Dampak Aktual Dan Negatif Media Terhadap Pendidikan

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF MEDIA MASA TERHADAP PENDIDIKAN


A.    LATAR BELAKANG
Saat ini, kita semua sedang berada dalam sebuah revolusi yang berkaitan dengan teknologi dan budaya. Pengertian ‘revolusi' ini sesungguhnya lebih cocok bagi mereka yang ketika ini sudah dewasa. Namun bagi belum dewasa dan remaja, dunia mereka ialah betul-betul dunia yang tumbuh dalam era digital. Media interaktif, bagi belum dewasa dan remaja bukanlah hal gres lantaran hal itu sudah mereka kenal semenjak mereka lahir. Semenjak video game mulai terkenal pada tahun 1980an, maka perkembangan industri digital menjadi semakin cepat yang didukung dengan semakin populernya internet di kalangan masyarakat.
Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk sanggup menghadapi ‘banjir informasi' yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa belum dewasa dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.
Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak kondusif tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi belum dewasa dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan sec, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal menciptakan tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang sampaumur dan anak-anak. Fenomena menyerupai ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, lantaran besarnya infiltrasi media televisi di banyak sekali penjuru dunia. Dengan kata lain, belum dewasa zaman kini mempunyai kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.
Di Amerika serikat, dampak media massa terutama televisi dan video game, semakin menciptakan para orangtua kuatir. Data yang ada memperlihatkan bahwa para remaja Amerika Serikat dengan rata-rata usia 15 tahun, menyaksikan agresi pembunuhan brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kali tindak kekerasan dari media massa lainnya. Antara tahun 1950 hingga 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh belum dewasa muda di bawah 15 tahun di AS, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen ("Fenomena Kekerasan Masyarakat Modern", 2007).

B.     INTERAKSI ANAK DENGAN MEDIA
Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak media terutama siaran televisi di Indonesia. Misalnya, jawaban menjiplak adegan di televisi, seorang anak kehilangan nyawanya. Maliki yang berusia tiga belas tahun, tewas sesudah mempraktikkan adegan bunuh diri dalam film India di televisi. Rentetan kasus dampak negatif televisi seakan tidak ada habisnya. Masih segar dalam ingatan, kasus "Smack Down" yang juga menelan korban jiwa. Reza, seorang siswa SD menjadi korban, sesudah temannya mempraktikkan adegan smack down kepadanya. Ternyata kasus Reza bukan kasus yang terakhir, ada kasus lainnya di Bandung yang berkaitan dengan tayangan Smack Down. Angga Rakasiwi yang berusia 9 tahun, seorang murid SD Babakan Surabaya 7 di Kiaracondong, memar-memar lantaran bermain ala Smack Down dengan sahabat sekelasnya. Raviansyah (5 tahun), murid sebuah TK di Margahayu Kecamatan Margacinta, terluka sesudah bermain Smack Down dengan temannya. Raviansyah bahkan kabarnya sempat muntah darah.

