Sejarah Kota Medan (76): Mushaf Al Quran Tertua Dilaporkan Di Medan; Semenjak Kapan Pendidikan Agama Islam Dimulai Di Deli?


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Belum usang ini diberitakan bahwa di Medan telah dipamerkan mushaf Al Alquran kuno yang bertarih 1070 H atau tahun 1659. Mushaf Al Alquran ini diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia. Bahkan disebutkan lebih bau tanah 113 tahun dari mushaf Al Alquran yang ditemukan di Ternate.

Medan, 1929
Selama ini Bayt Alquran dan Museum Istiqlal memposisikan wilayah Sumatra Utara tidak pernah mempunyai mushaf Al Alquran kuno. Di Indonesia bahkan hanya lima wilayah yang tidak mempunyai mushaf kuno. Selain Sumatra Utara yakni Bengkulu, Gorontalo, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara.

Klaim mushaf Al Alquran tertua di Medan sungguh menyenangkan mendengarnya. Namun originalitas mushaf atau otentias angka tahun pembuatan mushaf tersebut ada yang mempertanyakannya. Lantas menyerupai apa bukti bantu-membantu dari mushaf tersebut? Apakah benar-benar ditulis pada tahun 1659? Kita tunggu saja biar para hebat yang membuktikannya. Lalu bagaimana awal mula wacana pengajaran pendidikan agama Islam di Medan. Mari kita telusuri.  

Komunitas Islam Tertua di Indonesia

Baros, suatu kawasan di wilayah Sumatra Utara sejatinya terbilang sebagai kawasan komunitas pertama Islam di Nusantara. Dalam perkembangannya, pertumbuhan dan pengembangan (pendidikan) agama Islam terdapat di wilayah Atjeh. Dari sinilah diduga agama Islam menyebar ke sejumlah kawasan di Nusantara.

Namun soal pembuatan mushaf, Aceh sejauh ini tidak menyimpan mushaf kuno. Mushaf paling bau tanah di Aceh yang diketahui berumur tahun 1800an. Mushaf tertua justru masih ditemukan di luar Aceh, menyerupai di Ternate. Semua mushaf yang dimaksud yakni mushaf yang ditulis di atas kertas buatan

Satu mushaf yang terbilang kuno masih ditemukan di Alor. Mushaf Alor ini diriwayatkan dibawa ke Alor dari Ternate sekitar tahun 1518. Secara fisik mushaf Alor ini terbuat dari kulit kayu ditulis dengan tinta berwarna hitam dan merah.

Ada yang menduga bahwa mushaf Alor ini berasal dari Timur Tengah yang ditulis pada zaman Nabi Muhamad SAW. Ada juga yang menyebut mushaf kuno Alor ini menyerupai dengan Al Alquran yang tersimpan di Mesir. Secar fisik materi mushaf Alor in terbuat dari materi papirus yang mana bentuk kaligrafi dan warna tinta juga sama dengan yang dipakai di Mesir. Papirus ditemukan di rawa-rawa sungai Nil di Mesir.

Soal materi dasar untuk menulis dan tinta apa yang digunakan, praktek kuno ini pernah dilaporkan oleh Willem Marsden (1775). Marsden mencatat bahwa penduduk Batak mempunyai sastra dan huruf sendiri.

Yang tidak diduga oleh Marsden yakni lebih dari separuh penduduk Tanah Batak (tahun 1700-an) bisa membaca dan menulis dengan huruf Batak yang melampaui kemampuan baca tulis latin semua bangsa-bangsa di Eropa. Untuk keperluan menulis ini berdasarkan Marsden penduduk Batak memakai kulit pohon khusus dan menuliskannya di pecahan yang halus. Tinta yang dipakai yakni jelaga dengan materi dasar damar yang dicampur dengan air tebu.

Damar bukan saja komoditi ekspor dunia dari Tanah Batak, damar sendiri pada zaman kuno sumbernya hanya ditemukan di Tanah Batak. Getah damar yang disebut resin antara lain dipakai untuk penerangan. Komoditi kuno dari Tanah Batak tidak hanya damar, tetapi juga kamper dan kemenyan. Kamper atau disebut kapur Baros dipakai untuk pengawet (balsem) dan materi obat, sedangkan kemenyan juga untuk materi obat keperluan ritual.

