Peran Cowok Dalam Sejarah Indonesia
Dalam sejarah usaha bangsa Indonesia, perjaka selalu menempati tugas yang sangat strategis dari setiap insiden penting yang terjadi. bahkan sanggup di katakan bahwa perjaka menjadi tulang punggung dari keutuhan usaha melawan penjajahan Belanda ini, sebagai pengontrol independen terhadap tanda-tanda yang dibentuk oleh pemerintah dan penguasa, perjaka Indonesia juga secara aktif melaksanakan kritik, sampai mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak ke masyarakat. hal ini sanggup di lihat pada kasus jatuhnya pemerintahan soekarno oleh gerakan perjaka , yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan agresi mahasiswa perjaka tahun 1966. hal yang sama juga di lakukan oleh perjaka dalam menumbangkan pemerintahan soeharto 32 tahun kemudian. tugas yang di sandang perjaka Indonesia sebagai distributor perubahan dan distributor kontrol social sampai dikala ini masih sangat efektif dalam memposisikan tugas perjaka Indonesia. Makalah ini akan menguraikan perihal tugas dan tanggung jawab perjaka Indonesia dalam komitmennya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta sikap, komitmen, dan keberpihakan perjaka Indonesia kepada masyarakat.
a. Pergerakan Nasional
Seperti yang dikatakan oleh Feith, bahwa benih-benih nasionalisme tumbuh seiring dengan dibuatkannya kebijakan-kebijakan politik etis yang merupakan bentuk dari politik balas budi pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia ketika itu. Akibat dari kebijakan tersebut maka benih nasionalisme yang tumbuh lantaran interaksi dengan dunia luar serta pembelajaran yang dilakukan oleh segenap perjaka ketika itu. Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain menjadi sketsa yang tak terpisahkan dari upaya rakyat Indonesia ketika itu untuk lepas dari belenggu penjajahan. Soetomo kemudian mendirikan Budi Utomo, sebuah organisasi dengan corak modern didirikan sebagai upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat di pedalaman Jawa. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan yang sangat jelas; mencapai Indonesia Merdeka, sementara Sjahrir dan Hatta melanjutkan usaha PNI sehabis Soekarno masuk ke tahanan pemerintah kolonial. Sedangkan Natsir bersma-sama tokoh pergerakan nasional yang berbasis Islam lainnya bersatu dan mendorong munculnya organisasi-organisasi Islam yang bertujuan untuk kesejahteraan umat. Dari Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Perti, dan lain-lain yang di masa penjajahan Jepang bantu-membantu mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kelak akan menjadi partai Islam terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, lantaran merupakan representasi politik dari organisasi Islam di Indonesia.
Ada lima karakteristik kepemimpinan periode pergerakan nasional ini, yaitu: pertama, kepemimpinan perjaka masa pergerakan nasional selalu diliputi keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka, lepas dari segala penjajahan dan kolonialisme. Kedua, kepemimpinan kaum muda masa pergerakan nasional selalu bereksperimen dengan banyak sekali ideologi yang berkembang dikala itu. Sebagaimana diketahui bersama, dikala pergerakan nasional berlangsung, ideologi masuk ke Indonesia menyerupai aliran arus sungai yang menghipnotis pola pikir kaum muda dikala itu, baik yang berideologi reformis Islam menyerupai Natsir, nasionalisme keindonesiaan sebagaimana Soekarno tegaskan dalam setiap kesempatan ketika itu, komunisme yang dianut oleh Semaun, Alimin, Tan Malaka, Amir Sarifuddin, dan lainnya, ataupun sosialisme yang dianut oleh Hatta dan Sjahrir.