Media

Dampak negatif televisi tidak hanya pada perubahan perilaku, tetapi juga kepada huruf dan mental penontonnya, terutama anak-anak. Stasiun televisi cenderung menyajikan tayangan yang homogen pada pemirsanya. Meski judulnya bermacam-macam namun bersama-sama isinya hampir seragam. Beberapa jenis tayangan tersebut di antaranya adalah, sinetron yang kerap dibumbui dengan kekerasan, hedonisme, sec, gaib atau banyak sekali tayangan infotainment yang disuguhkan dari pagi hingga petang. Ketika diprotes, produser dan pengelola siaran televisi akan beralasan bahwa tayangan-tayangan tersebut dibuat sesuai selera pasar. Buktinya ratingnya tetap tinggi yang berarti diminati oleh masyarakat.
Kasus lain ialah keluhan seorang ibu lantaran anaknya yang berusia 3,5 tahun bicaranya cadel dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut menjiplak huruf utama dalam sinetron Si Yoyo. Sinetron tersebut menampilkan sosok cowok lugu, yang mempunyai sikap dan pola pikir menyerupai anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersebut telah menjadi "sihir" bagi anak-anak, sehingga banyak yang menjiplak huruf si Yoyo.
Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu disimak dalam menelaah interaksi antara anak dengan media massa: Pertama, intervensi media terhadap kehidupan anak akan makin bertambah besar dengan intensitas yang semakin tinggi. Pada ketika budaya baca belum terbentuk, budaya menonton televisi sudah sangat kuat. Kedua, kehadiran orangtua dalam mendampingi kehidupan anak sehari-hari akan semakin berkurang jawaban pola hidup masyarakat modern yang menuntut acara di luar rumah. Ketiga, persaingan bisnis yang makin ketat antar media dalam merebut perhatian khalayak termasuk belum dewasa telah mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, dan etika, serta pelanggaran hak-hak konsumen. Hal ini diperparah dengan sangat lemahnya regulasi di bidang penyiaran.
Munculnya banyak sekali dampak tersebut, pada umumnya sanggup dilihat sebagai jawaban dari kurangnya pemahaman orangtua dalam mengatur dan menjembatani interaksi anak dengan televisi. Dalam banyak sekali kesempatan pertemuan dengan orangtua dan guru, mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi problem ini. Mereka lebih meletakkan impian pada kiprah pemerintah dan industri penyiaran televisi semoga mendisain ulang jadwal siaran mereka yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia sehingga tidak kuat jelek pada anak-anak. Sikap ketidakberdayaan inilah yang harus dikikis dengan memberikan penyadaran bahwa kuncinya bukanlah pada orang lain atau pihak lain, tetapi ada pada si orangtua dan anak itu sendiri. Karena, baik pemerintah maupun industri penyiaran televisi ialah dua pihak yang pada ketika ini tidak bisa diharapkan dan tidak akan bisa memenuhi impian para orangtua.
Untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif jelek dari televisi tentunya tidak sanggup didiamkan begitu saja. Dibutuhkan sebuah kemampuan untuk menyikapi media ini dengan bijaksana. Tapi bagaimana mungkin masyarakat sanggup bersikap kritis terhadap media jikalau masyarakat tidak diajarkan bagaimana caranya. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pendidikan mengenai media hampir terlupakan. Agenda pendidikan media sama sekali belum diperhitungkan oleh penyelenggara negara, khususnya pemegang otoritas pendidikan. Padahal media mempunyai kekuatan untuk menjalankan hidden curriculum (kurikulum terselubung) baik yang konstruktif maupun destruktif.

C.    KONSEP MEDIA LITERACY DAN PENGAJARANNYA
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) menyampaikan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur. Allan Rubin memperlihatkan tiga definisi mengenai media literacy.
Yang pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari mahir media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan wacana bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya ialah penilaian kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut.
Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan James Potter (Potter, 2001). Silverblatt menyatakan bahwa media literacy mempunyai lima elemen yaitu:
(1)       Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
(2)       Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
(3)       Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan membahas pesan-pesan media
(4)       Sebuah kesadaran akan isi media sebagai ‘teks’ yang memberikan wawasan dan pengetahuan ke dalam budaya kontemporer insan dan diri insan sendiri
(5)       Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide fundamental dari media literacy, yaitu:
1.            Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
2.            Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
3.            Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
4.            Tujuan dari media literacy ialah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.
Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi jadwal yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan teladan negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah.
Tabel di bawah memperlihatkan perbandingan perkembangan melek media di banyak sekali negara (Media Literacy: Ability of Young People to Function in the Media Society, 2000)

