Di Bawah Naungan Feminisme: Review Film Kartini

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terperinci cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan insan serupa alam.” (R.A. Kartini)


Malam peringatan hari Kartini tahun ini menjadi momentum yang pas buatku untuk melihat kembali kisah perihal usaha pendekar emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini. Aku memutar ulang film yang sudah ku d0wnl0ad beberapa hari lalu, yaitu film Kartini besutan sutradara kondang Hanung Bramantyo yang rilis pada 2017.







Mereview film Kartini menjadi momentum komplemen dalam rangka merefleksikan usaha emansipatoris Kartini. Sejak SD memang hari Kartini sudah rutin saya peringati, salah satunya dengan terpaksa ikut pawai di sekolah. Cerita perihal usaha kaum wanita untuk keluar dari penindasan patriarkal menjadi salah satu pesan yang disampaikan di setiap peringatannya.


Kartini yaitu anak bangsa yang kontribusinya masih diperjuangkan hingga kini. Rilisnya film Kartini menambah daftar koleksi film historiografi tokoh bangsa yang berpengaruh.


Apa spesialnya film Kartini?


Jawabanku atas pertanyaan ini akan bersifat subjektif, menurut renungan atas apa yang sudah saya tonton. Hanung Bramantyo sebagai sutradara telah berhasil menyatukan potongan kisah Kartini menjadi sebuah dongeng yang utuh, setidaknya dalam durasi sesingkat layar lebar.


Sebelumnya saya mengira sutradara kondang yang satu ini hanya lihai dalam pengadaan ’infrastruktur’, termasuk kostum dan make up, menyerupai dalam film Sukarno, misalnya, Tapi ternyata dalam film Kartini, ia berhasil memadukan kualitas terbaik dari sinematografi, plot, alur cerita, dan ’infrastruktur’.







Potret masyarakat Jawa khususnya Jepara kurun 19 berhasil diciptakan dan menciptakan penonton sepertiku merasa puas. Kualitas plot dan alur dongeng tentunya bukan ditentukan oleh tangan terampil sutradara saja. Para pemain juga memegang peranan penting. Film Kartini melibatkan para pemain drama dan aktris yang sudah mempunyai nama besar, seperti: Dian Sastrowardoyo, Acha Septriasa, Ayushita, Christine Hakim, Reza Rahardian, Deddy Sutomo, Djenar Maesa Ayu, Adinia Wirasti, dan sebagainya. Menurut saya faktor ini juga penentu kesuksesan film Kartini.


Kartini sebagai simbol perlawanan


Mungkin saya tidak perlu menceritakan sinopsis film secara panjang lebar. Biografi Kartini sudah banyak ditulis. Perjalanan hidup dari masa kanak-kanak, menerima gelar Raden Ajeng, membaca dan menulis buku, menikah dengan bupati Rembang, hingga mendirikan sekolah untuk wanita yaitu garis besar yang sering diceritakan, termasuk dalam film ini.


Review film ini akan lebih banyak membahas perihal sosok Kartini sebagai sebuah simbol perlawanan. Perlawanan terhadap penindasan hak-hak kaum wanita yang terjadi di Jawa atau Jepara secara spesifik.







Pemikiran bahwa dirinya sedang ditindas mulai memuncak semenjak Kartini memasuki masa kedewasaan yang ditandai dengan menstruasi. Di film tersebut dikisahkan bahwa ketika seorang wanita darah biru memasuki masa dewasa, maka ia mulai dipingit untuk gelar bangsawan. Dipingit artinya dikurung di dalam rumah hingga tiba lelaki darah biru yang meminangnya.


Kartini gundah melihat situasi yang dialaminya. Kebebasan menjadi barang paling berharga yang dirindukannya. Ketika abang kandungnya yang sekolah di Belanda Raden Mas Sosro Kartono tiba menemuinya, Kartini memberikan apa yang dirasakannya. Kakaknya memahami perasaannya, kemudian menawarkan kunci kepada Kartini. ”Ini kunci yang akan menghubungkan kowe dengan dunia luar”, ujarnya.


Tiada awan di langit yang tetap selamanya Di Bawah Naungan Feminisme: Review Film Kartini


Kunci itu yaitu kunci lemari buku yang berada di kamar kakaknya. Seperti menemukan harta karun, kedekatan Kartini dengan buku-buku menjadi intim. Salah satu buku bacaan Kartini yang dimunculkan di film yaitu novel perihal usaha kebebasan kaum wanita yang ditulis oleh novelis feminis Belanda Estelle ’Stella’ Zeehandelaar.