Ketiga, kepemimpinan kaum muda era pergerakan nasional juga lebih banyak menampilkan tabiat radikalisme dari pada sikap kooperatif. Hal ini ditandai dengan ditangkapnya beberapa tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Keempat, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu menampilkan wajah kooperatif dengan pelbagai perbedaan ideology, apabila mempunyai tujuan yang sama; kemerdekaan Indonesia. Sikap kooperatif terhadap organisasi yang berbeda ideologi ini merupakan bentuk dari penggalangan kekuatan untuk kemerdekaan Indonesia. Dan yang kelima, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu mempunyai cetak biru (blue print) Indonesia masa depan. Terlepas apakah cetak biru wacana Indonesia yang dicita-citakan berlandaskan kepada keyakinan ideologi yang dianutnya.
b. Revolusi Kemerdekaan
Kedatangan Jepang ke Indonesia memecah sebagian besar kaum muda Indonesia ketika itu, alasannya yakni sebagian besar perjaka di masa itu sangat percaya bahwa Jepang merupakan hero yang akan membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda. Ada tiga kelompok perjaka sehabis Jepang menjajah Indonesia. Pertama, kelompok perjaka yang percaya dengan ramalan Jayabaya, seorang raja Jawa kuno yang meramalkan akan tiba ras- kuning yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan kulit putih. Kelompok perjaka ini banyak yang bekerja dan menjadi pegawai di perusahaan dan jawatan yang dikuasai oleh Jepang menyerupai radio, kantor berita, dan lain-lain. Tokoh-tokoh perjaka yang terkemuka dari kelompok perjaka ini adalah: Adam Malik (pernah menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI), Soekarni, A.M. Hanafi, Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan sebagainya.
Kedua, kelompok perjaka yang menentukan tidak bekerja sama dengan Jepang, maupun pemerintahan Belanda di pengasingan. Kelompok perjaka ini banyak berasal dari mahasiswa kedokteran masa itu, kelompok ini juga banyak melaksanakan kerja-kerja bawah tanah bersama Sjahrir. Tokoh-tokoh perjaka terkemuka dari kelompok perjaka ini antara lain; Subadio Sastrosutomo, Daud Jusuf, Sumitro Joyohadikusumo, dan lain-lain. Ketiga, kelompok perjaka yang menentukan menjalin kekerabatan dengan pemerintah Belanda di pengasingan, dan melaksanakan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Kelompok ini juga disubsidi oleh pemerintah Belanda di pengasingan. Tokoh perjaka yang populer dari kelompok ini yakni Amir Sjarifuddin dan kelompok perjaka komunis binaannya.
c. Masa Pemerintahan Soekarno
Karakteristik dari kepemimpinan perjaka Indonesia masa Pemerintahan Soekarno yakni menginduk kepada partai-partai politik yang tumbuh subur ketika itu. Banyak dari perjaka ketika itu percaya bahwa dengan menginduk ke partai politik tertentu maka upaya untuk membangun basis kepemimpinan perjaka dikala itu akan dengan sendirinya berjalan. Hampir semua partai besar menyerupai Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), sampai partai-partai kecil mempunyai organ kepemudaan yang berhubungan ke partai bersangkutan. Namun langkah tersebut dirasakan oleh para perjaka kurang strategis, ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, dimana figur Soekarno menjadi simbol tunggal negara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh perjaka ketika itu yakni melaksanakan pengkritisan terhadap setiap kebijakan yang dibentuk oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya. Akan tetapi, sebagaimana diketahui bersama bahwa langkah melaksanakan pengkritisan terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya berujung pada konflik perjaka ketika itu, sebagian menentukan berada di samping Soekarno, sebagian lain menentukan berhadap-hadapan dengan Soekarno. Konflik antar organisasi pemudapun pecah, bahkan telah mengarah kepada kriminalisme. Upaya untuk saling menjelek-jelekkan antar organisasi terjadi secara sistematis. Pemuda Rakyat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Barisan Pendukung Soekarno (BPS), berlawanan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi perjaka partai yang tidak mendukung kepemimpinan Soekarno menyerupai Pemuda Perti, Pemuda Persis, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, dan lain sebagainya.
Situasi ini berakhir dengan tumbangnya Pemerintahan Soekarno oleh kekuatan unjuk rasa perjaka dan mahasiswa, serta tekanan militer. Perlu diketahui juga bahwa kelompok perjaka yang anti-Soekarno menerima santunan dari militer yang memang semenjak usang tidak menyukai kebijakan Soekarno yang condong bersahabat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana Soekarno juga menolak pembubaran PKI pasca pemberontakan 30 September 1965 yang memakan korban sejumlah Jenderal dari kalangan militer.