Negara

Sistem dan acara terkait dengan pendidikan melek media
Inggris
· Pengenalan pendidikan melek media dalam pendidikan dasar dan menengah ditujukan untuk memahami dan menganalisis isi media terutama sebagai cuilan dari mata pelajaran bahasa.
· Kerjasama antar kementerian melalui "Media Education Strategy Committee" telah dibuat dan mengumumkan kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan melek media pada animo panas tahun 2000.
Jerman
· Setiap region telah mengadakan training melek media bagi guru.
· Pihak penyiaran regional telah melaksanakan penelitian terkait dengan pendidikan melek media dan mendukung jadwal produksi media yang dilakukan oleh masyarakat..
Perancis
· Diskusi mengenai keterkaitan antara media dan opini publik merupakan acara wajib dalam kurikulum pendidikan dasar.
· Lembaga penyiaran publik La Cinquieme bekerja sama dengan Le Centre National de Documentation Pedagogique (CNDP), secara periodik menyiarkan program-program melek media.
Kanada
· Sejak animo gugur tahun 1999, setiap provinsi diharuskan untuk melaksanakan jadwal pendidikan melek media. (Terutama dalam mata pelajaran bahasa dan seni)
·  The Canadian Radio-television dan Telecommunications Commission (CRTC) mendukung produksi program-program yang dibuat oleh komunitas.
Amerika Serikat
· Sebagian besar negara cuilan telah mengadopsi pendidikan melek media ke dalam pedoman pengajaran mereka. (Terutama di mata pelajaran bahasa)
·  The Public Broadcasting System (PBS) dan the National Cable Television Association (NCTA) memproduksi dan menyiarkan program-program mengenai melek media.
Australia
·  Pendidikan melek media telah diperkenalkan sebagai cuilan dari mata pelajaran bahasa, seni dan teknologi ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
·  The Australian Broadcasting Authority (ABA) mempromosikan pendidikan melek media dengan cara mengadakan konferensi internasional dan mempublikasikan informasi terkait dengan melek`media secara periodik.

Permulaan kurun 21 pertanda perkembangan minat terhadap pendidikan media di beberapa negara. Melek media ini dibangun sebagai alat pendidikan untuk melindungi orang-orang dari dampak negatif media. Di tahun 1930, Inggris merupakan negara pertama yang memunculkan isu mengenai melek media. Sedangkan pada tahun 1960, Kanada memulai pendidikan melek medianya.
Kanada merupakan negara yang terutama mewajibkan melek media di daerah Amerika Utara. Setiap provinsi di negara tersebut telah ditugaskan untuk melaksanakan pendidikan media dalam kurikulum. Peluncuran pendidikan melek dilakukan lantaran rentannya masyarakat Kanada terhadap budaya pop Amerika. Konsep melek media menjadi topik pendidikan yang pertama kali muncul di Kanada pada tahun 1978. Pada ketika itu berdirilah Association for Media Literacy (AML), sebagai forum yang mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pendidikan melek media di negara tersebut.
Kemudian Amerika Serikat, yang merupakan negara tetangga Kanada, juga karenanya menyadari pentingnya terdapat pendidikan melek media di negaranya. Apalagi dampak negatif yang timbul jawaban media (terutama televisi) sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Amerika sendiri. Frank Baker, salah satu konsultan pendidikan media di Amerika Serikat, melihat beberapa materi yang telah dikembangkan oleh Kanada, Inggris dan Australia sebagai poin awal yang sangat baik, terutama dalam hal kontribusi serta kurikulumnya. Hal tersebut sanggup dijadikan sebagai suatu pengalaman untuk menyebarkan pendidikan melek media di Amerika Serikat.

D.    PENDIDIKAN MELEK MEDIA DI INDONESIA
Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang sanggup memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi sanggup menciptakan orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anak-anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak sanggup menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orang tua.
Data pola menonton televisi pada belum dewasa memperlihatkan bahwa jumlah jam menonton belum dewasa melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam berguru anak sekolah dasar berdasarkan United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam berguru di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan sikap anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.
Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi belum dewasa sangat besar. Di samping jumlah jam berguru yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang bau tanah terhadap tontonan anak, menciptakan belum dewasa mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam berguru per tahun di sekolah dasar, pendidikan wacana media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi belum dewasa dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi menyerupai ini menuntut anak untuk mempunyai self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan ialah perjuangan sadar dan terjadwal untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran semoga akseptor didik secara aktif menyebarkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, susila mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup terperinci bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Contohnya menyerupai yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini gres bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum sanggup dirasakan oleh semua pihak secara luas.