Budaya Jawa kurun 19, sebagaimana yang diceritakan dalam film tersebut, yaitu budaya patriarkal. Dari kelas darah biru hingga rakyat jelata, kaum lelaki di kelas yang sama mempunyai nilai yang lebih tinggi ketimbang perempuan. Perempuan yaitu ‘konco wingking’ yang sering kali disebutkan tempatnya hanya di dapur, sumur, dan kasur. Ruang publik menyerupai sekolah bukanlah daerah kaum perempuan. Akibatnya, wanita tidak sanggup menikmati pendidikan yang tinggi.


”Perempuan bumiputera merdeka dan bangun sendiri.” (R.A. Kartini)


Kartini yaitu seorang rebel yang bahagia membaca dan menulis. Ketika kedua adik perempuannya, Kardinah dan Roekmini berada di rumahnya, Kartini membawa mereka masuk ke kamarnya secara belakang layar dan memperlihatkan buku-buku bacaannya. Kartini yang berkuasa di kamarnya sendiri melepaskan semua peraturan yang mengekang adik-adiknya ketika di luar, termasuk menunduk, jalan jongkok dan bicara pelan. Kedua adiknya diajari untuk tertawa ngakak sebebas-bebasnya.


Garis usaha kaum feminis


Kartini dalam film ini tampil sebagai sosok yang tegas dan maskulin. Mengajar, memanjat pagar, dan main ke luar keraton dilakukan meski terancam eksekusi kalau ketahuan. Perilaku Kartini secara langsung sendiri bergotong-royong memperlihatkan sebuah perlawanan terhadap budaya Jawa yang sudah mapan pada waktu itu.







Nilai emansipatoris yang diperjuangkan oleh Kartini yaitu nilai perihal keadilan dan pembebasan kaum wanita atas penindasan yang dialaminya. Perempuan Jawa kurun 19 sanggup dilihat sebagai kaum yang terbelenggu oleh kultur patriarkal. Belengu tersebut sanggup dilihat dari aksara tokoh dan adegan yang diperankan oleh beberapa tokoh, salah satunya abang tiri pria Kartini yang memohon pada ayahnya untuk mengontrol sikap Kartini biar nggak menyalahi kodrat.


“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” (R.A. Kartini)


Atas nama kodrat, abang tiri dan ibu tirinya melarang keras keinginan Kartini untuk mengajukan beasiswa studi di Belanda, meskipun ayahnya sudah mengijinkannya. Sebagai anak dari keluarga ningrat, Kartini melihat adanya kultur diskriminatif terhadap wanita dalam sistem keningratan Jawa. Tidak ada santunan untuk mengejar pendidikan tinggi hanya alasannya dirinya seorang perempuan. Perjuangan Kartini yaitu usaha memerdekakan kaum wanita dari penindasan dan kebodohan.


Perjuangan yang menyerupai terjadi di belahan bumi lain dalam periode sejarah yang sama. Di Eropa Barat pada kurun 19, kaum wanita kelas menengah yang belakangan menerima label ’feminis’ berupaya untuk menggulingkan sistem patriarki yang mapan. Laki-laki dihadapkan dengan kaum wanita yang melihat pembagian tugas gender yang timpang baik di wilayah publik maupun privat. Ruang domestik yang membatasi gerak wanita dianggap oleh kaum feminis sebagai belenggu.


Tiada awan di langit yang tetap selamanya Di Bawah Naungan Feminisme: Review Film Kartini


Puncak gerakan awal feminisme pada kurun 19 ditandai dengan perang terbuka melawan sistem patriarki. Kesamaan antara usaha Kartini dengan kaum feminis di Eropa barat pada ketika itu barang kali yaitu perlawanan terhadap sistem patriarkal yang menindas kaum wanita di wilayahnya. Sulit membayangkan munculnya impian emansipatoris Kartini tanpa memahami adanya garis yang menghubungkannya dengan gerakan feminisme di Eropa Barat. Garis penghubung tersebut sanggup jadi yaitu buku-buku.


Identitas film


Judul: Kartini

Sutradara: Hanung Bramantyo

Produser Seni: Allan Triyana Sebastian

Pemeran Kartini: Dian Sastrowardoyo

Rilis perdana: 17 April 2017



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Di Bawah Naungan Feminisme: Review Film Kartini"

Posting Komentar