d. Masa Pemerintahan Soeharto
Dapat dikatakan bahwa masa Pemerintahan Soeharto, kaum muda mengalami bulan madu politik yang singkat. Perbedaan ideologi di badan organisasi perjaka yang selama Pemerintahan Soekarno dibiarkan tumbuh seirama dengan perkembangan bangsa, mulai dibatasi. Hal ini memang terkait dengan adanya penyederhanaan partai yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto. Pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai organisasi payung bagi organisasi kepemudaan yang ada menjadi salah satu bentuk pengekangan dan pembatasan hak-hak politik perjaka dan organisasi lainnya. Salah satu yang paling kentara yakni adanya konflik internal di masing-masing organisasi pemuda, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah menjadi dua organisasi, yakni HMI yang oke dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan oleh Pemerintah Soeharto, dengan HMI Majelis Penyalamatan Organisasi (HMI-MPO) yang masih mempertahankan Islam sebagai asas organisasi. Organisasi lain yang juga mengalami perpecahan yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang pro kepada keputusan Pemerintahan Soeharto dengan yang menolak keputusan tersebut. Organisasi-organisasi perjaka yang menolak kebijakan Soeharto, kemudian dicap sebagai organisasi perjaka yang tidak higienis dan bukan mustahil diberi cap komunis.
Keputusan untuk me-nonideologi-kan senua organisasi perjaka ini kemudian menghasilkan perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Pemerintahan Soeharto kala itu.. Ada tiga karakteristik organisasi perjaka pasca pembentukan KNPI. Pertama, organisasi perjaka yang mendapatkan kebijakan yang dibentuk dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan.
Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan banyak sekali organisasi perjaka yang loyal terhadap kebijakan pemerintahan. Kedua, organisasi perjaka yang berbasis di kampus. Organisasi perjaka ini bisa bersembunyi dibalik organisasi kemahasiswaan yang formal. Organisasi kampus ini justru dalam kurun waktu 32 tahun Pemerintahan Soeharto banyak melaksanakan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibentuk oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat banyak sekali insiden politik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan oposisi terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Soeharto, seperti: Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974 yang mengakibatkan kerusuhan dan sentimen anti produk Jepang. Peristiwa tahun 1978, yakni serbuan abdnegara militer dan kepolisian terhadap kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya. Serta yang terakhir, ketika ribuan massa dari banyak sekali kampus menduduki gedung DPR/MPR serta simbol kenegaraan lainnya di banyak sekali kota, yang menjadikan Presiden Soeharto, yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu mengundurkan diri dari dingklik kepresidenan.
e. Masa Kepemimpinan Orde Reformasi
Tumbangnya kekuasaan Presiden Suharto pada tahun 1998, merupakan satu titik balik proses keterbukaan politik di Indonesia. Presiden Habibie yang melanjutkan kepemimpinan mantan Presiden Suharto sampai Pemilihan Umum tahun 1999 melaksanakan satu perubahan drastis dalam sistem politik di Indonesia. Pemilihan Umum di tahun 1999 melahirkan pemimpin-pemimpin politik gres dalam badan Parlemen dan sistem kepartaian di Indonesia, dan melahirkan Presiden gres dari kalangan tokoh Islam yakni Abdurrahman Wahid.
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tidak bertahan lama. Euphoria reformasi yang diikuti oleh konflik politik antara Parlemen dengan Eksekutif melahirkan proses impeachment terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Ia kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, Wapres Republik Indonesia yang berasal dari kalangan nasionalis.
Pada era reformasi ini, kehidupan berorganisasi dibebaskan oleh pemerintah. Lembaga SIUPP yang selama ini menjadi alat kontrol bagi media massa di Indonesia dihapus oleh pemerintah, dwifungsi ABRI yang selama ini menjadi legitimasi bagi faksi tentara untuk berpolitik juga dihapuskan, Partai-partai politik dibebaskan untuk menentukan ideologi kepartaiannya, dan dibangunnya sistem pemerintahan desentralisasi yang membuka susukan politik masyarakat jauh lebih besar untuk terlibat dan mengawasi kinerja pemerintahan di daerahnya.