E.     PENDIDIKAN MELEK MEDIA DNA KURIKULUM SEKOLAH DASAR
Adalah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang pada tahun 2002 memulai sebuah proyek percontohan ‘Pembelajaran Melek Media’. Model ini diujicobakan pada SDN Johar Baru 01 Pagi, Jakarta Pusat. Sebelum melaksanakan model pertama ini, YKAI melaksanakan training terhadap para guru yang nantinya akan mengajarkan materi ini. Pelatihan tersebut bertujuan untuk mempersiapkan guru, semoga sanggup maksimal dalam mengajarkan pendidikan melek media terhadap anak didik. Selain itu, semoga proses pendidikan melek media di sekolah sanggup berjalan seiring dengan pendidikan di rumah, diadakan seminar bagi orangtua murid wacana pendidikan melek media. Seminar tersebut bermaksud untuk memberikan pentingnya pendidikan melek media diajarkan di sekolah dan di rumah. Melalui hal tersebut diharapkan kerjasama dan kontribusi orangtua.
Titik berat materi Pembelajaran Melek Media ditekankan pada media televisi mengingat media ini paling banyak diakses oleh anak-anak. Pokok bahasan yang diajarkan adalah:
1. Mengapa melek media penting?
2. Jenis-jenis jadwal televisi
3. Fungsi dan efek iklan
4. Karakteristik televisi
5. Dampak menonton televisi
6. Menonton TV dan kegiatan lain
7. Memilih jadwal televisi yang baik
8. Televisi sebagai sumber belajar
Setelah siswa mendapat pembelajaran mengenai melek media dengan fokus pada televisi (bagaimana berinteraksi dengan televisi secara kritis), maka diharapkan para siswa:
a.               Dapat memahami dan mengapresiasi jadwal yang ditonton
b.               Menyeleksi jenis jadwal yang ditonton
c.               Tidak gampang terkena dampak negatif jadwal televisi
d.              Dapat mengambil manfaat dari jadwal yang ditonton.
e.               Pembatasan jumlah jam menonton
Sesudah proyek percontohan, tahun 2004 dan 2005 YKAI menyelenggarakan beberapa training guru wacana Pembelajaran Melek Media dengan kontribusi dari UNESCO untuk tingkat SD dan SMP, dengan akseptor dari Jabodetabek. Tahap berikutnya dilanjutkan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang pada tahun 2006 menyempurnakan modul training guru wacana Pembelajaran Melek Media dan mengujicobakannya dalam training guru pada bulan November 2006 dengan kontribusi dari UNICEF.
Masih dengan kontribusi dari UNICEF, selanjutnya YPMA pada tahun 2007 menyebarkan stimulan atau alat bantu pengajaran untuk memudahkan para guru dalam memberikan materi Pembelajaran Melek Media kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan tidak membosankan. Pengembangan itu juga meliputi pembuatan buku pegangan untuk guru dan siswa, serta pengembangan lembar kerja siswa.
Dengan supervisi selama training guru, kerangka berpikir ini sanggup dijadikan pedoman oleh guru dalam menyusun materi pelajaran semoga sanggup diterapkan dalam setiap kelas di sekolah dasar dengan kedalaman materi dan cara yang berbeda-beda, diubahsuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing.
Selain SDN Johar Baru 01 Pagi, ada satu sekolah lain yang telah menerapkan pendidikan melek media menjadi satu mata pelajaran tersendiri, yaitu SD Lentera Insan, Cimanggis, Depok. Sekolah ini. Pelajaran melek media di sekolah ini dilaksanakan dua ahad sekali, dalam satu jam pelajaran dengan durasi waktu 30 menit. Materi-materi yang disampaikan meliputi pengenalan akan banyak sekali media hingga bagaimana membangun daya kritis siswa dalam memakai media.
Model yang kedua dalam mengajarkan Pembelajaran Melek Media ialah dengan mengintegrasikan pendidikan melek media ke beberapa mata pelajaran. Untuk mewujudkan model ini, Len Masterman dalam tulisannya yang berjudul A Rationale for Media Education, (dealam Silalahi, 2007) memperlihatkan beberapa cara sederhana, yaitu:
·    Sejarah
Guru sanggup mengajarkan melek media dengan cara mengajak siswa untuk menilai secara kritis bukti-bukti sejarah yang ditampilkan melalui media. Bila berbicara dalam konteks televisi, maka sarana yang sanggup digunakan ialah film-film bertemakan sejarah. Contoh yang paling sederhana ialah membahas film G 30 S/PKI yang ditayangkan di televisi setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Siswa diajak untuk melihat atau menbandingkan bukti-bukti sejarah, kronologi peristiwa, dan hal-hal lain yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut.
·    Ilmu Pengetahuan Alam
