Krisis Legitimasi

 Beginilah jadinya jikalau nonton TV kelewat tengah malam Krisis Legitimasi
krisis legitimasi

Menjelang siang malah mulai mengantuk. Beginilah jadinya jikalau nonton TV kelewat tengah malam. Semalam aku menghabiskan banyak waktu untuk mendengarkan ulasan beberapa analis politik Timur Tengah terkait krisis politik Mesir melalui channel Al Jazeera dan Rusia Today. Sejak Mursi digulingkan pada 3 Juli 2013, gres semalam aku mengikuti secara secama isu seputar krisis Mesir. Gejolak politik yang berlangsung sejak rezim Mubarak lengser hingga Mursi tak kunjung usai. Sebenarnya kondisi politik internasional macam ini telah menciptakan aku sebagai penonton merasa jenuh. Namun beberapa media belakangan ini seolah memaksa aku untuk kembali memperhatikan pemberitaan serius soal Mesir.


Krisis politik Mesir pasca Mursi berawal dari respon El Sisi, menteri pertahanan Mesir sebagai representasi kubu militer. “Maaf Pak, Anda bukan lagi Presiden” begitu kata El Sisi ketika menolak arahan Mursi. Kudeta berhasil, Mursi ditahan. Pasca digulingkannya Mursi, kondisi politik Mesir justru menuai krisis yang makin parah. Korban jiwa berjatuhan lebih banyak ketimbang sebelumnya. Tak heran jikalau El Baradei, Wapres Mesir pasca Mursi, mengundurkan diri sesaat sesudah kerusuhan pecah di 14 provinsi yang menjadikan gugurnya ratusan demonstran. Chaos yang terjadi di Mesir tentu diperhatikan oleh masyarakat internasional. Amerika, negara yang selalu ‘nongol’ disetiap kasus besar dunia dianggap mempunyai standard ganda. Bagimana tidak, Mursi yang menerima legitimasi kekuasaan melalui proses pemilu yang demokratik sempat didukung Obama. Namun pasca kudeta, tidak terang sikapnya.


Dalam laporan Rusia Today semalam, proses jatuhnya Mursi dijelaskan dengan istilah ‘coup’ atau kudeta. Jika benar demikian, maka telah terjadi perlawanan terhadap demokrasi di Mesir. Sejauh ini dalam teori-teori demokrasi, hampir tidak mungkin ditemukan hipotesis perihal denah pencapaian kedaulatan rakyat melalui kudeta. Kudeta dalam teori demokrasi merupakan suatu bentuk anti-demokrasi. Secara teoritik, legitimasi politik dalam sistem demokrasi sanggup diperoleh hanya melalui dua hal, yakni musyawarah mufakat atau voting, bukan kudeta! Namun, apa yang terjadi di Mesir terang telah menggugurkan hipotesis ini. Sebagai orang awam yang hanya mengetahui kondisi politik Mesir melalui TV, aku hanya sanggup berhati-hati bersikap. Kini, citra seputar politik Mesir begitu blur, tak terang mana fakta mana fiksi. Pada akhirnya, aku pun dipaksa untuk bertanya, “adakah sistem politik yang lebih baik daripada demokrasi?”



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Krisis Legitimasi"

Posting Komentar