Reformasi ini juga menyentuh bermacam-macam kelompok kepemudaan yang menyadari perlunya perubahan sistem organisasi mereka. Organisasi-organisasi kepemudaan yang selama ini berada dibawah payung KNPI mulai memisahkan diri dan menjalankan gerak organisasinya sesuai dengan ideologi yang diinginkan. HMI kembali memakai Islam sebagai azas organisasi, GMNI kembali memakai azas nasionalisme-marhaen, dan lain sebagainya. Beberapa organisasi kepemudaan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, akan tetapi aura perubahan keras kali ini menghadapkan organ-organ ini pada kondisi sosial politik riil yang juga dihadapi oleh bermacam-macam kelompok di masyarakat.
Hiruk pikuk dunia politik yang gres menikmati kebebasannya di Indonesia tidak serta merta memperlihatkan suatu perbaikan sistem pemerintahan yang higienis dan berpihak kepada perubahan yang didesakkan pada tahun 1998. Pertarungan politik antara Pimpinan Legislatif dengan Eksekutif yang telah menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid dari dingklik kekuasaannya di tahun 2001 memperlihatkan bahwa para pemimpin Order Reformasi ini tidak mempunyai satu kedewasaan politik dalam melaksanakan perubahan politik di Indonesia.
Partai-partai politik dengan bermacam-macam ideologinya sepanjang lima tahun terakhir ini harus diakui telah gagal memperlihatkan satu pola bahwa perbedaan ideologi sanggup mendewasakan pola berpikir para pemimpin bangsa. Pertikaian politik berkepanjangan yang mengesampingkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, merupakan satu agenda utama yang sekarang menjadi dasar bergeraknya bermacam-macam organisasi perjaka di Indonesia dikala ini. Mereka melancarkan kecaman dan kritik untuk memperingatkan para pemimpin Indonesia, bahwa ada hal utama yang telah terlupakan akhir sikap politik mereka.
Disamping itu, peran perjaka dalam era reformasi ini juga ditekankan pada pengawalan proses perubahan sistem politik Indonesia semoga tidak jatuh kembali ke dalam rejim otoriter. Pemuda Indonesia dikala ini dihadapkan pada tantangan membangun kedewasaan berpolitik masyarakat semoga mereka sanggup bertindak sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah. Pemuda tidak sanggup bergerak sendirian mengawal perubahan politik di Indonesia lantaran mereka nantinya sanggup terjerumus ke dalam jebakan politik. Dalam sistem politik liberal multipartai di Indonesia dikala ini, tidak dikenal istilah mitra atau lawan politik abadi. Elite politik di Indonesia mempunyai kecenderungan untuk berusaha memenuhi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.
Peran perjaka sangat kuat dalam kesatuan RI dengan semangat yang tinggi mereka berusaha mempersatukan negara RI bahkan sanggup di katakan bahwa perjaka menjadi tulang punggung dari keutuhan usaha melawan penjajah belanda dan jepang.
Sumber http://makalahahli.blogspot.com
a. Pergerakan Nasional
Seperti yang dikatakan oleh Feith, bahwa benih-benih nasionalisme tumbuh seiring dengan dibuatkannya kebijakan-kebijakan politik etis yang merupakan bentuk dari politik balas budi pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia ketika itu. Akibat dari kebijakan tersebut maka benih nasionalisme yang tumbuh lantaran interaksi dengan dunia luar serta pembelajaran yang dilakukan oleh segenap perjaka ketika itu. Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain menjadi sketsa yang tak terpisahkan dari upaya rakyat Indonesia ketika itu untuk lepas dari belenggu penjajahan. Soetomo kemudian mendirikan Budi Utomo, sebuah organisasi dengan corak modern didirikan sebagai upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat di pedalaman Jawa. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan yang sangat jelas; mencapai Indonesia Merdeka, sementara Sjahrir dan Hatta melanjutkan usaha PNI sehabis Soekarno masuk ke tahanan pemerintah kolonial. Sedangkan Natsir bersma-sama tokoh pergerakan nasional yang berbasis Islam lainnya bersatu dan mendorong munculnya organisasi-organisasi Islam yang bertujuan untuk kesejahteraan umat. Dari Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Perti, dan lain-lain yang di masa penjajahan Jepang bantu-membantu mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kelak akan menjadi partai Islam terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, lantaran merupakan representasi politik dari organisasi Islam di Indonesia.
