan jenis kapak kerikil lainnya ialah pada tajaman. Tajaman kapak lonjong simetris atau dua sisi dan materi yang digunakan untuk menciptakan kapak lonjong kebanyakan dari kerikil kali berwarna kehitam-hitaman. Beberapa alat ini seluruh permukannya diasah halus.

Selain alat-alat ibarat serpih terutama anak panah, juga bahan-bahan dari tulang mengalami perkembangan. Bahan-bahan dari tulang berupa lancipan melengkapi alat-alat kerikil dalam upaya insan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fungsi alat pada masa bercocok tanam tidak saja untuk membantu insan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa makanan, tetapi juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani. Fungsi itu, contohnya untuk perhiasan atau komplemen upacara.

Sementara itu, kebutuhan insan juga semakin luas, umpamanya kebutuhan akan pakaian. Hal itu terlihat dari temuan alat kerikil berupa alat pemukul kulit kayu. Perhiasan mungkin tidak hanya untuk memenuhi tuntutan keindahan saja tetapi juga digunakan untuk alat tukar. Ada temuan benda-benda perunggu di Indonesia yang mempunyai kemiripan dengan temuan benda-benda di Dongson (Vietnam). Hal itu diduga ada hubungan diantara keduanya. Adanya perkembangan teknologi pembuatan alat dari materi logam tersebut tidak serta merta menghapuskan alat-alat dari batu. Pembuatan gerabah, misalnya, justru mengalami perkembangan baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk upacara-upacara penguburan dan keagamaan.

Pada masa bercocok tanam telah ada kemampuan menciptakan barang-barang dari gerabah, barang anyaman, dan barang-barang tenun. Barang-barang gerabah pada mulanya dibentuk dengan cara yang sederhana, sesudah banyak pengalaman mutunya makin diperbaiki, demikian pula referensi hiasan dan warnanya. Alat-alat pada masa itu telah diupam (diasah) hingga halus. Bahkan ada alatalat yang terbuat dari kerikil indah ibarat kerikil kaldosen, kerikil api, dan lainnya. Alat-alat tersebut mungkin tidak digunakan sehari-hari dan diduga sebagai alat tukar, jadi semacam alat pembayaran. Alat yang digunakan sehari-hari kebanyakan terbuat dari kerikil hitam atau kerikil kali. Oleh alasannya ialah materi untuk menciptakan alat-alat tersebut tidak terdapat di sembarang tempat, maka kemungkinan besar alat-alat semacam itu menjadi barang perdagangan.

Alat-alat kerikil masa itu sudah anggun dan hasil buatannya. Ada pula alat-alat dari kerikil yang dibentuk dari kerikil indah yang disebut Kalsedon dan kerikil api. Alat-alat kerikil indah tersebut diduga berfungsi sebagai alat tukar. Untuk mempertahankan hidupnya, insan bercocok tanam menciptakan perkakasperkakas ibarat beliung persegi, kapak lonjong dan mata panah. Kelompok insan bercocok tanam merupakan suatu kelompok masyarakat yang sudah menetap dan teratur. Mereka hidup dalam perkampungan yang terus tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar.


a. Kapak Lonjong

Kapak ini bentuknya yang umum lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bab tajamnya. Bagian tajam ini diasah dari dua arah dan bentuk bab tajamnya simetris. Di sinilah bedanya dengan beliung persegi yang tidak pernah mempunyai bab tajam yang simetris (setangkup). Bahan yang dipergunakan untuk menciptakan beliung tersebut umumnya dari kerikil kali yang berwarna kehitam-hitaman. Ada juga kapak lonjong yanmg berukuran kecil yang mungkin dipergunakan sebagai benda pusaka.
Daerah inovasi kapak lonjong di Indonesia hanya terbatas di daerah bab timur, yaitu: Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan Irian. Di luar Indonesia kapak-kapak lonjong ditemukan tersebar luas mencakup Birma, Laos, Cina, Mancuria, taiwan, Jepang, Filipina, dan juga India.


b. Beliung Persegi

Masa bercocok di Indonesia bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam (mengasah) alat-alat gres serta mulai dikenal cara pembuatan barang gerabah. Di antara alat-alat kerikil yang paling menonjol pada masa bercocok tanam di Indonesia ialah beliung persegi. Daerah penemuannya mencakup hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama di bab barat. Di luar Indonesia alat-alat semacam itu ditemukan pula di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia.

Pada umumnya beliung ini berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Bagian pangkalnya tidak diasah sebagai tempat ikatan tangkai. Ukuran dan bentuknya majemuk tergantung pada penggunaannya. Yang paling kecil semacam pahat berukuran panjang kirakira 4 cm dan yang panjang kira-kira hingga 25 cm, dipergunakan untuk mengerjakan kayu. Bahan batuan yang digunakan menciptakan beliung-beliung itu pada umumnya berupa kerikil kalsedon, agat, chert, jaspis, dan sebagainya. Beliung kerikil oleh kalangan penduduk petani di beberapa tempat disebut “gigi halilintar” atau “gigi guntur”.

Ada majemuk variasi yang kita kenal dari beliung persegi. Variasi yang paling umum ialah “belincung”, yaitu berpunggung tinggi. Karena bentuk punggung tersebut, maka penampang lintang menjadi segitiga, segi lima atau setengah lingkaran. Variasi ini kebanyakan ditemukan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Perhatian terhadap beliung persegi dan kapak kerikil yang diasah halus di Indonesia mulai sekitar tahun 1850 oleh beberapa jago bangsa Eropa. Waktu itu yang dijadikan materi studi berasal dari temuan-temuan lepas, yang pengumpulannya diusahakan oleh sebuah perkumpulan swasta (antara tahun 1800-1850) yang berjulukan “Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Koleksi perkumpulan ini disimpan di Museum Pusat di Jakarta.

Dari temuan-temuan lepas sanggup diketahui daerah persebaran beliung persegi termasuk bentuk-bentuk variasinya di Sumatera (Bengkulu, Palembang, Lampung), Jawa (Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Punung, Surabaya, Malang, Besuki), Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Maluku, Sangihe dan Talaud. Di antara tempat-tempat tersebut ada yang diperkirakan semacam bengkel-bengkel beliung persegi ibarat di Bangamas (Palembang), Karangnunggal (Tasikmalaya), di desa Pasirkuda (Bogor), di daerah pegunungan Karangbolong (Kedu) dan di Punung akrab Pacitan, Jawa Timur. Beliung-beliung yang ditemukan dalam keadaan utuh diduga mempunyai fungsi magis dan atau dipergunakan sebagai alat tukar dalam sistem perdagangan sederhana.


c. Perhiasan

Dalam masa bercocok tanam, perhiasan-perhiasan berupa gelang dari kerikil dan kerang rupa-rupanya sudah dikenal. Perhiasan semacam ini kebanyakan ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahan-bahan untuk menciptakan gelang itu terdiri atas kerikil pilihan ibarat agat, kalsedon, dan jaspis yang berwarna kuning, merah, coklat dan hijau. Di luar Indonesia gelang-gelang kerikil juga ditemukan di Szechwan, Fengtien, Thail dan, Malaysia, Honan, pulau Lamma, dan Taiwan.

Sumber http://www.ssbelajar.net/

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "√ Teknologi Kurun Bercocok Tanam"

Posting Komentar