“Great Thinkers”: Anutan Seorang Tokoh Marjinal
Disela-sela kegiatan yang sok padat, aku berusaha mencuri waktu sejenak menghadiri kuliah umum ihwal Tan Malaka. Kebetulan pembicaranya, ibarat yang tertulis di poster: Dr. Eric. Saya pun pribadi meluncur ke lantai lima Gedung Lengkung, daerah diselenggarakannya kuliah umum. Ketika menunggu, tiba-tiba tiba isu bahwa Dr. Eric batal hadir. Meskipun diganti oleh seorang pembicara yang juga punya begitu banyak pengetahuan ihwal Tan Malaka, tetap saja khawatir kuliah bakal tidak sesuai ekspektasi.
Untungnya, salah satu pembicara lain, sejarawan Hilman Fariz, tetap hadir. Nama Hilman Fariz sering eksis di media massa sehingga tidak mengecewakan bersahabat ditelinga saya. Pemikiran Tan Malaka ia sampaikan secara kronologis-kontekstual, dipandu paper sederhana yang dibagikan pada para peserta. Semua bahan kuliah itu penting terutama bagi orang yang tidak pernah selesai membaca buku Tan Malaka ibarat saya. ”Tan Malaka ialah seorang Marxis”, katanya di awal kuliah. Selain itu, “Tan Malaka juga pernah menjadi pimpinan PKI dan perwakilan Komitern untuk Asia. Tapi banyak orang yang lupa atau sengaja melupakan, bahwa Tan Malaka juga pernah membela minoritas Islam ketika Kongres Partai Komunis di China”.
Baca juga Partai Politik: Pengertian, Sejarah dan Tujuannya
Sejauh ini terdapat bermacam-macam citra ‘profile’ Tan (Malaka). Bahkan di kalangan sejarawan sendiri banyak perdebatan. Peran marjinal Tan dalam sejarah usaha kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai ulah penguasa pada jamannya. Saya sendiri menganggap ini memang soal politik, dari kacamata sejarah sanggup lain ceritanya. Tanpa bermaksud menghindari sisi paling kontroversial dari sosok Tan, Hilman Fariz membatasi penyampaiannya hanya pada rentang sejarah antara 1921-1926. Kita mengetahui periode tersebut dalam sejarah Indonesia modern dikenal sebagai periode pergulatan ideologi kebangsaan. Periode dimana pemikiran-pemikiran kebangsaan disampaikan secara bebas, diperdebatkan demi menyusun fondasi ideologi Bangsa Indonesia. Perlu dipahami pula bahwa periode tersebut berjarak 20-an tahun sebelum kemerdekaan. Artinya, perdebatan itu berisi ide-ide yang berpadu dengan imajinasi masa depan.
Hilman Fariz meneruskan pembicaraannya dengan akreditasi tugas marjinal Tan dalam catatan sejarah Indonesia. “Tan Malaka bahkan mungkin tidak dikenal di Indonesia. Tapi ia dikenal oleh dunia internasional”, katanya. Dalam menceritakan pengalamannya di Filipinna, seorang warga lokal menceritakan sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang p0juang bangsa Filipina berjulukan Rizal. Dalam ceritanya, disampaikan bahwa Rizal, tokoh p0juang Filipina, menerima ilham aliran dari tokoh besar berjulukan Tan Malaka. Di Cina, Tan pernah diundang mengikuti kongres Partai Komunis Cina. Diceritakan pula bahwa ketika orasinya diinterupsi oleh panitia alasannya ialah waktunya habis, Tan merespon “saya butuh 42 hari untuk tiba kesini!”. Orasipun terus berlanjut, disambut riuh tepuk-tangan penerima berkali-kali. Tan juga sering mengunjungi Uni Soviet untuk memberikan orasi-orasinya. Sedemikian dikenalnya Tan Malaka di Asia, sehingga tak heran ada yang bilang jikalau Tan Malaka lebih dikenal di Asia ketimbang di Indonesia.
Baca juga: Tokoh Sosiologi Indonesia: Daftar Lengkap
Salah satu poin menarik dalam kuliah itu ialah imajinasi Tan Malaka ihwal kebangsaan. Tan Malaka bahkan pada tahun 1920-an telah mengimajinasikan Bangsa Indonesia tak sebatas teritorial geografi yang sempit. Tan berpikir ihwal Indonesia namun sebagai bab dari apa yang disebut sebagai Aslia. Aslia diambil dari adonan kata ‘Asia’ dan ‘Australia’. Asia yang dimaksud mencakup Birma, Thailand, Annam, Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara dan Filipina. sedangkan Australia merupakan Australia bab utara, kira-kira sepertiga dari luas benua Australia secara keseluruhan. Seluruh wilayah Aslia mempunyai iklim yang sama, efek angin muson yang sama, serta penduduknya bekerjasama terus selama berabad-abad. Pada hakekatnya, kesamaan fisik tersebut memunculkan hasrat untuk bersosial, berpolitik, berekonomi, dan berjiwa sama, tidak berbeda antara satu dengan lainnya. Itulah imajinasi Tan Malaka ihwal Bangsa Indonesia.
Harry Poeze, seorang sejarawan yang dikatakan menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mempelajari Tan, mengatakan, Tan Malaka mempunyai aliran yang melampaui jamannya. Nasionalisme yang diusung bukanlah nasionalisme sempit sebatas teritori geografis semata. Meskipun dipengaruhi oleh Marxisme, pemikirannya dikatakan orisinil, bukan orthodox macam Lenin dan Stalin. Namun dikisahkah, hidup Tan berakhir tragis alasannya ialah ditembak oleh tentara Indonesia sendiri di Ngawi, Jawa Timur pada waktu itu. Mungkin dalam catatan sejarah yang sejauh ini kita kenal, Tan memainkan tugas tokoh marjinal dalam usaha kemerdekaan. Saya tidak begitu mengenal Tan Malaka, tetapi kurang-lebih begitulah Tan yang aku pahami di kuliah umum bertajuk ‘Great Thinkers’ ini.
Baca juga: Tokoh-Tokoh Sosiologi
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "“Great Thinkers”: Anutan Seorang Tokoh Marjinal"
Posting Komentar