Ada lima karakteristik kepemimpinan periode pergerakan nasional ini, yaitu: pertama, kepemimpinan perjaka masa pergerakan nasional selalu diliputi keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka, lepas dari segala penjajahan dan kolonialisme. Kedua, kepemimpinan kaum muda masa pergerakan nasional selalu bereksperimen dengan banyak sekali ideologi yang berkembang dikala itu. Sebagaimana diketahui bersama, dikala pergerakan nasional berlangsung, ideologi masuk ke Indonesia menyerupai aliran arus sungai yang menghipnotis pola pikir kaum muda dikala itu, baik yang berideologi reformis Islam menyerupai Natsir, nasionalisme keindonesiaan sebagaimana Soekarno tegaskan dalam setiap kesempatan ketika itu, komunisme yang dianut oleh Semaun, Alimin, Tan Malaka, Amir Sarifuddin, dan lainnya, ataupun sosialisme yang dianut oleh Hatta dan Sjahrir.
Indonesia |
Ketiga, kepemimpinan kaum muda era pergerakan nasional juga lebih banyak menampilkan tabiat radikalisme dari pada sikap kooperatif. Hal ini ditandai dengan ditangkapnya beberapa tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Keempat, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu menampilkan wajah kooperatif dengan pelbagai perbedaan ideology, apabila mempunyai tujuan yang sama; kemerdekaan Indonesia. Sikap kooperatif terhadap organisasi yang berbeda ideologi ini merupakan bentuk dari penggalangan kekuatan untuk kemerdekaan Indonesia. Dan yang kelima, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu mempunyai cetak biru (blue print) Indonesia masa depan. Terlepas apakah cetak biru wacana Indonesia yang dicita-citakan berlandaskan kepada keyakinan ideologi yang dianutnya.
b. Revolusi Kemerdekaan
Kedatangan Jepang ke Indonesia memecah sebagian besar kaum muda Indonesia ketika itu, alasannya yakni sebagian besar perjaka di masa itu sangat percaya bahwa Jepang merupakan hero yang akan membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda. Ada tiga kelompok perjaka sehabis Jepang menjajah Indonesia. Pertama, kelompok perjaka yang percaya dengan ramalan Jayabaya, seorang raja Jawa kuno yang meramalkan akan tiba ras- kuning yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan kulit putih. Kelompok perjaka ini banyak yang bekerja dan menjadi pegawai di perusahaan dan jawatan yang dikuasai oleh Jepang menyerupai radio, kantor berita, dan lain-lain. Tokoh-tokoh perjaka yang terkemuka dari kelompok perjaka ini adalah: Adam Malik (pernah menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI), Soekarni, A.M. Hanafi, Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan sebagainya.
Kedua, kelompok perjaka yang menentukan tidak bekerja sama dengan Jepang, maupun pemerintahan Belanda di pengasingan. Kelompok perjaka ini banyak berasal dari mahasiswa kedokteran masa itu, kelompok ini juga banyak melaksanakan kerja-kerja bawah tanah bersama Sjahrir. Tokoh-tokoh perjaka terkemuka dari kelompok perjaka ini antara lain; Subadio Sastrosutomo, Daud Jusuf, Sumitro Joyohadikusumo, dan lain-lain. Ketiga, kelompok perjaka yang menentukan menjalin kekerabatan dengan pemerintah Belanda di pengasingan, dan melaksanakan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Kelompok ini juga disubsidi oleh pemerintah Belanda di pengasingan. Tokoh perjaka yang populer dari kelompok ini yakni Amir Sjarifuddin dan kelompok perjaka komunis binaannya.
c. Masa Pemerintahan Soekarno
Karakteristik dari kepemimpinan perjaka Indonesia masa Pemerintahan Soekarno yakni menginduk kepada partai-partai politik yang tumbuh subur ketika itu. Banyak dari perjaka ketika itu percaya bahwa dengan menginduk ke partai politik tertentu maka upaya untuk membangun basis kepemimpinan perjaka dikala itu akan dengan sendirinya berjalan. Hampir semua partai besar menyerupai Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), sampai partai-partai kecil mempunyai organ kepemudaan yang berhubungan ke partai bersangkutan. Namun langkah tersebut dirasakan oleh para perjaka kurang strategis, ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, dimana figur Soekarno menjadi simbol tunggal negara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh perjaka ketika itu yakni melaksanakan pengkritisan terhadap setiap kebijakan yang dibentuk oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya. Akan tetapi, sebagaimana diketahui bersama bahwa langkah melaksanakan pengkritisan terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya berujung pada konflik perjaka ketika itu, sebagian menentukan berada di samping Soekarno, sebagian lain menentukan berhadap-hadapan dengan Soekarno. Konflik antar organisasi pemudapun pecah, bahkan telah mengarah kepada kriminalisme. Upaya untuk saling menjelek-jelekkan antar organisasi terjadi secara sistematis. Pemuda Rakyat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Barisan Pendukung Soekarno (BPS), berlawanan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi perjaka partai yang tidak mendukung kepemimpinan Soekarno menyerupai Pemuda Perti, Pemuda Persis, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, dan lain sebagainya.