Guru sanggup mengajak siswa untuk menilai gambaran, citra, fungsi dan status dari ilmu pengetahuan alam dan ilmuwan yang ditampilkan di media. Contohnya, ilmuwan sering digambarkan sebagai orang yang absurd lantaran terlalu pintar, kurang bersosialisasi lantaran terus-menerus berada di laboratorium, berkepala botak, dan berkacamata tebal. Guru sanggup meminta penilaian siswa apakah siswa oke dengan penggambaran tersebut atau tidak. Apakah berdasarkan siswa penggambaran tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Selain itu, guru juga sanggup memakai pesan-pesan iklan untuk dianalisis.
Guru sanggup mengintegrasikan program-program terkenal wacana Ilmu Pengetahuan Alam ke dalam kurikulum formal sekolah. Misalnya jadwal televisi Galileo, untuk membahas mata pelajaran fisika, matematika dan biologi. Siswa bisa juga dimotivasi untuk memperhatikan isu-isu terkait dengan mata pelajaran yang ditayangakan melalui gosip televisi menyerupai isu wabah Flu Burung. Dalam pelajaran Biologi, guru dan siswa sanggup berdiskusi mengenai apa itu flu burung, apa bahayanya bagi unggas-unggas dan apakah bisa menular ke manusia, apakah penanggulangan flu burung dengan membunuh unggas-unggas ada dianggap sudah tepat? Guru sanggup menanyakan pendapat siswa mengenai hal-hal tersebut. Aktivis ini diharapkan sanggup membangun daya kritis siswa terhadap informasi yang diperoleh dari media, terutama televisi.
·    Ilmu-ilmu sosial dan pendidikan politik
Guru sanggup mengajak siswa untuk membandingkan representasi media dengan infromasi-informasi yang didapat dari buku-buku pelajaran dan yang dipelajari di kelas. Misalnya, siswa diminta menjelaskan bagaimana televisi menggambarkan orang kulit hitam, orang Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya dalam masyarakat. Siswa dimintai pendapatnya mengenai norma-norma dan budaya masyarakat yang ditampilkan dalan sinetron-sinetron. Untuk topik yang lebih serius, misalnya, guru menanyakan pandangan siswa mengenai t3r0ris yang dikaitkan dengan islam, kiprah media dalam pemilihan umum, kampanye-kampanye politik di televisi dan masih banyak lagi.
·   Bahasa dan sastra
Guru sanggup mengajak siswa untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam media. Siswa diminta untuk beropini wacana penggunaan bahasa gaul dalam sinetron-sinetron dan teladan penggunaan bahasa tidak baku lainnya. Beberapa selebritis terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang diselingi Bahasa Inggris. Tanyakan kepada siswa, berdasarkan mereka mengapa selebritis-selebritis tersebut berbicara menyerupai itu. Selain itu, siswa juga bisa didorong untuk menganalisis tag-line dari iklan. Guru menanyakan apa tag-line favorit siswa dan mengapa siswa menentukan itu. Film-film atau sinteron yang diangkat dari cerita-cerita rakyat juga sanggup dijadikan materi analisis.
Dari uraian di atas, Len Masterman (Masterman dalam Kubey, 2001) mengidentifikasi tiga cara konkret untuk memasukkan muatan melek media antar kurikulum:
a.   Guru-guru diharapkan sanggup memakai materi-materi yang terkait dengan mata pelajaran yang ditampilkan di media untuk menyebabkan kegiatan belajar-mengajar lebih menarik, relevan dan up-to-date. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan wacana demokrasi. Demokrasi terkait dengan proses pemilihan umum. Guru sanggup mengambil teladan kampanye yang ditampilkan di televisi melalui iklan-iklan poitik. Siswa diajak untuk secara aktif menyadari bahwa apa yang mereka pelajari di kelas, juga ditampilkan di media. Tapi tidak hanya sebatas itu. Guru juga harus memberikan pemahaman kepada siswa bahwa apa pun yang ditampilkan di media terutama televisi, telah melewati sebuah proses produksi yang di dalamnya ada acara seleksi dan konstruksi realita. Ada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang termuat di dalamnya. Jika siswa telah memahami hal-hal tersebut, maka diharapkan mereka bisa memakai informasi-informasi yang tersebar di media secara lebih bijaksana dan kritis.
b.   Ketergantungan guru dan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar terhadap buku pegangan sangatlah besar. Padahal siswa akan lebih tertarik pada klarifikasi materi pelajaran memakai media lain selain buku pegangan. Penggunaan contoh-contoh mengenai suatu topik hendaknya tidak terpaku pada contoh-contoh yang ada di buku pegangan. Tapi sanggup diambil dari informasi media yang sering di jalan masuk oleh siswa, dalam hal ini televisi. Bila guru mau sedikit saja lebih aktif untuk memakai media-media lain selain buku pegangan, siswa akan semakin terdorong untuk mengeluarkan kemampuan mereka dalam memakai media. Dari situ sanggup terlihat kemampuan mereka mengambil, memilah dan memaknai informasi yag mereka dapatkan dari media. Guru diharapkan cepat tanggap terhadap hal ini, supaya bila ada murid yang kurang kritis memakai media, sanggup memperoleh pengarahan, semoga di lain waktu siswa tersebut sanggup memakai informasi dari media dengan lebih baik.