Tiga komoditi kuno inilah yang kemudian membentuk pelabuhan Barus di Tanah Batak sebagai pelabuhan penting semenjak jaman Mesir kuno. Kamper yakni materi dasar pembalseman di kuburan raja-raja Mesir kuno. Nama kamper (kapur Barus) bahkan ditemukan dalam teks Ramayana versi Jawa dan dalam kitab suci Al Alquran (kafura). Nama kemenyan juga muncul dalam Alkitab. Sedangkan damar mempunyai kegunaan untuk materi penerangan dan materi cat. Sebagaimana disebut Marsden, materi damar juga telah dipakai penduduk Batak sebagai materi tinta untuk menulis.

Lantas apakah mushaf yang ditemukan di Alor yang diduga berasal dari Mesir yang ditulis di atas materi kertas papirus tintanya menyerupai yang dipakai oleh penduduk Batak dari materi damar. Papirus di Mesir, damar di Tanah Batak. Sejak zaman Mesir kuno, orang Mesir sudah berniaga ke Tanah Batak di Barus untuk mendapatkan tiga komodiri kuno yang terpenting: kamper, kemenyan dan damar.

Sejauh ini materi kertas terbuat dari materi asal tumbuhan. Bahan kertas dari tumbuhan papirus terbilang materi yang bisa bertahan dalam jangka panjang di aneka macam iklim yang berbeda. Bahan tinta yang berasal dari damar juga terbilang materi yang tahan usang sebagaimana di jaman kuno materi damar selain untuk materi penerangan (dibakar) juga damar dipakai untuk materi cat untuk melukis.    

Dari mushaf-mushaf kuno yang ditemukan, mushaf Al Alquran tersebut ditulis dengan dua warna dasar yakni warna hitam dan warna merah. Dua warna dasar hitam danmerah kerap diasosiakan dengan warna tradisional penduduk Batak zaman kuno.

Kontroversi Mushaf Al Alquran Tertua di Indonesia

Satu-satunya bukti bahwa mushaf Al Alquran di Medan diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia hanya berdasarkan kolofon atau catatan kaki oleh si penulis. Disebutkan pada kolofon, penulis memberi tanda mushaf final pada tanggal 20 Dzulqaidah 1070 H. Tahun 1070 H jikalau dikonversi sama dengan tahun 1659. Selain itu juga terdapat angka tahun 1074 atau sama dengan tahun 1663.

Seorang hebat mushaf dari Bayt Al Alquran dan Museum Istiqlal, Ali Akbar menyoroti angka tahun 1074. Ahli dari Bayt Al Alquran dan Museum Istiqlal menduga bahwa pada angka tahun dalam penulisan 1074 terdapat keraguan pada originilitas angka 0 (nol). Ada perbedaan cara penggoresan (ketebalan) tinta yang berbeda antara angka 0 dengan angka yang mendampinginya (angka 7 dan angka 4). Angka 0 seakan tercermin dari angka 2, sehingga angka tahun 1074 lebih sempurna angka tahun 1274 atau jikalau dikonversi sama dengan tahun 1863. Beberapa tahun yang lampau, Ali Akbar telah menyimpulkan tiga mushaf Al Alquran tertua di Indonesia yakni yang terdapat di Perpustakaan Nasional (bertarih 1731), mushaf yang terdapat di masjid Riau (bertarih 1753) dan mushaf yang terdapat di Ternate (bertarih 1772).

Mushaf Al Alquran tertua yang diklaim di Medan, selain dianggap kontroversi pada penulisan angka tahun, juga yang memunculkan kontroversi yakni mengenai sumber. Tidak diketahui dimana sumber tersebut diperoleh. Hanya disebut bersumber dari pedagang antik.

Sebagaimana kita ketahui selama ini para pedagang antik tidak lazim mempunyai sistem penyimpanan khusus untuk benda-benda antik (kuno), apalagi untuk penyimpanan benda yang berbahan kertas. Kita tidak bisa membayangkan suatu benda yang berbahan kertas kondusif di tangan para kolektor (pedagang antik). Suatu benda yang berumur ratusan tahun (sejak 1659). Benda yang berbahan kertas seumur itu, jikalau tidak mempunyai sistem pengaman dan sistem pemeliharaan yang tepat, tentu sudah sangat ringkih dan tidak gampang berpindah tangan. Kertas berbahan kayu dari Eropa sangat ringkih dimakan zaman, tetapi tidak gampang lapuk dengan kertas berbahan papirus.

Dalam tradisi penulisan sejarah, sebuah benda atau suatu bencana yang diperhatikan lebih bau tanah akan lebih menjadikan minat yang lebih tinggi. Demikian halnya soal mushaf Al Alquran di Indonesia. Kita terus mencari apakah ada mushaf yang lebih bau tanah dari mushaf Ternate. Ternyata kemudian, ditemukan mushaf yang lebih bau tanah dari mushaf Ternate.