Situasi ini berakhir dengan tumbangnya Pemerintahan Soekarno oleh kekuatan unjuk rasa perjaka dan mahasiswa, serta tekanan militer. Perlu diketahui juga bahwa kelompok perjaka yang anti-Soekarno menerima santunan dari militer yang memang semenjak usang tidak menyukai kebijakan Soekarno yang condong bersahabat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana Soekarno juga menolak pembubaran PKI pasca pemberontakan 30 September 1965 yang memakan korban sejumlah Jenderal dari kalangan militer.
d. Masa Pemerintahan Soeharto
Dapat dikatakan bahwa masa Pemerintahan Soeharto, kaum muda mengalami bulan madu politik yang singkat. Perbedaan ideologi di badan organisasi perjaka yang selama Pemerintahan Soekarno dibiarkan tumbuh seirama dengan perkembangan bangsa, mulai dibatasi. Hal ini memang terkait dengan adanya penyederhanaan partai yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto. Pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai organisasi payung bagi organisasi kepemudaan yang ada menjadi salah satu bentuk pengekangan dan pembatasan hak-hak politik perjaka dan organisasi lainnya. Salah satu yang paling kentara yakni adanya konflik internal di masing-masing organisasi pemuda, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah menjadi dua organisasi, yakni HMI yang oke dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan oleh Pemerintah Soeharto, dengan HMI Majelis Penyalamatan Organisasi (HMI-MPO) yang masih mempertahankan Islam sebagai asas organisasi. Organisasi lain yang juga mengalami perpecahan yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang pro kepada keputusan Pemerintahan Soeharto dengan yang menolak keputusan tersebut. Organisasi-organisasi perjaka yang menolak kebijakan Soeharto, kemudian dicap sebagai organisasi perjaka yang tidak higienis dan bukan mustahil diberi cap komunis.
Keputusan untuk me-nonideologi-kan senua organisasi perjaka ini kemudian menghasilkan perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Pemerintahan Soeharto kala itu.. Ada tiga karakteristik organisasi perjaka pasca pembentukan KNPI. Pertama, organisasi perjaka yang mendapatkan kebijakan yang dibentuk dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan.
Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan banyak sekali organisasi perjaka yang loyal terhadap kebijakan pemerintahan. Kedua, organisasi perjaka yang berbasis di kampus. Organisasi perjaka ini bisa bersembunyi dibalik organisasi kemahasiswaan yang formal. Organisasi kampus ini justru dalam kurun waktu 32 tahun Pemerintahan Soeharto banyak melaksanakan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibentuk oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat banyak sekali insiden politik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melaksanakan oposisi terhadap kebijakan yang dibentuk oleh Soeharto, seperti: Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974 yang mengakibatkan kerusuhan dan sentimen anti produk Jepang. Peristiwa tahun 1978, yakni serbuan abdnegara militer dan kepolisian terhadap kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya. Serta yang terakhir, ketika ribuan massa dari banyak sekali kampus menduduki gedung DPR/MPR serta simbol kenegaraan lainnya di banyak sekali kota, yang menjadikan Presiden Soeharto, yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu mengundurkan diri dari dingklik kepresidenan.
e. Masa Kepemimpinan Orde Reformasi
Tumbangnya kekuasaan Presiden Suharto pada tahun 1998, merupakan satu titik balik proses keterbukaan politik di Indonesia. Presiden Habibie yang melanjutkan kepemimpinan mantan Presiden Suharto sampai Pemilihan Umum tahun 1999 melaksanakan satu perubahan drastis dalam sistem politik di Indonesia. Pemilihan Umum di tahun 1999 melahirkan pemimpin-pemimpin politik gres dalam badan Parlemen dan sistem kepartaian di Indonesia, dan melahirkan Presiden gres dari kalangan tokoh Islam yakni Abdurrahman Wahid.