c.   Guru dari setiap mata pelajaran harus mempunyai kerangka berpikir kritis terhadap isi media yang akan digunakan di dalam kelas. Guru harus memberikan perhatian serius akan dampak dari representasi media terkenal terhadap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Guru juga harus sadar betul bahwa siswa biasanya tidak memakai media (televisi) menyerupai memakai buku pegangan. Siswa menonton televisi lebih sebagai sarana melepaskan ketegangan dan mendapat kesenangan. Risikonya ialah siswa tidak menyadari bahwa di balik tayangan-tayangan yang menarik dan menyenangkan itu ada begitu banyak miskonsepsi, prasangka, stereotip dan asumsi-asumsi mengenai hal-hal lain yang belum tentu benar. Dampak inilah yang harus diperhitungkan oleh guru. Ketika guru masuk kelas untuk mengajar, perlu disadari bahwa pikiran siswa bukanlah pikiran kosong yang tidak mengerti apa-apa. Di dalam pikiran siswa telah tertanam pengetahuan mengenai banyak hal yang tentunya siswa dapatkan dari televisi. Tugas gurulah untuk meluruskan hal-hal yang salah atau melenceng dari seharusnya.
Di Indonesia, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku ketika ini memberikan peluang untuk pendidikan melek media masuk ke dalam kurikulum, lantaran KTSP mempunyai sub-komponen yang mendukung, yaitu mata pelajaran dan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan melek media sanggup dijadikan satu mata pelajaran sendiri, lantaran struktur kurikulum tingkat sekolah sanggup dikembangkan dengan cara memanfaatkan jam embel-embel untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru. Pada komponen pendidikan kecakapan diri, pendidikan melek media tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, tetapi substansinya menjadi cuilan integral dalam beberapa mata pelajaran yang memungkinkan.
Selain itu, pelaksanaan pendidikan melek media sanggup diubahsuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Hal ini sejalan dengan karakteristik KTSP yang memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk menyebarkan satuan sendiri yang diubahsuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah sanggup bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah.
Idealnya pendidikan melek media menjadi satu subjek pelajaran tersendiri. Hal tersebut dilakukan semoga transfer pendidikan melek media sanggup lebih optimal dan guru sanggup lebih gampang memantau perkembangan siswa wacana pemahaman melek media. Untuk jangka pendek pendidikan melek media sanggup diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Pendidikan melek media sanggup diajarkan secara bertahap, sehingga dalam jangka panjang masyarakat semakin mengerti konsep melek media dan urgensinya.
Pendidikan melek media merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat mudah untuk dilakukan. Pendidikan melek media mempunyai nilai lebih, lantaran pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut menciptakan perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta sikap anak didik lebih terkontrol, lantaran anak didik dibekali dengan kemampuan untuk menentukan dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan melek media tidak hanya meliputi kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, menciptakan anak didik sanggup menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya.
Dari sisi urgensinya, Pembelajaran Melek Media mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan, mengingat perkembangan media yang begitu pesat tidak diikuti dengan kecakapan dalam mengkonsumsinya. Selain itu juga dikarenakan telah tersedianya sumber informasi mengenai melek media. Sumber informasi tersebut sanggup digunakan sebagai acuan untuk mengaplikasikan pendidikan melek media. Selain itu banyaknya LSM yang peduli terhadap melek media sanggup menunjang sosialisasi mengenai melek media, sehingga semakin banyak pihak yang tahu mengenai melek media dan urgensinya.
Harus diakui tidak semua sekolah siap untuk melaksanakan pendidikan melek media, di antaranya disebabkan oleh kurang tersedianya sarana untuk melaksanakan pendidikan melek media (televisi, internet, dvd/vcd player). Memang pendidikan melek media membutuhkan alat bantu, tetapi tidak harus memakai alat bantu yang mahal, sekolah sanggup memakai alat bantu yang murah, menyerupai gambar, poster, majalah, koran, dan alat bantu lainnya. Pembelajaran Melek Media sanggup terhambat apabila tidak ada sinergi antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Oleh lantaran itu kesepakatan orangtua dalam memberikan pengawasan terhadap anak didik ketika mengakses media sangat dibutuhkan.

