Teori Konflik
Teori konflik mempunyai perkiraan dasar bahwa perbedaan kepentingan antar kelas sosial membuat hubungan sosial yang bersifat konfliktual. Akar dari terciptanya konflik dalam masyarakat ialah ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang membuat kesenjangan kelas sosial. Kekuasaan mencakup terusan terhadap sumber daya. Level kekuasaan individu atau kelompok berbeda-beda. Perbedaan inilah yang disebut kesenjangan. Semakin besar kesenjangan, semakin besar potensi timbulnya konflik sosial. Kesenjangan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan kelas, namun sanggup juga ras, gender, kultur, selera, agama, dan lainnya.
Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik kelas antara borjuis dan proletar. Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor produksi mempunyai kontrol atas sumber daya. Proletar ialah kelompok kelas pekerja yang tidak mempunyai kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial menjadi dua kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa Barat. Karl Marx membuat teori yang menggambarkan eksistensi kelompok minoritas namun mempunyai kekuasaan atas sumber daya dan kelompok mayoritas yang tertindas sebab tak mempunyai kuasa atas sumber daya. Masing-masing kelas mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Kaum borjuis ingin mempertahankan kekuasaannya dan mengakumulasi kekayaannya, sedangkan kaum proletar ingin kekuasaan dan kekayaan didistribusikan secara merata.
Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis dipertahankan oleh kaum borjuis melalui penciptaan janji atau konsesus. Konsesus yang dimaksud berupa nilai-nilai, cita-cita dan kondisi yang ditentukan oleh kaum borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja harus bekerja keras dan loyal pada bosnya semoga sanggup sukses. Loyalitas dan kerja keras merupakan nilai yang disepakati atau konsesus. Produksi janji semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau pada tataran ideologis, berdasarkan Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial ekonomi yang tercipta atas dasar konsesus tersebut merugikan bagi kelas proletar. Akibatnya, akan muncul kesadaran kelas dikalangan kaum proletar bahwa mereka terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang kapitalistik. Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.
Basis teori konflik yang dicetus Marx mengalami evolusi seiring perkembangan zaman. Beberapa intelektual melihat teori konflik Karl Marx tidak hanya sanggup beroperasi pada strukur ekonomi semata namun juga kultural. Antonio Gramsci melihat terjadinya hegemoni kultural yang dilakukan oleh minoritas berkuasa. Intelektual dari The Frankfurt School menyerupai Max Horkheimer dan Theodor Adorno melihat bagaimana budaya massa berkontibusi pada terciptanya dan bertahannya hegemoni kultural. Budaya massa, menurutnya, diproduksi oleh kaum kapitalis untuk meredam kesadaran kelas mayoritas sehingga tidak terjadi perlawanan. Melalui kultur, masyarakat didesain menjadi masyarakat konsumsi yang secara irit menguntungkan kaum kapitalis.
Teori konflik banyak menginspirasi munculnya gerakan sosial akar rumput yang melaksanakan perlawanan di banyak sekali aspek, salah satunya ialah feminisme. Gerakan feminisme terispirasi oleh teori konflik untuk melihat bahwa hubungan gender dan secual bersama-sama merupakan hubungan eksploitatif. Kemunculan awal feminisme, misalnya, melihat pria sebagai kelas lebih banyak didominasi yang mengekspoitasi wanita melalui kekuatan ideologis dan nilai-nilai bahwa domestik ialah wilayah wanita dan publik ialah wilayah laki-laki. Feminisme awal menganggap domestifikasi sebagai kekangan atas kebebasan yang menjadi hak setiap individu. Selain feminisme, gerakan lain yang terinsirasi dari teori konflik diantaranya teori postkolonialisme, teori sistem dunia, teori poststrukturalisme, dan lain sebagainya.
Baca juga Teori Sosiologi: Daftar Lengkap
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
0 Response to "Teori Konflik"
Posting Komentar