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tidak bertahan lama. Euphoria reformasi yang diikuti oleh konflik politik antara Parlemen dengan Eksekutif melahirkan proses impeachment terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Ia kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, Wapres Republik Indonesia yang berasal dari kalangan nasionalis.
Pada era reformasi ini, kehidupan berorganisasi dibebaskan oleh pemerintah. Lembaga SIUPP yang selama ini menjadi alat kontrol bagi media massa di Indonesia dihapus oleh pemerintah, dwifungsi ABRI yang selama ini menjadi legitimasi bagi faksi tentara untuk berpolitik juga dihapuskan, Partai-partai politik dibebaskan untuk menentukan ideologi kepartaiannya, dan dibangunnya sistem pemerintahan desentralisasi yang membuka susukan politik masyarakat jauh lebih besar untuk terlibat dan mengawasi kinerja pemerintahan di daerahnya.
Reformasi ini juga menyentuh bermacam-macam kelompok kepemudaan yang menyadari perlunya perubahan sistem organisasi mereka. Organisasi-organisasi kepemudaan yang selama ini berada dibawah payung KNPI mulai memisahkan diri dan menjalankan gerak organisasinya sesuai dengan ideologi yang diinginkan. HMI kembali memakai Islam sebagai azas organisasi, GMNI kembali memakai azas nasionalisme-marhaen, dan lain sebagainya. Beberapa organisasi kepemudaan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, akan tetapi aura perubahan keras kali ini menghadapkan organ-organ ini pada kondisi sosial politik riil yang juga dihadapi oleh bermacam-macam kelompok di masyarakat.
Hiruk pikuk dunia politik yang gres menikmati kebebasannya di Indonesia tidak serta merta memperlihatkan suatu perbaikan sistem pemerintahan yang higienis dan berpihak kepada perubahan yang didesakkan pada tahun 1998. Pertarungan politik antara Pimpinan Legislatif dengan Eksekutif yang telah menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid dari dingklik kekuasaannya di tahun 2001 memperlihatkan bahwa para pemimpin Order Reformasi ini tidak mempunyai satu kedewasaan politik dalam melaksanakan perubahan politik di Indonesia.
Partai-partai politik dengan bermacam-macam ideologinya sepanjang lima tahun terakhir ini harus diakui telah gagal memperlihatkan satu pola bahwa perbedaan ideologi sanggup mendewasakan pola berpikir para pemimpin bangsa. Pertikaian politik berkepanjangan yang mengesampingkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, merupakan satu agenda utama yang sekarang menjadi dasar bergeraknya bermacam-macam organisasi perjaka di Indonesia dikala ini. Mereka melancarkan kecaman dan kritik untuk memperingatkan para pemimpin Indonesia, bahwa ada hal utama yang telah terlupakan akhir sikap politik mereka.
Disamping itu, peran perjaka dalam era reformasi ini juga ditekankan pada pengawalan proses perubahan sistem politik Indonesia semoga tidak jatuh kembali ke dalam rejim otoriter. Pemuda Indonesia dikala ini dihadapkan pada tantangan membangun kedewasaan berpolitik masyarakat semoga mereka sanggup bertindak sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah. Pemuda tidak sanggup bergerak sendirian mengawal perubahan politik di Indonesia lantaran mereka nantinya sanggup terjerumus ke dalam jebakan politik. Dalam sistem politik liberal multipartai di Indonesia dikala ini, tidak dikenal istilah mitra atau lawan politik abadi. Elite politik di Indonesia mempunyai kecenderungan untuk berusaha memenuhi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.
Peran perjaka sangat kuat dalam kesatuan RI dengan semangat yang tinggi mereka berusaha mempersatukan negara RI bahkan sanggup di katakan bahwa perjaka menjadi tulang punggung dari keutuhan usaha melawan penjajah belanda dan jepang.
Sumber http://makalahahli.blogspot.com
0 Response to "Peran Cowok Dalam Sejarah Indonesia"
Posting Komentar