F.     KESIMPULAN
Sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan wacana pendidikan mengenai media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan sanggup dijalaninya dengan baik. Siswa yang media literate juga akan bisa menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat.
Sekolah-sekolah swasta yang lebih mempunyai keleluasaan dalam memodifikasi proses pembelajaran, diharapkan segera berinisiatif dalam merespon perkembangan media yang sangat pesat dalam kaitan dengan jalan masuk belum dewasa terhadap media tersebut, setidaknya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.
Untuk kondisi di Indonesia, pengintegrasian Pembelajaran Melek Media lebih sempurna diterapkan pada siswa sekolah dasar (SD). Anak-anak SD berada pada kisaran usia yang sangat rawan terkena dampak negatif media, khususnya televisi. Jumlah jam menonton televisi dan penggunaan media lain pada belum dewasa SD di Indonesia sudah jauh melampaui batas yang kondusif dan wajar. Selain itu, di usia jenjang sekolah dasar, belum dewasa mempunyai kecenderungan sebagai imitator tayangan televisi, padahal banyak tayangan televisi yang tidak kondusif untuk ditonton anak-anak. Oleh lantaran itu pendidikan melek media perlu diterapkan pada jenjang sekolah dasar selagi pola pikir dan sikap anak didik masih gampang dibentuk.

Selain itu, masyarakat pun hendaknya mulai membangun self sensor awareness, terhadap tayangan televisi dan media lainnya. Orangtua harus mulai menciptakan peraturan mengenai kapan dan berapa usang belum dewasa boleh mengakses media dan materi apa yang boleh diakses. Sebisa mungkin, orangtua juga diharapkan untuk mendampingi anak-anaknya ketika menonton televisi dan memberikan klarifikasi mengenai isi jadwal yang ditonton. 

Sumber http://makalahahli.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Dampak Aktual Dan Negatif Media Terhadap Pendidikan"

Posting Komentar