Yang menjadi permasalahan yakni apakah mushaf yang dipamerkan di Medan baru-baru ini merupakan mushaf tertua di Indonesia. Belum dilakukan penelitian yang cermat, tetapi sudah muncul keraguan apakah mushaf yang dipamerkan di Deli benar-benar original buatan tahun 1659 atau buatan tahun 1859 (ada perbedaan waktu 200 tahun).

Sumber sejarah sangat tergantung dari sumbernya. Akan tetapi para analis sejarah (sejarawan) haruslah tetap sebagai orang yang bertanggungjawab untuk memastikan sumber itu sebelum disimpulkan. Sumber juga bisa menjadi palsu alasannya di masa lampau telah terjadi ketidaksengajaan atau sengaja memutarbalikkan fakta dengan mengubah angka tahun 1274 menjadi angka 1074. Namun untuk memastikan apakah sesuatu itu palsu, hebat sejarahlah yang harus cermat dan berpikiran jernih.

Ibarat kata, pelaku sejarah boleh berbohong tetapi dilarang salah. Sebaliknya, hebat sejarah boleh salah tetapi dilarang berbohong. Boleh jadi dalam aneka macam kasus, para hebat sejarah sudah mengetahui atau menyadari bahwa sumber yakni palsu, tetapi tutup mata untuk itu. Perilaku semacam ini juga sanggup dikategorikan membohongi sejarah dan membohongi publik. Para hebat sejarah dilarang bersembunyi dibalik (para) sumber yang bersahaja.  

Analisis Ali Akbar terhadap angka tahun pada mushaf yang dipamerkan di Medan boleh jadi salah. Namun dugaan Ali Akbar adanya pemalsuan angka tahun 1274 menjadi 1074 juga tidak bisa dianggap angin lalu. Seharusnya hebat sejarah mempunyai kepekaan dan ketelitian terhadap sumber. Sebuah sumber seharusnya dikonfirmasi dengan sumber lain. Namun hebat sejarah tidak cukup materi untuk membandingkan dengan sumber di kawasan lain, alasannya mereka cenderung hanya terbatas pada kajian tertentu di kawasan tertentu. Saya beberapa kali menemukan sumber palsu di aneka macam dokumen, peta, lukisan dan foto yang dipakai oleh para hebat sejarah. Saya tidak tahu apakah hebat sejarah tersebut menyadari atau tidak.

Introduksi Penggunaan Kertas di Deli
.
Mushaf yang dipamerkan di Medan hanya mempersoalkan angka tahun pembuatan. Tidak disebutkan siapa yang menciptakan dan dimana dibuat. Meski mushaf yang dipamerkan di Medan diperoleh dari pedagang antik di Medan tentu saja tidak dengan sendirinya bahwa mushaf itu dibentuk di Medan atau di Deli. Seperti halnya mushaf kuno yang ditemukan di Alor meski disebut dibawa dari Ternate, tentu saja belum tentu dibentuk di Ternate.

Penggunaan kertas secara masif berkenaan dengan kehadiran orang ajaib di Nusantara. Kertas produksi Eropa besar kemungkinan dibawa oleh orang Eropa, menyerupai Portugis, Belanda dan Inggris. Akses untuk menerima kertas dari orang Eropa tentu tidaklah mudah, alasannya kertas hanya dipakai terbatas untuk keperluan ekspedisi dan manajemen perdagangan dan pemerintahan.  

Pada kurun VOC tidak ada alasan yang urgen bagi Belanda untuk menyebarkan kertas dengan pribumi kecuali dalam situasi dan kondisi yang khusus. Ketika VOC berdagang ke wilayah Maluku, Gowa yang menjadi pintu saluran ke Ternate, kesultanan Gowa masih menulis huruf Lontara di dalam kulit kayu.

Pada tahun 1659 (1074 H) Belanda/VOC hanya mempunyai kebijakan perdagangan di pantai (pelabuhan). Interaksi dengan penduduk lokal masih longgar. Kebijakan VOC/Belanda yang menjadikan penduduk lokal sebagai subjek gres dimulai pada tahun 1666 (yang menjadi titik awal penaklukan Gowa). Setelah itu gres secara sedikit demi sedikit kerjasama pejabat VOC dengan para pemimpin lokal di aneka macam kawasan di nusantara dimulai (Bongaisch Contract). Perjanjian-perjanjian dengan pemimpin lokal dibentuk dalam goresan pena di atas kertas. Kontak VOC/Belanda di Sumatra dimulai di Padang (1666) kemudian di Baros (1668) dan pulau Gontong di muara sungai Siak. Ekspedisi ke pedalaman Jawa sendiri gres dimulai pada tahun-tahun jelang 1700.

