Biografi Dan Keteladanan Gus Dur


“Gus Dur tokoh penting dalam transisi demokrasi di Indonesia. Dia akan selalu dikenang atas komitmennya terhadap prinsip demokrasi, politik inklusif, dan toleransi beragama” (Barack Obama, Presiden AS)

Siapa yang tidak mengenal sosok seorang Gus Dur?. Beliau ialah seorang yang egaliter, yang tak pernah menimbulkan perbedaan pandangan sebagai penyulut api permusuhan. Pemikiran dan tindakan Gus Dur di sepanjang hidupnya memperjelas bahwa sosok ia seorang pluralis tulen. Seorang yang sadar sepenuhnya bahwa ia hidup dalam sebuah negara yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, baik dalam agama maupun politik, Gus Dur ialah seorang yang inklusif dan tidak eksklusif. Beliau terbuka bagi siapa saja tanpa merasa perlu tahu asal ajakan dan latar belakangnya. Gus Dur sangat percaya, jikalau kita melaksanakan perbuatan baik, orang lain tidak akan pernah menanya apa agama kita. Sikap Gus Dur yang egaliter, pluralis, dan inklusif inilah yang menimbulkan ia hingga sekarang menjadi mercusuar dunia, yang selalu dikenang. Keteladan ia bukan hanya berarti untuk Indonesia, melainkan seluruh di cuilan dunia, ibarat komentar Barack Obama di atas. Berikut biografi dan keteladan sosok seorang Gus Dur.

Biografi Gus Dur
Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang 7 September 1940 dari pasangangan KH. Wahid Hasyim dan Hj. Solechah. Anak pertama dari enam bersaudara ini, memiliki nama kecil Abdurrahman Addakhil. Nama Addakhil diambil dari nama seorang p0juang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil menaklukkan Spanyol dalam rangka membuatkan Islam. Akan tetapi, nama ini tidak cukup dikenal, sehingga ia menggantinya dengan “Wahid”, mengambil nama dari sang Ayah. Dan pada perkembangannya kemudian justru ia lebih dikenal dengan nama panggilan Gus Dur. Gus ialah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kyai yang berarti “abang” atau “mas”.

Pada tahun 1944, Gus Dur pindah ke Jakarta mengikuti sang ayah yang terpilih menjadi ketua pertama Masyumi, sebuah organisasi yang dibuat atas tunjangan tentara Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan menetap di sana selama perang kemerdekaan melawan tentara Belanda. Akan tetapi, pada tahun 1949 Gus Dur kembali ke Jakarta alasannya ialah sang ayah ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dan di Jakarta inilah Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di SD KRIS, dan kemudian pindah ke SD Matraman Perwari.

Di Usianya yang masih 13 tahun (1953), sang ayah meninggal dunia akhir kecelakaan kendaraan beroda empat di Bandung. Hal ini menciptakan Gus Dur merasa sangat kehilangan dan insiden tersebut sangat membekas pada beliau, sampai-sampai pada tahun 1954 ia masuk Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas. Akhirnya sang ibu, mengirim ia ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1957, Gus Dur lulus dari SMEP Yogyakarta, dan kemudian pindah ke Magelang untuk memulai pendidikan Islam di Pondok Pesantren Tegalrejo. Di Ponpes ini, ia menuntaskan pendidikannya dalam waktu hanya dua tahun dari yang semestinya empat tahun.

Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambak Beras di Jombang, dan kemudian nyantri lagi di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Di Tambak Beras, selain melanjutkkan pendidikannya ia juga sempat mendapatkan pekerjaan utamanya sebagai guru dan kemudian diangkat menjadi kepala madrasah. Tahun 1963, Gus Dur mendapatkan beasiswa dari Kementerian Agama RI Untuk berguru di Universitas Al-Azhar Mesir pada Departemen of Higher Islamic and Arabic Studies. Pada bulan November 1963 ia berangkat ke Mesir, akan tetapi sebelum keberangkatannya, sang paman melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah. Perkawinan ia dilaksankan ketika Gus Dur sudah berada di Mesir, dan dari pernikannya ini, ia dikaruniai empat putri, yaitu: Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zanuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

Di Mesir, Gus Dur rupanya lebih menentukan sebagai penikmat hidup ketimbang sebagai pelajar yang keras, alasannya ialah ketika ia mulai berguru dalam studi Islam dan bahasa Arab di tahun 1965, Gus Dur justru kecewa, pasalnya bahan yang diberikan sudah banyak ia pelajari dan ia juga menolak metode berguru yang dipakai universitas. Metode berguru yang ibarat itu menciptakan Gus Dur merasa tidak nyaman, dan studinya di Al-Azhar pun gagal dan pada tahun 1966 ia diberitahu pihak universitas untuk mengulang pelajarannya. Pada ketika yang bersamaan, ia mendapatkan beasiswa dari Universitas Baghdad. Gus Dur pun karenanya pindah ke Irak dan masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Arab di Universitas Baghdad.

Tahun 1970, Gus Dur menuntaskan pendidikannya di Universitas Baghdad. Tidak berhenti di situ, Gus Dur pun melanjutkan pendidikannya Universitas Leiden, Belanda. Akan tetapi ia menelan kekecewaan, alasannya ialah pendidikannya di Universitas Baghdad tidak diakui oleh Universitas Leiden. Dari Belanda, Gus Dur kemudian pergi ke Jerman dan Perancis, sebelum karenanya kembali ke Indonesia pada tahun 1971.

Sepulang dari pengembaraan ia mencari ilmu tersebut, Gus Dur kembali ke Jombang dan menentukan menjadi guru pada Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur menjadi penulis. Menulis merupakan sisi lain dari talenta Gus Dur, ia pernah menjadi penulis di majalah Tempo dan Kompas. Artikel pun banyak diterima dengan baik oleh banyak kalangan.

Pada tahun 1979, Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren di Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980, Gus Dur diperaya menjadi sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU. Kiprah ia di PBNU semakin menanjak, hingga karenanya terpilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo, pada tahun 1984. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada Muktamar NU ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989, serta Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat pada tahun 1994. Jabatan Ketua Umum PBNU gres ia tinggalkan sesudah Gus Dur menjadi Presiden.

Keteladanan Gus Dur
Wafatnya Gus Dur, memperlihatkan implikasi tersendiri pada isu-isu nasional, di antaranya pluralisme. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato upacara pemakaman Gus Dur, ia menyebut Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” yang patut diteladani seluruh bangsa. Kegigihan dan konsistensi Gus Dur dalam mengimplementasian nilai-nilai pluralisme, membela kaum minoritas dan orang-orang tertindas itulah yang menimbulkan ketokohan Gus Dur diterima tidak hanya di kalangan umat Islam dan rakyat Indonesia, tetapi juga masyarakat dan tokoh non-muslim di banyak sekali penjuru dunia.

Gus Dur merupakan satu dari sedikit ulama dan tokoh nasional yang konsisten memperjuangakan demokarsi dan toleransi beragama. Konsistensi Gus Dur telah membuahkan banyak penghormatan dan penghargaan dari dalam dan luar negeri. Seperti penghargaan dari First Freedom Center pada tahun 2010, Gus Dur dianugerahi “First Freedom Award 2010” atas konsitensinya memperjuangkan demokrasi dan toleransi beragama. Sebagai pola Gus Dur telah menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan Intruksi Presiden (Inpres) No. 6/200 yang dikeluarkannya tanggal 17 Januari 2000. Inpres ini mencabut Inpres 14 tahun 1967 wacana agama, kepercayaan, dan watak istiadat China yang selama bertahun-tahun menciptakan orang Tionghoa takut bersembahyang di kelenteng atau mempertonyonkan seni budayanya.

Selain itu, Gus Dur merupakan seorang besar dengan kesadaran kemanusian yan mumpuni, yang tidak pernah menolak merajut tali silaturrahmi, bahkan dengan Israel sekalipun. Meskipun ia harus mendapatkan hujan caci maki dan cercaan dari komunitas Islam Fundamnetal. Tetapi Gus Dur tidak reaksioner dengan semua hujatan yang dialamatkan kepada beliau, bahkan beliaupun tidak berusaha membalas ketika sejumlah orang mengatangatainya dengan kata-kata yang tidak pantas. Sebagai seorang ulama, Gus Dur tentunya paham betul apa artinya menjadi bijaksana, dan sikapnya itu benas. Menurut beliau, fundamentalisme dihentikan dilawan dengan kekerasan, tetapi harus diberi pencerahan. Selain itu, perbedaan dan kontradiksi harus diselesaikan dengan semangat saling pengertian, saling menerima, dan saling memaafkan. Tanpa adanya semangat saling mengasihi, saling membantu, dan saling memperhatikan, maka yang ada hanyalah persaingan-persaingan untuk saling menjatuhkan.

Referensi
Asyakir, Ibnu. 2010. Hadiah Pahlawan Untuk Gus Dur dan Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Zeedny.
Musa, Ali Masykur. 2010. Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.

Sumber http://blogeulum.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Biografi Dan Keteladanan Gus Dur"

Posting Komentar