Wilayah Atjeh dan pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) tidak terdapat relasi yang intens dengan VOC/Belanda. Ekspedisi VOC/Belanda dari Malaka gres dilakukan pada tahun 1687dari Siak menuju Pagaroejoeng. Penyelidikan terhadap Riaow sendiri oleh Belanda gres dimulai tahun 1849 oleh hebat bahasa Elisa Netscher. Perjanjian Belanda dengan pemimpin lokal di Riau gres terealisasi tahun 1858. Ketika Elisa Netscher menjadi Residen Riau yang berkedudukan di pulau Bintan, ekspedisi ke Deli gres dimulai tahun 1863. Tahun inilah awal kontak para pemimpib Deli dengan pejabat Belanda.

Ekspedisi ke Deli tahun 1863 mengakibatkan (kekuasaan) Atjeh terusir dari Deli. Pengusiran (kekuasaan) Atjeh dari Padang (Sumatra’s Westkust) terjadi tahun 1666. Ada perbedaan waktu 200 tahun pembebasan Atjeh di Padang dan Deli.

Lalu pemerintahan di Deli dimulai secara bertahap. Investor pertama Nienhuys tiba ke Deli tahun 1865. Pemerintahan di Padang gres dimulai tahun 1821 dan gres efektif pada tahun 1837. Di Tapanoeli sendiri pemerintahan Belanda gres dimulai di Natal dan Mandailing.Angkola tahun 1840 dan di Baros tahun 1845.

Sulit membayangkan apa yang terjadi pada tahun 1659 di Deli. Pemimpin Deli gres melaksanakan kontak dengan luar (Belanda) secara intens pada tahun 1865. Sementara di Angkola/Mandaiing pada tahun 1865 sudah terdapat sekolah guru.   

Deli terbilang wilayah yang telat dalam hal pendidikan. Pada tahun 1900 bahkan di Medan sendiri belum terdapat sekolah. Meski demikian, di Medan sudah terdapat sekolah agama. Namun perlu dicatat bahwa penyelenggaraan sekolah agama di Medan tersebut hanya dilakukan secara lisan. Juga di Bindjai bahkan sampai tahun 1902 belum ada sekolah untuk penduduk.

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-10-1897: ‘Dari Dcli. Dilaporkan. Sangat mengejutkan bahwa kesultanan yang berkembang menyerupai Dcli masih tidak mempunyai sekolah untuk bawah umur penduduk pribumi, ada sekolah-sekolah agama, tetapi disana bawah umur hanya mempelajari bagian-bagian Al-Quran dengan lisan’. De Sumatra post, 08-08-1902: ‘Fakta bahwa Bindjey, yang tentu saja merupakan kawasan paling penting di pantai timur, belum mempunyai sekolah pribumi, sementara Tandjong Poera yang lebih muda sudah mempunyai perangkat semacam itu. Kami sanggup sepenuhnya oke dengan cita-cita Pertja Timor bahwa Sultan Langkat sanggup melanjutkan untuk menyediakan gedung sekolah dan bahwa Pemerintah sanggup menunjuk seorang guru untuk mengajar bawah umur di Bindjey’.

Dari citra ini, sangat naif menyampaikan di Deli pada tahun 1659 sudah tumbuh dan berkembang tradisi menulis dengan memakai kertas. Selain itu, sangat naif bahwa pada tahun 1659 di Deli sudah diperkenalkan kertas produksi Eropa. Sementara di Deli sendiri kontak dengan luar (Belanda) gres dimulai pada tahun 1863. Ekspedisi Belanda ke Deli pada bulan Februari 1863 dipimpin oleh Residen Riouw Elisa Netscher. Sebagaimana diketahui Elisa Netscher yakni seorang sarjana linguistik.

Analisis Ali Akbar terhadap mushaf yang dipamerkan di Medan menduga umur mushaf tersebut bertarih 1274 H atau tahun 1863. Pada tahun inilah dimulai kontak Deli dengan luar secara intens. Dengan kata lain, tahun ini kemungkinan penulis-penulis mushaf di Deli menerima saluran untuk mendapatkan kertas Eropa.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), alasannya saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi alasannya sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Kota Medan (76): Mushaf Al Quran Tertua Dilaporkan Di Medan; Semenjak Kapan Pendidikan Agama Islam Dimulai Di Deli?"

Posting Komentar